MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.

[Mas, Pulanglah segera bawa juga Tari. Aku sudah mengizinkan kamu menikah lagi.] Kukirim WA pada Suamiku yang tiga hari lalu izin untuk pulang kerumah orang tuanya.

Dengan alasan jika Sepupunya masuk rumah sakit. Dia izin dari kantor juga izin padaku. Tadinya aku berinisiatif ikut, namun Mas Damar menolak dengan alasan kasian Wulan dan Aziz yang sedang tes.

Namun, kemarin aku melihat Tari mengunggah sebuah foto pernikahan. Pernikahan yang kulihat sederhana. Mungkin karena nikah siri. Kulihat Tari dan Mas Damar tersenyum manis.

Tari memang memprivasi postingan itu. Dia tak tahu jika aku memiliki akun lain dan berteman dengannya. Sungguh terlalu gegabah.

[Kamu ngomong apa sii?] Jawaban Mas Damar seolah aku belum tahu semuanya. Aku menghela nafas.

Kalau ada yang bilang tak sakit rasanya di poligami itu bohong! Sesak dada ini, namun untuk larut dalam kesedihan dan tangis rasanya itu bukan pilihan yang tepat.

[Udahlah, Mas. Ngga perlu kamu tutupi. Aku sudah tahu jika kamu telah menikah dengan Tari kemarin. Aku ikhlas sudah, pulanglah. Ajak Tari tinggal disini juga!] Kembali lagi aku mengirim balasan.

Tak berselang lama Hp ku berdering. Menandakan panggilan masuk.

"Hallo, Mas!"

"Hallo, Fat. Ini aku Tari."

Nyeees!

Ada rasa ngilu di hati. Seketika aku lemas. Namun, sedetik kemudian aku tersadar jika aku harus kuat.

"Iya, Tar. Aku sudah tahu kok tentang apa yang kamu lakukan di belakangku. Kamu diam-diam menikah dengan Mas Damar. Tadinya aku sempat tak percaya, nyatanya memang begitu. Nafsu membutakan kamu untuk merebut hak temanmu sendiri." Aku panjang lebar mengutarakan. Entah di dengar atau tidak aku tak peduli.

"Maaf, Fat. Kami saling mencintai. Saat dulu kamu menampungku di saat aku terpuruk. Saat itu Mas Damar memberi perhatian lebih dan kemarin dengan janji suci di depan pengulu Mas Damar resmi menjadikan aku istrinya. Tapi, kamu tenang saja, aku tak akan merebut sepenuhnya Mas Damar. Aku hanya minta sebagian kecil hatinya untukku, karena aku masih ingat betul jasamu."

Licik!

Aku bergumam dalam hati. Tangisku tertahan. Tapi, aku tak akan lemah. Menangis meraung bahkan histeris. Aku hanya akan membuat ia yang justru menyesal telah merebut sesuatu yang tak seharusnya.

"Baik, aku juga sudah terima kok. Ngga papa, kita berbagi suami. Namun, satu hal ingin aku bicarakan padamu. Pulanglah, aku menunggumu. Sudah kubersihkan kamarmu hingga layak di tempati." ujarku. Aku yakin dia tengah berbunga karena mendapat restu dariku.

Bagiku, untuk apa aku harus melabrak atau bahkan mendatanginya. Biarkan waktu yang akan membalas apa yang telah ia tanam. Tentunya dengan campur tanganku.

Laki-laki akan merasa bangga jika di perebutkan. Itu tak akan membuat efek jera, justru merasa agung dan akan mengulanginya lagi. Pelakor juga akan merasa menang jika lawannya lemah dengan membabi buta menyerangnya yang berujung pembelaan dari suami.

Aku tak mau itu!

Aku hanya ingin Mas Damar menyesali keputusannya dan si pelakor mati kutu dan dapat karmanya.

Lihatlah, Fatwa bukan wanita lemah. Fatwa wanita yang tangguh demi membela haknya yang terampas. Dengan bermain cantik, aku pastikan dalam 100 hari, Mas Damar akan kembali dalam pelukanku dan anak-anak. Karena aku tahu, siapa Tari sebenarnya.

Aku memegang kartu merahnya sekarang! Tunggulah saat semua itu aku bongkar. Kupastikan nasibmu akan lebih tragis di banding saat kamu datang dulu!