Share

Ngambek

"Tar, buka pintunya. Jangan ngambek begitu!" Mas Damar tengah berdiri di pintu kamar Tari. Seperti ia takut kehilangannya. Ah, muak sekali melihatnya.

"Pergi, Mas! Turuti saja semua permintaan Fatwa. Aku di jadikan babu saja kamu diam saja malah setuju!" terdengar teriakan dari kamar Tari. Membuat gaduh saja.

Aku duduk menyeduh kopi. Aku memang penikmat kopi, tak kalah dengan Mas Damar.

"Mau kopi, Mas?" tawarku dengan senyum. Mas Damar yang tengah menggaruk kepalanya seketika menoleh.

Sudah kusiapkan dua cangkir kopi. Aku duduk dan menikmati kopi dengan rileks. Sengaja kubuat nikmat, agar Mas Damar yang masih berdiri didekat pintu tergoda.

Benar saja, tanpa menunggu lama ia langsung mengambil kursi dan duduk.

"Kopi yang sedap! Kopi apa ini, Dek. Baunya harum, beda kaya biasanya?" tanya Mas Damar yang langsung mengecap kopinya.

"Kopi sianida, Mas!"

"Uhhuuuukkk!" Mas Damar memuntahkan kopi itu. "Yang benar, Dek. Kamu mau membunuhku?"

"Kenapa kamu ketakutan seperti itu, Mas? Bukankah dulu kamu percaya jika aku tak mampu menyakitimu?" Sengaja aku tak menjawab langsung jika tadi hanya bercanda.

Dia terdiam. Mungkin sedang mengingat masa dulu. Masa di mana saling percaya, saling memiliki dan saling memberi. Kenapa kali ini di bilang kopi sianida saja sudah takut setengah mati.

"Aku tak sekejam itu, Mas. Aku masih punya anak-anak yang menyayangi ayahnya. Kalau tidak! Sudah kububuhi sianida dari kemarin!" ujarku dengan bibir tersingung. Sakit hati yang kurasa, hanya dengan seperti itu, aku dapat melepaskannya sedikit demi sedikit.

"Sudah ayo minum! Apa mau tukeran?" tanyaku kemudian Menganti kopi Mas Damar dengan kopi yang kuminum. Baru Mas Damar kembali mau meminumnya.

"Dek, untuk uang ...." Belum selesai Mas Damar berkata. Tari keluar.

"Tuh kan! Baru di tinggal ngambek sebentar udah mesra-mesraan sama Fatwa! Pake minum kopi bareng lagi!" ujar Tari.

"Kamu mau?" tanyaku padanya.

Ia mengangguk senang dan langsung memilih tempat duduk tepat di sebelah Mas Damar.

"Bikin sendiri! Ngga ada ratu yang bikinin kopi buat selir!" ujarku sambil berlalu. Aku puas membuat dia kesal.

"Ingat, sebentar lagi Wulan pulang. Jaga sikap kalian! Aku mau istirahat. Oh ya, Tar. Jangan lupa ambil baju kotor anak-anak di kamar masing-masing. Kemudian jangan sampai telat gosoknya!" Segera aku naik keatas. Tak kupedulikan raut tak suka pada Tari.

Istrihat sejenak. Merefres otak agar tak terasa letih. Letih karena hati yang terluka. Harus pura-pura tegar memang kadang cukup melelahkan.

~~~

"Hallo, Bu. Ada apa?" tanyaku saat kuterima panggilan Ibu mertua.

"Hallo, Fat. Kalian akur-akur saja, Kan. Ngga ada adu jotos atau adu banteng!" Aku mengeleng dengan semua ucapan Ibu.

"Ngga kok, Bu. Ibu langsung saja! Ada apa?" Aku sudah sangat hafal. Jika Ibu menelfon pasti ada sesuatu.

"Ibu mau minta uang bulan besok di beri sekarang dong. Ibu butuh nih buat bayar arisan." Dia meminta tanpa tahu dosa.

"Aduh, Ibu. Kebetulan sekali ada yang mau aku sampaikan. Jika uang jatah bulanan Ibu, tak ada lagi karena di alokasikan untuk biaya tambahan harian karena kita kan tambah satu orang di rumah. Tentunya Tari pasti juga menuntut uang nafkah pada Mas Damar. Hingga akhirnya dengan berat hati aku katakan kalau bulan besok Ibu tak lagi terima uang dari Mas Damar!" ucapku panjang lebar kali tinggi agar dia paham.

"Apa! Ba-bagaimana bisa begitu, Fat? Itu tak adil!" ujarnya di ujung telfon sana.

"Justru semua ini dilakukan agar adil, Bu. Antara uang yang di kasih ke aku dan uang untuk Tari sama besarnya. Bukankah ibu merestui pernikahan mereka? Jadi siap untuk konsekuensinya! Senang kan dapat menantu baru?"

Setelah aku ucapkan itu, tiba-tiba panggilan terputus dengan sendirinya. Pasti Ibu kali ini sangat kesal. Siapa suruh?

Malam kembali menyapa, saat Mas Damar akan merebahkan badan tepat di sampingku. Hpnya berdering. Aku yang juga tengah fokus pada benda pipih itu juga, hanya melirik sekilas.

"Iya, Tar, ada apa?" Mas Damar bangkit. Mungkin tak enak padaku.

"Sebentar aku turun!" ujarnya yang langsung membuka pintu. Kenapa? Ah ... Pasti sebenarnya Tari minta di kelonin.

Aku tak pedulikan lagi dengan mereka. Kembali fokus pada HP yang tengah bermain permainan cacing. Membunuh cacing yang lewat menganggu sama seperti menyingkirkan pelakor itu di rumah ini! tunggu saatnya Tar!

Aku haus dan meraih gelas yang ada di nakas. Ternyata kosong. Bagaimana ini, mana malas untuk turun. Lebih malas karena akan melihat kutu kupret dengan Mas Damar. Lebih malas lagi memergoki ia yang tengah bercumbu.

Iiihhh!

Aku bergidik jijik. Membayangkan mereka dalam satu ranjang dengan peluh membanjiri tubuh mereka.

Huhfff ... Tapi haus!

Segera aku beranjak. Tak ada pilihan lain selain untuk turun. Terpaksa dan harus tutup mata dan telinga melihat atau mendengar desahan para pencandu nafsu.

Menuang air dari galon kegelas, aku melirik kepintu kamar Tari. Terbuka lebar, bagaimana bisa? Apa mereka melakukan itu dengan membuka pintu. Bagaimana kalau Wulan atau Aziz melihat.

Aku dilema, harus mendekat kekamar atau membiarkan. Tapi, jika di biarkan aku takut Aziz yang biasanya ambil jajan atau sekedar cari minuman melihatnya. Dia sering turun, setelah Mabar. Bagaimana ini?

Kuputuskan untuk menuju kesana. Lebih baik aku makin sakit dari pada harus anakku tahu apa yang bapaknya lakukan.

Dengan langkah mantap aku menuju pintu Tari dan ....

~~~~®®®~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status