Share

Ngambek

Penulis: Pipit Aisyafa
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-07 13:02:17

"Tar, buka pintunya. Jangan ngambek begitu!" Mas Damar tengah berdiri di pintu kamar Tari. Seperti ia takut kehilangannya. Ah, muak sekali melihatnya.

"Pergi, Mas! Turuti saja semua permintaan Fatwa. Aku di jadikan babu saja kamu diam saja malah setuju!" terdengar teriakan dari kamar Tari. Membuat gaduh saja.

Aku duduk menyeduh kopi. Aku memang penikmat kopi, tak kalah dengan Mas Damar.

"Mau kopi, Mas?" tawarku dengan senyum. Mas Damar yang tengah menggaruk kepalanya seketika menoleh.

Sudah kusiapkan dua cangkir kopi. Aku duduk dan menikmati kopi dengan rileks. Sengaja kubuat nikmat, agar Mas Damar yang masih berdiri didekat pintu tergoda.

Benar saja, tanpa menunggu lama ia langsung mengambil kursi dan duduk.

"Kopi yang sedap! Kopi apa ini, Dek. Baunya harum, beda kaya biasanya?" tanya Mas Damar yang langsung mengecap kopinya.

"Kopi sianida, Mas!"

"Uhhuuuukkk!" Mas Damar memuntahkan kopi itu. "Yang benar, Dek. Kamu mau membunuhku?"

"Kenapa kamu ketakutan seperti itu, Mas? Bukankah dulu kamu percaya jika aku tak mampu menyakitimu?" Sengaja aku tak menjawab langsung jika tadi hanya bercanda.

Dia terdiam. Mungkin sedang mengingat masa dulu. Masa di mana saling percaya, saling memiliki dan saling memberi. Kenapa kali ini di bilang kopi sianida saja sudah takut setengah mati.

"Aku tak sekejam itu, Mas. Aku masih punya anak-anak yang menyayangi ayahnya. Kalau tidak! Sudah kububuhi sianida dari kemarin!" ujarku dengan bibir tersingung. Sakit hati yang kurasa, hanya dengan seperti itu, aku dapat melepaskannya sedikit demi sedikit.

"Sudah ayo minum! Apa mau tukeran?" tanyaku kemudian Menganti kopi Mas Damar dengan kopi yang kuminum. Baru Mas Damar kembali mau meminumnya.

"Dek, untuk uang ...." Belum selesai Mas Damar berkata. Tari keluar.

"Tuh kan! Baru di tinggal ngambek sebentar udah mesra-mesraan sama Fatwa! Pake minum kopi bareng lagi!" ujar Tari.

"Kamu mau?" tanyaku padanya.

Ia mengangguk senang dan langsung memilih tempat duduk tepat di sebelah Mas Damar.

"Bikin sendiri! Ngga ada ratu yang bikinin kopi buat selir!" ujarku sambil berlalu. Aku puas membuat dia kesal.

"Ingat, sebentar lagi Wulan pulang. Jaga sikap kalian! Aku mau istirahat. Oh ya, Tar. Jangan lupa ambil baju kotor anak-anak di kamar masing-masing. Kemudian jangan sampai telat gosoknya!" Segera aku naik keatas. Tak kupedulikan raut tak suka pada Tari.

Istrihat sejenak. Merefres otak agar tak terasa letih. Letih karena hati yang terluka. Harus pura-pura tegar memang kadang cukup melelahkan.

~~~

"Hallo, Bu. Ada apa?" tanyaku saat kuterima panggilan Ibu mertua.

"Hallo, Fat. Kalian akur-akur saja, Kan. Ngga ada adu jotos atau adu banteng!" Aku mengeleng dengan semua ucapan Ibu.

"Ngga kok, Bu. Ibu langsung saja! Ada apa?" Aku sudah sangat hafal. Jika Ibu menelfon pasti ada sesuatu.

"Ibu mau minta uang bulan besok di beri sekarang dong. Ibu butuh nih buat bayar arisan." Dia meminta tanpa tahu dosa.

"Aduh, Ibu. Kebetulan sekali ada yang mau aku sampaikan. Jika uang jatah bulanan Ibu, tak ada lagi karena di alokasikan untuk biaya tambahan harian karena kita kan tambah satu orang di rumah. Tentunya Tari pasti juga menuntut uang nafkah pada Mas Damar. Hingga akhirnya dengan berat hati aku katakan kalau bulan besok Ibu tak lagi terima uang dari Mas Damar!" ucapku panjang lebar kali tinggi agar dia paham.

"Apa! Ba-bagaimana bisa begitu, Fat? Itu tak adil!" ujarnya di ujung telfon sana.

"Justru semua ini dilakukan agar adil, Bu. Antara uang yang di kasih ke aku dan uang untuk Tari sama besarnya. Bukankah ibu merestui pernikahan mereka? Jadi siap untuk konsekuensinya! Senang kan dapat menantu baru?"

Setelah aku ucapkan itu, tiba-tiba panggilan terputus dengan sendirinya. Pasti Ibu kali ini sangat kesal. Siapa suruh?

Malam kembali menyapa, saat Mas Damar akan merebahkan badan tepat di sampingku. Hpnya berdering. Aku yang juga tengah fokus pada benda pipih itu juga, hanya melirik sekilas.

"Iya, Tar, ada apa?" Mas Damar bangkit. Mungkin tak enak padaku.

"Sebentar aku turun!" ujarnya yang langsung membuka pintu. Kenapa? Ah ... Pasti sebenarnya Tari minta di kelonin.

Aku tak pedulikan lagi dengan mereka. Kembali fokus pada HP yang tengah bermain permainan cacing. Membunuh cacing yang lewat menganggu sama seperti menyingkirkan pelakor itu di rumah ini! tunggu saatnya Tar!

Aku haus dan meraih gelas yang ada di nakas. Ternyata kosong. Bagaimana ini, mana malas untuk turun. Lebih malas karena akan melihat kutu kupret dengan Mas Damar. Lebih malas lagi memergoki ia yang tengah bercumbu.

Iiihhh!

Aku bergidik jijik. Membayangkan mereka dalam satu ranjang dengan peluh membanjiri tubuh mereka.

Huhfff ... Tapi haus!

Segera aku beranjak. Tak ada pilihan lain selain untuk turun. Terpaksa dan harus tutup mata dan telinga melihat atau mendengar desahan para pencandu nafsu.

Menuang air dari galon kegelas, aku melirik kepintu kamar Tari. Terbuka lebar, bagaimana bisa? Apa mereka melakukan itu dengan membuka pintu. Bagaimana kalau Wulan atau Aziz melihat.

Aku dilema, harus mendekat kekamar atau membiarkan. Tapi, jika di biarkan aku takut Aziz yang biasanya ambil jajan atau sekedar cari minuman melihatnya. Dia sering turun, setelah Mabar. Bagaimana ini?

Kuputuskan untuk menuju kesana. Lebih baik aku makin sakit dari pada harus anakku tahu apa yang bapaknya lakukan.

Dengan langkah mantap aku menuju pintu Tari dan ....

~~~~®®®~~~~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    Kelumpuhan Damar (TAMAT)

    "Bun!" Aziz tahu perubahan expresiku. Dia langsung mendekat kearahku yang merasa Tek bertulang. Sedangkan Wulan juga dengan sigap langsung menopangku."Ada apa, Bu?" tanya Wulan, berbarengan dengan Aziz yang sampai di dekatku. Aku harus kuat. Aku tak ingin sampai Aziz tak punya foto kenang-kenangan atas prestasinya."Ngga papa, ayok! Ayah minta maaf tak bisa datang karena keadaan." Aku berusaha untuk melangkah keatas podium. Menyambut uluran tangan kepala sekolah, menerima penghargaan kemudian berfoto. Setelah selesai dan turun dari podium aku meminta berbicara dengan Aziz kebelakang sebentar sebelum ia masuk kembali ke barisan teman-temannya."Bunda mau bicara sebentar. Bisa?" Dia mengganuk dan mengikuti langkahku. Aku memilih untuk keluar karena suara yang riuh. Wulan juga kubawa."Aziz, Ayahmu kecelakaan saat akan kesini. Dia katanya kritis." ucapku dengan menahan serak didada. Bagaimanapun dia telah mengisi hariku puluhan tahun, aku tak mungkin abai disaat seperti ini."A-ayah?"

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    Berfikir

    "Tak semudah itu, Mas! Kami pikir dengan menalak Tari didepanku, aku akan langsung memaafkanmu? Jangan mimpi!" Aku segera beranjak pergi. Malu, masih ada beberapa polisi yang lewat dan memperhatikan kami."Fat! Dek!" Mas Damar memanggil, aku acuh langsung menuju kendaraan. Tak perduli Mas Damar yang mengetuk kaca keras.Kulajukan mobil dengan sedikit kencang. Kepalaku pusing, memikirkan semua masalah yang ada. Rasanya lelah hidup ini. Menghadapi semua masalah yang terus melanda.Ponsel berdering. Dari Lukman!"Hallo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa resto yang berada di jalan mangga di miliki oleh seseorang dari Pakistan dan menurut yang info saya dapatkan jika perempuan yang di nikahi secara mut'ah bernama Saras."Deg!Mendengar penjelasan Lukman aku kaget. Bukan kaget karena pemilik resto adalah Mbak Saras. Tapi kaget tentang pernikahan mut'ah yang dia lakukan."Kamu yakin jika berita ini akurat, Luk?""Yakin, Bu."Aku menutup sambungan telfon d

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    perselingkuhan

    Aku terperanjat karena terkena cipratan air juga. Ervan pun langsung berdiri."Apa-apaan ini?" Ervan mengadu saat tahu siapa pelaku penyiraman itu. Melisa."Kamu, Mas, yang apa-apaan. Berdua makan dengan babysitter!" Melisa berkata dengan amarah. Beberapa orang melihat, kami menjadi tontonan, bahkan saat Lukman mencoba mendekat aku menahannya dengan isyarat tangan."Tega-teganya aku di luar negri, kamu main sama seorang pengasuh anakmu! Ngga tau malu!" Melisa masih saja berargumen. Ervan bahkan gelagapan karena tak diberi waktu untuk berbicara."Jadi begitu kelakuanmu, Mas. Kamu benar-benar lelaki tak setia! Dan kamu!" Kali ini ia menunjukku, aku hanya bergeming."Kamu tak akan pernah selevel dengan seorang dokter. Kamu hanya pengasuh! Jangan berharap lebih. Palingan juga Mas Ervan mau karena di guna-guna. Kamu cuma mau hartanya saja kan? Mau meninggikan stratamu!" Dengan jari telunjuk ia mengarahkan padaku."Cukup, Mel!" Akhirnya Ervan bersuara. "Kamu ngomong apa? Pulang dari LN ngga

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    MISTERI

    " Ya resto itu berdiri di jalan mangga. Kata pelanggan harganya jauh dibawah kita. Tadi sempat berbincang dengan para grabfood jika itu benar adanya. Mereka meminta kepastian jika itu benar-benar cabang kita." Aku terdiam. Jalan mangga? Itu artinya sekitar seratus meter dari Restoku. Kenapa? Apa benar itu milik Mbak Saras? Aku harus secepatnya mencari tahu."Baik, terima kasih, Luk. Biar aku cari tahu. Kamu tetap kerja dengan baik!" "Baik, Bu."Segera aku melajukan mobil dengan cepat. Menuju dimana resto itu berdiri. Aku sangat ingin tahu apa benar Resto itu meniru tempat usahaku."Macet lagi!" Aku menggerutu. Ingin cepat sampai malah terjebak macet.Cukup lama dan panjang. Entah apa yang ada didepan sana. Aku hanya bisa bersabar. "Ada apa ya, Pak. Di depan sana?" tanyaku pada seorang tukang sapu jalanan."Oh, ada truk guling, Bu. Mungkin akan memakan waktu lama. Soalnya alat berat belum datang!" Aku mengangguk, kemudian kembali fokus pada jalanan yang mulai terasa panas walau suda

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    Manipulasi

    Aku langsung menuju di mana sosok berdiri. Wulan. Ia menatapku dengan pandangan penuh amarah."Kamu belum tidur, Sayang?" tanyaku.Dia menepis tanganku yang hendak menyentuh rambutnya. Kenapa?"Bunda apa-apaan? Pake jalan sama laki-laki lain! Bunda punya pacar?!" Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa Wulan berkata demikian. Apa yang membuat dia menuduhku sedemikian rupa."Kamu ngomong apa, si Wulan?" Aku mencari penjelasan."Bunda jangan ngelak! Wulan sudah tahu semua dari ayah!" Nadanya ia naikkan.Kupastikan Mas Damar mengadu pada Wulan. Mencuci otak anak yang masih belum memiliki pikiran dewasa."Bunda cuma pergi sama anak temen Bunda. Dia anak kecil, baru sekolah paud. Ituloh, yang saat Bunda di rumah sakit. Anaknya pak dokter." Aku berusaha menjelaskan. Namun wajah kusut Wulan tak berubah."Iya, makanya Wulan tahu! Bunda dan Dokter tengil itu mulai pacaran kan?"Astaghfirullah. Aku menyebut, apa yang sudah di katakan Mas Damar pada Wulan?"Tidak, Wulan. Kita cuma sahabat. Maklum la

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    jalan-jalan

    "Tari?" Apa aku tak salah lihat. Tari berada di Paud? Anak siapa? Jangan-jangan dia mau menculik?Ah! Kenapa aku jadi berfikir negatif. Kalau anak itu di culik pasti udan teriak.Aku ingin menyambanginya. Menanyakan bahwa aku sudah melaporkan dia pada polisi. Namun, aku tersadar saat akan membuka pintu."Tante!" Panggil Sifa. Aku tak mungkin meninggalkannya."Iya, Sayang." Aku urung keluar, Sifa terlihat juga menatap ke Tari."Sifa kenal anak itu?""Kenal, Tan. Dia namanya Ines.""Terus itu siapa?" tanyaku memastikan tentang Tari."Dia itu babycitternya. Galak banget!" ujar Sifa polos."Kok tahu kalau dia galak?" ucapku memancing."Iya, Ines sering kena marah-marah sama dia, dia itu kata Ines nenek lampir!"Aku tertawa mendengar penuturan Sifa. Bocah kecil sudah tahu maklampir. Setelah melihat Tari masuk sebuah mobil, akhirnya aku juga melajukan mobilku menuju pusat perbelanjaan. Ada beberapa kebutuhan yang memang ingin kubeli, sekaligus mengajak Sifa main di Playground. Menghabiskan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status