Share

Kedatangan Hanifah

HATI ALINA (7)

__________________

Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.

Kriet.

Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya. 

"Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina. 

"Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.

Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif dipaksa menikah lagi dengan dalih Alina terlalu lama memberikan seorang cucu, sedangkan umur manusia tidak ada yang tahu. Bukankah itu terlalu egois? Begitulah kiranya yang sedang Alina pikirkan dalam benaknya.

"Menangislah jika memang bisa membuat hatimu tenang," Alif mengusap punggung sang istri dengan lembut. Berulang kali bibirnya mencium pucuk kelapa Alina yang masih terbalut jilbab.

"Apa saya sudah tidak dianggap sebagai menantu lagi di sini, Gus?" mata Alina menatap tajam ke arah Alif.

"Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu, Lin?" Alif beralih mengusap lengan sang istri dengan lembut.

"Setidaknya itu yang sedang saya rasakan, Gus," sahut Alina lirih dengan netra kembali memanas.

"Bersihkan hatimu, Lin. Sungguh, ini bukan Alina yang dulu, kenapa sekarang suka sekali berpikiran buruk?" Alif menoel dagu istrinya.

Alina terdiam. Dia tidak menyangkal semua perkataan Alif, karena memang sejak terdengarnya rencana Kyai Fuad untuk mencarikan Alif istri lagi, hati Alina sudah benar-benar kotor. Setiap melihat mertua dan suaminya duduk berdua, benaknya selalu diliputi rasa takut. Takut jika iming-iming memiliki dua istri merasuk ke dalam jiwa suaminya.

"Fokus pada tujuan kita, Lin. Jangan bebani pikiran kamu dengan hal yang tidak berguna. Jangan banyak pikiran, ingat apa kata dokter tadi." Ucap Alif mengingatkan. Alina mengangguk samar dan mengusap air mata yang membekas di pipi.

______________

"Lif, ada tamu. Keluar sebentar," ucap Bu Nyai Fatma setelah mengetuk pintu kamar Alif dan Alina.

"Nggih, Mi," sahut keduanya bersamaan.

Alina memakai jilbabnya dan Alif memasangkan peci di kepalanya.

"Tamu dari mana ya, Gus? Kok tumben panjenengan turut dipanggil," tutur Alina merasa heran.

Alif hanya tersenyum menatap kening istrinya yang mengkerut. Tidak mungkin dia mengatakan jika tamu yang datang adalah Kyai Akbar, pemilik pondok pesantren salafiyah di Bangil, Jawa Timur. Pertemuan ini sengaja disusun oleh Kyai Fuad, agar Alif dan putri dari Kyai Akbar bisa bertemu, sekalipun hanya masih sebatas bertatap muka.

"Assalamualaikum," ucap Alif ketika sudah berada di ruang tamu. 

"Waalaikumsalam," jawab semua orang yang memang sedang menunggu kedatangan lelaki tampan itu.

Mata Alina membulat melihat siapa yang datang. Hanifah, teman sekaligus sahabatnya  menimba ilmu di sebuah pondok pesantren yang terletak di Jawa Tengah.

Sejak menginjak usia remaja, Alina memang sudah masuk ke dalam pondok pesantren yang jauh dari tempat tinggalnya. Sengaja, Kyai Nashor membawa putrinya untuk mengais ilmu di tempat lain, agar lebih luas pengetahuan Alina. Siapa sangka, siang ini menjadi pertemuan pertama bagi dirinya dengan Hanifah, sahabatnya yang sempat terpisah karena Alina harus pulang dan menerima pinangan Alif.

Hampir saja dia berteriak kegirangan ketika menatap mata Hanifah yang sama terkejutnya dengan dirinya. Tapi, kemudian dia bisa kembali menguasai diri. Mungkin di depan Hanifah, Alina adalah wanita ceria dengan segala tingkah konyolnya, tapi tidak dihadapan sang mertua dan suami, ada banyak marwah yang harus dia jaga dengan baik.

Alina mencium tangan Bu Nyai Husnia-- istri Kyai Akbar dengan takdzim. Setelahnya dia memeluk Hanifah lama sekali. Kedua sahabat itu berpelukan melepas kerinduan. Kyai Fuad dan semua mata dibuat heran dengan pemandangan ini. Pasalnya, sekalipun Hanifah dan Alina bersahabat, Bu Nyai Husniah tidak tahu menahu tentang itu. Bahkan ketika Alina menikah, Hanifah tidak bisa hadir karena harus menjalani ujian akhir di pondok pesantren. Siapa sangka, sekarang mereka malah dipertemukan dalam pertemuan yang akan menyakiti hati Alina.

Kyai Fuad tampak gelisah melihat Alina begitu bahagia dengan kedatangan Hanifah. Sementara Alif berkali-kali melirik ke arah sang Abah, tak kalah cemasnya dari Bu Nyai Fatma.

"Kalian sudah saling mengenal, Han?" tanya Bu Nyai Husniah pada anaknya.

"Ini Alina, Umi. Sahabat Hanifah waktu mondok. Tapi sayang, dia lebih dulu nikah, makanya Hanifah ditinggal sendirian. Nggak setia kawan!" cibir Hanifah menggoda dengan meninju pelan lengan Alina.

Alina tersipu mendengar penuturan Hanifah tentang dirinya yang lebih dulu nikah. Pinangan Alif waktu itu datang dengan cepat tanpa adanya proses ta'aruf lebih dulu. Kesepakatan dan persahabatan Kyai Fuad dan Kyai Nashor membuat keduanya menyegerakan pernikahan anak-anak mereka.

"Jadi dia sahabat yang sering kamu ceritakan sama Umi?" Bu Nyai Husniah mengusap kepala Alina dengan perasaan getir. Dalam benaknya dia sangat ketakutan jika persahabatan keduanya harus cukup sampai di sini, pada pertemuan pertama setelah selain tahun tidak bersua.

"Ambilkan jamuan dulu, Lin," pinta Bu Nyai Fatma pada Alina.

Wanita muda itu mengangguk, meskipun dalam hatinya bertanya-tanya, tidak biasanya Alina harus mengambil jamuan untuk para tamu, karena selalu ada mbak-mbak khadam ndalem yang membantu. Perasaan buruk itu dia tepis, mengingat yang datang adalah teman baiknya.

'mungkin umi ingin membuat tamu-tamu itu senang, karena saya yang menjamu langsung,' batin Alina dengan senyuman manis terukir di bibirnya.

Seketika pikiran buruk lenyap dari benaknya. Kedatangan tamu yang dia heran kan, kini tak lagi mengganggu pikirannya sebab dia tau yang datang adalah Hanifah. Alina lupa, darimana Hanifah tau rumahnya suaminya, yakni Alif. Alina tidak menyadari, jika kedatangan sahabatnya adalah dengan tujuan yang lain. Tujuan yang membuat luka di hatinya nanti.

Alina belum menyadari itu. Kedatangan Hanifah menguras semua konsentrasi Alina pada kecurigaan sebelumnya.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status