Share

Ikhtiar promil

HATI ALINA (5)

_______________

Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina.

"Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya.

"Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina.

"Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas." 

"Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri kita sendiri." Jawab Alina sendu.

"Umi mengerti apa yang kamu rasakan, umi juga wanita, Nak. Tapi jika hanya dengan cara itu keluarga suamimu bisa mendapat calon penerus Pesantren, kita bisa apa?" Jawab Bu Nyai Fatma.

"Maka Alina memilih mundur dari pernikahan ini, Umi." Jawab Alina tegas.

Bu Nyai Fatma menatap nanar ke arah menantunya. Dia tahu, Alina tidak akan mau berbagi suami dengan wanita manapun. Sama halnya dengan dirinya, jika dihadapkan pada permasalahan yang Alina hadapi, Bu Nyai Fatma pun tak akan rela di madu, begitulah pikir Bu Nyai Fatma.

"Jangan ngomong begitu, Lin," lirih Bu Nyai Fatma dengan mengusap kepala Alina yang terbungkus jilbab.

"Lalu bagaimana, Umi? Apa Alina harus rela berbagi suami sedangkan jiwa Alina tidak pernah bisa menghadirkan rasa ikhlas dalam hati? Bukankah itu sama dengan melukai diri saya sendiri, Umi?" 

Bu Nyai Fatma terdiam. Diam-diam wanita paruh baya itu menyesalkan keegoisan dirinya. Tujuannya datang ke kamar Alina memang paksaan dari sang suami agar membujuk Alina untuk bisa menerima setiap keputusan Kyai Fuad. 

"Lalu apa keputusan kamu, Lin?" 

"Tergantung pilihan dari Gus Alif, Umi."

"Jika Alif memilih mentaati perintah Abah?" Pertanyaan Bu Nyai membuat wanita di depannya menggigit bibir bawah.

"Maka Alina yang akan mundur," jawab Alina sendu.

"Apa kamu tidak kasihan pada Umi dan Abah, Lin?" tanya Bu Nyai dengan menangkup kedua pipi Alina dan menatap manik wanita muda itu dengan pandangan sayu.

"Apa Alina egois jika memilih mundur dari pernikahan ini, Umi?" ucapan Alina seperti sebuah sindiran bagi Bu Nyai Fatma. Wanita paruh baya itupun merasa jika dirinya sedang egois, memaksa Alina bertahan pada pernikahan dengan satu istri yang lain untuk Alif kelak.

"Lupakan soal permintaan Abah, Nak. Sekarang kamu fokus untuk mengikuti program kehamilan dengan suamimu, bersiaplah! Alif sebentar lagi selesai menjadi imam, Umi sudah menyampaikan pesan pada Kang Abdi agar mengatakan pada suamimu untuk segera kembali ke ndalem."

Alina mengangguk samar, "Enggih, Mi!" 

Bu nyai Fatma keluar dari dalam kamar menantunya dengan perasaan yang berkecamuk. Di satu sisi, dia begitu menyayangi Alina sudah seperti anaknya sendiri, di sisi lain, benar kata suaminya, jika Pesantren ini membutuhkan penerus setelah Alif. 

Dihembuskannya nafas dengan perlahan, agar sesak di dalam dada semakin berkurang. Bagaimana jika Alina memilih menyerah? Pelipis Bu Nyai terasa sakit memikirkan menantu kesayangan itu. Takut jika Alina meninggalkannya karena hadirnya madu dalam rumah tangga Alif dan Alina.

Sementara di tempat yang lain, Alina membasuh wajahnya di dalam kamar mandi, agar sembab di matanya tidak begitu kentara. Dipoleskannya bedak tipis pada wajah yang putih dan bersih sejak kecil itu. Tanpa pewarna bibir, bibir Alina memang sudah merah dan ranum dari sananya. Benar-benar definisi sederhana yang elegan bagi sesiapapun yang melihatnya. Cantik, tegas, berpemahaman luas, namun sayang, takdir indah tidak memihak pada hidupnya.

"Assalamualaikum," ucap Alif ketika membuka pintu dan mendapati sang istri tengah menatap dirinya di cermin.

"Waalaikumsalam," jawab Alina tertunduk.

"Sudah siap, Lin?" 

Alina mengangguk dan menyambar tas kecil di toalet kamarnya. Sebuah gamis maroon dengan jilbab merah muda menjadikan kulit putih Alina semakin terpancar. Alif hampir tidak berkedip melihat kecantikan istrinya. Sementara pipi Alina sudah merona ditatap sedemikan intens oleh sang suami.

"Gus?" panggil Alina pada Alif yang masih saja mematung. Ditepuknya pipi sang suami lembut, "Saya sudah siap, Gus!" kata Alina sambil menahan tawa.

Alif gelagapan dan mengusap wajahnya kasar.

"I-iya. Ayo Lin!" ajak sang suami berjalan beriringan.

Tidak bisa Alina pungkiri, cintanya pada Alif memang begitu besar. Terlepas dari apa yang sudah dia dengar tempo hari, tetap saja dadanya berdebar dua kali lebih cepat ketika di dekat suaminya. Godaan kecil dari Alif selalu bisa membuat pipi Alina merona. Begitu sederhana kebahagiaan wanita itu, tapi tidak dengan kebahagiaan menurut Kyai Fuad, bagi lelaki yang sudah berumur itu, menimang cucu adalah kebahagiaan yang paling dia nantikan.

Mereka berdua berpamitan pada Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma yang sedang duduk berdua di ruang tamu.

"Setelah ikhtiar, jangan lupa berdoa ya, Nduk!" pesan Kyai Fuad pada Alina.

"Nggih, Bah," jawab Alina lirih. Kepalanya tertunduk menatap lantai ruang tamu ndalem, nyeri di dada Alina selalu hadir ketika menatap mata Kyai Fuad. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu berambisi dan sudah tidak menyayangi dirinya lagi sebagai menantu.

Tanpa sopir, Alif mengendarai sendiri mobilnya dengan Alina duduk di samping kiri. Mereka lebih suka bepergian berdua tanpa harus merepotkan Kang Abdi untuk sekedar menyetir mobil. Bagi Alif, suatu kebanggaan tersendiri bisa mengendarai mobil berdua dengan Alina.

"Kenapa diam saja, Lin?" Alif memecah kesunyian di antara keduanya.

Alina hanya tersenyum samar dan memilin ujung jilbabnya.

"Apa kamu gugup?" goda Alif.

"Mboten, Gus," jawab Alina lirih.

"Rileks saja, Lin. Promil beda dengan malam pertama, jadi nggak perlu gugup." Lagi, Alif menggoda Alina yang sudah memerah kedua pipi putihnya.

"Saru, Gus. Apa panjenengan ingin malam pertama lagi?" tanya Alina dengan mata yang mulai memanas.

Alif menyugar rambutnya kasar. Niatnya menggoda sang istri, kini malah mendapat pertanyaan balik dari sang istri. 

'Benar-benar lagi sensi,' batin Alif.

"Bukan begitu, Lin." Jawab Alif gelisah. 

"Kita bisa melakukan malam pertama itu lagi nanti, Gus. Kenapa panjenengan gugup? Atau sedang memikirkan malam pertama dengan yang lain?" selidik Alina menggoda Alif yang kini memilih diam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status