Share

Merasa disisihkan

HATI ALINA (6)

_______________

"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca.

"Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.

Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya. 

'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.

Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju  rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

____________

"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina. 

Istri Alif sejak tadi sibuk memilin ujung jilbabnya, berusaha mengurangi rasa takut yang mendera hatinya. Alina pikir, hasil tes akan keluar hari ini juga, tetapi dia harus bersabar sehari lagi, untuk membuktikan pada kedua mertuanya jika rahimnya tidak bermasalah, hanya saja Allah yang sedang ingin menguji rumah tangganya bersama sang suami.

"Baik, Dok. Kalau begitu kami permisi," ucap Alif disertai salam. Digandengnya tangan sang istri yang kini terasa sedingin es. Tak kalah dari Alina, Alif pun merasakan hal demikian, hatinya begitu khawatir jika hasilnya akan mengecewakan.

"Kenapa kita malah melakukan tes kesuburan, Gus? Bukankah Abah dan Umi menyuruh kita untuk mengikuti program kehamilan?" tanya Alina, sedari awal ingin sekali dia bertanya pada sang suami, namun karena menjaga marwah Alif, Alina memilih diam meskipun tujuan awalnya bukanlah tes kesuburan melainkan mengikuti program kehamilan.

"Aku ingin membuat Abah dan Umi mengerti, Lin. Jika kita sama-sama subur, agar Abah bisa merubah keinginannya," kata Alif lirih, takut jika Alina tersinggung jika membahas hal demikian.

"Keinginan untuk menyuruh panjenengan menikah lagi?" selidik Alina dengan menatap wajah tampan sang suami.

Alif mengangguk samar. Alina mendesah, rasa sakit itu benar-benar nyata adanya.

"Kalau ternyata saya memang tidak bisa hamil, bagaimana, Gus? Apa panjenengan menerima tawaran Abah?" Alina nekat bertanya demikian, dalam hati kecilnya dia ingin mengetahui sedalam apa cinta Alif untuk dirinya, apakah hanya sebatas tentang keturunan saja.

Alif menarik nafasnya kuat dan menghembuskannya perlahan. Menjawab pertanyaan Alina seperti memasuki ruangan tanpa pintu, kanan kiri tertutup oleh tembok. Begitupun menjawab pertanyaan dari sang istri. Pertanyaan itu bagi Alif tidak membutuhkan jawaban, karena dalam benak Alif, lelaki itu begitu mencintai Alina dengan sebenar-benarnya cinta bukan hanya seputar anak dan jabatan.

"Lalu bagaimana jika ternyata yang bermasalah adalah aku, Lin?" tanya balik sang suami. 

Alina terkekeh, "Apa mungkin, saya akan menikah lagi, Gus?" 

"Siapa yang tahu hati orang lain, Lin. Bisa saja kamu bosan hanya hidup berdua denganku tanpa seorang anak," pancing Alif, lelaki itu tidak sadar, jika pertanyaannya bisa Alina balikkan pada dirinya sendiri.

Alina mengusap air matanya yang sedikit luruh di sudut mata, "Jika pertanyaan itu saya kembalikan pada panjenengan, bagaimana?"

"Dengar Alina, aku mencintai kamu terlepas dari permasalahan keturunan yang sedang menguji pernikahan kita, aku percaya, Allah selalu mempunyai kejutan untuk hamba-hambanya yang bersabar. Kehadiran seorang anak itu hak prerogatif Allah, Lin. Kita tidak bisa memaksa kehendak Sang Kuasa, meskipun dengan melakukan program hamil sekalipun, jika Allah belum berkata 'Kun', maka semuanya tidak akan "Fayakun'." Jelas Alif membuat desiran halus di hati Alina.

"Itu artinya panjenengan menolak permintaan Abah untuk menikah lagi, jika suatu saat nanti saya tidak kunjung hamil?" selidik Alina dengan memicingkan matanya.

"Insyaallah, kita berdoa saja semoga rahim kamu segera Allah titipkan benih seorang calon Alif kecil," Alina mengaminkan doa sang suami dengan gumaman lirih. Pipinya merona tatkala Alif mengatakan demikian, seorang calon Alif kecil, betapa hati wanita muda itu merindukan sosok bayi mungil dalam rumah tangganya.

Kini, Alif melajukan mobilnya ke arah rumah sakit tempat mereka akan melakukan program kehamilan. Langkah awal dari perjuangan Alina sedang dimulai. Konsultasi dengan seorang dokter cantik bagi Alina rasanya sangat berbeda dengan tes kesuburan tadi. Kali ini, dirinya sedikit rileks karena tidak perlu melakukan serangkaian pemeriksaan. 

"Apa pernah ikut ber-KB, Bu?" tanya dokter pada Alina.

"Belum pernah sekalipun, Dok."

Dokter tersebut menggut-manggut dan memberikan resep pada Alina agar ditebus ke apotek rumah sakit. Ada beberapa saran fulgar dari dokter untuk Alina ketika sedang berhubungan intim. Rona di wajah Alina berubah semu, ketika membahas hal yang begitu intim. Diliriknya sang suami yang duduk dengan gusar. Sama tidak nyamannya dengan diri Alina kala ada wanita lain yang membahas masalah ranjang, sekalipun itu dokter.

"Boleh di coba saran saya, Pak, Bu. Insyaallah posisi itu memudahkan agar cepat memiliki momongan," kata sang dokter sambil tersenyum, menyadari kedua pasiennya begitu pemalu. Terbukti, tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari mulut Alina maupun Alif.

"Insyaallah, Dok. Terima kasih atas waktunya, doakan agar kami segera bisa memiliki momongan." Alina menjabat tangan dokter cantik di depannya, serta meminta doa agar rahimnya segera dihuni makhluk kecil.

"Aamiin, jangan patah semangat, ingat! Gantungkan semua urusan hanya pada Allah, jika belum hari ini, mungkin esok Allah akan menitipkan bayi mungil itu pada keluarga ibu dan bapak." Dokter menangkupkan tangan ke hadapan Alif, begitupun sebaliknya.

"Amin!" ucap Alif dan Alina hampir berbarengan. 

Mereka meninggalkan ruangan Dokter dengan perasaan yang sulit diartikan. Satu sisi, ada sepercik harapan agar Alina segera hamil, di sisi lain, wanita itu gusar memikirkan hasil tes kesuburan yang akan keluar besok.

____________

"Bagaimana, Nduk?" tanya Bu Nyai Fatma saat Alina baru saja memasuki ruang keluarga ndalem.

"Ikhtiar dulu, Umi. Tadi sudah diberi vitamin, dan beberapa saran, semoga saja segera diberi amanah oleh Allah." Jawab Alina lembut. Seterluka apapun hatinya, Alina tidak mampu menyakiti hati wanita paruh baya yang begitu dia cintai seperti ibu kandungnya sendiri, mengingat sedari kecil, Alina sudah ditinggal menghadap Sang Kuasa oleh ibunya.

"Istirahat lah, Lin. Abah ada perlu dengan suamimu," sela kyai Fuad lembut. Hati Alina berdetak lebih cepat dari biasanya, dia tau, kyai Fuad ingin membicarakan masalah lain dengan suaminya.

"Enggih, Bah!" jawab Alina singkat, dan berpamitan pada Bu Nyai Fatma untuk masuk ke dalam kamar.

Diremasnya hati yang terasa perih mendengar Kyai Fuad meminta dirinya untuk menjauh, sedangkan ada hal yang perlu dibicarakan dengan suaminya. 

'apa sekarang aku sudah tidak dianggap menantu di rumah ini?' batin Alina.

Dulu, setiap berbicara dengan Alif, Alina selalu ada di sisi suaminya. Tapi kini....

Alina menangis meratapi kisah hidupnya yang terasa begitu menyakitkan. Nyatanya, menjadi putri tunggal Kyai Tersohor di Jawa Timur, tidak membuat hidup Alina jauh dari masalah.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status