Share

Luka hati

HATI ALINA (8)

________________

"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.

Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah.

"Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya.

"Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya.

"Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna.

"Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.

Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan hati Alina tidak dia pedulikan, yang terbayang hanya seorang bayi yang akan lahir dari rahim Hanifah kelak, jika Hanifah dan Alif memang berjodoh.

"Apa istri pertama sudah tahu rencana panjenengan, Kyai?" tanya Kyai Ahmad pada Kyai Fuad.

Alif mendongakkan kepalanya mendengar pertanyaan dari Kyai Ahmad pada sang Abah.

"Pelan-pelan akan diberi pengertian nanti, yang terpenting Hanifah dan Alif bertemu lebih dulu, selanjutnya mereka bisa ta'aruf agar saling mengenal," sahut Kyai Fuad santai.

Dahi Alif dan Hanifah saling mengernyit. Alif pikir, kedatangan Hanifah dan kedua orang tuanya adalah semata-mata ingin bersilaturahmi. Begitupun dengan pemikiran Hanifah, hatinya yang tadi begitu bahagia bisa bertemu dengan sahabat karibnya, harus mendadak gelisah setelah menemukan titik terang maksut dari kedatangannya pada keluarga ini.

"Bisa Abah dan Umi jelaskan pada Hanifah maksut kedatangan kita ke ndalem ini?" selidik Hanifah dengan bibir bergetar.

"Nak, poligami itu tidak dilarang, selagi Alif merasa mampu bersikap adil padamu dan Alina kelak. Jangan menolak perjodohan ini, karena berkembangnya pesantren kita juga tidak luput dari campur tangan Kyai Fuad-- calon mertua kamu nanti, insyaallah," tutur Kyai Ahmad menggenggam lembut jemari Hanifah.

Mata Hanifah memanas, dia tidak menyangka orang tuanya akan mengorbankan masa depannya dengan dalih balas budi karena pesantren yang keluarganya miliki berdiri dan berkembang dengan bantuan Kyai Fuad.

"Apa Hanifah tidak pantas menjadi istri satu-satunya dari seorang laki-laki, Bah?" tanya Hanifah getir. Rasa kecewa menyeruak di dalam dada. Menjadi madu untuk sahabatnya sendiri bukanlah suatu hal yang dia inginkan, bahkan tidak pernah terlintas dalam benaknya jika dirinya akan menjadi istri kedua.

"Berfikirlah lebih terbuka lagi, Nduk. Pernikahan kamu dan Alif kelak bukan sebuah pernikahan yang salah. Jika kalian bersatu dalam ikatan yang sah, pesantren kita akan lebih dikenal begitu juga dengan pesantren calon mertua kamu kelak," seloroh Kyai Ahmad.

"Hanifah tidak menyangka jika Abah dan Umi rela menggadaikan masa depan Hanifah demi sebuah nama besar pesantren," lirih Hanifah, senyuman getir terpampang di sudut bibirnya yang tipis dan kemerahan. "Apalagi lelaki yang Abah dan Umi harapakan menjadi menantu adalah suami dari sahabat Hanifah sendiri, bagaimana bisa Hanifah hidup satu atap dengan wanita yang selama ini Hanifah anggap sudah seperti saudara. Terlebih untuk berbagi suami...," Hanifah terkekeh, hatinya benar-benar terluka dengan keputusan yang orang tuanya ambil.

"Bukankah itu akan membuat hubungan kalian semakin dekat, Nduk?" Bu Nyai Fatma mencoba membujuk Hanifah.

"Definisi dekat seperti apa yang Bu Nyai maksut? Jika dekat karena tinggal dalam satu atap, memang! Tapi jika yang Bu Nyai maksud adalah dekat karena sebuah keikhlasan sudah berbagi suami, Hanifah rasa itu adalah pemikiran yang sangat salah," sela Hanifah dengan nafas memburu. "Tidak ada perempuan yang rela dimadu, dengan alasan apapun, jika memang ada, itu hanya satu dari sekian persen perempuan yang ada di dunia ini, dan Hanifah tegaskan, Hanifah bukan salah satu dari sekian persen itu!" tegas Hanifah, sekalipun berkata dengan menundukkan wajahnya, kalimat yang dia ucapkan mampu menampar Bu Nyai Fatma dengan perlahan.

"Hanifah!" panggil Kyai Ahmad dengan penekanan. Wanita muda itu terdiam, jika sudah memanggil namanya dengan tegas, Hanifah tau, jika Abahnya sedang dalam keadaan marah.

"Maaf jika menyela pembicaraan Kyai dan Neng Hanifah, tapi saya punya keputusan yang lain," Alif membuka suara, setelah terdiam cukup lama.

Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma tersentak mendengar ucapan Alif.

"Keputusan apa, Gus?" tanya Hanifah hati-hati.

"Saya tidak berniat untuk mencari istri lagi, jujur, kedatangan Kyai dan keluarga, saya pikir hanya semata-mata karena bersilaturahmi. Tapi jika dengan tujuan lain, yakni menanggapi tawaran Abah saya...," sekilas Alif melirik ke arah Kyai Fuad yang sudah mengeraskan rahangnya. "Saya menolak perjodohan ini," lanjut Alif tegas.

"Apa maksudmu, Lif? Bukankah kemarin kamu yang mengatakan jika setuju dengan semua keputusan Abah?" sentak Kyai Fuad pada anaknya.

"Alif belum bersuara, Bah. Lagipula saya dan Alina sedang berjuang agar benih segera Allah titipkan di rahim istri saya, tolong Abah hargai sedikit keputusan Alif," jawab Alif sendu. Lelaki muda itu tidak menyangka jika Kyai Fuad tega menyakiti hati istrinya dengan mendatangkan calon madu yang notabenenya adalah sahabat Alina sendiri.

"Ini bukan karena Hanifah sahabat Alina kan, Gus?" tanya Kyai Ahmad pada Alif.

"Insyaallah tidak, bahkan jika neng Hanifah bukan sahabat istri saya, saya akan tetap menolak perjodohan ini." Kata Alif tegas.

Hanifah bernapas dengan lega mendengar penuturan suami sahabatnya itu.

"Hanifah adalah wanita yang baik, Lif. Tidak ada salahnya kamu menerima perjodohan yang sudah Abah rencanakan ini," ucap Bu Nyai Fatma lembut.

"Alif hanya akan menikah lagi jika dengan ijin Alina, ijin yang tidak didasari paksaan apapun, ijin yang murni dari hati istri Alif, Mi. Alif ingin pernikahan ini menjadi ibadah," sahut Alif sedikit frustasi.

"Saya memberi ijin, Gus...,"

Alina datang dengan membawa nampan berisi minuman dan jamuan untuk para tamu.

Sontak semua orang yang ada di ruang tamu melihat ke arah Alina ....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status