Share

Ikhlas

HATI ALINA (9)

_______________

Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.

Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan. 

'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina.

"Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini.

"Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar.

"Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat sang istri tertunduk dengan nafas memburu.

"Dalem," sahur Alina tanpa berani menatap wajah Alif.

"Ngomong apa kamu itu? Saya ndak bakalan nikah lagi," tutur Alif bersikeras.

"Meskipun saya mengijinkan, Gus?" Alina memicingkan matanya menatap sang suami.

Hanifah yang melihat kehidupan sahabatnya turut merasakan sakit yang Alina rasakan. Dia tidak menyangka, jika di balik keceriaan Alina, tersimpan masalah serius yang sudah mendera rumah tangganya.

"Pikirkan baik-baik, Lin. Lagipula, aku tidak bersedia menjadi adik madumu," seloroh Hanifah sedikit ketus. Sahabat Alina itu pun diliputi perasaan resah, takut jika Alina memberikan ijinnya pada Alif untuk menikahi dirinya.

Alina terkekeh, "Pede!" cibir Alina membuat Hanifah memonyongkan bibirnya.

"Saya memberi ijin pada untuk Gus Alif menikah lagi, tapi dengan satu syarat," ucap Alina serius.

Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma saling berpandangan. Dada mereka berdegup kencang mendengar penuturan sang menantu, apalagi kini usulan dari kyai Fuad pada Alif agar menikah lagi, sudah disetujui Alina, meskipun dengan satu syarat.

"Apa itu, Nak?" tanya Bu Nyai Fatma lembut.

Dulu, Alina akan merasa begitu disayangi dengan panggilan 'nak'. Tapi kini, panggilan itu terasa hambar, tak lagi Alina temukan kasih sayang tulus seperti dulu, saat dirinya pertama kali menginjakkan kaki di keluarga ini.

"Gus Alif hanya boleh menikah dengan wanita yang saya pilih, Umi. Saya yang menentukan siapa yang berhak menjadi madu saya, jika memang saya tidak bisa hamil sampai tenggat waktu yang Abah tentukan," tegas Alina, "tolong Abah beri saya dan Gus Alif waktu satu tahun lagi, jika sampai saat itu rahim saya tidak kunjung Allah titipkan ruh seorang Alif kecil, saya ikhlas melepas Gus Alif untuk mencari istri lagi, tentu dengan syarat yang sudah saya tentukan tadi," lanjut Alina, nafasnya naik turun mengatur debar di dada yang semakin berdetak kencang.

"Jangan mempersulit suamimu, Nduk," sela Kyai Fuad.

"Apa saya terlalu mempersulit, Gus?" pertanyaan Alina mengundang gelengan kepala Alif.

"Tapi akan lebih baik jika calon istri Alif nanti, Abah dan Umi yang pilihkan, Nak!" Bu Nyai Fatma turut berbicara.

"Monggo, Umi. Tapi ijinkan Alina pulang pada Kyai Nashor," sahut Alina tegas, membuat Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma tidak bisa berkutik.

Segaris senyum terbit di bibir Alif, lelaki itu yakin, jika istrinya berusaha keras agar perjodohan yang Kyai Fuad gelar tidak membuahkan hasil.

Kyai Ahmad dan Bu Nyai Husniah duduk dengan kikuk mendengar perdebatan kecil di keluarga Kyai Fuad. Alih-alih datang dengan tujuan ta'aruf untuk putrinya, mereka malah disuguhkan dengan penolakan Alina yang begitu tegas. 

Hanifah bangga dengan sahabat karibnya itu. Sikap tegas tak pernah luntur dalam diri Alina. 

"Monggo, diicipi makanan ringannya, Bu Nyai, Pak Kyai, Neng," tutur Alina pada keluarga Hanifah.

"Enggih, Neng Alin," sahut Bu nyai Husniah lembut. 

"Nanti kita bahas lagi, Bah," bisik Alif pada Kyai Fuad.

Alina sudah memutuskan dengan berat hati, jika memang Kyai Fuad bersikeras menjodohkan Alif dengan Hanifah atau putri pemilik pesantren lain, dia memilih mundur dan pulang ke rumah Abah Nashor.

Wanita cerdik itu memiliki pandangan tersendiri tentang calon madunya nanti, jika memang dirinya dinyatakan benar-benar tidak bisa hamil. Dia sengaja memilih istri kedua untuk suaminya seorang wanita dari kalangan biasa-biasa saja, bukan dari keturunan kyai, atau ustadz sekalipun. Dengan begitu, Alina merasa dirinya tidak akan tersaingi. Ada sisi unggul yang bisa dia banggakan sebagai istri pertama Alif, sekalipun dia tidak bisa mempunyai anak.

Tidak ada wanita yang benar-benar rela dimadu, tidak Alina sekalipun! Dengan penuh pertimbangan dan memantapkan ragu dalam hati, pikirannya tertuju pada Zahwa. Gadis cantik yang selama ini menjadi madunya. Alina pikir, dengan memilih Zahwa yang notabenenya adalah putri dari seorang petani, membuat Alina merasa lebih segalanya daripada gadis cantik yang sudah menjadi badalnya selama ini.

Keegoisan Alina mulai mendominasi. Dia berharap Zahwa bisa sedikit merasa sungkan jika harus meminta waktu Gus Alif, kelak. Karena ada Alina yang harus dia hormati. Alina lupa, atau mungkin sengaja melupa, jika adil dalam poligami artinya harus adil dalam segala hal. Tidak peduli siapa keturunan siapa, adil tetaplah harus adil. Jika tidak, Alif lah yang akan menanggung semua dosanya.

"Kalau begitu saya sekeluarga permisi, Kyai. Semoga lain kali bisa bersilaturahmi kembali," jabat Kyai Ahmad pada Kyai Fuad. 

Hanifah memeluk tubuh sahabatnya dengan erat, "Kamu pasti bisa, pertahankan suamimu,"  bisik Hanifah membuat Alina segera mendaratkan cubitan pelan di pinggangnya. 

"Auh," Hanifah meringis kesakitan. Sementara Alina memamerkan barisan giginya pada sang sahabat.

"Monggo, Assalamualaikum," pamit keluarga Hanifah. Alina dan keluarga menjawab salam mereka dengan disertai senyuman, hingga mereka berlalu masuk ke dalam mobil.

Alina berpamitan hendak membereskan sisa jamuan tadi. Ternyata khadam ndalem sudah lebih dulu membereskan gelas dan beberapa piring bekas makanan ringan.

Saat hendak masuk ke dalam kamar, Bu Nyai Fatma memanggil Alina untuk mengikuti langkahnya menuju gazebo belakang.

______________

"Apa kamu punya pandangan untuk istri Alif, Lin?" tanya Bu Nyai Fatma tanpa aling-aling.

Mendadak hati Alina merasa diremas dengan begitu kuat. 

"Ada, Umi," jawab Alina menundukkan kepalanya. Jika saja dia terlahir dari keluarga biasa dan menjadi istri lelaki biasa, ingin sekali Alina memberontak dan kabur dari keluarga ini. Keluarga yang sudah sekian tahun Alina mengabdikan hidupnya, ternyata tak lebih dipandang hanya sebagai penghasil keturunan. 

"Siapa?" selidik Bu Nyai Fatma, tidak lagi peduli betapa sakitnya Alina melihat antusiasme sang mertua dalam menyambut keridhoan hati Alina berbagi suami.

Bersambung

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status