Share

part 4

Disinilah kami sekarang, berhadapan dengan Nisa teman sepantiku, wanita bergamis ini terlihat anggun dan berwibawa, aku tidak menyangka akan bertemu dengan Nisa lagi, apa mungkin Allah mengutuskan dia untuk menjadi penolong dalam masalahku.

Sepertinya gamis dengan stelan hijab panjang tidak mengganggu aktivitasnya sama sekali, bahkan aku sangaat mengagumi penampilannya, Nisa terlihat anggun dalam balutan gamis tersebut.

Akupun sama juga memakai hijab, tapi aku lebih menyukai stelan tunik dipadankan dengan pasmina, karena bagiku sangat simpel.

"Maaf, Runa! Aku tidak bisa, aku tidak mungkin menjadi duri didalam pernikahan kalian." ujar Nisa saat aku mengatakan tujuanku, aku memang mengatakan niatku secara langsung, tidak ada yang kututup-tutupi.

Mas Pras hanya diam tanpa melepaskan genggaman tangan ini, bisa kulihat dari ekor mataku, Nisa selalu menundukkan pandangannya saat berbicara kepadaku, mungkin karena ada mas Pras disebelahku.

Wanita seperti inilah yang aku inginkan, aku tidak ingin salah memilih, karena nantinya akan hidup berdampingan denganku.

"Tapi Nis, aku tidak bisa merelakan suamiku untuk wanita yang belum kukenal, bagaimana jika wanita tersebut ingin merampas suamiku lalu mendepakku?" ujarku penuh permohonan, aku tidak ingin bernasib sama dengan pemeran wanita di novel-novel yang telah kubaca.

"Lalu bagaimana jika aku yang merampasnya?" tanya Nisa serius menatap kemanikku.

"Apa kamu sudah memikirkannya, Run? Ini tidak semudah yang terlihat, jangan sampai hubungan kita hancur hanya karena masalah ini." ujar Nisa memberi pengertian.

"Aku tahu kamu bukan wanita seperti itu." aku balas menatap Nisa, meskipun hati ini berontak tidak mempercayai ucapanku sendiri.

"Maaf, Run! Aku tidak bisa, aku tidak ingin menjadi pelakor untuk temanku sendiri."

"Kalau begitu aku pamit!" ujar Nisa lalu bangkit dari duduknya.

"Nis, aku mohon?" ucapku mengiba kearah Nisa.

"Dek, jangan memaksa!" pinta Pras menghentikan aksi istrinya.

"Tapi mas, hanya Nisa yang bisa kupercaya, aku tidak bisa menemukan wanita lain." ujar Aruna prustasi.

"Sekali lagi maaf ya, Run! Aku benar-benar tidak bisa." Nisa menangkup kedua tangannya didepan dada lalu beranjak meninggalkan kami.

"Mas tunggu disini?" pintaku lalu gegas menyusul Nisa.

"Nis, Nisa! Panggilku membuat wanita itu menghentikan langkahnya.

"Cukup, Runa! Apa kamu sadar apa yang kamu lakukan sekarang?" tanya Nisa.

"Aku tidak punya pilihan lain, Nis! Andai papa meminta nyawaku sebagai gantinya aku bersedia memberikannya untuk papa, tapi papa tidak menginginkan itu."

"Bagaimana jika aku juga tidak bisa memberikan keturunan? Apa kalian memikirkannya sampai sejauh itu?" tanya Nisa.

"Papa sudah memikirkannya, jika tidak berhasil juga, papa akan pergi de-dengan tenang." ujar ku tergugu saat mengucapkan kata tersebut, airmata ini tidak bisa kutahan, aku mengusap kasar airmataku meskipun airmata tersebut jatuh kembali membasahi pipiku.

"Usia papa mertuaku tidak lama lagi, Nis! Dan aku hanya memiliki mereka."

"Kamu pasti tahu bagaimana mereka memperlakukan sejak kecil, mereka memberikanku kasih sayang layaknya anak mereka sendiri."

"Aku akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan mereka, meskipun kebahagiaanku taruhannya." isakku, semoga saja Nisa mau mengerti.

Helaan nafas kasar bisa kudengar dari wanita bergamis ini, cukup lama dia terdiam lalu kembali menatapku.

"Aku tidak ingin masalah ini menjadi retaknya pertemanan kita, Run!" ujar Nisa.

"Dan pernikahan bukanlah permainan, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku, apa kamu mau berbagi suami denganku selamanya?" tanya Nisa menatapku dalam.

"A-aku ... Aku menarik nafas dalam, lalu menatap kemanik hitam Nisa.

"Aku bersedia, Nis! ucapku sekali tarikan nafas, demi papa, apapun akan aku lakukan.

Akhirnya aku membawa kembali Nisa kehadapan mas Pras.

"Mas, Nisa sudah setuju." ujarku kembali duduk disamping suamiku.

Nisa tidak pernah menegakan pandangannya meskipun sebentar lagi mas Pras akan menjadi suaminya juga.

"Kita kerumah sakit sekarang, sekalian ajak Nisa." ujar Aruna.

Pras hanya mengangguk, berkatapun percuma Aruna tidak akan mendengarkannya, meskipun lukanya berdarah-darah jika menyangkut kebahagiaan orang terkasihnya Aruna akan melakukan apapun, Pras sangat mengenal sikap itu.

****

Satu minggu dirawat keadaan papa mulai membaik meskipun harus duduk dikursi roda. Nisa sudah kuperkenalkan, dan diluar dugaanku papa langsung meminta agar pernikahan mereka segera dilangsungkan.

Mas Pras kembali menolak saat kami dikamar berdua, dia tidak bisa membagi hati ataupun tubuhnya dengan wanita lain, dan aku tahu cintanya untukku begitu besar.

Andai ini bukan permintaaan terakhir papa, mungkin aku akan menjadi wanita paling bahagia dimuka bumi, memiliki suami yang mengagung tinggi derajat seorang istri memberikannya cinta yang berlimpah.

Tapi pil pahit serasa empedu kutelan sendiri, permintaan papa bagaikan sebuah perintah untukku, dan aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, terlihat setelah seminggu yang lalu aku meperkenalkan Nisa keadaannya berangsur membaik.

Papa menggantungkan harapannya kepada Nisa dan mas Pras, tapi apakah papa lupa jika yang mampu mewujudkan keinginannya hanya sang pencipta.

Tapi kata-kata itu hanya tercekat ditenggorokan, aku tidak ingin menyinggung perasaannya.

Sehari sebelum ijab kabul aku meminta Nisa menginap dirumah orangtua mas Pras begitupun kami.

Tidak banyak yang dipersiapkan karena yang hadir hanya beberapa keluarga inti dan beberapa orang saksi.

Aku menatap Nisa, dia begitu cantik dalam balutan baju pengantin yang didesain khusus untuk wanita yang menggunakan gamis seperti Nisa karena memang aku mengundang perancang ternama untuk membuatnya.

Ini pernikahan pertama untuk Nisa, aku tidak mungkin membiarkannya menikah dengan berpakaian biasa-biasa saja, Nisa sudah merelakan kebahagiaannya sendiri demi membantuku dan bukankah sudah seharusnya aku membalas kebaikannya.

Aku hanya bisa tertawa miris, aku mempersiapkan pernikahan suamiku sendiri dengan wanita lain, entah Kenapa airmata ini enggan keluar apa mereka sudah lelah menemani kesedihanku.

Menggandeng tangan Nisa melangkah keruangan ijab kabul yang sudah dipersiapkan, disana sudah duduk suamiku dengan stelan jas senada dengan baju yang dipakai Nisa.

Hati ini terkoyak kala menyaksikan pemandangam didepan mata, tapi aku tidak boleh menangis dihadapan papa, dalam hitungan menit Suamiku akan mengucapkan janji suci dihadapan semua orang terutama dihadapan sang pencipta.

Tatapan mas Pras tidak beralih menatapku, aku tahu lelakiku juga sama terlukanya, tapi kami tidak bisa melakukan apa-apa.

Aku mengantar Nisa sampai duduk disisi mas Pras, saat akan beranjak mas Pras menahan tanganku.

"Temani mas, dek?" ucapnya.

"A-aku tidak bisa, mas! Jangan paksa aku untuk menyaksikan semua ini." susah payah aku menahan tangis ini agar tidak runtuh.

Perlahan pegangan tangan mas Pras mengendur, aku berlari kecil menuju kamarku, pertahananku runtuh seketika, entah apa yang terjadi diluar sana aku tidak ingin tahu.

Aku memukul keras dada ini, sesak sekali, sesakit inikah mencintai, itulah sebabnya Allah tidak memperbolehkan kita mencintai mahkluknya melebihi cinta kepada-Nya, tapi aku hanya manusia biasa yang tidak bisa menahan perasaan ini.

BY : NOUVALLIN30

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status