Satu minggu berlalu sejak pertengkaran hebat Dean dan Kara. suasana Apartemen Dean kini tampak lebih hening. Keduanya masih saling mengabaikan satu sama lain dan menjaga jarak sebisa mungkin. Baik Dean atau Kara tak ada yang ingin memulai pembicaraan lebih dulu.
Dean banyak menghabiskan waktunya di kantor, ia memilih untuk menyibukan diri dengan bekerja dan memilih menghabiskan waktu luangnya di rumah sakit bersama Ibunya yang kini sudah mulai membaik. Sementara Kara lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar, jika bosan ia pergi ke Café milik Rumi hingga larut dan pulang ke rumah setelah Dean pulang kerja dan tidur di dalam kamar.
“Kar, misalnya naskah lo diterima terus jadi dibuat serial, berarti nanti bisa tayang di luar negeri juga gitu?” tanya Rumi saat Kara makan siang di dapur Cafenya.
Kara mengangguk sambil meminum air putih, “Hm, lo tau kan ZetFlix udah ada di banyak negara.”
“Waaah gaji lo pake Dollar dong nanti!” seru
Dean berlari kecil untuk menghindari tetesan air hujan begitu ia turun dari mobilnya yang terparkir di halaman Polsek. Ia langsung menghampiri petugas pertama yang ia lihat sambil menengok ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Kara. “Pak, tadi ada cewek korban pencopetan yang buat laporan di sini? Tanya Dean. “Oh, Bapak yang tadi telepon ya?” tanya polisi yang ternyata menerima panggilan Dean tadi. “Iya Pak, terus sekarang dia di mana?” Petugas polisi itu pun menghentikan salah satu rekannya yang sejak sore piket di depan pos. “Har, Mbak rambut pendek tadi yang duduk di sini ke mana?” tanyanya. “Oh udah pulang, ada kali dua jam yang lalu.” sahut rekan polisi itu. “Dia pulang naik apa Pak?” tanya Dean lagi. “Mm… saya sih gak liat dia naik apa-apa, soalnya tadi dia jalan kaki aja ke sana.” sahutnya. Dean menyugar rambutnya ke belakang sambil menghela napas berat, “Terima kasih Pak, saya permisi.” Pamit Dean c
“Saya rasa bukti-bukti yang Ibu berikan sudah cukup.” ucap Dean pada kliennya sambil memeriksa beberapa lembar kertas yang ada di tangannya.“Syukurlah, saya mau perceraian saya bisa cepat selesai sebelum saya pindah ke Jepang.” Sahut klien Dean yang bernama Mari.Kali ini Dean dan kliennya sedang berada di Coffe shop yang berada tak jauh dari kantor Dean.“Hm… soal tuntutan harta gonogini nanti saya pelajari dulu dengan tim saya, akan saya usahakan Ibu bisa mendapat semua hak-hak Ibu.”“Terima kasih, saya percaya saja pada Pak Dean.” Mari tersenyum hingga kerutan di sekitar matanya terlihat.Lalu tiba-tiba ponsel Dean yang berada di atas meja bergetar. Dean pun langsung mematikan layarnya kembali karena itu hanya bunyi alarm.“Pak Dean pasang alarm untuk makan siang? Pasti Pak Dean ini sibuk ya, jadi sampai pasang pengingat segala.” tanya Mari yang sempat melihat note alarm
Kara berlari kecil menuju pintu begitu terdengar bunyi bel. Ia sudah tau siapa yang akan datang makanya ia amat antusias.“Rumi!!!” serunya.“Yak! Lo beneran gak apa-apa? Gue panik gak bisa hubungin lo dua hari tau gak!” semprot Rumi begitu melihat Kara.Kara pun langsung cengengesan lalu menarik Rumi masuk ke dalam Apartemen.“Sorry, gue baru punya HP lagi.” ucap Kara yang memang langsung menghubungi Rumi semalam dan menceritakan kejadian yang menimpanya beberapa hari lalu.“Terus gimana? Belum ada kabar dari polisi soal copet itu?”“Hm, gak tau deh, gue sih gak mau berharap banyak.” sahut Kara lalu menyuruh Rumi duduk di sofa ruang tengah.“Waaah Apartemen Dean ternyata bagus juga, pantes lo betah.” komentarnya sambil matanya mengabsen semua barang yang terlihat oleh matanya.“Tempat ini sempurna, kecuali yang punya.” sahut Kara.
Kara keluar dari sebuah gedung tinggi dengan langkah ringan. Ia baru saja bertemu dengan Pak Najib untuk menyerahkan naskahnya yang akan diangkat menjadi sebuah serial di situs streaming. Jika Pak Najib menyukai naskahnya, maka bulan depan ia akan mulai menandatangani kontrak serial itu. Maka ia pun berharap jika pihak situs streaming itu benar-benar tertarik dan meminang naskahnya. Ia pun berencana untuk kembali ke rumah secepatnya karena siang ini Dean akan memasak Sup Ayam untuknya. Kara pun menyetop sebuah Taksi dan langsung mengarahkan Taksi itu menuju Apartemen Winter Garden. Dan satu jam kemudian Taksi yang Kara tumpangi sudah sampai di lobby Apartemen. Setelah membayar ongkos Taksinya, Kara pun turun lalu berjalan ke arah lift. Namun ia lagi-lagi bertemu dengan Jojo yang juga berniat ingin masuk ke lift. “Hei!” seru Kara senang karena melihat anak lucu itu lagi. Jojo pun tersenyum seperti biasa untuk merespon Kara. “Kamu dari m
Pukul 12 lewat 20 menit Kara sudah melenggang masuk ke dalam lobby kantor Dean dengan membawa paper bag berisi makanan yang dimasak Gilang. Ia berjalan riang sambil bersenandung ke arah meja Reseptionis untuk meminta izin masuk ke ruangan Dean.“Selamat siang Bu.” sapa petugas Reseptionis.“Siang Mbak, saya mau ketemu Pak Dean.” sahut Kara.“Maaf sebelumnya, ini dengan Ibu siapa?” tanya petugas itu lagi, sepertinya ia karyawan baru jadi tak mengenali Kara.“Bu Dean, eh maksudnya Bu Kara.” ralat Kara cepat. Gara-gara Ibu-ibu Winter Garden, ia jadi lupa dengan namanya sendiri.“Baik sebentar saya konfirmasi ke Pak Dean dulu.”Kara pun menunggu beberapa saat sambil memperhatikan lobby kantor yang tampak besar dan memiliki arsitektur yang mewah. Pantas saja Dean mati-matian merencanakan pernikahan palsu demi warisan sebesar ini.“Bu Kara.” panggil petugas reseptionis
Kara melihat ke arah Dean yang masih berusaha membuat alasan untuk para Om dan Tantenya. Namun hari ini ia sudah banyak melakukan kesalahan di depan ketiga Tante Dean. Hingga ia memikirkan sebuah cara untuk menebusnya. Ia pun meraih jaket Dean dengan sebelah tangannya hingga pria itu menghadap ke arahnya, lalu dengan tenang Kara mendaratkan bibirnya di atas bibir Dean hingga pria itu berhenti bicara.Dengan mata yang tertutup, kara kemudian melingkarkan kedua tangannya di belakang leher Dean dan meringkan kepalanya sedikit agar seluruh permukaan bibirnya bisa menjangkau seluruh permukaan bibir Dean juga.Sementara itu berbeda dengan Kara, mata Dean malah masih terbuka lebar karena kaget. Ia tak menyangka jika Kara akan menciumnya. Namun rasa kagetnya cepat menghilang karena ia mulai menikmati sentuhan bibir Kara yang membuat rasa menggelitik di perutnya semakin menjadi. Tanpa sadar ia pun memejamkan matanya, meraih kedua pipi Kara dengan tangannya dan ikut menggerakkan
“Rileks aja Ndre, jangan tegang, pokoknya lo percaya aja sama gue.”“Hm… ini tinggal dimajuin aja Mbak Rumi?”“Iya, lo abis itu lo teken pelan-pelan deh, jangan kenceng-kenceng.”Andre menghela napas panjang sebelum akhirnya ia mengarahkan perseneling mobil ke arah huruf D.“Nah ayo teken gasnya pelan-pelan.” arah Rumi dengan sabar yang duduk di kursi samping.Andrea pun menekan pedal gas dengan kaki kanannya dengan perlahan hingga mobil yang mereka tumpangi bergerak perlahan.“Oke, pertahankan, terus di depan nanti lo siap-siap belok.”Andre pun mendengarkan arahan Rumi dengan seksama, matanya terus fokus melihat jalan kosong yang ada di depannya.“Nah ayo puter stirnya ke kanan dikit.” suruh Rumi saat mereka bertemu belokan.“Kaya gini Mbak?” Andre memutar stirnya ke arah kanan, namun ia memutarnya terlalu banyak hingga mobil itu
“Jadi…” Dean menggantung sejenak kata-katanya sambil melihat tumpukan barang-barangnya yang berserakan di depannya. “Gue tidur di sini? sama lo? Di kamar ini?” tanyanya dengan wajah super malas. “Mau gimana lagi, kalo Ayah gue tau kita tidur beda kamar, bisa heboh!” bisik Kara. “Tapi… arggh… kenapa gak barang-barang lo aja yang di pindahin ke kamar gue. liat nih barang-barang gue, berantakan, lo tau berapa harga jam ini?” geram Dean gemas karena Kara meletakkan koleksi jam tangan mahalnya begitu saja di atas karpet kamarnya tanpa dialasi apapun. “Gak ada waktu, barang-barang lo lebih sedikit dari gue, jadi gampang dipindahinnya.” “Tapi seenggaknya susun barang-barang gue dengan benar!” sengit Dean. “Heh kuping lo budeg apa gimana sih, udah gue bilang gak ada waktu, Ayah gue keburu dateng!” sahut Kara tak kalah sengit. Dean mengatur napasnya sesaat. Ia sudah merasa lelah karena harus lembur hari ini, namun kini Kara malah menamb