Share

100 — Kabut Pecah di Sadeng

Author: Dualismdiary
last update Last Updated: 2025-10-10 09:22:13

Kabut pagi itu tidak lagi lembut.

Ia tebal, berat, dan berbau besi.

Tanah lembah Sadeng bergetar pelan oleh langkah ribuan kaki yang tertahan di antara kabut — seolah bumi sendiri sedang menunggu sesuatu pecah.

Gaja Mada berdiri di depan barisan depan.

Pelindung dadanya basah oleh embun, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya menyala setajam bilah tombak di tangannya.

Di belakangnya, panji Majapahit berkibar redup, setengah tertelan kabut.

“Tahan garis,” katanya datar.

Suaranya tak tinggi, tapi cukup untuk memantul di antara lereng.

“Biarkan mereka datang. Kabut ini milik kita.”

Di sisi lain lembah, teriakan dari pasukan Sadeng mulai menggema — liar, muda, dan penuh kemarahan.

Bangsawan Raga Diryan memacu kudanya menuruni lereng, pedangnya terangkat tinggi.

“Majapahit hanyalah bayangan masa lalu!”

suaranya menggelegar. “Hari ini tanah ini kembali milik Sadeng!”

Dari balik kabut, pasukannya menerjang — gelombang manusia dan kuda menyatu dalam debu dan jeritan.

Alesha menurunkan tan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   109 – Salep dan Bara

    Alesha mengikuti Arya Wuruk melintasi koridor istana. Punggung Raja itu tampak tegap dan berkuasa, namun setiap langkahnya terasa seperti tali yang menarik Alesha semakin dalam menuju jurang rahasia. Ia tahu ke mana langkah ini membawanya: ke tempat di mana gelar dan jubah tidak lagi berarti, ke dalam ruang yang semalam telah merobek semua pertahanannya.Pintu menuju bangsal pribadi Arya Wuruk tertutup rapat di belakang mereka. Bunyinya yang tenang seakan menyegel ruangan itu dari seluruh dunia Wilwatikta, dari semua mata dan telinga yang mengawasi.Arya tidak menoleh. Ia hanya berdiri mematung di depan pintu, membiarkan keheningan itu melilit mereka. Lalu, tanpa peringatan, tangannya bergerak cepat — merobek kain penutup wajah Alesha yang sudah longgar.Kain itu jatuh ke lantai, seperti perisai terakhir yang dihancurkan.Saat wajah Alesha terbuka sepenuhnya, Arya berbalik. Ekspresi di matanya berubah dari ketenangan seorang Raja menjadi sesuatu yang liar dan mendesak.Ia melangkah, d

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   108 — Balairung Senyap

    Pagi di Balairung Wilwatikta seakan menahan napas. Asap dupa menari pelan di antara tiang batu, sementara cahaya matahari menembus kisi-kisi tinggi dan jatuh membentuk garis-garis tipis di lantai yang dingin.Barisan rakryan telah hadir, bersila rapi di tempat masing-masing. Di tengah mereka, berdiri sosok Rakryan Tumenggung Gaja Mada — tegap, berseragam lengkap, tapi langkahnya sedikit tertahan. Tidak ada yang menyadari, bahwa di balik sikapnya yang tegak itu, tubuhnya masih menyimpan sisa-sisa dari malam yang membuatnya sulit tidur… dan sulit berjalan.Dari singgasana, Paduka Raja Arya Wuruk menatap diam. Mata raja itu tenang, tapi tatapan itu menusuk, seperti sedang membaca hal yang tak boleh dibaca di tengah rapat resmi. Alesha — di balik sosok Gaja Mada — berusaha tidak menoleh, tidak bereaksi. Tapi pipinya terasa panas, bukan karena udara balairung yang hangat, melainkan karena ia tahu tatapan siapa yang kini sedang menelusuri tiap gerak tubuhnya.Rendra duduk tak jauh di s

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   107 — Harga dari Janji

    Angin malam dari jendela batu meniup lembut ke dalam bangsal. Tirai tipis berayun perlahan, memantulkan cahaya pelita yang berkeredip di dinding batu. Hening. Hanya ada dua napas di ruangan itu — satu berat, satu bergetar.Alesha masih menunduk, tangan di lututnya, mencoba menjaga jarak dari raja yang duduk di dipan. Namun langkah Arya perlahan terdengar — lembut tapi pasti — mendekat.“Lesha,” suaranya rendah, hampir berbisik, namun memuat kekuatan yang membuat jantung siapa pun berhenti berdetak. Saat Alesha menegakkan kepala, Arya sudah berdiri tepat di hadapannya.“Jangan tutupi wajahmu di hadapanku,” katanya tenang, tapi nadanya bukan perintah seorang raja. Lebih seperti permohonan yang nyaris putus asa. “Tidak saat hanya ada kita berdua.”Sebelum Alesha sempat bereaksi, tangan Arya terulur, menarik kain penutup wajah itu perlahan — gerakannya lembut, tapi tak memberi ruang untuk penolakan. Kain itu jatuh di antara mereka. Kini wajah Alesha benar-benar terbuka, tanpa samar

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   106 — Di Antara Luka dan Tatapan

    Langit Wilwatikta sore itu berwarna jingga lembut, tapi di dalam istana, suasana justru terasa berat dan sunyi. Aroma dupa dari ruang utama masih menggantung, bercampur dengan wangi obat yang menempel di udara.Alesha — dalam samaran Gaja Mada — berjalan di belakang Raja Arya Wuruk yang baru kembali dari medan Keta. Langkah-langkah prajurit pengawal teratur di sepanjang koridor batu yang dingin. Di ujung lorong, pintu besar menuju bangsal raja terbuka perlahan, menyingkap ruangan yang mewah namun tenang: lampu minyak berpendar temaram, kain tirai merah marun menjuntai lembut di sisi dipan.Arya duduk perlahan di tepi tempat tidurnya. Luka panah di bahu kanannya masih dibalut kain putih, sedikit berwarna merah muda oleh rembesan darah yang belum sepenuhnya kering. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap tajam — memantulkan cahaya kecil dari pelita di dekatnya.“Paduka,” ujar Alesha dengan suara rendah, sedikit serak oleh lelah. “Sebaiknya beristirahat. Tabib telah menyiapkan ramuan tidur

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   105 — Harga yang Tertinggal

    Fajar naik lambat di atas lembah Keta. Kabut pagi berbaur dengan asap dari sisa pertempuran semalam — tipis, kelabu, dan beraroma besi. Tanah masih basah oleh darah, dan udara memantulkan keheningan yang aneh: bukan damai, melainkan duka yang belum sempat dikubur.Di lapangan tengah, barisan prajurit berdiri dalam senyap. Bendera Majapahit setengah tiang, berkibar lemah tertiup angin. Gaja Mada berdiri paling depan, wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Tapi di balik kain penutup wajah itu, matanya merah — terlalu banyak yang gugur di bawah panjinya hari ini.Arya Wuruk berdiri di sebelahnya, bahunya masih diperban, tapi matanya tegak menatap ke depan. Ia memimpin doa bagi para prajurit yang tak akan kembali. Suara mantranya rendah, namun setiap kata terasa berat: “Semoga roh kalian diterima dalam ketenangan, dan darah yang tumpah menjadi dasar kekuatan baru bagi negeri ini.”Ketika doa selesai, dentang gong terakhir bergema, menandai akhir upacara. Namun yang benar-benar berakhir

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   104 — Sisa Api di Dada

    Senja berganti malam tanpa bintang. Lembah Keta hanya menyisakan asap tipis dari bara yang belum padam. Bau darah masih terasa di udara, dan tanah yang diinjak prajurit telah berubah menjadi lumpur kemerahan.Majapahit menang — tapi kemenangan itu tidak bersorak, hanya diam, berat, dan penuh kehilangan.Gaja Mada berdiri di tengah lapangan penuh reruntuhan, wajahnya dipenuhi jelaga dan keringat. Rendra mendekat dengan pedang yang masih meneteskan darah. Keduanya saling pandang tanpa banyak kata — hanya hembusan napas panjang yang menjadi ucapan syukur diam-diam.“Pasukan Keta telah mundur seluruhnya,” kata Rendra lirih. “Tapi banyak korban di pihak kita.”Alesha mengangguk pelan di balik penutup wajahnya. “Majapahit tidak meminta perang, tapi kita harus menjaga yang tersisa.” Ia menatap jauh, ke arah tenda pasanggrahan di ujung lembah. “Pastikan para tabib tidak kekurangan obat dan kain. Aku akan memeriksa barisan terluka.”Rendra menatapnya sejenak, lalu menyentuh bahunya singk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status