Share

JERIT MALAM

Indahnya langit biru, tak seindah hidup yang penuh haru. Tak banyak cerita seru dari kehidupan orang yang diburu, karena masa lalu yang keliru, tidak akan bisa membuat lembaran yang baru. Selamanya melekat dan tidak pantas untuk di tiru.

*

Tiga hari berlalu sejak Adam mengalami hal aneh ketika perjalanan pulang dari rumah seorang imam hambali. Lelaki itu tidak mengerti apa yang terjadi. Namun, ia beranggapan jika semua yang dialaminya hanya mimpi. Siapa sangka jika sejak kabut datang malam itu. Adam terseret pada mimpi buruk. Begitu pun dengan mimpinya tentang Jelita istrinya yang lenyap di telaga.

Fakta bahwa ia dibangunkan oleh orang-orang yang hendak pergi ke surau, membuat Adam sadar bahwa kondisi badan dan psikisnya yang lelah akan membawanya pada hal-hal menyeramkan, sekalipun itu hanya mimpi. Namun, Adam tak menyangka saja jika dirinya malah tertidur di jalan dekat perkampungan hingga shubuh menjelang. Harapan Adam untuk pulang sebelum tengah malam jadi gagal.

Setelah sadar sepenuhnya, Adam pun melanjutkan perjalanan pulang dan tiba di rumahnya sekitar pukul enam pagi. Dengan perasaan khawatir karena meninggalkan istrinya hanya dengan seorang suster penjaga, membuat Adam kalang kabut. Ia tahu betul jika tengah malam tiba, jelita akan menjerit-jerit sambil menuduh sudut kamar yang kosong. Akan tetapi, laporan dari suster penjaga, Jelita tertidur tanpa terganggu sedikitpun.

Adam lega dan tak menghiraukan mimpi anehnya tentang Jelita yang akan pergi. Justru setelah tiga hari tersebut, Jelita sudah terlihat sedikit membaik. Entah pengobatan medis yang berperan atau rapal doa-doa dari para pemuka agama yang mempelihatkan exsistensinya. Apa pun itu Adam percaya bahwa Jelita akan baik-baik saja, sedangkan orang yang berbuat jahat pada istrinya akan mendapat balasan yang setimpal.

Bagaimana Adam tak merasa kesal ketika mengetahui fakta istrinya ada yang mengirim guna-guna. Sesuatu yang bahkan tak pernah terpikirkan oleh Adam. Dirinya memang tidak menyangkal jika memang ada hal-hal demikian di dunia ini. Namun, yang tidak ia sangka Keganjilan yang berkaitan dengan hal gaib itu malah menimpa keluarga kecilnya.

"Ada yang sedang mempermainkan sukma istrimu, Adam. Iri dan dengki telah mencabik-cabiknya dari dalam," tutur imam Hambali yang kala itu ditemui Adam ketika pengobatan medis Jelita tak membuahkan hasil.

"Maksudnya bagaimana itu imam? Ada apa dengan suka istri saya?"

"Kamu sedang dalam pengerjaan bisnis besar Adam, bisa jadi dengan kemajuan hal itu dapat mengundang rasa iri dan dengki dari berbagai pihak."

Adam sempat terheran dengan penuturan imam Hambali di hadapannya, sebab saat itu ia sama sekali tidak menceritakan kondisi pekerjaan yang sedang bagus-bagusnya karena menang tender dari tiga perusahaan lain.

"Hal semacam ini menjadi lumrah meski zaman sekarang sudah modern. Hal-hal klenik tidak bisa di tinggalkan begitu saja, selain untuk memperlancar bisnis, banyak orang-orang yang seperti mereka yang bekerja sama dengan dunia ghaib supaya bisa membeli aura yang kuat.. Dan menang dalam situasi paling sulit. Tapi tetap saja keberuntungan yang bisa memposisikan diri."

Adam mangut-mangut. Lelaki itu memang beruntung, lantas ia berfikir bagaimana caranya agar bisa mempertahankan keberuntungan tersebut. Proyek yang sukses dan sang istri yang sembuh dari penyakit aneh.

"Walaupun banyak orang yang menggunakan cara-cara tidak benar seperti itu, Adam. Kamu harus tetap mempertahankan sesuatu yang sudah kamu anggap benar. Jangan campur adukkan kebenaran dengan kebatilan termasuk di dalam hal pekerjaan," tutur Imam Hambali.

Di hari ke empat itu, Jelita sudah memperlihatkan cahaya lagi di wajahnya. kesan kuyu lenyap sedikit demi sedikit. Senyuman wanita itu perlahan mulai mengisi kembali wajahnya yang cantik. Betapa Adam merasa jika dunianya akan kembali baik-baik saja seperti dulu. Ia sudah sepenuhnya semangat, mengerjakan proyek dengan deadline yang cepat agar saat Jelita sembuh seutuhnya. Ia bisa membawa istrinya itu untuk pergi liburan.

Rintik hujan masih mewarnai pekatnya alam disertai embusan dingin udara malam itu. Sunyi tanpa menyisakan pekikan kecil jangkrik-jangkrik yang biasa menembang lirih bersahutan di antara rimbunan rerumputan hijau segar. Nyaris tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupan di kampung Kembang Mayit.

Malam jumat kliwon di ambang pertengahan malam tepatnya. Di saat hampir semua orang terlelap dalam buaian tidur. Adam bersama rekan-rekannya baru saja akan menyiapkan peresmian proyek yang sebentar lagi rampung. Namun, di hari ke sepuluh setelah ia bermimpi tentang kepergian Jelita.

Istrinya itu malah kolaps. Dari kantor, Adam bergegas pulang setelah ditelepon oleh suster penjaga. Suara wanita yang umurnya berbeda tiga tahun di bawah Jelita itu menceritakan kondisi istri majikannya dengan ketakutan.

"Bu, Jelita berteriak-teriak sambil memegangi lehernya, pak. Ini tidak seperti orang yang sedang tersedak, seperti ada sesuatu yang ingin di keluarkan oleh ibu." ucapan itu terngiang-ngiang di telinga Adam selama ia melajukan kendaraannya.

Sementara itu, suasana di kediaman rumah Adam sangat mencekam. Suster penjaga yang senantiasa di samping kini tak berani mendekat. la mematung dengan tubuh gemetar, berdiri di samping pintu yang dibiarkannya terbuka. Perempuan berbaju biru telor asin itu bingung harus berbuat apa karena aura Kinanti jauh berbeda dari biasanya. Tatapan perempuan itu seperti bukan dirinya, tampak ganas dan asing.

"Saya harus gimana, Bu?" gumam suster itu lirih. la terus beristigfar seraya menggenggam erat ponsel di depan dada. Adam yang diteleponnya belum juga tiba.

Jelita bertingkah layaknya orang yang ingin muntah, tetapi apa yang menyumpal tenggorokannya tak bisa ia keluarkan. Antara frustrasi dan rasa sakit, Jelita meremas-remas tenggorokannya dengan kasar. Jejak cakaran kukunya pun mulai terlihat memerah dan berdarah.

"Aakkhh!" Satu lengkingan paling berat itu membuat sekujur tubuh suster penjaga bergetar hebat. Itu bukan suara Jelita.

Kini, perempuan berbaju putih yang sedang bergelut dengan rasa sakit itu menggelepar di kasur. Mau tak mau, pendampingnya selama sakit itu memberanikan diri untuk mendekat. Ketika ia hendak merangkul tubuh Jelita yang dikiranya terserang kejang, Jelita langsung menolaknya.

"Jangan

"Sakit!"

Suster penjaga terjengkang akibat kaget karena dua kata dari mulut Jelita memiliki nada berbeda. Kata pertama itu memang suara Jelita, sedangkan ketika mengucap kata 'sakit', suaranya berubah berat seperti milik laki-laki.

Rasa ngeri perempuan muda itu rupanya terkalahkan juga dengan rasa kasihan. la pun kembali mendekati tubuh Jelita meski tak tahu harus berbuat apa. "Bu, tahan sebentar ya, Bu. Bapak sebentar lagi ke sini. Kita ke rumah sakit...."

"Panaaas... perih!

"Panaaas ... perih! Aakh!" Jelita seperti ingin memuntahkan sesuatu lagi, tetapi tidak ada apa pun yang melewati tenggorokannya. Kini, sekujur tubuh berbalut gaun itu tampak memerah seperti cumi-cumi di atas garangan api, lantas bintik-bintik kehitaman muncul tepat di tiap pori-pori kulitnya.

"Jelita! Jelita!" Panggilan berulang itu terdengar dari depan rumah, hingga sosok Adam muncul di pintu kamar. Lelaki yang telah lusuh oleh keringat itu melihat kekacauan yang mengerikan. Suster sudah terisak di samping istrinya yang menjerit-jerit dengan suara asing.

Adam bergegas mendekat dan menyergap tubuh Jelita Namun, perlakuannya sama seperti kepada suster penjaga. Jelita menolak keras karena kulitnya seperti kian terbakar saat tersentuh. "Ini menyakitkan, Mas... sakiiit!"

"Kita ke rumah sakit sekarang, ya? Mas bantu."

*

Malam itu, pekat mengepung. Ini hari ketiga Adam bermalam di bangsal tua yang luas dan pengap ini. Dan entah mengapa, nuansa kali ini agak berbeda.

Jelita Paraswara masih tertahan di bangsal berdinding semen basah itu. Perasaan Adam sedikit terganggu. Kelengangan tanpa bebunyian apapun merundung Adam dalam ketidaknyamanan. Dengkuran napas istrinya menjelma menjadi matra penidur. Rasa kantuk Adam bergelut dengan hawa dingin yang menggelayuti kegelapan. Tak kuat, Adam pun keluar dan mencari pojokan untuk merokok sembari berjalan-jalan di lingkungan rumah sakit. Sepanjang langkah dibawanya, darah Adam berdesir, menghangatkan pembuluh di sela otot tubuh Adam yang beku. Sebagian lampu bohlam kuning menyala remang di sudut-sudut lorong.

Sebatang rokok Adam habiskan. Nahasnya, itu adalah batang terakhir. Tak ada di Perlahan, rasa kantuk datang menyerang. Kembali Adam susuri jalur koridor semula menuju Ruang Dahlia di sisi timur. Namun, entah disebabkan oleh lamunan atau kedunguan, Adam tersesat. Jalan yang Adam ambil sepertinya keliru.

Adam berhenti di gang buntu. Tak ada orang disana. Sepi yang memagut mengikis keberanian Adam. Ujung lorong itu hanya dibatasi dinding. Tak ada ruangan di kanan kirinya. Aneh.

Tak mau ambil resiko, kuputuskan untuk memutar langkah ke arah semula. Saat selangkah Adam tempuh, Adam tertahan oleh suara tawa anak-anak kecil. Adam pun siaga. Telinganya waspada manakala pandangannya mengedar, menjelajah sekeliling. Suara itu terdengar dari ujung lorong gelap.

Sejujurnya, Adam bukanlah lelaki penakut yang gampang kalah oleh dongeng-dongeng hantu. Kini yang bersarang di benaknya justru rasa penasaran. Walau sedikit ragu, adam bergerak mendekati sumber suara

Di depan sana, di pertigaan lorong rumah sakit itu terlihat sosok anak kecil berjongkok membelakangi Adam. Ia merintih. Ia menangis dan terbatuk. Ingin rasanya Adam pacu langkahnya menjadi berlari, tapi sialnya, jalur langkahnya terhalang sosoknya.

Adam pun kehabisan akal. Anak itu terdengar makin heboh terbatuk-batuk. Rintihannya menjelma menjadi tangis. Rasa takut di dadanya pun berganti mejadi iba. Dan dorongan emosi itu serta merta pula mendorong langkah kaki Adam mendekatinya.

Saat Adam mengulurkan tangannya pada pundaknya, Adam terperanjat. Ia bisa menyentuhnya. Anggapan anak ini adalah hantu segera Adam tepiskan jauh-jauh. Kini Adam turut serta berjongkok, mengusahakan agar tingginya setentang dengannya. Adam bertanya santun.

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status