Share

MALAM PENEBUSAN
MALAM PENEBUSAN
Penulis: Rahma arlington

WARISAN DOSA

Di balik sebuah petaka, ada luka yang tersembunyi dalam duka. Hidup yang semakin tidak di suka. Membuat orang lain jadi celaka. Ketidaknyamanan itu menjadi prasangka, menebak pelaku kejahatan dengan berbagai logika.

*

"Jika aku mati nanti, apa kamu masih akan setia sama aku, mas?" tanya Jelita saat dia terbaring sakit di kamarnya.

Adam yang saat itu menemani di samping ranjang sang istri, menepis pikiran buruk Jelita dengan cepat. "Kamu tidak boleh bicara seperti itu sayang, kamu tidak akan pergi secepat itu. Jika pun ajal datang, kita akan mati bersama-sama. Percayalah hanya maut yang memisahkan kita."

Jelita mengalihkan pandangannya yang sayu ke arah jendela lebar yang tirainya hampir tertutup rapat, sebab petang akan segera datang. Wajah lelah wanita itu menampakan senyum tipis, seolah sedang menertawakan takdir. Ucapan Adam sama sekali tak membuat dirinya merasa lebih baik.

Adam juga tau jika ucapannya terlampau mengada-ada. Akan tetapi jika ditanya soal kesetiaan, Adam tidak main-main. Lelaki itu bersungguh-sungguh, hanya Jelitalah yang akan menjadi pendamping pertama dan terakhir baginya.

Bukan tanpa alasan mengapa perasaan lelaki itu begitu gundah sekaligus takut. Pasalnya sang istri tengah berbadan dua di tambah penyakit sang istri terbilang cukup misterius. Sakit Jelita sangat aneh dengan perut yang sedang mengandung istrinya merasakan reaksi ngilu yang berlebihan. Perempuan itu merasa seperti ada tangan-tangan kasar yang mengorek-orek isi perutnya hingga menjadi serpihan, namun di lain kesempatan perutnya membaik kembali dengan kondisi tubuh Jelita yang begitu lemah.

Di beberapa kejadian pun, Jelita sering mengalami kepanasan, padahal suhu badannya dalam kondisi normal bahkan sangat dingin. Ia pun sering menjerit ketakutan seolah-olah ada sesuatu di sudut kamar, sedangkan tidak ada siapa-siapa di sana. Tak ayal hal-hal tersebut menambah rasa kekhawatir di benak Adam.

Maka, selama kinanti sakit dan rutin berobat ke dokter. Adam juga banyak mendatangi para pemuka agama, walaupun dirinya adalah seorang ustad akan tetapi Adam sendiri tidak terlalu yakin dengan kemampuannya.

Sudah cukup jelas bahwa sakitnya Jelita tidak bisa diuraikan secara medis. Bukti USG dan CT scan pun tak menunjukan tanda-tanda anomali di dalam tubuhnya. Hasil USG juga menunjukan bayi yang ada di dalam kandungan Jelita terlihat sehat dan baik-baik saja.

"Istirahatlah, Jangan terlalu banyak pikiran kasihan bayi yang ada di dalam kandunganmu. Kamu akan segera sembuh." satu kecupan ditinggalkan Adam di kening Jelita sebelum pergi. Tak lupa ia membereskan gelas dan piring dari atas meja.

Lelaki itu keluar kamar dengan perasaan keruh, namun hal tersebut tak melemahkannya untuk tetap pergi sore itu. Sedikitnya Adam masih memiliki secercah semangat untuk kesembuhan Jelita istrinya.

Entah sudah berapa kali perjalanan ke tempat pemuka agama bernama imam Hambali itu Adam tempuh, 2 bulan istrinya sakit, maka tak terhitung pula berapa waktu yang ia tebas untuk berikhtiar.

Kadang ia chek up ke rumah sakit bersama Jelita atau ke rumah imam hambali untuk meminta didoakan. Fakta yang membuat Adam merasa sakit adalah kondisi jelita tak sedikit pun memperlihatkan sebuah kemajuan.

Justru, sosok istrinya yang dulu bugar dan cantik, semakin hari semakin layu dan ringkih. Namun, Adam tak ingin menerima kenyataan buruk itu. Selagi mampu ia masih akan tetap berusaha.

Perjalanan yang memakan waktu hampir satu setengah jam itu, akhirnya membawa Adam sampai ke tujuan. Lelaki itu tak ingin membuang lebih banyak waktu, ia segera bertandang ke dalam rumah sederhana yang sudah beberapa kali disinggahinya. Tak banyak yang Adam lakukan di sana, hanya menerima petuah terakhir yang imam Hambali sampaikan.

"Mendengar penjelasan ustad Adam, saran terakhir dari saya, tidak ada salahnya ustad Adam sendirilah yang harus mendoakan istri ustad. Sejauh ikhtiar yang sudah kita lakukan bersama belum ada hasil yang menunjukan kemajuan," Tutur imam Hambali angkat tangan.

"Saya sudah tidak yakin lagi dengan kemampuan saya imam, semenjak istri saya sakit 2 bulan ini saya sering merasa was-was. Hati pun rasa tak tenang macam dulu," sahut Adam

"Kita ini pun juga manusia ustad, wajar saja bila mana kita rasa sedih jika menerima cobaan dari tuhan. Tapi jangan sampai cobaan ini menjauhkan kita dari tuhan, justru dengan adanya cobaan kita harus semakin dekat dengan yang di atas." Begitulah kalimat yang dipaparkan pria paruh baya di hadapan Adam dengan suara berat dan serak yang khas.

"Pulanglah, jangan sampai terlambat sampai di rumah."

"Baik, imam," jawab Adam seperti orang yang linglung. rasa capai di badannya beradu dengan isi otaknya yang berjubel dengan kekhawatiran. Usai berpamitan, lelaki itu lekas mengendari mobilnya kembali.

Dengan kecepatan yang hampir tinggi, Adam melajukan kendaraannya agar bisa segera tiba di kotanya. Petang baru saja lewat dan aura tak mengenakan langsung menyergap tubuhnya. Bias jingga di langit yang kemerahan sudah hampir tertelan seluruhnya oleh awan pekat.

Bila kata orang dulu, tak sepatutnya manusia masih berada di luar rumah ketika magrib hampir usai. Sebab iblis yang menyukai malapekata sedang gencar-gencarnya menggerayangi permukaan tanah.

Adam merasa, mungkin itulah alasan mengapa petang di hari tersebut ia merasakan takut. Hawa dan suasana jalanan yang ditempuhnya amat berbeda dengan hari-hari biasanya.

"Semoga bukan apa-apa, ini hanya perasaanku saja," gumamnya pelan, meyakinkan diri sendiri. Namun kabut pekat tiba-tiba menyeruak dari balik pepohonan di kedua sisi jalan.

Pohon-pohon akasi tua yang menjulang tinggi bagai raksasa, menutupi dirinya dengan jubah kabut. Sementara bunga-bunga merah di atas sana sudah seperti ratusan pasang mata yang memperhatika satu-satunya mobil yang melaju di jalanan tersebut.

Tak dipungkiri, Adam merasa jika tengkuknya mulai meremang. Laju mobil yang awalnya begitu cepat, kini sedikit melambat karena jarak pandangnya jadi terhalang. Ia takut jika tiba-tiba ada muncul kendaraan lain di depan, namun sejauh apa pun Adam melaju, tak ada satu pun mobil atau motor yang melintas. Lelaki itu seperti terjebak di dunia asing.

Di saat mobil yang seakan-akan terbang di antara awan, Adam dikejutkan dengan sebuah gebrakan di kaca samping. Sontak saja lelaki itu menoleh dan menemukan sebuah tangan menempel di kaca sisi mobilnya. Penampakan tangan yang pucat, serta kain jaket berwarna hitam dan hijau yang membalut lengan itu membuat Adam syok.

Bagaimana bisa seseorang menempa mobil yang melaju, layaknya kendaraan itu tengah terdiam? sementara sosok yang menggebrak mobilnya tak terlihat menunggangi motor.

Keterkejutan Adam berakhir ketika sebuah klakson dari arah depan, memekak keras dibarengi dengan sinar lampu yang menyilaukan. Adam membanting setir ke kanan dan memanuver kemudinya ke kiri demi menghindari tebing dan juga ekor truk.

Mobil hitam itu nyaris melintang di tengah jalan, sebelum akhirnya terseret keras kw sisi kanan. Sebelum kepalanya terbentur dasboar, Adam harus menyaksikan bagaimana ganasnya roda truk tadi melindas tubuh seorang pengendara motor menjadi dua.

Debar jantung yang berlebihan, serta efek benturan di kepala membuat Adam tak kuat menahan matanyai tetap terbuka. Malam terasa semakin gelap saat lelaki itu jatuh pingsan, tetapi raganya tertahan oleh sabuk pengaman.

Di beberapa waktu yang terhitung lambat, Adam seperti dipercik oleh kesadaran. Ia yang merasa sangat pusing, berusaha membetulkan posisi tubuhnya, dalam kondisi badan yang pegal-pegal, Adam berusaha bangkit dan membuka mata.

Lelaki itu terbatuk-batuk seraya membuka pintu mobil, lalu tubuhnya jatuh ke jalanan, ia baru sadar bahwa malam sudah bersih dari kabut, namun lokasinya saat ini, berbeda dengan rute yang ia lintasi sebelumnya. Bahkan kecelakaan yang melibatkan truk dan pengendara sepeda motor itu tidak ada.

"Apa aku sekarang mulai berhalusinasi?" tanya Adam bingung. Ia melangkah dengan agak linglung, tetapi dirinya merasa harus mencari pertolongan. Lelaki itu berjalan tertatih sambil mengedarkan pandangan.

Ia mendapati sebuah telaga yang tak jauh dari jalan. Sejenak ia tertegun, tetapi bukan hamparan air itu yang membuat dirinya takjub. Melainkan ada sosok perempuan yang di kenalinya tengah berdiri di pinggiran telaga.

"Jelita?" Panggilnya.

"Mas, Jelita mau pergi. Jangan di cari, jaga anak kita mas. Dia yang akan mewarisi dosa-dosamu," ucap Jelita dengan wajah yang begitu datar sambil mengusap perutnya yang tengah mengandung.

"Pergi? pergi kemana?"

Jelita tak menghiraukan ucapan suaminya, ia memilih untuk berjalan menuju telaga dan menenggelamkan dirinya di sana. Adam berusaha untuk mengejar tetapi tubuhnya malah kaku di tepi danau. Ia hanya bisa menyebut nama Jelita, namun semakin lama, sosoknya semakin tenggelam ke dasar air.

TO BE CONTINUE....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status