Share

DINAMISASI SEMESTA

Saat Adam mengulurkan tangannya pada pundaknya, Adam terperanjat. Ia bisa menyentuhnya. Anggapan anak ini adalah hantu segera Adam tepiskan jauh-jauh. Kini Adam turut serta berjongkok, mengusahakan agar tingginya setentang dengannya. Adam bertanya santun.

"Nak, kenapa kamu di sini? Kamu dari kamar mana?"

Ia tak menjawab. Alih-alih bersuara, ia menunjuk ke dalam mulutnya, seolah ada sesuatu yang menganggu tenggorokannya sehingga ia terbatuk-batuk. Adam picingkan matanya semampunya, memperhatikan isi mulut anak itu, tapi rasanya begitu sulit karena pancaran cahaya yang amat terbatas.

Tiba-tiba, anak itu terbatuk hebat. Sempat ada hentakan rasa kaget yang nyaris mendorong tubuh Adam. Ia terlihat memasukkan tangannya sendiri ke dalam mulut. Tatkala ditarik, keluarlah seutas perban dari dalamnya.

Nalarnya terguncang.

Tanpa berpikir yang aneh-aneh, Adam justru terpicu untuk membantu mengeluarkan untaian perban itu. Kain basah berserat itu di tariknya perlahan dengan sangat hati-hati. Adam tarik dan tarik lagi. Aroma tengik serta merta menguar dari rongga mulutnya. Bulu kuduk Adam meremang. Kini, ketakutan yang nyata menggempurnya. Anehnya, tangan Adam bagaikan tersihir untuk terus menarik untaiannya.

Lambat laun, perban itu mulai bernoda merah darah. Anak itu meringkih dan mengisak mengerikan. Jantung Adam tersentak. Tubuhnya melompat mundur.

Perban yang keluar dari mulut bocah aneh itu kini menjadi utasan usus berdarah-darah. Tangannya kini telah terbebas dan menopang tubuh Adam yang nyaris terhempas ke belakang. Tangan kurus anak itu kini yang mengambil alih. Usus itu terus ditariknya keluar dari lubang mulut. Matanya menatap Adam tajam, mengiris-iris pertahanan terakhir keberaniannya. Bau busuk yang menyengat menyayat hidung Adam di kala mulut anak itu kini banjir darah hingga membasahi kaus kumalnya.

Pekikan Adam tertahan.

Tubuhnya terlonjak dari lantai ubin yang dingin. Kakiku terpacu, berlari dalam gelap mata.

Gema lariku membahana di sepanjang lorong yang sepi. Mulut Adam terus terkunci. Intuisi menuntunnya kembali ke kamar Istrinya di rawat. Lalu, dengan sisa napas memburu, Adam meringkuk di samping tempat tidur sang istri. Malam itu, otak Adam gagal berpikir jernih. Tubuhnya yang kuyup bermandikan keringat perlahan-lahan ambruk kantuk dan rasa takut.

Sedikit terbersit ingatan kala ia berlari di lorong gelap tadi. Suara gelak tawa anak-anak kecil seakan menertawai ketakutannya.

"Anakmu akan lahir dan Anakmu akan menjadi alasan kenapa kamu mati nanti Adam!!" suara itu terus terngiang di telinga Adam, di barengi dengan gelak tawa para anak kecil tadi.

*

Suasana hari yang sedikit lembab, semakin pekat dengan hadirnya kabut yang menebal. Desau angin di luar sana membuat dedaunan melambai-lambai kedinginan. Suara binatang pun begitu senyap, seolah tergemap akan sambutan dunia.

"Bagaimana keadaanmu sayang?" tanya Adam yang selalu setia di samping ranjang istrinya.

"Semakin membaik mas, terima kasih selalu menemaniku. Kamu beruntung punya ayah yang baik sayang," ucap Jelita pada kandungannya.

"Kata dokter, kandunganmu baik-baik saja sayang. Aku tidak akan membiarkan kamu kecapekan, kamu harus banyak istirahat." Satu kecupan Adam tinggalkan di kening Jelita.

Tatapan Jelita kini merekah cerah. Selengkung senyum penuh kekaguman terukir di permukaan wajahnya. Embusan napasnya seolah mengimbangi, begitu pelan namun terseok. Jari kanannya kembali menunjuk semampunya ke arah yang Adam.

Sesaat kemudian Jelita bergeming. Wajahnya memang menghadap Adam, namun sorot kedua matanya menembus ke belakang. Perlahan, Adam membalikkan badan mengikuti arah tatapannya. Lalu ia mengucapkan sesuatu yang begitu ganjil terdengar.

"Lihat mas, banyak sekali anak anaknya,"

Adam mengernyit kebingungan. Di belakangnya, di balik teralis jendela lantai tiga bilik rumah sakit ini, terhampar luas paduan awan putih dengan gradasi biru menuju siang dalam kanvas angkasa.

Adam berbalik memandangi Mama yang masih memancarkan ekspresi wajah yang sama, antara kagum dan heran.

"Sayang?" Kecemasan Adam kini mengemuka. "Sayang kamu kenapa?"

"Itu, Mas, coba lihat itu. Banyak sekali Anak-anak di sana ..." Ujung jari tangan kirinya seolah berupaya menunjuk sesuatu, namun jatuh lunglai.

"Anak-anak mana sayang? Itu jendela. Itu langit siang," ucap Adam, mengoreksi santun.

Jelita pelan, lalu tersenyum penuh kekaguman, masih dengan tatapan kosongnya. "Nggak, Mas. Itu Anak-anak banyak sekali, sepertinya salah satu dari mereka ada anak kita mas..."

Kecemasan Adam kini perlahan menjelma menjadi ketakutan. Jantung Adam berdegup. Hawa dingin seketika menyeruak di tengah kehangatan siraman cahaya matahari. Tangan Jelita segera Adam raih. Sentuhan kulit hangat ke duanya pun beradu. Lembut sekali, nyaman sekali. Adam menyeret tubuhnya lebih dekat kepada sang istri.

Tangan kanan Jelita kini Adam dekap erat, ia tempelkan pada pipi kanannya sembari terus memandangi istrinya dengan cemas, sedangkan Jelita sama sekali tak memedulikan Adam. Pandangannya terus terjurus ke luar jendela, memandangi kekosongan, di dalam ruang halusinasi yang terisi oleh kubik samudera biru.

Mesin kardiogram di sisi seberang ranjang membahasakan denyutan jantung Jelita yang kian melemah. Sesuatu yang sejak tadi terabaikan oleh dinamisasi semesta.

"Jelita, Sayang..." Adam berucap sepelan mungkin, berusaha keras mengembalikan kesadarannya.

Jelita tetap mengabaikannya

Sesaat, ketika Adam menyangka ia makin lenyap ditelan halusinasi, Jelita berkata lirih, nyaris menyerupai bisikan.

"Selesaikan sesuatu yang sudah kamu mulai mas. Jalan ke depan akan berat, jangan berhenti untuk meminta perlindungan pada tuhan," ucapnya lembut.

Tepat ketika Adam hendak menangkisnya, Jelita kembali berkata dengan senyuman.

"Kamu adalah wujud rasa cinta kami berdua sayang, Tumbuh dengan baik dan jangan pernah membenci ayahmu..." Sambung Jelita sembari mengusap perut buncit yang kurang hitungan minggu akan melahirkan.

Hati Adam terbenam.

Mulutnya yang rapat terkunci tak kuasa menyuarakan isi hati. Kedua matanya kini memanas, memanggil gumpalan air mata yang sudah terlalu lama tersimpan dalam ruang tersembunyi. Dorongan emosi yang berkawin aura kepiluan datang menderanya. Adam mulai menangis.

Kata-kata Jelita bagaikan bait penutup khotbah yang menjahit segala pergumulan emosi dalam diri Adam. Ia tersenyum, memandangi kekosongan sunyi. Lalu, secara perlahan kehangatan di genggaman tangan istrinya memudar, tergantikan oleh kulit tubuh yang mendingin bak kehilangan jiwa.

Di seberang sana, layar kardiogram pun kehilangan dinamisasinya, menorehkan garis lurus yang panjang, bersamaan dengan tersiarnya suara alarm digital yang begitu konstan berdenging. Sekonyong-konyong, nuansa di ceruk bilik kecil ini berubah. Ada embusan hawa dingin yang menyergap, entah sekadar firasat Adam, atau memang karena senja di luar sana mulai menjelma menjadi malam.

Adam melihat ekspresi wajah istrinya membatu. Kedua bola matanya setengah tertutup, sedang lengkung bibirnya terhenti pada pose tersenyum. Saat Adam kira laju waktu sedang berhenti, pintu kamar menjeblak. Empat orang perawat masuk dan dengan sigap memberikan penanganan. Dengingan yang bersumber dari mesin kardiogram telah menenggelamkan suara-suara lain, dan kian melengking manakala dengingan dari dalam telinga Adam turut memekik. Jiwanya seperti terambil.

rangkaian peristiwa yang terjadi di depan mata Adam bagaikan bergerak lambat. Degup jantungnya mengisyaratkan perlambatan laju waktu itu, sampai kemudian Adam sadar sedang menangis panik.

Antara takut dan kehilangan, keduanya terbahasakan oleh hangatnya bulir air matanya.

"JELITA!! Sayang, bangun, Sayang! Bangun, Jelitaaa!"

Adam bersikukuh mengguncang-guncangkan tubuh sang istri sambil terus terisak, sampai kemudian lengan berisi Adam dicengkeram oleh seorang perawat pria, menarik Adam menjauh dari tubuh istrinya.

"JELITAA! Banguun! Jangan pergi tinggalin mas hidup sendirian! Kita mau membesarkan anak kita bersama!"

Teriakan Adam kian menggema, meraung, berkawin dengingan kardiogram, disertai isakan tangisnya sendiri. Rongga mulut Adam menjadi asin kala cucuran air matanya tak sengaja tertelan. Sementara itu, tubuh Adam terus terseret keluar, menyaksikan tubuh rapuh Jelita istrinya menghilang tertutup barisan perawat berseragam putih.

Begitu Adam terlempar di koridor rumah sakit, pintu kamar Jelita tertutup rapat.

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status