"Neng Hilma mau dinikahkan?"
Hilma tertunduk malu saat Ajat kembali menatapnya setelah meminta penjelasan pada Bapak. Dirinya merasa sangat hina di hadapan Ajat, apalagi ia merupakan guru ngajinya. Meskipun semua tuduhan yang semua orang berikan padanya itu palsu.Tapi tetap, di mata Ajat, Hilma berpikir, mungkin dia hanyalah gadis kotor yang selama ini menutupi semuanya dengan gamis dan kerudung panjangnya."Mereka berdua melakukan zina, Aa Ajat, terpaksa mereka harus kami nikahkan," jelas Pak RT, Hilma memejamkan mata malu, rasanya lebih baik dia mati saja daripada menghadapi semua ini."Tapi itu semua tuduhan palsu, Pak. Demi Alloh Hilma gak ngelakuin itu." Ia perlahan mendongak, menatap Pak RT dengan penuh permohonan."Kamu juga ngomong, dong... Kenapa diam aja? Kita gak ngelakuin apa-apa, di sini kita di fitnah!" geram Hilma pada Zafar, yang bukannya menantu lepas dari masalah, tapi malah memperburuk keadaan."Bapak...." Gadis itu mentap Pak Hasan yang hanya diam memalingkan wajahnya. Membuat Hilma tidak mempunyai harapan, ia juga sadar posisi, Pak Burhan saja yang termasuk orang terpandang di sana lemah, apalagi dia yang hanya merupakan anak dari seorang petani. Nasib si miskin, dia tidak bisa membela dirinya sendiri.Pak RT dan Pak Burhan saling angguk memeri kode, ia meminta Zafar dan Hilma untuk keluar menemui warga.Hilma dan pria kota itu di giring ke luar, sebelum pergi mata gadis itu menatap Bapaknya yang hanya diam, menatap kosong ke luar. Sama sekali tidak meliriknya sedikitpun.Sedangkan Ajat, ia menggeleng pelan, mungkin tidak menyangka jika gadis yang ia anggap solehah itu melakukan hal ini. Padahal memang ia tidak melakukannya.Dia Ajat, yang selalu Hilma harapkan setiap hari, dia yang selalu gadis itu minta pada Allah untuk menjadi imam dalam pernikahannya, kini semuanya gugur.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh, rezeki dan mati hanyalah milik Alloh. Mungkin mereka memang tidak berjodoh, meskipun sekuat apa pun hati yakin padanya.Hilma mengagumi Ajat kareta keta'atannya pada Alloh SWT, tapi kini ia harus menikah dengan orang yang bahkan tidak ia kenal sama sekali.Semua warga bersorak, ia meminta kejelasan. Mereka memilih pergi atau menikah. Pak Rt meminta untuk tenang, ia memberitahu warga, jika mereka akan segera dinikahkan. Malam itu juga.***Malam datang, setelah sorenya mereka diberikan waktu untuk berganti baju, kini Hilma dan Zafar diperintahkan untuk kembali ke balai desa. Disaksikan semua orang di sana.Hilma sangat berharap sang Bapak ikut berbicara, ia masih berharap pernikahan tidak terjadi. Tapi Hilma ingat, bahwa keputusan mereka tidak bisa diubah, karena ini termasuk kepercayaan mereka di sini. Siapa yang berbuat zina, jika tidak mau menikah, maka mereka harus pergi dari desa ini.Hilma kembali menangis saat pria itu berjabat tangan dengan Bapaknya. Pernikahan dilakukan secara siri karena butuh waktu seminggu jika harus menikah negara. Mengumpulkan surat-surat dan yang lainnya.Namun belum sempat Zafar mengucapkan ijab qobul, seseorang memaksa masuk ke dalam meskipun sudah dihalangi warga. Ia berteriak tak terima, langsung mendorong Hilma sampai gadis itu tersungkur ke lantai."Sinta!" raut wajah Zafar berubah, ia terkejut kenapa kekasihnya yang arogan itu bisa sampai di desa."Ka—kamu... Kamu kenapa bisa ada di sini? Dengan siapa kamu ke sini?""Jahat kamu, Zafar! Jadi ini yang kamu katakan mau survei tanah untuk membuat konveksi. Bukannya survei, kamu malah akan menikah dengan si Jalang ini!" Sinta kembali menyerang Hilma yang baru saja bangkit, gadis itu dijambak rambutnya dan disungkurkan kembali ke lantai.Melihat itu Zafar langsung menghentikan amukan Sinta, ia kemudian membantu Hilma untuk berdiri, membuat wanita itu semakin marah karena belum puas menyerang Hilma, tapi Zafar malah menyelamatkan gadis itu."Apa-apan ini, Zafar. Kenapa kamu malah lindungi dia. Dasar Jalang! Kamu sengaja kan menjebak Zafar biar bisa menikmati kekayaannya!" Sinta kembali menyerang, ia mencoba untuk mencakar wajah Hilma, beruntung Zafar segera membawanya ke dalam dekapan, dan tak sengaja mendorong Sinta sampai ia jatuh ke lantai."Diam! Kamu tidak ada hak untuk menyakitinya. Pernikahan ini karena aku yang mau, bukan karena dia menggodaku!" Zafar berbicara masih dalam keadaan mendekap gadis itu yang gemetar ketakutan.'Supaya aku bisa lepas darimu, Sinta. Aku bisa saja membela diri untuk tidak dinikahkan, dan memilih pergi dari kampung ini. Tapi semua ini kesempatan bagiku untuk membuatmu pergi, wanita licik, untuk apa aku bertahan jika kamu saja sering berani bermain api di belakangku,' batin Zafar."Lebih baik kamu pergi dari sini!" kata Zafar.Sinta bangkit, ia tersenyum menyeringai menatap pria itu. "Kamu berani ngusir aku? Zafar, kamu tau aku nekat. Jika kamu memang akan menikah dengan dia, maka lebih baik aku mati—""Silahkan!" potong Zafar, membuat wanita itu semakin emosi. "Sudah sering kamu berbicara seperti itu, tapi buktinya, kamu masih hidup, kan? Sekarang, lebih baik kamu pergi. Ayo!" Zafar menarik tangan Sinta yang memberontak, ia berucap sumpah serapah pada Hilma yang telah merebut kekasihnya itu.Zafar mendorong dia sampai jatuh terduduk ke tanah, orang-orang di sana memerhatikan Sinta, membuat wanita itu malu karena diperlakukan kasar oleh Zafar.Sinta bersumpah, bahwa dia akan balas dendam atas apa yang Zafar lakukan. Perlahan ia bangkit dengan sorot mata yang tajam menatap Zafar, tangannya terkepal menahan amarah."Kamu akan menyesali semua ini, Zafar!" tekan Sinta.Zafar juga berjalan mendekat padanya, kemudian berkata, "Sekarang sudah tidak ada alasan lagi untukku mempertahan kamu, Sinta. Silakan pergi, dan carilah pria yang murahan, sama seperti dirimu."Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Zafar, pria itu hanya tersenyum miring sambil memegangi pipinya. "Aku akan membuatmu hancur, Zafar. Ingat itu!" tekan Sinta, kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi. Tiga tahun bersama bukan waktu yang singkat, Zafar sangat tau sifatnya seperti apa. Jika memang ada orang yang mengusik, dia tak segan akan membuat orang itu hancur lebur, lalu dia akan tertawa melihat balas dendamnya berhasil. Tapi Zafar tidak takut, akan ia terima apa pun nanti yang akan dilakukan Sinta padanya. Semua warga menatap Zafar yang kembali masuk. Ia meminta untuk segera dinikahkan saja, jangan menunggu apa-apa lagi, karena masalahnya sudah pergi. Pria itu menatao Hilma yang masih memegangi pipi, karena tadi Sinta juga memukul bagian pipi saat mendorong ia sampai jatuh. "Atas
"Hi—Hilma... namanya Hilma, Bu," kata Zafar, ia tau gadis itu sedang sangat ketakutan, terlihat dari tangannya yang saling bertautan dan sedikit gemetar. "Oh... Hilma. Ya sudah, kalian istirahat dulu, sepertinya Hilma sangat lelah." Bu Hani tersenyum pada gadis itu. "Ayo, kamar kita di atas. Bawa tehnya," ajak Zafar, pria itu membawa tas berisi baju Hilma kemudian menaiki tangga. Hilma meletakan teh manis kembali ke nampak, kemudian memngangkatnya. Ia mengangguk pada Bu Hani yang sedari tadi memperhatikannya, membuat Hilma berkeringat dingin dengan jantung yang sudah berdegup tak karuan. Saat kakinya ingin menaiki tangga, gadis itu lebih dulu menatap ke atas. Andai saja ada kamar kosong yang lain, kecil pun tak apa. Ia lebih baik tidur di sana daripada harus satu kamar dengan Zafar. Pada akhirnya dia hanya bisa menghela napas, kemudian menaiki anak tangga satu per satu. Sesampainya di atas, ia melihat pintu kamar terbuka, kemudian Hilma masuk ke sana. "Taruh sini aja tehnya," uja
Ada rasa lega di dalam hati gadis itu, ia bersyukur karena Bu Hani ternyata sangat baik padanya. Bayang-bayang mendapatkan caci maki, kini musnah sudah. Keduanya kembali ngobrol ngalor-ngidul, lebih tepatnya Bu Hani yang terus berbicara. Hilma hanya diam sesekali tersenyum saat ada hal yang lucu, yang diceritakan oleh mertuanya itu. ***"Mudah-mudahan aku betah di sini, dan tidak ketakutan lagi," ujar Hilma, menatap diri di cermin, gadis itu baru selesai mengenakan pakaian selepas mandi tadi. "Biasa saja.""Hah!" Hilma yang terkejut medengar Zafar yang tiba-tiba mendekat. Sekilas ia melihat suaminya itu tersenyum, kemudian kembali datar. "Sampai kapan takut terus. Kamu kan udah liat Ibu sebaiknya apa sama kamu. Sampai aku aja anaknya, malah kena omel," kata Zafar ngedumel. "Ayo turun!" Pria itu sedikit berteriak dari luar lamar. "Iya," jawab Hilma, sambil mengekor pria itu turun. Matanya melotot saat Zafar menunggu dan kemudian menggenggam tangan Hilma. Gadis itu merasa tak nyam
Bu Hani yang sedang berbincang dengan suaminya dikagetkan dengan Zafar yang tiba-tiba saja datang dari belakang. Mereka yang kebetulan sedang membicarakan hal itu, kesempatan bagi mereka untuk mempertanyakan seuatu hal pada Zafar, mumpung gadis itu tidak ada di sana. Sedangkan Zafar yang tadi ingin mengambil minum, mendadak diam karena tatapan kedua orang tuanya pada dia. "Ibu tidak mau basa basi, Zafar. Setidaknya kamu bisa memutuskan dulu baik-baik sebelum mengambil sebuah keputusan. Bagaimana dengan orang tua gadis itu saat kamu bicara akan menikahinya. Sedangkan mereka kenal denganmu saja tidak.""Apa kata orang tua dia saat tau kalian akan dinikahkan?"Zafar yang terus mendapatkan pertanyaan secara bertubi-tubi malah diam. Dia bingung harus menjawab yang mana dulu. Sedangkan orang tua Hilma, pria itu tak begitu yakin hafal. Karena yang ada di sana hanya Bapaknya saja, bahkan saat ijab qobul pun tidak ada lagi selain dia. Pak Jaidi menatap dengan serius, hatinya masih ragu jika
"Yang apa, Bu?" tanya Hilma penasaran. "Hipotermia." Bu Hani mematikan kompor lebih dulu, kemudian berbalik menghadapi Hilma yang sudah menunggu penjelasan darinya. "Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35oC. Akibatnya, jantung dan organ vital lainnya gagal berfungsi. Jika tidak segera ditangani, hipotermia dapat menyebabkan henti jantung, gangguan sistem pernapasan, bahkan kematian."Hilma mengingat bagaimna waktu itu Zafar seperti sesak bernapas, bahkan saat di arak oleh warga, dia seperti lemas tak berdaya. "Saya tidak tau kapan dan kenapa dia bisa memiliki penyakit itu. Semuanya karena dia karang ada di rumah, seringnya di luar, bahkan dalam seminggu belum tentu dia akan pulang ke rumah." Bu Hani menepuk pundak Hilma lembut. "Makasih ya, karena kamu sudah berusaha menyelamatkan anak saya, meskipun pada akhirnya kalian harus menghadapi hal ini. Tapi di sisi lain, saya bahagia Zafar menikau denganmu, karena hal ini Sinta pergi. Perempuan tak
Sayup-sayup suara adzan terdengar dari masjid, membuat gadis itu mencoba terbangun. Tapi ia merasakan tangannya berat, ia membuka mata perlahan, di sana, Zafar tertidur pulas di tangan istrinya itu. Hilma yang masih setengah sadar hanya diam sejenak. "Astaghfirullahalazim!" Kemudian dia langsung duduk menarik tangannya dari sang suami, membuat pria itu terbangun karena kaget mendengar jeritan Hilma."Kamu ngapain tidur di tangan aku! Katanya gak boleh melewati batas, ini malah kamu yang melanggar aturan itu gimana sih—""Suut!" Zafar dengan cepat membungkam mulut gadis itu, dia yang tadi duduk berbaring kembali karena Zafar mendorongnya. Hal itu membuat keduanya kini berdekatan, Zafar perlahan menurunkan tangan yang dipakai untuk membungkam Hilma, sedangkan gadis itu hanya diam tak berkutik karena terkejut. "Nah begitu diam! Masih pagi banget juga, nanti kalo Ibu denger apa kata dia. Berisik!""Ishh!" Sekuat tenaga Hilma mendorong pria itu agar menjauh darinya. Kemudian dia bangkit
"Maksudnya kamu udah punya pacar?" tanya Bu Hani bingung. Hilma yang keceplosan hanya diam berpikir, jika dibilang pacaran, tidak juga. Karena dia dengan Ajat tidak saling mengutarakan rasa cinta. "Bukan begitu, Bu. Maksud saya....""Oh... Kamu sudah ada pria yang dikagumin begitu? Tapi karena kejadian ini malah hilang harapan?"Gadis itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum kecil. "Begitu, Bu," jawabnya pelan. Bu Hani mengangguk paham. "Kamu mau nerusin pernikahan ini atau kalian minta banding, bawa kasus ini ke jalur hukum. Ibu siap membantu jika memang kalian tidak melakukan apa-apa.""Jalur hukum, maksudnya polisi begitu, Bu?" Bu Hani mengangguk. Sedangkan Hilma diam, bukan tidak mau. Tapi ia paham betul bagaimna sifat watak warga desa di sana. Jika sampai kejadian ini dibawa ke jalur hukum, bahkan sang Bapak pun tidak akan pernah menerima Hilma kembali. "Maaf, Bu. Bukan saya tidak mau. Tapi sulit berada di posisi sekarang. Daripada saya tidak dianggap anak oleh Bapak lagi,
Hampir saja aku menyebutkan siapa orang yang aku cintai selama ini padanya. Tapi meskipun dia tahu juga apa salahnya, toh dia tidak akan mungkin merasa sakit hati bukan? Selang bebrapa hari aku di sini, merasa sangat bosan dan suntuk. Kerjaan itu-itu saja, dan hanya begitu-begitu saja, lain seperti di desa, kalau suntuk bisa pergi ke sawah menikmati pemandangan alam yang Alloh ciptakan. Huff.... Semakin lama di sini aku pasti akan titingkuheun, kalau bahasa Indonesia apa ya, aku juga kurang tau. Yang pasti kaki akan terasa kaku karena hanya jalan ke atas, bawah, teras lagi, dapur lagi. Begitu saja terus.Mana di sini dihadapkan dengan seorang pria yang setiap hari ada saja ulahnya. Kalau aku yang jadi Bu Hani, sudah emosi jiwa dibuatnya. Sedang asik melamun malam-malam, Tiba-tiba pintu diketuk, tak lama Bu Hani muncul dari balik pintu. Ia tersenyum lalu masuk. Aku membenarkan posisi duduk dan bergeser agar Ibu duduk di sebelahku. "Besok hari Kamis, kita siap-siap ke desa ya. Ibu