Sejak meninggalkan ruangan keponakannya, suasana hati Rendy jadi berubah sangat buruk. Rencana yang sebelumnya dia kira akan berjalan dengan sempurna, tiba-tiba kini sepertinya akan menjadi berantakan. Dia sama sekali tak pernah mengantisipasi jika keponakannya itu akan ikut campur dengan urusan supermarket. Terlebih lagi, hal itu dilakukannya begitu mendadak. Padahal sebelumnya, keponakannya itu terlihat tak tertarik saat dirinya mencetuskan ide pertama kali tentang pembelian bisnis itu. Rendy mulai berpikir jika anak itu memiliki tujuan lain.Rendy bukan jenis orang yang percaya dengan sesuatu yang disebut 'kebetulan'. Itulah kenapa dia juga tidak percaya dengan alasan Aaron yang tiba-tiba mengatasnamakan mendiang mamanya untuk mengambil alih pengelolaan supermarket yang baru saja dibelinya.Anak itu pasti telah mengetahui sesuatu tentang dirinya dan dia harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Jika tidak, semua rencana yang telah disusun selama bertahun-tahun bisa hancur berantaka
Rama terlihat duduk di salah satu bangku sebuah restoran yang sebelumnya telah disepakati untuk bertemu dengan Rendy. Pemuda itu tengah menyesap secangkir espresso yang telah dipesannya beberapa menit yang lalu. Beberapa detik kemudian dia mengangkat tangannya, melirik arloji yang melingkar di pergelangan kirinya. Sudah lima belas menit berlalu, tapi pria yang meminta untuk bertemu dengannya itu tak kunjung menampakkan diri.Padahal sebelumnya, Rendy sedikit memaksa saat ingin menemuinya pada jam makan siang. Jika bukan karena prospek uang yang menjanjikan, Rama pasti sudah pergi dari tempat itu sejak tadi.'Lima menit lagi, jika tak muncul juga, aku tinggal saja,' batinnya. Dua kakinya mulai bergerak-gerak tak tenang di bawah meja. Kepalanya sesekali menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Entah sudah berapa kali dia pandangi arloji di tangan kirinya itu sambil berdecak. "Sudah lama nunggu ya, Ram?" tanya suara bariton dari balik punggung Rama. Rama yan
Pagi itu, Aaron berada satu meja bersama Olivia dan Genta di ruang makan. Meski dia senang adiknya akhirnya menyusulnya ke Jakarta, perasaannya pada iparnya itu masih tetap sama.Aaron sepertinya belum bisa menerima fakta bahwa pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu kini menjadi adik iparnya."Kakak nggak berangkat ke kantor hari ini?" celetuk Olivia di tengah aktivitasnya mengunyah nasi goreng buatan kakaknya.Kedua pria di meja makan itu langsung menghentikan kunyahannya. Genta yang sedari tiba di apartemen Aaron terlihat makin pendiam, hanya melirik istrinya sekilas. Kemudian dia kembali berpura-pura sibuk dengan makanan di piringnya. Sejujurnya dia pun merasa sangat tak nyaman berada di dalam satu rumah dengan kakak iparnya itu. "Makanannya dihabisin dulu, baru ngomong," ucap Aaron yang beberapa detik kemudian telah selesai dengan sarapannya.Ditegur kakaknya seperti itu, Olivia hanya merengut. Lalu mengikuti suaminya untuk fokus pada makanannya. Sejenak kemudian, dia pu
"Dah laper belum, Al?" tanya Dena, menarik perhatian sahabatnya yang sebelumnya masih sibuk melayani pelanggan. Seolah diberi aba-aba, perut Alea pun langsung berbunyi. Itu tak mengherankan, mengingat dia dan Dena tidak sempat sarapan pagi ini dan beberapa menit lagi memang sudah jam makan siang. "Lapar sih. Memangnya mau makan sekarang?" Alea mengernyit. Matanya segera saja celingukan, takut kalau-kalau ada yang mendengar percakapan mereka. "Iya, yuk." Dena langsung meraih lengan sahabatnya, tapi Alea masih juga tak bergerak. "Masih lima belas menit lagi jam istirahatnya, Den. Nggak enak sama yang lain," sergah Alea dengan wajah bingung. Bukan apa-apa, dia tak ingin saja terlihat dispesialkan di tempat kerjanya itu karena Dena sering mengajaknya keluar sebelum jam istirahat. Meskipun tak pernah mendapat teguran dari atasan mereka, Alea tetap merasa bersalah. "Rama nggak akan marah cuma gara-gara masalah sepele kayak gini, Al. Ayolah, aku udah lapar nih. Pagi tadi kan kita nggak
Beberapa hari sudah berlalu sejak Alea melihat kehadiran Aaron di tempatnya bekerja. Namun karena belum ada tanda-tanda adanya pekerjaan baru yang lebih baik dari pekerjaannya sekarang, Alea masih tetap pergi bekerja seperti biasa. Sayangnya, Dena pun tampaknya masih belum mendapatkan informasi apapun mengenai kehadiran Aaron beberapa hari yang lalu di tempat itu dari Rama.Pria itu mendadak menjadi super sibuk, entah apa yang sebenarnya sedang dia kerjakan. Dia yang biasanya tiba-tiba muncul di kost Dena untuk mengajaknya keluar, akhir-akhir ini bahkan jarang menghubungi gadis itu. Pun sangat susah untuk dihubungi.Sampai siang itu sepertinya Dena sudah berada pada suasana hati yang buruk dan Alea yakin itu semua karena pria bernama Rama.Setahu Alea, Rama memang sama sekali bukan tipe lelaki idaman Dena. Namun Alea merasa wajar saja jika Dena jadi begitu murung kala pria yang selalu mensupport dari segi finansial itu menghilang tanpa kabar padahal sebenarnya sosoknya bisa ditemui d
Mimpi buruk. Hanya itu yang ada dalam pikiran Alea saat mendapati bahwa kakak mantan muridnya itulah yang telah menunggunya di ruang direktur. Semua kekhawatirannya selama ini terjadi sudah. Lelaki itu telah memintanya duduk beberapa kali, tapi Alea tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Dia benar-benar shock dengan apa yang sedang terjadi padanya saat ini. Dalam kepalanya, Alea hanya ingin pergi dari tempat itu karena campur aduk antara sakit hati dan malu.Perlahan Alea pun mundur satu langkah. Wanita itu siap untuk berbalik dan menghambur ke pintu. Dia bahkan sudah tidak lagi peduli lagi jika sikapnya itu nantinya akan dianggap tidak sopan oleh siapapun yang melihatnya. Alea hanya ingin segera pergi dari tempat itu dan tak ingin kembali lagi.Akhirnya dengan segenap kekuatannya, Alea berhasil membalikkan tubuhnya dan mulai melangkah. Namun, baru beberapa saat sebelum dia mencapai pintu, sebuah tangan meraih lengannya. Lalu terdengar sebuah suara yang begitu dekat dengan telinga
Sehari setelah kepergian Alea, Aaron masih berpikir wanita itu hanya butuh lebih banyak waktu untuk menenangkan diri. Aaron yakin Alea akan bisa berpikir jernih dan melihat manfaat dari apa yang dia tawarkan itu. Namun hari itu Alea benar-benar tidak muncul di tempat kerjanya. Aaron mengetahui hal itu karena dia telah beberapa kali berkeliling supermarket dan tak mendapati wanita itu di manapun. Karena tak punya ide bagaimana cara menemukan Alea, Aaron pun akhirnya memanggil Rama–orang yang dia tahu paling bertanggung jawab dengan para karyawan–untuk datang ke ruangannya. Begitu Rama muncul, Aaron langsung mempersilakan pria itu duduk di depannya. "Pak Aaron memanggil saya?" tanya Rama memulai percakapan dengan gaya “Asal Bapak Senang” seperti yang selalu dilakukannya dengan siapapun atasannya. Walau sejujurnya Rama tidak terlalu senang dengan bos barunya yang menurutnya terlalu tampan dan bisa menjadi saingan terberatnya di supermarket itu. Tidak seperti Pak Tio yang sebelumnya cu
Rupanya Aaron tak salah memilih Dena menjadi informannya tentang Alea. Selain karena keduanya adalah sahabat, ternyata Dena juga sangat cepat memberikan informasi yang dibutuhkannya. Hari itu juga, sebelum Aaron sampai di apartemennya, Dena sudah menelponnya untuk melaporkan sesuatu. Padahal dia sendiri bahkan belum memberikan instruksi apapun pada sahabat Alea itu.“Pak Aaron, ini saya Dena.” Suara wanita di seberang membuat hati lelaki itu berdebar karena tak sabar ingin tahu kabar dari Alea. “Iya, aku sudah simpan nomor kamu. Ada apa?” Suaranya masih terdengar tenang meski hatinya sangat lah penasaran. “Maaf kalau saya ganggu ya, Pak? Saya mau cerita soal Alea,” kata suara dari seberang, terdengar sedikit ragu.“Cerita saja, ada apa?” tanya Aaron.“Saya tidak berhasil membujuknya untuk kembali masuk kerja, Pak. Dia malah memutuskan untuk balik ke kampung. Gimana, Pak?” Kali ini nada bicara Dena terdengar mulai panik dan berbisik. Aaron yang sedang ingin fokus mendengarkan kabar