Satu jam kemudian ....
Aku enggak mau menyetir. Kepalaku lagi penuh banget. Alzian mencoba menenangkanku, “Enggak usah dipikirin, lagian mereka juga anak-anak.” Aku melirik ke dia, “Tapi pelukan mereka ngangenin, sih. Aku suka banget di kelas bareng mereka.” Dia senyum dikit, terus menyalakan mobil. “Kamu emang selalu jadi guru yang keren.” Aku pun bertanya pelan, “Dulu aku emang kayak gitu, ya?” Dia mengangguk. “Iya. Kamu, tuh selalu pulang dan cerita soal kelakuan anak-anak itu. Kamu cinta banget sama kerjaan kamu.” Dia lihat aku sebentar sebelum masuk ke jalan utama. “Anak-anak itu ngomong apa adanya. Kamu enggak usah terlalu mikirin omongan mereka.” Aku mengangguk, tapi tetap saja merasa bersalah. “Kayaknya kalau aku tahu penyebab kenapa aku bisa pergi dulu, mungkin rasa bersalah aku enggak bakal separah ini ... Atau malah makin parahSatu jam kemudian .... Aku enggak mau menyetir. Kepalaku lagi penuh banget. Alzian mencoba menenangkanku, “Enggak usah dipikirin, lagian mereka juga anak-anak.” Aku melirik ke dia, “Tapi pelukan mereka ngangenin, sih. Aku suka banget di kelas bareng mereka.” Dia senyum dikit, terus menyalakan mobil. “Kamu emang selalu jadi guru yang keren.” Aku pun bertanya pelan, “Dulu aku emang kayak gitu, ya?” Dia mengangguk. “Iya. Kamu, tuh selalu pulang dan cerita soal kelakuan anak-anak itu. Kamu cinta banget sama kerjaan kamu.” Dia lihat aku sebentar sebelum masuk ke jalan utama. “Anak-anak itu ngomong apa adanya. Kamu enggak usah terlalu mikirin omongan mereka.” Aku mengangguk, tapi tetap saja merasa bersalah. “Kayaknya kalau aku tahu penyebab kenapa aku bisa pergi dulu, mungkin rasa bersalah aku enggak bakal separah ini ... Atau malah makin parah
୨ৎ K H A L I S Aજ⁀➴ Begitu aku sampai di sekolah, Pak Wimbbie sama tim kantor menyambutku dengan pelukan, sambil mendoakan yang baik-baik. Setelah sesi salam-salaman, aku jalan bareng Pak Wimbbie menyusuri koridor sekolah. Alzian juga ikut, tapi dia enggak mau mengalah untuk beri aku ruang biar bisa merasakan lagi suasana duniaku yang lama ... dia malah sok-sokan ikut campur. “Jadi ya, murid-murid kamu yang dulu udah pada naik kelas dan ini kelas kamu yang lama. Sayangnya kita udah renovasi sedikit, semoga aja bisa bantu kamu ingat lagi,” katanya. Aku, sih mengerti maksud baiknya, tapi jujur saja, rasanya malah jadi tekanan baru. Alzian bersandar di dinding waktu Pak Wimbbie membukakan pintu kelas dan bilang kepada anak-anak kalau mereka bakal dapat kejutan. Anak-anak pun heboh tanya ini dan itu, "Kenapa balik ke kelas yang lama, siapa yang datang, terus makan siang gimana, masih bisa main di luar apa enggak?
"Kalau kamu menang, aku yang nyetir hari ini," kata dia. "Deal," jawabku, buru-buru mengusir bayanganku buat main sama dia di atas meja dapur sambil makan blueberry sama stroberi dari tubuh dia. "Oke deh, yang terakhir ya." Dia masukkan pancake rasa anggur ke mulutnya, mengunyahnya sekali, terus langsung jalan ke wastafel buat meludah. "Enggak bisa nih. Semua biji-biji kecilnya pahit banget di mulut aku." Aku senyum, terus menghabiskan pancakeku yang lain. "Jadi, bisa dibilang aku yang menang dong?" Dia balik badan, ambil tisu dari rak dan bersihkan mulutnya. "Aku dari dulu suka stroberi ya?" tanyanya, terlihat kecewa. Aku bikin dia tenang sedikit, aku geleng kepala dulu. "Terus dulu favorit aku apa?" Aku tunjuk pisang, dan dia tersenyum. Tapi senyumnya cerah banget, seperti dia bakal kecewa kalau ternyata masih suka buah yang sama, strawberry. Aku tahu, apa yang dibilang Derrin ke dia waktu di pesta itu keterlaluan. Sekarang Khalisa merasa bersalah, selalu punya p
Seminggu setelah tinggal di Villa ....Aku bangun di kamar tamu dan bukannya langsung turun, aku malah duduk dulu di pinggir kasur sambil memandangi jendela depan.Ada suara di bawah, sepertinya Khalisa lagi bikin sarapan. Beberapa hari terakhir, dia lagi coba makanan-makanan baru. Gara-gara dia suka banget sama Sufle buatan Jalapeno di penginapan waktu itu.Dia bilang kalau hari ini lagi buat varian barunya. Aku tertawa sendiri. Khalisa yang dulu enggak pernah mau mencoba apa pun yang dia belum yakin bakal suka.Sebenarnya, aku sudah merasakan dari awal pas setuju buat bantu dia, batas di antara kita pasti akan pudar. Tapi aku bukannya ingin Khalisa yang dulu kembali, aku malah makin suka sama Khalisa yang sekarang.Aku pakai kaus dan turun ke bawah buat sarapan. Aku sudah ada janji hari ini sama kepala sekolah tempat dulu Khalisa bekerja, buat ajak dia lihat kelas lamanya dan bertemu sama anak-anak.Pak Wimbbie bilang semua mur
Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Aku duduk di atas sofa, “Khalisa, sini duduk, aku pangku.” Khalisa melangkah sambil tersenyum malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang. Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa merasakan tonjolan Juniorku di pantatnya, tapi ia enggak bilang apa-apa. “Oh iya, Alzian. Kamu jangan macem-macem ya. Kita masih pacaran, jadi kamu jangan ngelakuin hal yang lebih ya,” ucap Khalisa. “Iya, aku ngerti kok. Aku nggak akan ngelakuin yang nggak kamu minta,” balasku. Aku melingkarkan tanganku di pinggang Khalisa, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar kaos. “Perut kamu six pack, ya?” tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa. Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah ketiak.
Esok paginya, untuk memastikan kalau hubunganku dengan Khalisa baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke rumah Khalisa, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam. Aku mengetuk pintu rumahnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia enggak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar. “Eh, Alzian? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. “Iya, aku kebetulan lewat sini dan ingat mau ngembaliin buku,” ucapku canggung. “Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam ruang tamu. Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam rumahnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku rumahnya tampak rapi.