Share

BAB.II PATAH HATI

Aku melangkah keluar berusaha untuk terlihat tegar. Namun tak urung Tanganku gemetar saat Aku menyalakan motor dan mulai menjalankannya perlahan membelah jalan aspal yang hitam. Dadaku terasa penuh dan sesak seperti terhimpit sekat yang semakin merapat. Jika bisa Aku begitu ingin berteriak sekadar untuk melegakan jalur nafas yang mulai terasa amat berat.  

Merasa tak sanggup lagi untuk pulang, lebih tepatnya aku tak ingin rasa ini ikut terbawa pulang segera ku belokkan stang kemudi motor ke masjid dekat rumahku. Setelah memarkirkan motorku tepat di depan pintu masjid, gegas aku menuju tempat wudhu untuk berwudhu dan menenangkan hati dan fikiran yang sudah teramat sangat kalut. Aku tersungkur dihadapan Rabbku. Saat aku bersujud lingkaran kristal bening yang sedari tadi menggantung di mataku akhirnya tertumpah tanpa mampu ku bendung.

Pedih dan perih  bercampur baur menjadi ribuan rasa yang menyesakkan. Aku mengadu dan merintih kepada Sang Pembolak balik Hati. Ya Rabb yang maha mencintai, adakah Engkau cemburu karena hambamu ini lebih mencintai makhluk ciptaanMU. Ampuni aku ya Rabb.

Zikir yang terus menerus ku lafazkan perlahan membuat hatiku menghangat, setitik keyakinan memercik dihatiku. Allah pasti mengambil sesuatu dari hambaNya dengan suatu alasan yang baik. Aku hanya perlu berbaik sangka kepadaNYA. Yah, Allah pasti hanya menginginkan yang terbaik untuk ku.

Aku melanjutkan perjalanan pulang dengan perasaan sedikit ringan. Sesampai di rumah aku berusaha untuk segera tidur. Namun rasa sesak itu hadir kembali saat aku terbaring di peraduan yang dulu pernah hangat oleh hadirnya Nuraini. Aku menghidu aroma setiap bantal dan seprai dengan perasaan hampa berusaha mencari sisa – sisa aroma tubuh Aini di peraduan kami.

Ah… Bahkan baunya pun tak tertinggal lagi di rumah ini. Akulah yang bodoh, dia bahkan tak sudi lagi menginjakkan kakinya kemari namun aku masih berusaha menahannya dalam pelukan. Butiran bening di netraku kembali tumpah dan semakin deras mengalir, aku tergugu mengenang masa - masa indah kami setelah menikah. Meski aku yakin bahwa Sakit hati dan kehancuran ini pasti akan berlalu seiring berjalannya waktu. Namun saat ini aku ingin menikmati rasa sakit karena kehancuran rumah tanggaku yang berusaha mati - matian aku pertahankan. Lelah menangis, akhirnya aku terlelap dalam pelukan malam yang penuh luka. 

Sebulan sudah sejak aku menjatuhkan talak kepada istriku. Masih terasa perih namun perlahan tapi pasti aku sudah mulai bisa menerima apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tanggaku bersama Nur. Dia benar, aku harus melepaskannya karena aku sudah tak mampu membahagiakannya. 

Tak dapat ku tampik, perasaan galau dan rindu terkadang muncul tanpa bisa aku tahan, dan jika saat itu datang, rasanya aku ingin terbang ke rumah Nur dan memeluk erat dirinya. Namun lambat laun ku sadari, semua tak sama seperti dulu, dia bukan istriku lagi. Haram bagiku walaupun hanya sekadar mengangankannya.

 Satu – satunya tempat pelarian saat hatiku gundah adalah masjid di persimpangan jalan di dekat rumahku. Di sana, aku mengadu dan meluapkan kesedihan serta kegelisahan yang kerap mendera hati. Aku bisa menghabiskan berjam – jam di masjid dengan berdoa dan mengadukan kepada Rabb ku tentang derita hatiku yang begitu merindukan Nur.  Beruntung Pak Darkum, marbot masjid itu, tak berkeberatan menungguiku hingga aku selesai. Dan hatiku kembali tenang.

Hari berlalu, namun tak ada yang berubah dalam kehidupanku, semua masih sama. Aku masih menjadi tukang ojek dan terkadang kuli bangunan. Namun sekarang aku tak ada lagi tujuan hidup selain mengharap ridha Allah. Sedikit demi sedikit aku berusaha memperbaiki kuantitas dan kualitas sholatku. 

`Pagi ini seperti biasa sepulang dari masjid seperti biasa aku mampir membeli sarapan di warung Teh Minah. 

“Nasi Uduknya pakai telor satu, Teh.” pintaku sambil mencomot sepotong tahu isi. 

“Siap, Sabar ya Bos. Saya layani Ibu ini dulu, antri... antri.” Ujar perempuan berwajah bulat itu sembari tangannya bergerak lincah meracik nasi uduk di dalam pincuk daun di tangannya. 

Selepas sarapan, aku segera menuju pangkalan ojek tempat aku biasa mangkal. Setelah berbasa basi sedikit dengan sesama rekan seperjuanganku, aku mengeluarkan mushaf mungil pemberian Pak darkum dari tas pinggang lusuhku, aku ingin meneruskan hafalan Juz Amma yang semalam sempat tertunda karena kantuk yang tak tertahankan 

“Jadikan sholat dan Alquran sebagai penenang batinmu nak. Bertawakal dan bersabarlah, semua pasti akan berlalu.” Nasihat Pak Darkum saat melihatku menangis ketika berdoa di masjid. Seolah dia mampu membaca kegalauan yang ada di hatiku saat itu. Aku hanya tersenyum, namun sekarang ini mulai aku ikuti. 

Setelah mendapatkan beberapa orderan aku memutuskan untuk pulang, aku harus mengecek kebun sawit di belakang rumahku yang beberapa hari ini kuabaikan. Musim kemarau menghembuskan udara yang lembab dan kering. Debu yang berterbangan menyambutku ketika aku menapaki jalan menuju rumahku. Dedaunan sudah berubah warna menjadi coklat karena banyaknya debu yang menempel. Sesekali kutahan nafas karena debu yang berterbangan menutupi pandangan. Mataku perih, dan mulai berair. Ku pasang kaca pelindung helm untuk sekadar mengurangi paparan debu ke netraku, beberapa meter dari rumah aku melihat sedan hitam yang tak asing terparkir di depan rumahku dalam keadaan mesin yang masih menyala. 

Setelah memarkirkan motor di bawah pohon pisang kepok di samping rumahku, aku berjalan menuju mobil sedan itu dengan waspada.  Tiba – tiba pintu mobil terbuka dan sepasang kaki jenjang tertutup gamis dan sepatu top toe kulit mahal menjejak tanah diikuti dengan lengan yang berhias gelang dan jam bewarna emas. Lalu wajah itu, wajah yang selalu kurindu siang dan malam. Wajah yang selalu mampu membuatku merasa seperti pecundang. Wajah wanita yang pernah ku cintai dan masih ku cintai. Nuraini!

Dia terlihat lebih cantik sekarang. Apalagi dengan barang – barang branded yang dia kenakan. Aku memalingkan muka ke arah kemudi, lelaki itu lagi. Ada perih dihati, rasa pilu menyayat sanubari. Menyaksikan wanita yang aku cintai sudah bahagia dengan lelaki lain. Aku menelan ludah yang terasa getir. Segetir kenyataan yang saat ini ada didepanku.

“Langsung aja ya bang, Saya kemari mau mengantarkan surat panggilan sidang dari pengadilan. Biar proses lebih mudah, baiknya abang tak usah datang. Paling hanya dua kali sidang, perkara cerai kita sudah bisa diputuskan.” Ujarnya tanpa melihat wajahku lagi. 

Dia sudah ber “saya”, tak ada lagi panggilan manja “adek” darinya. Seolah mempertegas posisi hubungan kami sekarang, “orang asing”. Aku ingin bicara banyak, tapi kata – kataku tercekat di tenggorokan. Aku hanya mengangguk dan menatap wajahnya dengan penuh kerinduan. 

“Ini suratnya.” Dia menyerahkan surat yang baru saja dia keluarkan dari tas Chann*l coklat susu. Aku tahu harga tas itu tidak murah. Bahkan jika aku ngojek dan jadi kuli bangunan bertahun – tahun pun tak akan terbeli. Aku tahu, karena dulu aku pernah membelikan satu untuknya saat usahaku masih jaya. Aku menerima surat itu dengan tangan bergetar.

“Ingat, abang tak perlu datang. Jangan persulit saya!” tegasnya sebelum menghilang di balik mobil sedan dan mobil pun berlalu menyisakan debu yang beterbangan membuatku kembali terbatuk. 

Aku menatap surat bersampul coklat dengan logo Pengadilan Agama di pojok kanannya. Tanpa kubuka aku sudah tahu apa isinya. Setelah mengunci pagar dan pintu, aku masuk ke kamar, kupandangi lagi surat itu dengan hati remuk. Ku hidupkan kipas angin, lalu ku hempaskan tubuh ke atas ranjang. Ranjang yang pernah menjadi saksi cinta kami. Ingatanku menerawang kembali ke masa – masa itu. Masa bahagia kami, masa – masa awal perjumpaan dan pernikahan kami. 

Sesungguhnya Nur bukan satu – satunya wanita yang mengejarku dahulu. Ada beberapa wanita yang dulu ikut memperebutkanku. Meski Aku tak tampan, tapi postur tubuhku tinggi dengan dada bidang berotot bukan karena rajin pergi ke gym tapi karena kerja keras yang aku lakukan setiap hari. Kulitku kuning langsat dengan bentuk rahang tegas. Hidung mancung dan alis menukik seperti sayap burung elang. Selain itu, usahaku yang maju menjadikan aku hidup tak kekurangan meski aku tak punya orang tua lagi. 

Kedua orang tuaku sudah meninggal tersapu tsunami di Aceh 2004 silam. Saat itu ayahku sedang bertugas di salah satu perusahaan minyak. Ketiga saudaraku semua ikut terseret arus tsunami dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Aku sebatang kara, seorang tentara baik hati akhirnya membawaku ke kota ini, menyekolahkanku dan membiayai segala kebutuhanku.

Saat aku lulus SMK, beliau memintaku untuk ikut pindah ke Jambi, karena beliau pensiun dan ingin menghabiskan sisa hidupnya disana. Aku menolak dan lebih memilih untuk tinggal di kota ini. Bukan karena aku tak ingin, tapi aku tak mau membebani beliau lebih banyak lagi. Setelah beliau pindah, aku mulai hidup berkelana. Menjadi pegawai toko, pegawai rumah makan. Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Pak Badrun peternak ayam.

Melihat ketekunan dan kejujuranku dalam bekerja, beliau menawarkan kerja sama. Dia yang memberiku modal, dan aku yang mengurus ayam – ayamnya. Hasilnya kami bagi tiga, satu untuk ku, satu untuk dia dan satu lagi untuk biaya operasional. Dalam waktu beberapa tahun usaha peternakan itu maju pesat. Aku bisa menyisihkan uang untuk membeli tanah dan membangun rumah, serta membeli mobil dan membiayai pernikahanku. 

Nur aini, gadis cantik berkulit putih itu pertama kali aku temui empat tahun silam saat aku menghadiri pesta pernikahan seorang teman.  Dia datang bersama temannya Ririn. Dalam balutan jilbab ungu muda dan gamis warna senada dia terlihat sangat anggun. Parasnya memancarkan kelembutan dan tutur bahasanya begitu halus. Aku terpesona, namun aku tak punya cukup keberanian untuk mendekatinya meski sekadar berkenalan. 

Dia memandang berkeliling dan saat netra kami bertemu dia tersenyum. Ada desiran halus di hatiku. Aku merasa ada ribuan kupu – kupu terbang di perutku. Dia segera menarik lengan Ririn yang masih celingak- celinguk untuk duduk di tempat duduk yang masih kosong di sebelahku. Saat dia duduk disebelahku aroma harum segar menguar dari tubuhnya. Ah, bidadari kah wanita yang duduk disebelahku ini? Aku gugup dan keringat dingin mulai bercucuran di pelipisku. Dia melempar senyum kepadaku dan ku balas dengan senyum kikuk. Terlihat dia seperti mengorek  isi tasnya untuk mencari sesuatu, kemudian mengeluarkan sebungkus tisu yang diulurkannya padaku.

“Hapus dulu keringatnya Bang, nanti gantengnya luntur lho,” suara lembut itu membuat hatiku berdesir kembali. Dengan canggung aku mengambil dua lembar tisu lalu mulai mengelap keringat di wajahku.

“Makasih ya dek.”

“Sama- sama Bang. Bang Zul datang sendirian? Pacarnya mana?”, dia bertanya sambil celingukan melihat kursi sebelahku yang berisi nenek – nenek dan seorang cucu perempuan yang gempal dan menggemaskan. 

“Kok adek bisa tahu nama abang? Apa kita pernah ketemu sebelumnya?”

“Hmm, siapa yang tak kenal dengan abang. Ini kota kecil, dan yang satu – satunya pemasok ayam di pasar kan Cuma abang. Tak mungkin ada yang tak kenal sama abang. “ dia mencebik

Aah,,, manisnya. sementara Ririn tampak sibuk bermain dengan gawainya.

“Biasa saja dek, semua hanya titipan. Abang belum punya pacar jadi kemana – mana sendirian. Adek sendiri siapa namanya?”

“Seganteng ini belum punya pacar?” Matanya terbelalak lucu

“Masa sih??, Oh iya, saya Nuraini dan ini teman saya Ririn.” Imbuhnya sembari menepuk halus pundak Ririn. 

“Hai Bang, salam kenal yah.” Sapanya, kemudian dia kembali asyik bermain dengan gawainya. Sekilas kuperhatikan Mereka berdua sama cantikknya. Hanya saja kulit Ririn hitam manis, berbeda dengan Nur.

Ririn mempunyai susunan gigi yang rapi dan lesung pipi yang memikat. Suara tertawanya pun sangat merdu, siapapun yang mendengarnya tertawa pasti akan tertular bahagia. Selain itu Ririn berpenampilan sedikit sporty dengan sneaker dan cardigan hitam tapi tetap berhijab dan tetap menarik. Aku ingin mengajak Ririn ngobrol lebih banyak tapi Nur seolah mendominasiku dengan pertanyaan dan gurauannya hingga akhirnya aku lebih banyak berinteraksi dengan Nur.

Selesai pesta aku segera menuju mobilku di parkiran. Tiba – tiba aku mendengar suara wanita memanggil – manggil namaku. Aku menoleh mencari – cari suara itu dan netraku menangkap dua orang gadis cantik di dekat pintu gerbang.

“Bang Zul, Kita boleh ikut abang gak? Kita gak bawa motor tadi.” Dia sedikit berteriak mengimbangi suara musik orkestrayang masih keras terdengar meskipun kami sudah di pelataran parkir.

“Okey, tunggu disana aja.”  Aku segera menyalakan mesin dan membiarkan jendela sedikit terbuka agar udara panas di dalam mobil segera dapat bersirkulasi dan tergantikan oleh udara dingin yang di hembuskan oleh AC mobil. Kuputar kemudi kearah dua gadis manis itu berdiri. Ririn tampak sungkan naik mobilku, tapi Nur segera membuka pintu depan mobil dan duduk disebelahku. 

“ Mau diantar kemana?” tanyaku sambil menoleh kebelakang ke arah dimana Ririn duduk.

Ririn bengong, matanya mengerjap lucu beberapa seperti sedang berfikir.

“Kerumah kita lah, masa kekuburan.” Nuraini menimpali.

“Iya, tapi rumahnya dimana, nona?” kali ini aku bertanya kepada nuraini 

“Di Jalan Pedamaran dekat warung pecel lele Mas Arum, Pecel lele favorit nya Abang kan?” Imbuhnya sambil memamerkan gigi kawatnya. 

Aku tercekat, bagaimana gadis cantik ini tahu semua yang berkaitan denganku. Namun aku menyimpan semua tanya dalam hatiku.

“Ashiaappp, Nona” kulajukan mobil meninggalkan tempat pesta.

Perjalanan ke rumah Nur dan Ririn memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit. Nur banyak bercerita tentangnya. Dia ternyata dulu mengambil kursus komputer di salah satu sekolah tinggi komputer di kota ini dan sekarang sedang bekerja sebagai kasir di satu –satunya mall di kota ini. Sementara Ririn dulu kuliah di fakultas keguruan mengambil jurusan Bimbingan Konseling dan sekarang sudah menjadi guru honorer di sebuah sekolah menengah pertama di desa sebelah. Dia kost disana dan hanya pulang seminggu sekali. Rumah mereka berdekatan dan mereka berteman sedari mereka kecil.

Tak terasa kami sudah sampai, Ririn turun duluan setelah mengucapkan terima kasih sementara Nur masih di dalam mobil menatapku.

“Makasih ya Bang, Nur boleh Minta No w******p Abang?” tanyanya.

Akhirnya kami bertukar nomor. Sejak saat itu hubungan kami semakin dekat dan akrab. Aku masih penasaran dengan Ririn, dan ingin ngobrol banyak dengannya. Tapi Nur tak mau memberikan nomor gawainya kepadaku. Selalu ada saja alasan Nur saat aku meminta nomornya. Bahkan Nur terlihat sungkan untuk menunjukkan rumah Ririn saat aku bertanya.

Akhirnya aku menyerah dan membiarkan hubunganku dengan Nur berkembang. Sedikit demi sedikit aku mulai mencintainya. Meski ada beberapa sifatnya yang terkadang tak begitu aku suka. Nur sedikit matre dan “celamitan”. Beberapa kali dia minta dibelikan barang – barang yang harganya cukup fantastis tapi cinta sudah  membutakan mataku. Hingga aku selalu menuruti kemauannya dengan senang hati.

Beberapa kali juga Pak Badrun mengingatkan aku tentang sifat Nur, namun sedikitpun aku tak menggubrisnya. Dimataku Nur sempurna.

Dua tahun lalu, aku melamarnya. Nur menerima dengan syarat dia ingin pesta yang meriah di gedung termewah di kota kami. Awalnya aku keberatan karena tabungan ku tak cukup. Untuk berhutang di bank aku tak mau. Akhirnya Nur menyarankan agar aku menjual mobilku.

Dan lagi – lagi demi cinta, aku menurut bak kerbau yang tercocok hidung. aku pun segera menjual mobilku. Lalu Aku membeli motor untuk mempermudah mobilitasku, sisa uang pembelian mobil berikut tabunganku ku serahkan ke Nur semua untuk biaya pernikahan.

 Pernikahan kami berlangsung meriah, semua sanak saudara Nur datang dari segala penjuru. Keluarganya nampak sangat bangga dengan pernikahan kami. Dan salah satu dari tamu undangan itu adalah Ririn, namun kini aku sudah tak ada lagi rasa penasaran terhadap dia. Hatiku sudah tercurah habis untuk mencintai Nur. Dia duduk di deretan tamu undangan, dengan tatapan tak jua beralih dariku. Tatapan yang sulit kuartikan.

“Selamat ya Nur dan Bang Zul, Barakallah untuk kalian berdua.” Ririn menyalamiku dan Nur. 

“Makasih ya Rin, kemana aja kok lama gak keliatan.” Ujarku berbasa basi.

“Ririn udah diterima PNS Bang, di Metur. Jadi jarang pulang karena jauh.” Ujarnya.

“Wah, Selamat ya Rin.” Senyumku terhenti saat aku melihat wajah Nur yang cemberut. 

Sejak saat itu aku tak pernah melihat Ririn lagi. Dan aku pun sibuk menikmati masa – masa bulan madu bersama istriku. Hingga aku mulai melupakannya. 

Suara Murattal dari Masjid menyadarkanku dari lamunan. Astaghfirullah, segera ku sambar handuk dan mandi. Aku tak ingin terlambat berjamaah. 

Usai Sholat Maghrib, Pak Darkum mengajakku untuk takziah ke rumah kakaknya yang baru saja meninggal sore tadi. 

“Dimana rumahnya Pak?” Tanyaku sambil menstater motor.

“Di Pedamaran Zul, agak Jauh memang. Gak keberatan kan?” beliau segera menggulung kain sarungnya. 

Degg,, Pedamaran, itukan rumah Nur. 

“Ayo naik Pak.” Dan motor pun melaju.

Benar saja Pak Darkum menunjukan sebuah rumah asri tepat di depan rumah mertuaku. 

Setelah memarkirkan motor ditempat yang sudah disediakan aku mengekori Pak Darkum ke dalam Rumah. Tuan rumah mempersilahkan kami masuk. Aku duduk di pojokan tepat di sebelah Pak Darkum. Mataku menyapu foto – Foto yang terpasang di dinding ruang tamu, aku melihat sebuah foto seorang wanita dengan pakaian toga dan mengamit ijazah. Aku mengenal perempuan di foto itu. Ririn! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status