Share

BAB.III TAKZIAH

Acara Takziah sudah hampir usai, tradisi di kota ini biasanya tuan rumah menyediakan tempat untuk santap malam bersama. Nasi dan lauk pauknya biasanya diberi oleh jiran tetangga kemudian dinikmati bersama. Pak Darkum mengajakku bersalaman dengan tuan rumah sebelum bersantap. Aku mengekor Pak Darkum karena tak tahu yang mana yang tuan rumah. 

“Adjie, kapan kamu pulangnya nak? Mohon maaf tadi siang Pakde tak sempat ikut penguburan almarhum karena Pakde masih di perjalanan.”  Pak Darkum menjulurkan tangan mengajak pemuda berkoko biru muda itu bersalaman.

“Gak apa – apa Pakde, Doakan saja semoga Allah menerima amal ibadah ayah semasa hidupnya.” Adjie membungkuk saat menyambut tangan Pak Darkum dan menciumnya dengan takzim. 

“Oh iya, ini Zul, jamaah pengajian kita yang baru. Kenalin dulu,” Pak Darkum memperkenalkanku ke Adjie. 

Aku tersenyum dan mengulurkan tangan, “Assalamualikum.”

“Waalaikumsalam, terima kasih sudah bersedia datang ke sini dan mendoakan almarhum ayah saya.” Adjie menyambut tanganku dengan kedua belah tangannya. Salamannya erat , hangat dan bersahabat. 

“Adjie ini baru pulang dari sekolah masternya di Sudan.” Pak Darkum menjelaskan.

“Wah, hebat  yah.” Ujarku kagum. Anak ini berpendidikan tinggi dan akhlaknya sangat baik dengan orang yang lebih tua. 

“Ah, biasa aja Bang. Pakde emang kadang suka melebih-lebihkan.” Ujarnya merendah.

Aku semakin kagum.

“Hayo, kapan ke masjid lagi. Bagi – bagi ilmunya untuk jamaah masjid kita”, Pak Darkum menepuk -nepuk pundaknya.

“Secepatnya Pakde. Mungkin besok Adjie akan sholat subuh disana.” Ucapnya sambil membungkukan badan. Wajah pemuda itu begitu bersih dan menenangkan. Senyum tak pernah lekang dari bibirnya. Caranya berinteraksi dengan tamu undangan juga sangat luwes. Sepertinya dia pandai bergaul. 

“Besok kamu yang memberi Kultum yah, Harus!” Pak Darkum menodongnya.

“InshaAllah Pakde. Adjie usahakan.” Ujarnya masih dengan membungkukkan badan.

“Ya Udah, Pakde makan dulu yah.” Pak Darkum melambaikan tangan

“Iya Pakde, silahkan.” Kemudian Adjie lanjut menyalami tamu- tamu lainnya. Benar – benar anak yang baik. Sungguh beruntung orang tuanya.

Aku terhenyak, bagaimana dengan orang tuaku. Selama ini aku hanya sesekali mendoakan mereka. Terhanyut dalam buaian indahnya dunia membuatku melupakan bahwa akhirat itu pasti. Tiba – tiba hatiku berdenyut perih. Wajar jika Allah memberiku hukuman, menarik semua nikmatNya. Semua karena aku kufur terhadap apa yang telah Dia karuniakan kepadaku dan tak pernah bersyukur. Saat ini aku ingin sekali berlari ke masjid dan bersujud disana. Memohon ampun atas semua khilafku. Sungguh aku ini hamba yang tak tahu malu. Saat ini Aku malu sekali kepada Allah. Ampuni aku ya Allah. Ayah, Ibu, maafkan anakmu yang jarang sekali mendoakanmu. 

Aku mengikuti Pak Darkum menuju ke meja hidang yang sudah dipersiapkan untuk para tamu. Lauk ala kadarnya pemberian tetangga sekitar. Begitulah tradisi disini. Masing – masing tetangga akan memberikan lauk semampu mereka untuk dimakan bersama – sama seusai takziah. Tuan rumah hanya perlu menyediakan air mineral. Setelah mengambil lauk dan nasi aku menuju meja kecil di sudut tempat air mineral diletakkan.

“Bang Zul,” suara perempuan yang tak asing ditelinga memanggilku

Aku menoleh, “Ririn!”

Deg, jantungku berdesir. Setelah dua tahun lebih tak bertemu Dia berubah menjadi tambah cantik dan anggun. Kulitnya yang dulu coklat sekarang telah berubah menjadi kuning langsat. Namun gigi dan lesung pipi itu tak berubah. Dia menangkupkan jemari di dadanya. Ah, iya. Dia tak bersalaman lagi sekarang. Tak seperti dulu lagi. 

“Abang apa kabar?” dia tersenyum memamerkan lesung pipinya. MashaAllah cantik sekali. Astaghfirullah, aku segera membuang pandangan berpura – pura mencari tempat duduk.

“Baik dek, Ririn sendiri apa kabar? Tanyaku dengan senyum canggung. Berdekatan dengannya sungguh membuat aku minder. 

“Baik juga, Bang. Dua bulan lagi abang datang kesini yah. Awas lho kalo gak!” ancamnya dengan bibir sedikit dimanyunkan. Menggemaskan!

“Lho, emang dua bulan lagi ada apa dek?” tanyaku heran

“Ririn mau nikah, Bang. Itu calon Ririn. Nanti undangannya Ririn antar ke rumah Abang yah” Dia menjelaskan sembari menunjuk ke arah Adjie. 

Kupaksa bibirku untuk tetap menyunggingkan senyum. “Sama Adjie yah, Barakallah. Semoga lancar sampai hari H nya yah. InshaAllah abang datang.”

Kuucapkan itu sambil menahan gerimis dihatiku karena teringat kembali pada pernikahanku yang kandas. Aku tatap Ririn dan Adjie  yang sibuk menyalami tamu - tamu yang hendak berpamitan, Mereka tampak begitu serasi.  Adjie pasangan sepadan untuk Ririn. Mereka Soleh dan soleha, berpendidikan tinggi dengan budi bahasa yang santun. Wajar saja mereka berdua berjodoh.  Bukankah laki – laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik pula. 

Aku duduk disebelah Pak Darkum. Dan mulai menyuap nasi dan lauk di piringku. 

“Kamu kenal Ririn ya Zul?” Pak Darkum menyelidik sembari mengunyah sekerat daging rendang.

“Iya pak, Dia kan teman Nur.” Jawabku sambil menyendok soto di piringku.

“Dia anak yang baik, sopan dan berakhlak baik. Dia itu anak angkatnya almarhum Handoyo, ayahnya Adjie. Dia yatim piatu sejak SMA. Karena Handoyo dan ayahnya Ririn sudah berjanji akan menikahkan Ririn dengan Adjie. Maka Handoyo memboyong Ririn ke rumahnya untuk di sekolahkan dan diangkat anak. Ririn sudah tak punya siapa – siapa lagi. Khawatir mereka akan melakukan hal – hal yang dilarang agama jika mereka tinggal bersama dalam satu rumah, maka Handoyo mengirim Adjie ke Pesantren. Kemudian lanjut dikuliahkan di Al Azhar Mesir dan di Sudan. 

Rencananya Handoyo mau menikahkan mereka dua bulan lagi. Namun takdir tak dapat ditolak. Handoyo tak sempat menyaksikan pernikahan mereka.” Pak Darkum menjelaskan panjang lebar dengan raut sedih.

Aku terpaku menatap gadis cantik yang sibuk mempersilahkan ibu – ibu untuk makan. Gamis biru laut begitu serasi dengan warna baju koko adjie. Mereka pasangan yang begitu sempurna. Hatiku semakin basah. Allah, bantu aku memperbaiki hati, jadikan hati ini hanya terpaut padamu. Ampuni aku. Bantu aku melupakan Aini ya Rabb. 

Malam itu, aku tak langsung pulang. Aku meminta kunci masjid ke Pak Darkum. Aku ingin menghabiskan malam ini bersama Rabbku. Banyak sekali yang ingin aku pinta dariNya. Ampunan dan ridhoNYa. Apapun yang terjadi dimasa depanku, aku ikhlas. Saat ini, aku hanya ingin menjadi hambaNya yang diridhai. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status