Acara Takziah sudah hampir usai, tradisi di kota ini biasanya tuan rumah menyediakan tempat untuk santap malam bersama. Nasi dan lauk pauknya biasanya diberi oleh jiran tetangga kemudian dinikmati bersama. Pak Darkum mengajakku bersalaman dengan tuan rumah sebelum bersantap. Aku mengekor Pak Darkum karena tak tahu yang mana yang tuan rumah.
“Adjie, kapan kamu pulangnya nak? Mohon maaf tadi siang Pakde tak sempat ikut penguburan almarhum karena Pakde masih di perjalanan.” Pak Darkum menjulurkan tangan mengajak pemuda berkoko biru muda itu bersalaman.
“Gak apa – apa Pakde, Doakan saja semoga Allah menerima amal ibadah ayah semasa hidupnya.” Adjie membungkuk saat menyambut tangan Pak Darkum dan menciumnya dengan takzim.
“Oh iya, ini Zul, jamaah pengajian kita yang baru. Kenalin dulu,” Pak Darkum memperkenalkanku ke Adjie.
Aku tersenyum dan mengulurkan tangan, “Assalamualikum.”
“Waalaikumsalam, terima kasih sudah bersedia datang ke sini dan mendoakan almarhum ayah saya.” Adjie menyambut tanganku dengan kedua belah tangannya. Salamannya erat , hangat dan bersahabat.
“Adjie ini baru pulang dari sekolah masternya di Sudan.” Pak Darkum menjelaskan.
“Wah, hebat yah.” Ujarku kagum. Anak ini berpendidikan tinggi dan akhlaknya sangat baik dengan orang yang lebih tua.
“Ah, biasa aja Bang. Pakde emang kadang suka melebih-lebihkan.” Ujarnya merendah.
Aku semakin kagum.
“Hayo, kapan ke masjid lagi. Bagi – bagi ilmunya untuk jamaah masjid kita”, Pak Darkum menepuk -nepuk pundaknya.
“Secepatnya Pakde. Mungkin besok Adjie akan sholat subuh disana.” Ucapnya sambil membungkukan badan. Wajah pemuda itu begitu bersih dan menenangkan. Senyum tak pernah lekang dari bibirnya. Caranya berinteraksi dengan tamu undangan juga sangat luwes. Sepertinya dia pandai bergaul.
“Besok kamu yang memberi Kultum yah, Harus!” Pak Darkum menodongnya.
“InshaAllah Pakde. Adjie usahakan.” Ujarnya masih dengan membungkukkan badan.
“Ya Udah, Pakde makan dulu yah.” Pak Darkum melambaikan tangan
“Iya Pakde, silahkan.” Kemudian Adjie lanjut menyalami tamu- tamu lainnya. Benar – benar anak yang baik. Sungguh beruntung orang tuanya.
Aku terhenyak, bagaimana dengan orang tuaku. Selama ini aku hanya sesekali mendoakan mereka. Terhanyut dalam buaian indahnya dunia membuatku melupakan bahwa akhirat itu pasti. Tiba – tiba hatiku berdenyut perih. Wajar jika Allah memberiku hukuman, menarik semua nikmatNya. Semua karena aku kufur terhadap apa yang telah Dia karuniakan kepadaku dan tak pernah bersyukur. Saat ini aku ingin sekali berlari ke masjid dan bersujud disana. Memohon ampun atas semua khilafku. Sungguh aku ini hamba yang tak tahu malu. Saat ini Aku malu sekali kepada Allah. Ampuni aku ya Allah. Ayah, Ibu, maafkan anakmu yang jarang sekali mendoakanmu.
Aku mengikuti Pak Darkum menuju ke meja hidang yang sudah dipersiapkan untuk para tamu. Lauk ala kadarnya pemberian tetangga sekitar. Begitulah tradisi disini. Masing – masing tetangga akan memberikan lauk semampu mereka untuk dimakan bersama – sama seusai takziah. Tuan rumah hanya perlu menyediakan air mineral. Setelah mengambil lauk dan nasi aku menuju meja kecil di sudut tempat air mineral diletakkan.
“Bang Zul,” suara perempuan yang tak asing ditelinga memanggilku
Aku menoleh, “Ririn!”
Deg, jantungku berdesir. Setelah dua tahun lebih tak bertemu Dia berubah menjadi tambah cantik dan anggun. Kulitnya yang dulu coklat sekarang telah berubah menjadi kuning langsat. Namun gigi dan lesung pipi itu tak berubah. Dia menangkupkan jemari di dadanya. Ah, iya. Dia tak bersalaman lagi sekarang. Tak seperti dulu lagi.
“Abang apa kabar?” dia tersenyum memamerkan lesung pipinya. MashaAllah cantik sekali. Astaghfirullah, aku segera membuang pandangan berpura – pura mencari tempat duduk.
“Baik dek, Ririn sendiri apa kabar? Tanyaku dengan senyum canggung. Berdekatan dengannya sungguh membuat aku minder.
“Baik juga, Bang. Dua bulan lagi abang datang kesini yah. Awas lho kalo gak!” ancamnya dengan bibir sedikit dimanyunkan. Menggemaskan!
“Lho, emang dua bulan lagi ada apa dek?” tanyaku heran
“Ririn mau nikah, Bang. Itu calon Ririn. Nanti undangannya Ririn antar ke rumah Abang yah” Dia menjelaskan sembari menunjuk ke arah Adjie.
Kupaksa bibirku untuk tetap menyunggingkan senyum. “Sama Adjie yah, Barakallah. Semoga lancar sampai hari H nya yah. InshaAllah abang datang.”
Kuucapkan itu sambil menahan gerimis dihatiku karena teringat kembali pada pernikahanku yang kandas. Aku tatap Ririn dan Adjie yang sibuk menyalami tamu - tamu yang hendak berpamitan, Mereka tampak begitu serasi. Adjie pasangan sepadan untuk Ririn. Mereka Soleh dan soleha, berpendidikan tinggi dengan budi bahasa yang santun. Wajar saja mereka berdua berjodoh. Bukankah laki – laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik pula.
Aku duduk disebelah Pak Darkum. Dan mulai menyuap nasi dan lauk di piringku.
“Kamu kenal Ririn ya Zul?” Pak Darkum menyelidik sembari mengunyah sekerat daging rendang.
“Iya pak, Dia kan teman Nur.” Jawabku sambil menyendok soto di piringku.
“Dia anak yang baik, sopan dan berakhlak baik. Dia itu anak angkatnya almarhum Handoyo, ayahnya Adjie. Dia yatim piatu sejak SMA. Karena Handoyo dan ayahnya Ririn sudah berjanji akan menikahkan Ririn dengan Adjie. Maka Handoyo memboyong Ririn ke rumahnya untuk di sekolahkan dan diangkat anak. Ririn sudah tak punya siapa – siapa lagi. Khawatir mereka akan melakukan hal – hal yang dilarang agama jika mereka tinggal bersama dalam satu rumah, maka Handoyo mengirim Adjie ke Pesantren. Kemudian lanjut dikuliahkan di Al Azhar Mesir dan di Sudan.
Rencananya Handoyo mau menikahkan mereka dua bulan lagi. Namun takdir tak dapat ditolak. Handoyo tak sempat menyaksikan pernikahan mereka.” Pak Darkum menjelaskan panjang lebar dengan raut sedih.
Aku terpaku menatap gadis cantik yang sibuk mempersilahkan ibu – ibu untuk makan. Gamis biru laut begitu serasi dengan warna baju koko adjie. Mereka pasangan yang begitu sempurna. Hatiku semakin basah. Allah, bantu aku memperbaiki hati, jadikan hati ini hanya terpaut padamu. Ampuni aku. Bantu aku melupakan Aini ya Rabb.
Malam itu, aku tak langsung pulang. Aku meminta kunci masjid ke Pak Darkum. Aku ingin menghabiskan malam ini bersama Rabbku. Banyak sekali yang ingin aku pinta dariNya. Ampunan dan ridhoNYa. Apapun yang terjadi dimasa depanku, aku ikhlas. Saat ini, aku hanya ingin menjadi hambaNya yang diridhai.
Suara decit Ban memekakan telinga, menghentak tubuh Rania yang terbelit oleh Safety Belt ke depan hingga kepalanya hampir terantuk ke dasboard mobil. Sementara suaminya, Zul, Tergugu di balik kemudi dengan wajah pucat pasi. Hampir saja. Hampir saja Zul menabrak ibu – ibu yang tengah hamil besar yang berjalan tertatih – tatih dan tanpa melihat ke kiri dan ke kanan jalan lg dia langsung menyeberang hingga nyaris di tabrak oleh Zul. Beruntung Zul masih sempat menginjak pedal rem hingga kecelakaan itu dapat di hindari. Rania bergegas membuka pintu dan menghambur keluar menghampiri ibu hamil yang kini tengah terduduk lemas dengan wajah pucat pasi di pinggir jalan. “Kalo Jalan jangan ngebut – ngebut wooyyy!!” Bentak salah seorang pejalan kaki sembari memukul kap mobil depan Zul dengan wajah beringas. Zul hanya mengangguk dan melemparkan senyum canggung. Dia segera membuka pintu mobil dan menyusul istrinya. Itu semua bukan sepenuhnya salahnya, Ja
Pukul satu siang Pak RT diantar oleh Adit datang menemui Zul. “Gimana keadaan Nur, Pak? Apa kata dokter?” Tanya Zul berbasa basi. “Udah diperiksa semua, kata dokter gak ada sakit apa – apa Zul. Tapi kemungkinan alergi kata dokter yang memeriksanya tadi.” Terang Pak RT “Oh, Jadi dirawat atau dibawa pulang ke rumah.” Zul bertanya sembari netranya menyapu keadaan rumah Nur dari jauh. “Dibawa ke pesantren akhirnya. Paman Nur memaksa. Katanya mau di rukiyah di sana.” Terang Pak RT lagi. “Baguslah kalau begitu, Pak. Masuk dulu pak. Rania baru saja selesai masak. Kita makan siang bareng.” Zul mengajak Pak RT dan Adit masuk. Meski merasa sungkan, akhirnya Pak RT dan Adit akhirnya menuruti undangan Zul. Rania yang tak menyangka akan kedatangan tamu akhirnya kalang kabut. Untung saja Rania masak untuk sekalian makan malam. Hingga lauk yang dimasak Rania yang sejatinya untuk makan malam juga habis tak bersisa.
Malam masih mencekam, Lolongan kesakitan yang keluar dari mulut Nur yang begitu menyayat membuat suasana semakin seram. Lengkingan jerit yang keluar dari mulut Nur membuat merinding semua orang yang mendengar tak terkecuali Zul dan Rania. Meski rumah mereka berjarak sekitar seratus meter dari rumah Nur, namun lolongan tersebut masih terdengar dengan begitu jelas. “Bang, aku takut.” Zul mengetatkan pelukannya pada Rania meski sebenarnya dia sendiripun bergidik ngeri setiap kali mendengar suara lolongan kesakitan Nur. Zul tetap berusaha menenangkan Rania yang begitu gelisah dengan mendekapnya. “Baca ayat kursi atau ayat – ayat pendek lain, Dek. Biar hati tenang.” Saran Zul sembari membelai rambut legam Rania. Berkali – kali kalimat tahmid dia lafazkan, karena telah terhindar dari sihir Nur. Zul yakin, Nur tak akan berhenti sampai di sini. Akan ada serangan lain ke depannya yang mungkin lebih beringas lagi. “Pagari diri dengan doa dan murajaah
“Gimana ini, Bang? Kenapa Asep jadi begini?” Adit kebingungan bercampur takut melihat mata Asep yang tiba – tiba melotot dengan mulut yang meracau menggunakan Bahasa yang tidak mereka fahami. “Duniaku ada tiga warna… DUNNIIAAA KUUU AADDAAA TTIIIGAA WARNA… Hihihihihihi…” Ceracau Asep dengan Mata menyalak garang lalu menoleh ke Zul dengan seringai seramnya. “Aku juga gak tau ini, Dit. Coba kamu panggil Pak De Darkum aja. Suruh si Memet jemput beliau. Bawa Asep ke dalam kamar, Jangan sampe ganggu pembeli yang lagi makan.” Titah Zul yang sedang cemas bercampur takut melihat netra Asep yang terus menerus menatapnya dengan seringai yang membuat bulu kuduk berdiri. Tiba – tiba Asep terjatuh dan menggelepar di lantai, mulutnya mengeluarkan suara ngorok dari tenggorokan yang mengerikan seperti orang yang sedang mereggang nyawa. Mulutnya mengeluarkan busa air liur yang kemerahan karena bercampur darah. “Cepat angkat ke dalam.” Zul memerint
Rania tertegun di ambang pintu, netranya menangkap bayangan suaminya yang tengah didekap erat seorang wanita yang dia tak tahu itu siapa. Pemandangan yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Jadi ini rupanya penyebab suaminya tak mengangkat telepon darinya dan membalas pesannya di applikasi hijau hingga akhirnya dia memutuskan untuk memesan ojek online untuk sampai ke kediaman suaminya. Zul menghampiri istrinya, sebelah tangannya meraih koper yang tengah dipegang Rania, sebelah lagi merangkul Rania ke dalam dekapannya. “Siapa dia?” Tanya Rania dingin, netranya tak lekang menatap Nur yang kini tersenyum sinis padanya. “Dia mantan istri Abang, Dek. Tolong jangan salah faham dulu. Semua tidak seperti yang Adek lihat.” Zul sungguh takt ahu bagaimana cara meyakinkan Rania bahwa ini bukan salahnya. “Kenapa dia kemari?” Netranya masih menatap tajam ke arah Nur yang saat ini mendekati mereka. “Jadi ini istri baru, Abang?” Nur
Setelah selesai sarapan, Zul memeriksa pembukuan yang dibuat Rapi oleh Adit. Tak lama kemudian Mereka telah terlibat dalam diskusi yang membahas tentang masalah warung, dan omset yang di dapat setelah beberapa hari ditinggalkan Zul. “Alhamdulillah, Omset kita naik ya, Dit. Bisa nih buat naikin gaji karyawan.” Zul menatap pembukuan yang dibuat Adit dengan amat sangat rapi. “Menurutku nanti dulu naikin gaji karyawannya, tunggu tahun depan aja. Saat ini fokus kita balikin modal abang aja dulu. Setelah itu baru fokus ke kesejahteraan karyawan.” Usul Adit. Zul manggut – manggut. Tepat Jam Sembilan, Zul dan Adit menyudahi pembahasan mereka tentang pendapatan warung beberapa hari ini, Adit lalu pamit untuk ke pasar berbelanja stok warung untuk berdagang sore ini. Sementara Zul memutuskan untuk pergi meninjau keadaan warung dan karyawan yang telah dia tinggalkan selama beberapa hari ini. Zul segera memeriksa gawainya. Dia lupa kalau semalam hendak menelpon Rania istrinya. Pagi ini karena t