Aku kembali mengamati tiap inchi wajah lelaki yang fotonya ada di gawaiku itu berkali – kali, meyakinkan diri bahwa dia adalah orangnya. Lelaki yang ku temui di alam bawah sadarku saat aku koma kemarin. Begitu mirip, apa maksud ini semua, bagaimana dia bisa muncul di sana padahal aku sama sekali belum mengenalnya. “Ehem… Ganteng ya, Nduk.” Goda ibu dengan senyum di kulum. Aku tak menjawab, tapi rona merah di kedua pipiku telah cukup memberikan jawaban. “Bu, Bagaimana kalau dia menolak menikahi Rania karena termakan fitnah itu?” aku menscroll layar di gawaiku hingga foto itu tertutup dan lampu di layar gawaiku padam. “Ya seperti yang ibu bilang tadi, Nduk. Pesta akan tetap berjalan, hitung – hitung kita syukuran karena kamu selamat.” Ujar ibu ringan Aku tersenyum kecut. Terbayang sudah tatapan iba para undangan yang akan ditujukan padaku nanti. Pesta itu akan menjadi sebuah siksaan psikis bagiku karena aku harus tampil baik – baik saja sementara hatiku hancur lebur. Sorot iba dar
Pesan salah kirim dari Miranda membuat hatiku bertanya - tanya, apa mungkin Miranda ikut terlibat dalam kasus fitnah yang menimpaku. Ah.. tidak mungkin, Dia saudaraku, kami memiliki pertalian darah yang kuat, lagi pula kami berdua saling mengasihi. Miranda selalu ada di saat aku terjatuh begitupun sebaliknya. Selain sebagai sepupu kami juga akrab sebagai sahabat. Jadi sangat tidak mungkin jika dia mengkhianatiku dengan melakukan hal yang rendah itu.Kalau begitu, apa yang terjadi pada Miranda? Apakah dia terlibat sebuah skandal? Skandal apa dan di mana? Haruskah ku tanyakan? Beribu tanya membuat fikiranku terbang menerawang.“Nduk.. Makan jangan sambil ngelamun, nanti keselek lho.” Bude Lina mengingatkan.“Pasti Mbak Rania deg – degan, Ma. Kan nanti malam mau ketemu calonnya, Cieeeeeee.” Sandra menggodaku yang akhirnya di sambut dengan riuh canda tawa kerabat yang lain hingga membuatku melupakan pesan salah kirim dari Miranda.“Orangnya ganteng lho, Nduk.” Pakde Radiman menimpali.“Pe
Lampu di gawaiku masih berkedip- kedip yang menandakan bahwa si penelpon masih berusaha untuk menghubungi. Aku memilih untuk mengabaikannya. Tak ada lagi yang harus dibahas dengan lelaki itu. Bukankah dia sendiri yang mengatakan bahwa aku adalah masa lalu yang ingin dihapusnya, lantas untuk apa dia kembali menghubungiku. Lagi – lagi lampu di gawaiku kembali berkedip. Si penelpon seolah tak bosan mencoba untuk menghubungiku. Kenapa ngotot sekali! Aku mendecih dan membanting gawaiku ke tempat tidur. Aku memilih menenangkan diriku dengan membersihkan sisa bedak di wajahku lalu mandi. Setelah mengguyur air ke seluruh tubuhku dengan air dingin aku merasa lebih segar, fikiranku lebih ringan. Ah.. benarlah adanya emak – emak sering bilang bahwa mandi adalah salah satu refreshing termurah. Sesegar itu memang. Setelah menyelesaikan mandiku dan berganti pakaian, aku melanjutkan aktifitasku dengan menyisir rambut. Tiba – tiba seseorang menghambur masuk ke da
Tepat pukul lima sore panitia segera membubarkan acara. Aku dan Bang Zul kemudian dibawa menggunakan mobil Mas Adjie ke hotel yang telah disediakan oleh pihak wedding organizer. Sepanjang perjalanan menuju hotel aku sama sekali tak mampu untuk fokus, fikiranku terbang melayang pada gawaiku dan video yang dikirim oleh Faisal yang sungguh membuatku penasaran. “Kamu kenapa, Dek? Dari tadi abang perhatikan melamun dan gelisah? Ada masalah yang mengganjal di hati?” Bang Zul meremas jemariku untuk menyadarkanku dari lamunan. “Ah..anuu… eeh… Gak ada kok, Bang. Cuma tadi HP Rania tinggal di rumah.” Ujarku berusaha jujur. “Kalau begitu kita pulang dulu saja, ambil HP baru ke hotel.” Usulnya. “Bang Zul gak apa – apa kalo harus muter – muter lagi.” Aku bertanya sungkan. Khawatir dia terlalu lelah dan ingin segera istirahat. “ Gak apa – apa kok. Pak, Kita Balik ke rumah dulu yah, Baru habis itu kita ke hotel.” Titahnya ke
POV Penulis Rania tergugu menatap Gawai yang berada di tangannya. Tubuhnya bergetar, Wanita yang sedang menawarkan diri itu begitu mirip dengan dirinya. Nyaris tak ada perbedaan apapun dengannya. Mereka ibarat pinang yang dibelah dua. Zul yang sedari tadi memperhatikan gelagat istrinya mengerutkan kening. Demi melihat Rania yang gemetar dan beristighfar berulang – ulang Zul segera mendekati Rania. “Dek, Kamu kenapa? Kamu gak apa – apa? Ada masalah apa, Dek? Zul bertanya dengan penuh khawatir. Rania tak menjawab, dia menyodorkan gawainya kepada Zul agar zul melihat sendiri. Zul yang melihat video dan gambar – gambar yang dikirimkan oleh Faisal terhenyak. Wanita di dalam video dan gambar itu sangat mirip dengan istrinya, Rania. Wanita yang berpenampilan sangat seronok dengan busana kurang bahan di foto dan video itu seperti fotokopi Rania. “Astaghfirullah, Apa kamu memiliki Saudari kembar, Dek? Wanita ini sangat mirip denganmu, tapi aku tahu dia bukan kamu.” Zul mengusap lengan Ran
24 Tahun yang Lalu Hari belum lagi sore, jarum jam baru menunjukkan pukul empat tepat, namun Mentari telah lama bersembunyi dibalik lebatnya awan hitam. Sesekali kilatan cahaya putih menyilaukan saling menyambar di antara lebatnya awan lalu disusul suara pekikan guruh memecah keheningan mengejutkan semesta dengan gelegar suara yang memekakkan telinga. Di sebuah kontrakan kayu di daerah pahoman, Bandar Lampung, sesosok Wanita dengan perut membuncit amat besar tengah menutup jendela kecil yang menjadi satu – satunya tempat udara bertukar. Kecemasan membayang di wajahnya yang ayu. Suami yang menjadi sandaran hati belum jua kembali dari menyingsong nafkah untuk keluarga kecil mereka.Suasana rumah petak itu sontak berubah menjadi temaram karena satu – satunya sumber cahaya telah ditutup. Dengan Langkah tertatih membawa perut yang telah memasuki bulannya, Sumirah menekan saklar lampu. Seketika lampu kuning delapan watt berpendar memberikan pengelihatan yang sedi
“Apa kabar, Mas Handoko?” Wanita yang mengenakan blus warna biru neon dan celan kulot putih itu mengulas senyum mengulurkan tangan. “Laila, kok kamu di sini, Dek? Mana suamimu? Handoko menyambut uluran tangan Wanita yang bernama Laila tersebut. “Mas Parman lagi di ruang obgyn. Kami baru habis memeriksakan diri.” Wanita itu berjalan kea rah kursi lalu menghempaskan bokongnya di sana. Handoko mengikuti Laila dan duduk disebelahnya. “Kalian ada yang sakit?” tanyanya hati – hati. “Kami sedang berusaha untuk program memiliki anak. Namun sudah dua tahun berjalan belum juga menunjukkan hasil.” Keluh Laila dengan wajah memelas. “Tadinya Laila mau ikut program bayi tabung. Tapi Mas Parman keberatan. Dia malah minta Laila adopsi anak saja. Masalahnya, anak yang sudah kami rawat dari dalam Rahim ibunya Ketika lahir malah gak boleh kami ambil. Padahal Mas Parman sudah berharap banyak sekali.” Mata yang tadinya riang itu mulai meneteskan butiran bening yang segera diseka olehnya dengan terges
Adzan Maghrib tengah berkumandang menyeru umat untuk bersujud pada Sang Pencipta saat Zul dan Rania tiba di hotel. Tubuh dan fikiran yang penat membuat mereka hanya terdiam tanpa suara, masing – masing sibuk dengan fikirannya sendiri - sendiri. Zul menggandeng lengan Rania menuju kamar, dia menatap wajah cantik istrinya yang nampak begitu kusut dan lelah. Sesampai di dalam kamar Zul segera menyambar handuk dan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan ibadah sholat maghrib. Sementara Rania terbaring lesu dengan mata menerawang menatap langit – langit kamar.Setelah selesai sholat, zul menelpon layanan kamar dan memesan makan malam untuk mereka berdua lalu mendatangi istrinya yang tengah memejamkan mata. Zul membangunkan istrinya dengan mengecup pucuk kepalanya. Mata yang di aungi bulu mata yang legam dan menggeliat ke atas itu mengerjap terbuka. Segaris senyum terulas di bibir ranumnya demi melihat suaminya berada begitu dekat dengan wajahnya.“Sholat dulu, Dek. Habis itu