Dahlia seorang anak buangan yang besar di panti asuhan. Ia berubah nama menjadi Dahlia Sagala setelah diangkat menjadi putri tunggal mendiang Nyonya Helmi Sagala, seorang janda berharta di kota.
Sebelum diasuh Nyonya Helmi, Dahlia sudah berteman dengan Nila yang datang ke panti membawa kasus hidup yang berat. Ayah yang suka main perempuan, sedangkan ibu kandungnya sudah meninggal bunuh diri karena strees memikirkan penyakit HIV yang ditularkan suaminya.
Tapi sekalipun sudah berubah nasib, ia tetap berteman dengan Nila, tidak meninggalkan sahabatnya itu, hingga siapa pun yang mengenal Dahlia, pasti tahu sosok Nila juga.
Ia bertemu Juan di kantor cabang Bandung. Saat itu Juan adalah kepala pemasaran UMKM produk Bawang Goreng yang menjadi bahan penting pembuatan snack masa kini di perusahaan tempat Dahlia bekerja.
Dari sana hubungan mereka terjalin. Waktu yang berjalan membuatnya jatuh cinta dan setuju menikah setelah Juan melamarnya. Beberapa minggu pernikahan, Bu Bani dikabarkan membutuhkan donor ginjal untuk menyambung hidupnya.
Kebetulan hanya ginjal Dahlia saja yang cocok menjadi donor, jadi dengan rasa sayang yang besar pada ibu mertuanya, ia bersedia membagi ginjalnya untuk sang ibu.
Hidup mereka semakin bahagia dalam keluarga, tapi itu hanya sementara, sebelum Bu Bani yang sudah sehat, menuntut cucu dari Dahlia. Akan tetapi Bu Bani tidak tahu kalau ginjal menantunya-lah yang sudah diberikan padanya. Dan hal itu membawa sedikit banyak pengaruh pada kehamilan.
Dengan ginjal yang hanya satu dan kondisi Bu Bani yang mudah drop, Juan menyarankan agar mereka merahasiakan kondisi itu dan tidak melakukan penyatuan tubuh sampai kondisi sang istri sudah normal. Karena hal itu pula, Juan dengan mudah mengambil promosi kenaikan jabatan di kantor Lia bekerja, dengan menjadi penanggung jawab gudang snack baru di Papua selama setengah tahun.
Stress karena pekerjaan kantor dan harus dibunuh rindu dengan hubungan jarak jauh dari suami, ditambah lagi dengan tuntutan mertua membuat tubuh Dahlia yang langsing dan wajah yang terawat, perlahan mengembang karena pola kesehatan yang kacau. Hal itu yang sering menjadi perbandingan dirinya dengan Nila yang selalu berpenampilan anggun dan menawan.
Dahlia memilih diam untuk menjaga perasaan sang ibu mertua agar tidak terluka dan terus membiarkan dirinya yang disalahkan. Toh, ia masih punya Juan yang menyayanginya dan tidak terlalu menuntut anak untuk sementara waktu. Asalkan tetap dicintai sang suami, ia yakin bisa bertahan.
***
Kabar kepulangan Juan membuat Dahlia senang. Meskipun sang suami tidak mengabarinya apapun, tapi sebagai atasan Juan, Dahlia bisa tahu kapan hari yang dinantinya itu tiba.
“Kamu mau kasih aku surprise ya, Mas? Emangnya kalau nggak ngabari aku kamu pulang hari ini, aku bakalan nggak ngeh apa?” Dahlia bergumam sambil senyum-senyum sendiri. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas sandang, lalu beranjak dari kursi kerja dan beranjak dari ruangannya.
Sepulang kantor, Dahlia berencana ke mal, berbelanja pakaian baru yang sedikit terbuka, guna memberikan kejutan indah pada sang suami. Singkatnya, Dahlia memasuki toko yang di bagian etalase depannya memampangkan banyak model pakaian dalam wanita.
“Apa ada yang ukuran aku, ya? Kalau pakai begituan apa nggak mirip bungkusan lontong banget?” gumamnya pelan saat matanya jelalatan memandangi deretan pakaian kurang bahan khas seragam dinas para istri malam hari.
“Mau saya bantu milih, Teh?” pertanyaan seorang wanita yang entah kapan di sampingnya membuat Dahlia kaget. Dengan kikuk, ia pun mengangguk pada penjaga stand.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi pelayan toko tersebut memilihkan 2 pasang pakaian dinas yang pas untuk Dahlia sekalipun ukuran tubuh wanita itu terbilang padat berisi.
“Selamat pakai, Teteh. Semoga suaminya suka dan Teteh-nya disuruh belanja lagi di sini,” ucap pelayan toko tersebut saat memberikan paperbag berisi belanjaan Dahlia.
“I-iya, makasih…” dengan wajah yang memerah malu, Dahlia berucap cepat dan beranjak dari sana. Bukan tanpa alasan, tapi ia memang tidak ingin membuat wajahnya semakin merah karena malu saat pelayan toko terus menghujaninya dengan banyak angan-angan indah malam kebersamaan dengan Juan.
Namun, baru saja ia keluar dari toko tersebut, perhatian Dahlia teralihkan pada teriakan seorang pria dari arah belakangnya.
“Copet! Tolong!” seorang pria berusia lanjut terlihat terpincang mengejar pria berpenampilan urakan di depannya sambil berteriak.
Dahlia yang tahu kalau kakek tadi butuh pertolongan, langsung berancang-ancang menaikkan rok span-nya sedikit ke atas dan mulai maju. Saat sang copet sudah berlari mendekat ke arahnya, Dahlia sengaja melangkahkan kakinya lebar, dan… bruuuk!
Pencuri yang berlari langsung tersungkur mencium ubin yang kotor saat ini.
“Brengsek nih cewek. Mau cari masalah sama gue Lo, ya?! Dasar gembrot!” sang copet marah dan langsung bangun, berdiri tegak di depan Dahlia yang sudah disusul kakek tua tadi.
“Biar saya aja, Kek. Kaki Kakek lagi sakit, kan?”
Wajah termangu sang pria tua tidak bisa membohongi keheranannya, “Tapi, Nak? Dia—”
“Banyak bacot Lo pada!” Si Copet berteriak sebelum maju dengan kepalan tangan yang ia tujukan tepat pada Dahlia. Tapi sialnya, wanita cantik berseragam kantoran itu mengelak ke samping.
Tidak sampai di situ saja, Dahlia dengan cepat menarik tangan copet tersebut dan memelintirnya ke belakang dengan erat. Si Copet kesakitan. Keributan yang terjadi dengan cepat membuat orang sekitar yang melintas berkumpul. Hingga pada akhirnya pencuri tersebut ditangkap dan digiring pengunjung mal ke pos keamanan terdekat.
Dahlia mengambil sebuah clutch di lantai yang ia yakini adalah milik pria tersebut. Merek mewah clutch itu sempat membuat Dahlia mengangkat sebelah alisnya.
“Ini dompetnya, Kek. Lain kali bawa barang mahal gini hati-hati ya, apalagi Kakek sendirian,” ucapnya sambil menyerahkan pada si Kakek tersebut.
“Ah, iya, Nak. Terima kasih banyak. Tapi saya memang agak kurang awas dan nggak sadar ada copet. Maklum, umur Kakek hampir 70an, haha,” jawab si Kakek sambil terlihat membuka isi clutch-nya. Dari dalamnya pria tua itu mengeluarkan sekitar lima sampai enam lembar uang kertas berwarna merah muda, lalu disodorkan ke Dahlia.
“Ini, Nak. Buat kamu. Pakaian kamu jadi kotor, moga aja kalau di masukin laundry bakalan bersih, ya,” ucapnya lagi yang ternyata memperhatikan pakaian Dahlia.
“Ah, nggak usah, Kek. Bisa saya kucek sendiri. Saya juga ikhlas nolongin Kakek,” tolak Dahlia, “Saya ada urusan. Saya tinggal ya, Kek!” sambungnya langsung menghindar dan langsung berjalan menghilang dari tempat itu.
“Eh, Nak! Tunggu dulu. Kakek belum tau nama kamu!” teriak si Kakek saat Dahlia berlalu. Tapi Dahlia hanya melambaikan tangannya lalu mengacungkan ibu jari, seolah mengatakan ‘Aman, Kek!’
“Akung!”
Pria itu berbalik ke belakang, tepatnya pada seorang pria yang setengah berlari mendatangi si kakek. Pria itu itu terengah, wajahnya terlihat panik ketika menghadap pria yang ditolong Dahlia tadi, “Akung ke mana aja? Baru ditinggal ke toilet aja langsung hilang!"
“You know me?”
“Aduh, Akung… Jangan pura-pura nggak kenal gini, dong. Pakai Bahasa Indonesia aja, ya? Akung juga tau saya nggak ngerti Bahasa Inggris. Wong Ndeso aku iki, Kung…”
Pria tua yang dipanggil Akung (Kakek-dalam bahasa Jawa) itu terkekeh, “Sengaja, biar kamu kapok. Lagian lama banget kamu. Nggak sopan nyuruh orang tua nungguin kamu buang hajat gitu."
“Maaf dong, Kung. Proyek dadakan, hehe... Ayo, kita jalan. Den Ali udah nungguin di rumah Akung,” Pria tiga puluh tahun bernama Rudi berseru dan mengajak Kakek Sepuh itu untuk ikut dengannya.
“Akung nggak mau pulang. Akung juga punya proyek dadakan. Maunya ke rumah sakit aja. Anterin Akung, yuk!” sahut Sesepuh itu enteng.
“Ngopo ke rumah sakit tah? Iki opo meneh, Gusti…” gumaman Rudi itu tidak bertahan lama saat Sepuh tadi berjalan cepat hendak menghindarinya, “Akung, tunggu!” teriaknya.
Suasana hangat menyelimuti acara pernikahan Rudi dan Dian. Tawa dan doa mengalun, menandai awal baru bagi mereka berdua, juga hadirnya Ilham yang kini resmi menjadi bagian dari keluarga besar Hasan. Anak kecil itu berlari-lari kecil di antara meja tamu, kadang tertawa, kadang sembunyi malu di balik gaun pengantin ibunya.Dahlia duduk di samping Ali, mengenakan kebaya sederhana namun anggun. Tangannya erat menggenggam milik suaminya, seolah masih tak percaya bahwa lelaki itu kini ada di sisinya, tersenyum, hidup, setelah dulu sempat ia hampir kehilangan. Kenangan pahit pun berkelebat—masa lalunya sebagai janda Juanda Putra yang hancur karena perselingkuhan, perjalanan penuh luka bersama Ali yang sempat ditentang banyak pihak, meninggalnya Akung, Status Rudi, munculnya Shafira dengan kehamilan, hingga malam kelam saat kecelakaan merenggut kesadaran Ali selama tiga bulan.Namun semua itu kini terasa jauh. Semua luka seakan luluh oleh hadirnya Akbar, buah hati mereka, yang kini tertawa
Rudi berdiri di hadapan Dian dan Dilan dengan napas masih memburu setelah pertengkaran barusan. Jemarinya mengepal, namun matanya justru bergetar, penuh pergulatan batin. Ia menatap Dian yang wajahnya masih pucat, lalu beralih ke Dilan yang sudah menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata lagi. Suasana hening, hanya bunyi napas yang terdengar. “Aku…” suara Rudi parau, serak menahan beban yang menyesakkan dada, “Aku juga baru tahu semuanya, baru sekarang, setelah tes DNA keluar.” Dian mengangkat wajahnya dengan pandangan tak percaya, seakan tak mampu menangkap maksud kata-kata itu. Sementara Dilan hanya terdiam, menunggu penjelasan. Rudi menelan ludah, suaranya bergetar namun tegas, “Awalnya… semua ini berangkat dari kecurigaan Mbak Dahlia,” “Dia lihat terlalu banyak kemiripan, bukan cuma wajah, tapi juga emosional Ilham dan Akbar. Semakin lama, semakin jelas.” Rudi memejamkan mata sejenak, menahan sakit di kepalanya, “Aku bahkan sempat menyangkal. Kupikir itu cuma sugesti
Ponsel Rudi bergetar di atas meja kerja hotelnya. Ia baru saja selesai membereskan berkas meeting ketika nama temannya, pemilik laboratorium, muncul di layar. “Aku tinggal sebentar.” Pamitnya pada Dian dan Dilan. Rudi meninggalkan kamar dan mencari tempat yang hening untuk mendengarkan kabar yang dia tunggu sejak dua hari lalu. Dengan cepat ia angkat, menempelkan ke telinga. ‘Rud, hasil tes DNA yang kamu titipkan itu… sebenarnya Ilham itu—’ Kalimat di seberang sana terputus. Rudi menahan napas, keningnya berkerut, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia memejamkan mata sepersekian detik, lalu suara sambungan telepon tiba-tiba terdengar terputus. Sinyal hilang. Rudi mendecak pelan, perasaan tidak tenang membayangi benaknya. Ia menatap layar ponsel yang kembali hening, belum berani menyimpulkan apapun. Sementara itu, di depan kamar Rudi, ada sebuah joglo kecil dengan lampu temaram dan kursi kayu. Malam Bali yang hangat hanya ditemani suara ombak jauh di kejauhan. Dila
Rudi mengerjap, kembali ke kenyataan. Dadanya naik turun tak teratur. Pandangan matanya bergetar, seakan ia baru saja diseret kembali ke neraka masa lalu. “Jangan-jangan…” gumamnya, tenggorokannya tercekat. Ia tak berani melanjutkan. Rudi terdiam lama. Ingatan tentang malam penuh dosa di Golden Lotus Bay terus berkelebat di kepalanya. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Dan entah kenapa, setiap ia menatap Ilham, ada sesuatu yang menusuk—rasa yang tak bisa ia tolak. ‘Jangan-jangan… dia…’ pikirannya mendadak kacau. Sebelum sempat ia larut lebih jauh, suara lirih Dahlia memecah lamunan, “Rudi… Mbak takut dosa, tapi Mbak harus bilang.” Rudi menoleh cepat. Dahlia menunduk, jemarinya meremas ujung bajunya sendiri, wajahnya diliputi rasa bersalah. “Mbak… nggak tahu kenapa, tapi Mbak kepikiran kalau Ilham itu anak Mas Ali.” Deg… Kata-kata itu membuat jantung Rudi makin berdegup tak karuan. Dahlia menarik napas berat, matanya berkaca-kaca. “Mbak tahu ini salah. Aku istri dia, seh
Malam itu… adalah malam paling kelam dalam hidup Dian. Dia sama sekali tidak sadar apa yang dilakukannya. Semua anggota tubuhnya seperti tidak lagi dikendalikan oleh pikirannya.Samar-samar, dia masih bisa ingat… kalau dia sendiri yang memulai permainan terlarang itu.Dian yang menarik lelaki itu ke dalam lingkaran dosa yang akhirnya menjeratnya sampai sekarang.Dan paginya… waktu Dian membuka mata, dia langsung tersentak. Seluruh tubuhnya bergetar begitu sadar dia hampir tak mengenakan apa-apa, hanya berbalut satu selimut tipis… bersama pria itu. Baju-baju mereka berserakan di lantai, jadi tanpa pikir panjang Dian buru-buru memungutnya satu per satu. Dian tidak berani menoleh lagi ke arah lelaki itu, apalagi membangunkannya. Dia hanya ingin lari. Lari sejauh mungkin dari kamar itu.Sejak saat itu, Dian selalu merasa hidup dalam dosa.‘Aku berdosa, Mbak… aku benar-benar berdosa…’‘Dan dosa itu semakin nyata waktu sebulan kemudian aku sadar ada nyawa kecil tumbuh dalam rahimku.’‘Awa
Di sebuah taman bermain sederhana yang punya area café kecil Akbar dan Ilham akhirnya bertemu. Akbar datang menggandeng tangan Dahlia, sementara Ilham sudah duduk di bangku taman ditemani Dian yang tampil sederhana dengan kemeja longgar dan topi. Begitu mata mereka bertemu, Akbar langsung melangkah cepat. “Eh, kamu Ilham?” tanyanya polos sambil sedikit mengangkat alis. Ilham berdiri, tersenyum tipis, “Iya. Kamu Akbar, kan?” Tanpa basa-basi, dua bocah itu langsung berjabat tangan. Dahlia dan Dian yang menyaksikan dari samping sempat saling melirik, terkejut sekaligus lega melihat anak-anak mereka begitu mudah nyambung. “Jadi kamu juga nolak dibayar uang?” tanya Akbar sambil duduk di sebelah Ilham. “Iya,” jawab Ilham santai, “aku minta uangnya buat Eyang bikin toko bunga aja. Kalau kamu?” “Aku juga gitu, minta Tante Dian supaya balik jadi cewek,” jawab Akbar sambil melirik Dian sebentar. Dian tersipu, menunduk dalam, sementara Dahlia spontan menahan tawa kecil meliha