Goldwin Estate, kawasan perumahan mewah di tengah kota Bandung itu berkilau disinari matahari pagi ini. Di salah satu unit dua lantai di kawasan itu tercium aroma daging sapi yang dipanggang. Tampak di sana seorang wanita muda berkacamata minus dengan rambutnya yang dikuncir ekor kuda, tengah tekun menyiapkan makanan untuk mertuanya.
Dahlia, perempuan muda berusia 25 tahun dengan berat badan 65 kilogram itu begitu telaten membuat makanan enak untuk keluarganya. Tapi keikhlasan hatinya itu harus terganggu dengan cibiran ibu mertuanya yang pedas.
“Lia, masih belum siap juga? Masak apa, sih, kamu? Sengaja mau buat mertua kamu kelaperan, ya?!” dari belakang Dahlia, suara sang ibu mertua—Bu Bani, mendekat.
Belum lagi Dahlia menjawab, tangan sang ibu mertua langsung mencomot masakan Lia yang sudah lebih dulu diletakkan di piring saji, “Apaan, nih? Asin banget.”
[Meludah]
“Memang beneran sengaja mau buat mertua kamu modar cepat, ya? Mana bisa ibu makan makanan yang garamnya sekilo gini!” sambung Bu Bani mengejek masakan Dahlia. Tapi tetap saja wanita itu menyuapi sisa daging ‘asin’ di tangannya ke dalam mulut.
“Kamu itu bisanya apasih? Bisa-bisanya makan gaji buta aja! Kasihan banget anak saya gaji istri nggak guna kayak kamu. Cantik nggak, tambah gendut iya. Minimal bayar pembantu kalau kerjaan kantor kamu banyak!”
Dahlia yang murung hanya bisa menghela napas berat sambil mengelap keringat di dahinya. Posturnya yang bertubuh subur itu memang lebih mudah berkeringat, apalagi di dapur yang notebene berhadapan dengan paparan api kompor.
“Ibu…” ucapnya yang kini terpaksa mengubah kemurungan menjadi senyum seolah tidak terjadi apa-apa, “Maafin aku ya kalau keasinan. Lagian dari tadi aku udah tanya ke Ibu bolak-balik, tapi Ibu terus bilang terserah, kan, Bu?”
Jawaban Dahlia tidak bisa dibantah karena benar, itu juga karena mulut sang ibu mertua sedang sibuk mengunyah comotan daging yang sudah keberapa kalinya dari piring saji tadi.
Melihat itu Dahlia kembali memperhatikan daging panggangnya.
“Lia, ambil cuti. Ibu nggak mau tahu, minggu ini kita ke rumah sakit!”
Dahlia kembali menoleh ke belakang, “Ibu sakit? Biar aku panggilin dokter langganan aja. Ibu mau?”
“Nggak usah pura-pura terus kenapa, sih?” seketika celetukan Ibu Bani kembali membuat Dahlia murung. Ia mulai tahu inti pembicaraan ini.
“Kamu sama Juan itu udah setahun nikah, kan? Habis nikah, Juan masih di Bandung sama kamu. Tapi kamu kok belum hamil? Itu nggak jelas jadi masalah di mata kamu?”
“Mau pura-pura nggak ngerti apa memang kamu yang nggak sadar diri, sih? Apa harus banget kamu dengar dari ibu kalau kamu itu perempuan man—“
Dahlia sudah tidak tahan. Ia mematikan api kompor dan kemudian berbalik, “Ibu, makasih banget Ibu peduli sama kami. Tapi bukannya aku yang nggak ngerti atau nggak peduli. Ini pasti karena Mas Juan yang belum bilang ke Ibu, kan?”
“Bilang apa?”
Deg…
Bibir Dahlia terkatup seketika. Tidak mungkin dirinya mengatakan hal yang sebenarnya pada sang ibu mertua bahwa anaknya itu tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Dan kalaupun semua ketahuan, sudah pasti kekurangan fisiknya yang akan disalahkan.
“Mas Juan bilang kami harus pergi ke rumah sakit berdua aja. Tapi tunggu dia punya waktu luang. Ibu juga tau, kan, sebelum tugas ke Papua, banyak panggilan kantor yang bikin kepala Mas Juan pusing. Yang begituan juga pasti ngaruh buat pembuahan, Bu,”
“Nanti, waktu udah balik dan kalau capeknya Mas Juan udah hilang, kami bakalan ke rumah sakit bareng kok, Bu.” Dengan senyum yang terus ia paksakan, Dahlia menjelaskan dan sang ibu mertua akhirnya menyerah.
“Ya udah, ibu bisa ngerti urusan pribadi kalian. Tapi coba dengar ibu yang satu ini, Lia,” ucapnya lagi dan Dahlia semakin serius mendengarkan, “Ibu dengar kamu diangkat jadi kepala manager cabang Bandung. Kerjaan kamu pasti tambah banyak, kan? Trus program hamilnya kapan kalau kamu sama Juan sama-sama capek?”
‘Ah, itu toh yang mau dibahas dari tadi,’ batinnya miris berucap.
“Aku juga maunya gitu, Bu. Tapi keputusan soal jabatan kantor mutlak dari atasan. Mereka juga nggak sembarangan naikin jabatan, toh. Kalau ada yang lebih baik dari Lia, ya monggo aja,”
“Kan ada suami kamu. Apa kamu nggak bisa promosiin Juan? Masa suami jabatannya kalah sama istri? Kejam banget kamu, ya!” Bu Bani kembali ketus saat merasa Lia sungguh tidak bisa diandalkan untuk penopang karier anak tunggalnya itu.
“Ya walaupun Mas Juan itu suami aku, mana boleh gitu, Bu. Ini bukan perusahaan keluarga kita. Yakin aja, nanti ada waktunya Mas Juan dipromosikan jadi Manager senior. Selama nggak banyak ngeluh dan kerjanya bagus, itu bakalan dikasih apresiasi tinggi, kok,” masih dengan senyuman, Dahlia menjawab tenang.
“Kamu ini, terus aja ngejawab yang ibu bilang. Durhaka tau! Ibu mertua atau ibu sendiri juga sama, sama-sama orang tua kamu,” Bu Bani mulai geram.
“Oh, iya. Ibu lupa. Kamu, kan, memang anak yatim piatu yang nggak punya orang tua dari lahir. Gimana mau tau caranya hormatin orang tua? Pernah jadi anak angkat, tapi sayang ibunya cepet banget meninggalnya,”
“Lagian kamu itu kenapa nggak bisa nurut aja kayak si Nila? Dia tuh perempuan idaman mertua. Udah cantik, karier bagus, nurut sama orang tua pula. Nggak nyangka aja kalian dari panti asuhan yang sama, tapi beda banget sifatnya.”
“Bu, tolong jangan—“
[Ding Dong…]
Baru saja Dahlia ingin menjawab agar ibu mertuanya berhenti menghina dan membandingkan dengan sahabatnya sendiri, tapi suara bel pintu membuyarkan percakapan mereka.
Bu Bani begitu cepat melangkah ke depan pintu, “Ya ampun, kok cepet banget datangnya, sih?” gumamnya sambil bergegas membukakan pintu, “Wah, udah pada datang, ya. Masuk-masuk, Jeng!” sambut Bu Bani dengan gembira. Ya, ternyata dia mengundang teman-teman sosialitanya datang ke rumah anak dan menantunya.
Terlalu menggemari hobby barunya bermain media sosial membuat Bu Bani lupa daratan. Yang awalnya hanya petani bawang merah di kampung, dan setelah Juan menikahi Dahlia di kota, membuat taraf harga dirinya kepentok langit.
Sementara Dahlia hanya bisa mengelus dada dan menghela napas tidak berdaya, ‘Ibu kok nggak bilang-bilang mau ngajak temannya ke sini? Masih pagi banget juga. Padahal hari ini aku udah bilang mau pergi belanja sebentar… ah, ya udah deh…’ batinnya lagi.
Begitulah hidup Dahlia yang berat. Ia harus mengalah dan menuruti apa yang ibu mertuanya katakan. Bagaimana pun juga, ibu mertua yang cerewet seperti Bu Bani tetaplah orang tua baginya. Dihina dan dibanding-bandingkan dengan sahabatnya—Nila, juga bukan hal baru di setahun pernikahannya dengan Juan.
“Lia, bikin minum buat tamu saya, ya!” panggilan yang tiba-tiba formal dari sang ibu membuyarkan lamunan sesaatnya.
“Iya, Bu…” sahutnya dari dapur. Sepuluh menit setelah itu Dahlia terlihat membawakan nampan berisi lima cangkir teh kosong dengan sebuah teko berisi teh melati.
Ia menuju ruang tamu untuk menyajikan teh dengan beberapa camilan untuk tamu mertuanya, “Silakan dinikmati, Ibu-ibu…”
“Wah, menantu Jeng Bani manis, ya? Ramah banget lagi,” salah seorang ibu memuji kesopanan dan keanggunan Dahlia. Tampak wajah Bu Bani terlihat tidak senang, tapi tidak mungkin ia menyangkal pujian pada menantunya itu.
“Ayo, silakan dicicip-cicip, Jeng. Bentar lagi kita sarapan bareng, ya. Pada belum sarapan, kan? Habis jogging pasti laper, dong, hahaha!” ajak Bu Bani mengalihkan pembicaraan dan pujian pada Dahlia. Dari belakang, tangannya seolah mengusir Dahlia dari sana.
Dahlia mengangguk singkat dan pergi dari sana. Tapi bukannya kembali ke dapur, ia malah menuju kamarnya. Tubuhnya yang sudah banyak berkeringat mengharuskannya mandi.
Di bawah guyuran shower yang membasahi tubuhnya, Dahlia mengeluarkan air mata sedih, “Sampai kapan Ibu bakalan sayang ke aku? Padahal aku sayang banget sama Ibu,”
Suasana hangat menyelimuti acara pernikahan Rudi dan Dian. Tawa dan doa mengalun, menandai awal baru bagi mereka berdua, juga hadirnya Ilham yang kini resmi menjadi bagian dari keluarga besar Hasan. Anak kecil itu berlari-lari kecil di antara meja tamu, kadang tertawa, kadang sembunyi malu di balik gaun pengantin ibunya.Dahlia duduk di samping Ali, mengenakan kebaya sederhana namun anggun. Tangannya erat menggenggam milik suaminya, seolah masih tak percaya bahwa lelaki itu kini ada di sisinya, tersenyum, hidup, setelah dulu sempat ia hampir kehilangan. Kenangan pahit pun berkelebat—masa lalunya sebagai janda Juanda Putra yang hancur karena perselingkuhan, perjalanan penuh luka bersama Ali yang sempat ditentang banyak pihak, meninggalnya Akung, Status Rudi, munculnya Shafira dengan kehamilan, hingga malam kelam saat kecelakaan merenggut kesadaran Ali selama tiga bulan.Namun semua itu kini terasa jauh. Semua luka seakan luluh oleh hadirnya Akbar, buah hati mereka, yang kini tertawa
Rudi berdiri di hadapan Dian dan Dilan dengan napas masih memburu setelah pertengkaran barusan. Jemarinya mengepal, namun matanya justru bergetar, penuh pergulatan batin. Ia menatap Dian yang wajahnya masih pucat, lalu beralih ke Dilan yang sudah menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata lagi. Suasana hening, hanya bunyi napas yang terdengar. “Aku…” suara Rudi parau, serak menahan beban yang menyesakkan dada, “Aku juga baru tahu semuanya, baru sekarang, setelah tes DNA keluar.” Dian mengangkat wajahnya dengan pandangan tak percaya, seakan tak mampu menangkap maksud kata-kata itu. Sementara Dilan hanya terdiam, menunggu penjelasan. Rudi menelan ludah, suaranya bergetar namun tegas, “Awalnya… semua ini berangkat dari kecurigaan Mbak Dahlia,” “Dia lihat terlalu banyak kemiripan, bukan cuma wajah, tapi juga emosional Ilham dan Akbar. Semakin lama, semakin jelas.” Rudi memejamkan mata sejenak, menahan sakit di kepalanya, “Aku bahkan sempat menyangkal. Kupikir itu cuma sugesti
Ponsel Rudi bergetar di atas meja kerja hotelnya. Ia baru saja selesai membereskan berkas meeting ketika nama temannya, pemilik laboratorium, muncul di layar. “Aku tinggal sebentar.” Pamitnya pada Dian dan Dilan. Rudi meninggalkan kamar dan mencari tempat yang hening untuk mendengarkan kabar yang dia tunggu sejak dua hari lalu. Dengan cepat ia angkat, menempelkan ke telinga. ‘Rud, hasil tes DNA yang kamu titipkan itu… sebenarnya Ilham itu—’ Kalimat di seberang sana terputus. Rudi menahan napas, keningnya berkerut, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia memejamkan mata sepersekian detik, lalu suara sambungan telepon tiba-tiba terdengar terputus. Sinyal hilang. Rudi mendecak pelan, perasaan tidak tenang membayangi benaknya. Ia menatap layar ponsel yang kembali hening, belum berani menyimpulkan apapun. Sementara itu, di depan kamar Rudi, ada sebuah joglo kecil dengan lampu temaram dan kursi kayu. Malam Bali yang hangat hanya ditemani suara ombak jauh di kejauhan. Dila
Rudi mengerjap, kembali ke kenyataan. Dadanya naik turun tak teratur. Pandangan matanya bergetar, seakan ia baru saja diseret kembali ke neraka masa lalu. “Jangan-jangan…” gumamnya, tenggorokannya tercekat. Ia tak berani melanjutkan. Rudi terdiam lama. Ingatan tentang malam penuh dosa di Golden Lotus Bay terus berkelebat di kepalanya. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Dan entah kenapa, setiap ia menatap Ilham, ada sesuatu yang menusuk—rasa yang tak bisa ia tolak. ‘Jangan-jangan… dia…’ pikirannya mendadak kacau. Sebelum sempat ia larut lebih jauh, suara lirih Dahlia memecah lamunan, “Rudi… Mbak takut dosa, tapi Mbak harus bilang.” Rudi menoleh cepat. Dahlia menunduk, jemarinya meremas ujung bajunya sendiri, wajahnya diliputi rasa bersalah. “Mbak… nggak tahu kenapa, tapi Mbak kepikiran kalau Ilham itu anak Mas Ali.” Deg… Kata-kata itu membuat jantung Rudi makin berdegup tak karuan. Dahlia menarik napas berat, matanya berkaca-kaca. “Mbak tahu ini salah. Aku istri dia, seh
Malam itu… adalah malam paling kelam dalam hidup Dian. Dia sama sekali tidak sadar apa yang dilakukannya. Semua anggota tubuhnya seperti tidak lagi dikendalikan oleh pikirannya.Samar-samar, dia masih bisa ingat… kalau dia sendiri yang memulai permainan terlarang itu.Dian yang menarik lelaki itu ke dalam lingkaran dosa yang akhirnya menjeratnya sampai sekarang.Dan paginya… waktu Dian membuka mata, dia langsung tersentak. Seluruh tubuhnya bergetar begitu sadar dia hampir tak mengenakan apa-apa, hanya berbalut satu selimut tipis… bersama pria itu. Baju-baju mereka berserakan di lantai, jadi tanpa pikir panjang Dian buru-buru memungutnya satu per satu. Dian tidak berani menoleh lagi ke arah lelaki itu, apalagi membangunkannya. Dia hanya ingin lari. Lari sejauh mungkin dari kamar itu.Sejak saat itu, Dian selalu merasa hidup dalam dosa.‘Aku berdosa, Mbak… aku benar-benar berdosa…’‘Dan dosa itu semakin nyata waktu sebulan kemudian aku sadar ada nyawa kecil tumbuh dalam rahimku.’‘Awa
Di sebuah taman bermain sederhana yang punya area café kecil Akbar dan Ilham akhirnya bertemu. Akbar datang menggandeng tangan Dahlia, sementara Ilham sudah duduk di bangku taman ditemani Dian yang tampil sederhana dengan kemeja longgar dan topi. Begitu mata mereka bertemu, Akbar langsung melangkah cepat. “Eh, kamu Ilham?” tanyanya polos sambil sedikit mengangkat alis. Ilham berdiri, tersenyum tipis, “Iya. Kamu Akbar, kan?” Tanpa basa-basi, dua bocah itu langsung berjabat tangan. Dahlia dan Dian yang menyaksikan dari samping sempat saling melirik, terkejut sekaligus lega melihat anak-anak mereka begitu mudah nyambung. “Jadi kamu juga nolak dibayar uang?” tanya Akbar sambil duduk di sebelah Ilham. “Iya,” jawab Ilham santai, “aku minta uangnya buat Eyang bikin toko bunga aja. Kalau kamu?” “Aku juga gitu, minta Tante Dian supaya balik jadi cewek,” jawab Akbar sambil melirik Dian sebentar. Dian tersipu, menunduk dalam, sementara Dahlia spontan menahan tawa kecil meliha