Home / Romansa / MARJAN SOLID / Bab 2. Warung Padang

Share

Bab 2. Warung Padang

Author: MetroWoman
last update Last Updated: 2021-08-15 08:17:26

Marina menaruh helm di atas kursi setibanya di warung makan Padang miliknya. Warung makan yang dibuka sejak empat tahun silam itu, sukses menjadi warung makan yang ramai disambangi. Warungnya hanya buka dari jam sepuluh pagi sampai jam empat sore.

Marina yang hanya lulusan SMA tidak punya keahlian untuk 'dijual' di dunia perkantoran. Hanya memasak yang dia bisa, masakannya juga enak. Selepas bercerai, dia memutuskan membangun hidup baru, mengobati luka, dengan bangkit membuka usaha kuliner untuk menyambung hidup. 

“Kakak ke atas dulu, ya.”

Marina meletakkan tas selempang di atas kasur. Menggulung rambut hingga menjadi sanggul cepol sebelum duduk di depan cermin yang digantung di dinding kamar lantai dua.

Dia memandangi dirinya yang tampak kusam dan lelah. Jerawat besar di kening dan empat jerawat beruntus di pipi dan dagu.

Jerawat radang yang tidak gatal tapi terasa sakit meski tidak disentuh, dan jerawat beruntus yang gatal tapi sakit saat disentuh.

Marina mencuci muka di kamar mandi, lantas membersihkan muka dengan susu pembersih dan toner. Itu ritual Marina setiap hari. Kegiatannya yang banyak di luar ruangan membuatnya harus membersihkan muka di siang hari supaya tetap terlihat segar.

Meski janda dan sibuk di dapur, Marina tetap menaruh perhatian besar pada penampilannya. Sebab, Marina masih ingin punya suami baru.

“Menu baru kita kayaknya laris manis ya, San.”

“Iya, Kak. Udah empat hari baru dua jam dipajang di etalase langsung ludes. Kasian pembeli banyak yang gak kebagian. Besok nambah lagi dech, Kak. Belum pernah ada juga sambal pete ijo,” saran Santi yang sedang menghitung uang di kasir.

“Iya juga sih. Nambah berapa ya?”

Marina duduk di pojok ruangan yang dijadikan sebagai singgasananya untuk bekerja. Ruangan itu disekat dengan triplek yang dicat dan dilukis, supaya tidak terlihat oleh pengunjung dan lalu lalang pekerja. Sekat triplek itu juga berfungsi sebagai hiasan karena lukisan yang menggambarkan sebuah keluarga sederhana yang bahagia.

Warung makan Marjan Solid tidak terlihat seperti warung makan Padang kebanyakan. Marjan Solid lebih terlihat seperti café dengan tampilan minimalis. Pelayan warung pun memakai baju seragam berwarna hijau.

Banyak air mata yang mengiringi hidup Marina pasca menikah dan bercerai. Jatuh bangun janda muda itu menata hidup, menata hati, dan menata usahanya yang dimulai dari nol.

“Kak, kita ada pesanan nasi Padang 100 kotak plus pete ijo untuk kantor Grandibox jam sebelas siang besok lusa.”

Santi datang memberi kabar yang diterimanya barusan melalui telepon. Marjan Solid juga menerima pesanan nasi kotak yang harus diberitahu paling telat dua hari sebelum acara.

Marina bukan tidak mau menerima pesanan sehari sebelum hari H, tapi mengurus warung yang dipenuhi pelanggan makan saja sudah membuat mereka kerepotan. Marina juga bukan tidak mau menambah tenaga kerja, tapi kondisinya yang baru selesai menyulap warung menjadi café minimalis, cukup membuat keuangan Marina terkuras.

“Oh, ok. Mereka DP atau full payment?

“DP 50%, Kak. Penyelesaian saat pesanan diambil.”

“Ok, siapkan daftar bahan, minta Nanang langsung belanja. Dan ini daftar bahan untuk menu tambahan. Kakak mau bikin kreasi menu baru.”

Marina menyerahkan selembar kertas penuh tulisannya, yang hanya bisa dibaca oleh dirinya dan para pekerja.

Benak Marina mendadak melintas sosok Johan yang ditemuinya tadi di SPBU. Laki-laki yang menurutnya berbeda dari kebanyakan lelaki modus berkedok menawarkan bantuan. Johan justru pergi meninggalkannya setelah ditolak dengan bahasa halus –tanpa debat apalagi paksaan.

Padahal Marina sedang sangat butuh bantuan pada saat itu. Badannya kehabisan tenaga mendorong motor dari jarak yang tidak dekat, sepulang dari bank untuk menyetor uang. Kakinya lemas karena berjalan cukup jauh ditambah beban motor puluhan kilogram.

Marina sangat berharap ada seseorang yang datang menolongnya. Tidak tanggung-tanggung, Marina sampai mengucap nazar dengan lelahnya dua jam yang lalu. Dan, Tuhan mengabulkan doanya.

Johan setiawan yang masih duduk di meja ujung ruang meeting, dikirimkan kepadanya sebagai malaikat penolong. Mereka masih membahas acara peluncuran produk baru di pelataran parkir lapangan tembak Arkenasera pada Ahad mendatang.

”Kesiapan tempat 90% deal, tinggal persiapan dari pihak marketing untuk mendekor. Tata panggung dan backsound jangan abai, karena sangat mempengaruhi calon konsumen pada kesan pertama.“

“Karena kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya –” sela Rudy.

“Terserah anda,” sambung Johan cepat.

Rudy dan Johan melihat orang-orang di dalam ruangan sedang tertawa karena selaan mereka yang saling sindir. Wajah santai Johan dan wajah tegang Rudy menjadi paduan sempurna untuk menjadi tontonan yang menghibur. Johan mengabaikan tatapan sinis Rudy yang mendongkol.

"Ada tambahan? Makan siang bagaimana?"

"Sudah ok, Pak. Pembayaran juga sudah ok," jawab Vina.

"Ok, ada tambahan? Kalau tidak ada, rapat selesai."

Suroso meninggalkan ruangan diikuti Vina sang admin kantor yang ....

Entahlah, pegawai-pegawai kantor paling malas berurusan dengannya. Alis Gusti mengerut saat membaca pesan yang baru masuk.

"Jo, pinjam duit donk bentar. Buat beli susu." Gusti berbisik.

Johan yang masih menulis, menoleh pada Gusti yang duduk di sebelahnya. Dia merogoh kantong celana kanan. Tidak mendapatkan apa-apa. Pindah ke sebelah kiri, juga tidak ada apa-apa. Johan kebingungan. Alisnya mengerut.

Gusti bingung melihat Johan berdiri –masih membongkar kantong celananya untuk memastikan.

"Duit kamu hilang, Jo?"

"Gak tahu. Tadi waktu bayar makan masih ada di kantong," jawabnya gelisah.

"Memangnya nominal berapa?" Gusti ikut berdiri.

"Seratus ribu."

Tangan Johan pindah ke kantong kemeja. Johan mendapatkan beberapa lembar uang di dalamnya.

"Cuma ini yang ada, Gus. Tiga puluh tujuh ribu." Johan menunjukkan uangnya.

"Ya, ok dech. Gak apa-apa. Sisanya biar aku pinjam sama lain." Gusti mengambil uang tersebut.

"Memangnya beli susu berapa?"

"Duitku gak cukup karena harus beli popok juga. Eh, tapi kamu sendiri gak ada, Jo. Gak jadi dech." Gusti menaruh uang itu ke dalam genggaman Johan.

"Udah, gak apa-apa. Ambil aja. Anak kamu lebih butuh."

Gusti terdiam mendengar ucapan Johan. Dia memandang laki-laki itu beberapa detik. Rasa haru pelan-pelan menyeruak di sanubarinya melihat sikap Johan padanya. Mata Gusti mulai berkaca-kaca.

"Udah, gak usah melow-melow. Ada saatnya nanti kamu yang bantuin aku."

"Kamu baik banget. Thank you ya, Jo," Gusti menabrak Johan dan memeluknya. 

"Untung di ruangan gak ada orang, kalau gak, kalian dikira homo sapien betulan!"

Suara nyaring tersebut membuyarkan pelukan haru Gusti. Sosok yang mengerti pertemanan kedua lelaki tersebut. Riska melepas kabel layar proyektor dari laptop, sebelum mengambil print out bahan rapat tadi.

"Bang, tolong bawain ya, Ika mau ke ruangan  Pak Suroso," ucapnya menunjuk proyektor sambil lalu.

Johan berdehem. 

Riska melihat mata Gusti yang merah, tapi gadis itu tidak mau bertanya. Toh, nanti tahu sendiri –pikirnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MARJAN SOLID    Bab 18. Malam jengkel

    “Nama Abang siapa?” tanya Marina masih dengan kegelisahan di wajah. “Gusti.” Marina mengangguk pelan setelah Gusti bercerita panjang lebar hingga tenggorokannya kering dan haus. Hingga cerita itu berakhir pun, Johan belum kembali ke klinik. Pun Marina belum menjawab pertanyannya sejak tadi. “Maaf, tadi saya dengar obrolan kamu dan dokter. Kamu nggak punya riwayat asma, tapi bisa sesak napas begitu, kenapa? Karena teman saya bilang awalnya kamu nggak apa-apa. Tiba-tiba udah tremor dan sesak napas.” “Saya nggak apa-apa, memang sering kambuh kalau udah cemas,” lirihnya menyadari jawabannya akan memancing pertanyaan berikutnya. Gusti mengambil ponsel dan terkejut melihat jam di layar. Dia menghubungi Johan yang tidak tahu di mana rimbanya. Tiga kali tersambung tetapi tak satu pun panggilannya dijawab. “Makasih ya, Bang. Maaf, saya …” Marina berhenti merasa dadanya sakit seperti ditekan. “Ngerepotin.” Marina menghela napas lagi. “Te

  • MARJAN SOLID    Bab 17. Serba bingung

    “Pikirin dech solusinya,” cetus Gusti tak mau repot kali ini. Cukup tadi direpotkan dengan ban mobil.Johan beranjak keluar ruangan guna mendapat kelonggaran dada yang terasa sempit. Udara dingin menyapu wajah dan rambut hitamnya, serta kulit cokelat yang tersinar cahaya lampu. Johan benar-benar mencuri perhatian. Sayang, tidak ada yang melihat penampilan sempurna itu selain suster klinik dan dokter jaga.“Gus, kamu pulang dech, biar aku antar dia pulang.”“Kamu yakin? Terus motor dia gimana?”Johan menghela napas dalam-dalam di dinginnya udara malam yang semakin pekat.“Kalau boleh kamu mampir ke kafe, titip sama pihak kafe –““Mana ada yang mau dititipin? Kamu pikir klub malam? Kalau itu memang udah ada yang jagain, ditinggal pemilik juga masa bodoh. Tinggal bayar uang parkir sesuai peraturan.”Gusti benar dan menyolot agar Johan mengerti bahwa menyelesaikan masalah t

  • MARJAN SOLID    Bab 16. Diserang panik

    “Gimana? Pilihan kamu ke polisi atau ganti rugi uang saya.”Pilihan yang memojokkan Marina dan Johan sengaja melakukan itu. Kelakuan Marina tidak bisa ditolerir untuk diaggap sebagai lelucon atau iseng belaka. Johan mengeluarkan ponsel dan mengetik di pesan sms.“Ini nomor rekening saya. Transfer sekarang atau kamu jadi buronan!”‘Ha?’ Marina nyaris tersedak ketika ancaman Johan terlontar saat dia meneguk jus jeruk. Sudut bibir Johan ketarik menertawakan perilaku jelek lawan bicaranya. Ternyata perempuan banyak yang menggunakan kecantikan untuk memperdaya target kejahatannya.“Cantik-cantik penipu!” cibir Johan.“HEH, ANDA JANGAN SEMBARANG NUDUH SAYA. SAYA BUKAN PENIP –““KALAU KAMU BUKAN PENIPU, BUKTIKAN PERKATAAN KAMU!!!”Marina terkesiap mendapat bentakan Johan yang lantang dan bersuara tinggi. Sikap Marina semakin memancing darah Johan mend

  • MARJAN SOLID    Bab 15. Darah mendidih

    “Kalian ketemu nggak sengaja berkali-kali, terus dengan dia bocorin ban kamu artinya kalian ada bercakap-cakap. Nah, cakap kamu pasti bikin perasaannya tersinggung.” “Sok tahu!” “Loh, kok sok tahu?” sanggah Gusti melirik sekitar. “Faktanya memang kalian ada ketemu sebelumnya, kan? Terus ngobrol apa gitu, basa-basi kek, apa kek. Nah, ini –“ “Udah lah, aku mau balik!” “Eh, Jo, nggak bisa gitu!” Gusti mengejar Johan yang mengambil bajunya di mobil. Tubuh Johan terasa lengket karena keringat. Berdiri di kap mobil cukup membantu mengeringkan keringat di permukaan kulitnya. Johan mengangkat sedikit tangannya untuk tahu aroma tubuhnya. “Nggak bau. Kalau pun bau juga cuma aku yang cium,” ujarnya membuat Johan menatap sadis. Beruntung Gusti tidak terlalu jelas melihatnya karena remang-remang. “Minggir, kalau nggak mau kena tonjok!” Karena penasarannya tidak terjawab, Gusti mengitari mobil dengan terburu-buru lalu masuk dan duduk

  • MARJAN SOLID    Bab 14. Dendam kesumat

    “Mau apa kamu di mobil saya?”Marina gelagapan ketika suara Johan menghujam telinganya dengan tegas tetapi datar.“Eng … itu, duit saya jatuh. Uang koin. Kalau dengar dari bunyinya kayaknya jatuhnya di sekitaran sini,” jawab Marina gugup. Andai bagian kepalanya bisa dilihat Johan, maka lelaki itu akan tertawa karena Marina mulai berkeringat.Johan meyakinkan dirinya sendiri bahwa lawan bicaranya tidak berbohong –selama menatap Marina. Perempuan itu semakin gelisah dari bahasa tubuhnya yang sejak tadi Johan lihat.“Lantas?”“Apanya?” Marina kembali menatap Johan, setelah sempat berpaling.“Uangnya udah ketemu?”“Eng … udah. Permisi!”Marina berlalu tanpa basa-basi lainnya atau menunggu Johan memberi respons. Lelaki itu mengamatinya hingga dia pergi meninggalkan parkiran bank. Ketika Johan mengalihkan perhatiannya ke mobil, mata lelaki itu

  • MARJAN SOLID    Bab 13. Jum'at kliwon

    “Namanya bu Rini, dia orang berpengalaman nangani orang-orang yang kasus-kasus mental gitu. Kakak tinggal hubungi buat bikin janji ketemu.”Marina menarik napas dalam-dalam sambil membaca data psikolog tersebut. Dia tidak menyangka Santi bisa secepat itu menemukannya. Kerja bagus yang patut diapresiasi karena mendapatkannya dalam dua hari.“Ok, makasih, San. Nanti Kakak hubungi,” katanya menyimpan kertas tersebut ke dalam laci.“Nggak disimpan dulu nomornya, Kak? Kalau kertasnya hilang, kan, masih ada nomor yang bisa dihubungi.”Marina tertegun sejenak. “Nanti aja. Oh iya, pesanan dua hari lalu udah siap?”Kepala Marina bergerak melihat ke dapur. Tampak persiapan pesanan nasi kotak hampir rampung. Menu penganan siang itu juga sudah tertata di etalase warung.“Setengah jam lagi diambil,” sahut Santi sebelum kembali meja kasir. “Pesanan jam empat sore tambah peyek kacang dua pul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status