Share

Bab 3. Pertemuan ke dua

Marina duduk di ruangannya tengah merenung, dengan pena di tangannya mengetuk-ngetuk kertas yang sedang ditulisnya. Dia sedang mencari cara untuk bisa mengembalikan uang Johan yang ada padanya.

Jam dinding Kalpataru menunjukkan pukul 08.28 malam. Marina tidak lapar tapi merasa ingin makan sesuatu. Dia naik ke lantai dua mengambil sweater dan kunci motor. Janda muda itu lebih suka bermotor ria pada malam hari, karena suasananya terasa lebih romantis menurutnya. Apalagi Marina sedang dalam masa mencari suami baru.

Siapa tahu ketemu jodoh di jalan.

*** 

Sambil menunggu pesanannya, Marina duduk setelah memakirkan motornya di tempat penjual sate kambing di pinggir jalan. Setelah berputar-putar mencari tempat nongkrong outdoor yang asik tanpa ribet, Marina menjatuhkan pilihan berhenti di gerobak sate yang baru pertama kali disinggahinya. Penjual sate langganannya ternyata sudah empat hari tidak jualan, sedang pulang kampung kata pemilik warung sebelahnya.

"Terima kasih, Pak."

Bapak penjual sate mengangguk sebelum kembali ke gerobak melayani pembeli yang lain. Marina sumringah melihat sate di hadapannya ternyata berporsi besar. Potongan lontongnya tidak terlalu besar tapi banyak, dan satenya berjumlah sepuluh tusuk. Warna kuahnya juga mantap. Rasanya ....

"Maknyussss!" pekiknya kegirangan dengan suara berbisik.

Marina melotot dengan lidah yang terus mengecap sedikit kuah sate yang dicicipnya. Recommended untuk membuat perutnya kenyang malam ini dan berikutnya.

Tidak sampai sepuluh menit, piring sate Marina sudah kosong tanpa sisa kecuali tusuk sate. Pedas yang ditinggalkan si cabe rawit benar-benar membuat Marina meringis sampai menarik ingus. Pandangan Marina mengedar ke sekitar saat bibirnya menyedot air mineral dari dalam botol.

'Loh, itu kan ...?'

Mata Marina terkunci pada sosok lelaki yang sedang menyantap daging sate dengan santai–duduk menghadap dirinya. Dia terkejut saat tanpa sengaja, mata mereka saling menatap. Marina tidak mengalihkan pandangan matanya, tapi malah diam mematung beberapa detik melihat Johan yang menatapnya bingung.

Johan memandangi Marina yang mengenakan outer kuning kunyit lembut dan rambut yang dikuncir ke atas. Penampilannya jauh berbeda dengan yang ditemui Johan di pom bensin siang itu.

"Permisi, Kak. Aku duduk di sini, ya?"

Marina tersadar saat seorang gadis remaja pembeli duduk satu meja dengannya. Dia mengangguk dan mempersilakan gadis itu.

Marina terus mencuri-curi pandang melirik Johan yang tengah meneguk air mineral. Detik berikutnya, Marina melihat Johan bersiap untuk pergi. Matanya terus mengikuti gerakan Johan yang sedang membayar sate.

"Euh, permisi, Bang."

Johan menoleh. Marina tertegun melihat wajah Johan dari jarak dekat di bawah remang-remang cahaya lampu jalan. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa perintah.

"Iya, ada apa?"

Johan memandang bingung Marina, yang menatapnya seperti melihat pangeran dari khayangan turun ke bumi.

"Euh, eng ... oh ini, Bang ...."

Marina mengambil dompet dari dalam tas, dan menarik selembar uang merah. Dia menyodorkannya.

"Ini ... Saya mau kembalikan uang Abang yang jatuh waktu di pom bensin dua hari lalu," jelas Marina dengan tatap berbinar berharap Johan mengingat dirinya.

Kening Johan mengerut. Dia mencoba mengingat semua peristiwa yang terjadi dua hari lalu. Pom bensin?

"Abang nolongin saya waktu itu. Dorongin motor saya ke booth motor," lanjutnya diiringi senyum sungkan.

Marina melihat Johan berpikir keras untuk mengingat. Dia tidak melepas tatapannya pada mata Johan yang sedang menerawang ke bawah –entah kemana. Johan mengangkat tatapannya.

"Oh, saya ingat."

Marina langsung sumringah. Tapi, uang jatuh?

Baru akan menyodorkan kembali uang tersebut, buncahan gembira dalam hati Marina langsung dipadamkan Johan.

"Ng, tapi, ada apa ya?"

"Euh? Duh, Abang ini gimana sih? Kan, tadi udah dibilang mau balikin duitnya!'

Air muka Marina berubah mendongkol, dia meremas uang tersebut, dan tangan satunya menggenggam tali tas selempangnya yang berwarna hitam. Tapi, segera dia mengatur kembali ekspresi wajahnya.

"Ini lho, Bang. Saya mau balikin duit Abang yang jatuh abis nolongin saya," jelas Marina penuh penekanan di semua kosa kata yang terucap. 

Johan melihat tangan Marina yang tersulur ke hadapannya. Pria itu diam beberapa saat.

"Udah, ambil aja buat kamu. Buat nambah-nambah beli bensin."

Marina melongo.

Johan bercakap santai tanpa tahu harga diri Marina sudah dia coreng. Seolah-olah Marina adalah anak kos, atau pegawai kantoran yang bergaji kecil.

"Nggak, Bang. Saya masih ada duit kok. Ini, silakan ambil. Saya harus pulang, nggak bisa lama-lama."

Tanpa menunggu tanggapan Johan dan basa-basi, Marina langsung mengapit uang tersebut ke dalam telapak tangan laki-laki itu, lantas meninggalkannya. Johan tersentak. 

"Eh, tunggu!"

Dia mengejar Marina yang tengah mendorong motor keluar dari parkiran. Marina langsung memakai helm tanpa menggubris Johan yang datang menghampirinya.

"Eng, maaf, terima kasih udah kembalikan uang ini." Johan berucap sopan.

"Iya, sama-sama!" ketus Marina.

Johan terperangah mendapat tanggapan yang menurutnya tidak etis. Marina yang sudah duduk di motor, kemudian turun menyangga cagak motor setelah menstarter maticnya berulang-ulang.

Marina saat ini tidak butuh pertolongan Johan, namun saat ini dia benar-benar berharap seseorang menolongnya menyalakan motornya yang tiba-tiba merajuk.

Kakinya sudah lelah mengengkol motor yang tidak kunjung bersahabat. Johan berdiri seperti patung melihat adegan demi adegan yang terjadi di depan matanya. Keringat Marina sudah berpeluh di wajah, kepala, dan punggung tubuh janda muda itu. Dia gengsi meminta tolong pada Johan.

"Biar saya bantu."

Johan mengambil alih tanpa menunggu persetujuan Marina. Dia juga tidak tahan dilihatin orang-orang yang melintas, laki-laki yang hanya berdiri menonton tidak membantu perempuan di dekatnya yang sedang kesusahan. Harga dirinya runtuh.

'Dari tadi kek bantuin, bukannya diam kayak nonton bioskop!'

***

Johan melepas bajunya sebelum ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Pukul 22.05 dia baru tiba di rumah setelah drama engkol motor yang cukup menghabiskan tenaganya. Bukan energi yang terkuras karena motornya, melainkan karena pemiliknya yang sewot tidak karuan.

Laki-laki itu keluar dari kamar mandi di dekat dapur dengan berbalut handuk. Dia memutuskan untuk mandi karena gerah dan keringat yang lengket. Johan melihat ponselnya menyala ketika pintu kamarnya baru saja ditutup.

Dia memeriksanya. Tidak ada yang penting untuk dibalas. 

Johan melempar pelan ponselnya ke atas kasur. Membuka lemari namun tidak mengambil pakaian. Dia hanya berdiri termenung di sana. Menatap kosong deretan pakaian dan celana dalam yang tersusun rapi.

Petuah Gusti tiba-tiba kembali terngiang-ngiang di telinganya. Ada rasa yang Johan tidak tahu apa–sudah menyusup ke relung hatinya sejak Gusti memberi 'dakwah' siang tadi.

"Terus, aku harus apa?"

Johan berbicara lirih dan terdengar pasrah pada diri sendiri tanpa dia sadari.

Sejauh dan selama apa pun kamu berjalan, gak akan bisa mengobati luka hati kalau kamu gak belajar membuka hati.

Satu petuah Gusti lainnya yang terngiang di telinga Johan. Pelan-pelan akal sehatnya mulai membenarkan ucapan Gusti, yang entah kenapa mendadak menjelma menjadi sosok broken heart consultant.

Dia tersadar sudah berdiri di depan lemari hampir dua puluh menit, saat suara klakson mobil yang melintas membuyarkan lamunannya.

Johan melirik dompet dan uang merah selembar yang sudah kusut di dekatnya, yang berada di meja kecil dekat pintu kamar. Pikirannya kini teralih pada Marina yang sudah dua kali bertemu, namun Johan tidak mengenalinya karena penampilan perempuan itu yang sangat berbeda –menurutnya.

Dia mengambilnya, dan duduk di pinggir kasur masih dengan handuk yang melilit di pinggang. Johan masih tidak mengerti sikap ketus Marina yang membingungkan.

"Perempuan aneh."

Dia menarik kisah di pom bensin dengan nasibnya yang kehilangan uang siang itu. Sebetulnya Johan bertanya-tanya saat Marina menyodorkan uang tersebut. Uangku? Jatuh? Di SPBU?

Johan beranjak ke lemari mengambil celana dalam, dan melempar handuknya ke kursi dekat meja kecil tadi.

"Udah ditolongin gak bilang terima kasih."

Johan mendongkol bukan kepalang. Dia merangkak ke kasur, menepuk-nepuk bantal, dan menenggelamkan diri dalam selimut halus yang tidak tebal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status