Marina duduk di ruangannya tengah merenung, dengan pena di tangannya mengetuk-ngetuk kertas yang sedang ditulisnya. Dia sedang mencari cara untuk bisa mengembalikan uang Johan yang ada padanya.
Jam dinding Kalpataru menunjukkan pukul 08.28 malam. Marina tidak lapar tapi merasa ingin makan sesuatu. Dia naik ke lantai dua mengambil sweater dan kunci motor. Janda muda itu lebih suka bermotor ria pada malam hari, karena suasananya terasa lebih romantis menurutnya. Apalagi Marina sedang dalam masa mencari suami baru.
Siapa tahu ketemu jodoh di jalan.
***
Sambil menunggu pesanannya, Marina duduk setelah memakirkan motornya di tempat penjual sate kambing di pinggir jalan. Setelah berputar-putar mencari tempat nongkrong outdoor yang asik tanpa ribet, Marina menjatuhkan pilihan berhenti di gerobak sate yang baru pertama kali disinggahinya. Penjual sate langganannya ternyata sudah empat hari tidak jualan, sedang pulang kampung kata pemilik warung sebelahnya.
"Terima kasih, Pak."
Bapak penjual sate mengangguk sebelum kembali ke gerobak melayani pembeli yang lain. Marina sumringah melihat sate di hadapannya ternyata berporsi besar. Potongan lontongnya tidak terlalu besar tapi banyak, dan satenya berjumlah sepuluh tusuk. Warna kuahnya juga mantap. Rasanya ....
"Maknyussss!" pekiknya kegirangan dengan suara berbisik.
Marina melotot dengan lidah yang terus mengecap sedikit kuah sate yang dicicipnya. Recommended untuk membuat perutnya kenyang malam ini dan berikutnya.
Tidak sampai sepuluh menit, piring sate Marina sudah kosong tanpa sisa kecuali tusuk sate. Pedas yang ditinggalkan si cabe rawit benar-benar membuat Marina meringis sampai menarik ingus. Pandangan Marina mengedar ke sekitar saat bibirnya menyedot air mineral dari dalam botol.
'Loh, itu kan ...?'
Mata Marina terkunci pada sosok lelaki yang sedang menyantap daging sate dengan santai–duduk menghadap dirinya. Dia terkejut saat tanpa sengaja, mata mereka saling menatap. Marina tidak mengalihkan pandangan matanya, tapi malah diam mematung beberapa detik melihat Johan yang menatapnya bingung.
Johan memandangi Marina yang mengenakan outer kuning kunyit lembut dan rambut yang dikuncir ke atas. Penampilannya jauh berbeda dengan yang ditemui Johan di pom bensin siang itu.
"Permisi, Kak. Aku duduk di sini, ya?"
Marina tersadar saat seorang gadis remaja pembeli duduk satu meja dengannya. Dia mengangguk dan mempersilakan gadis itu.
Marina terus mencuri-curi pandang melirik Johan yang tengah meneguk air mineral. Detik berikutnya, Marina melihat Johan bersiap untuk pergi. Matanya terus mengikuti gerakan Johan yang sedang membayar sate.
"Euh, permisi, Bang."
Johan menoleh. Marina tertegun melihat wajah Johan dari jarak dekat di bawah remang-remang cahaya lampu jalan. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa perintah.
"Iya, ada apa?"
Johan memandang bingung Marina, yang menatapnya seperti melihat pangeran dari khayangan turun ke bumi.
"Euh, eng ... oh ini, Bang ...."
Marina mengambil dompet dari dalam tas, dan menarik selembar uang merah. Dia menyodorkannya.
"Ini ... Saya mau kembalikan uang Abang yang jatuh waktu di pom bensin dua hari lalu," jelas Marina dengan tatap berbinar berharap Johan mengingat dirinya.
Kening Johan mengerut. Dia mencoba mengingat semua peristiwa yang terjadi dua hari lalu. Pom bensin?
"Abang nolongin saya waktu itu. Dorongin motor saya ke booth motor," lanjutnya diiringi senyum sungkan.
Marina melihat Johan berpikir keras untuk mengingat. Dia tidak melepas tatapannya pada mata Johan yang sedang menerawang ke bawah –entah kemana. Johan mengangkat tatapannya.
"Oh, saya ingat."
Marina langsung sumringah. Tapi, uang jatuh?
Baru akan menyodorkan kembali uang tersebut, buncahan gembira dalam hati Marina langsung dipadamkan Johan.
"Ng, tapi, ada apa ya?"
"Euh? Duh, Abang ini gimana sih? Kan, tadi udah dibilang mau balikin duitnya!'
Air muka Marina berubah mendongkol, dia meremas uang tersebut, dan tangan satunya menggenggam tali tas selempangnya yang berwarna hitam. Tapi, segera dia mengatur kembali ekspresi wajahnya.
"Ini lho, Bang. Saya mau balikin duit Abang yang jatuh abis nolongin saya," jelas Marina penuh penekanan di semua kosa kata yang terucap.
Johan melihat tangan Marina yang tersulur ke hadapannya. Pria itu diam beberapa saat.
"Udah, ambil aja buat kamu. Buat nambah-nambah beli bensin."
Marina melongo.
Johan bercakap santai tanpa tahu harga diri Marina sudah dia coreng. Seolah-olah Marina adalah anak kos, atau pegawai kantoran yang bergaji kecil.
"Nggak, Bang. Saya masih ada duit kok. Ini, silakan ambil. Saya harus pulang, nggak bisa lama-lama."
Tanpa menunggu tanggapan Johan dan basa-basi, Marina langsung mengapit uang tersebut ke dalam telapak tangan laki-laki itu, lantas meninggalkannya. Johan tersentak.
"Eh, tunggu!"
Dia mengejar Marina yang tengah mendorong motor keluar dari parkiran. Marina langsung memakai helm tanpa menggubris Johan yang datang menghampirinya.
"Eng, maaf, terima kasih udah kembalikan uang ini." Johan berucap sopan.
"Iya, sama-sama!" ketus Marina.
Johan terperangah mendapat tanggapan yang menurutnya tidak etis. Marina yang sudah duduk di motor, kemudian turun menyangga cagak motor setelah menstarter maticnya berulang-ulang.
Marina saat ini tidak butuh pertolongan Johan, namun saat ini dia benar-benar berharap seseorang menolongnya menyalakan motornya yang tiba-tiba merajuk.
Kakinya sudah lelah mengengkol motor yang tidak kunjung bersahabat. Johan berdiri seperti patung melihat adegan demi adegan yang terjadi di depan matanya. Keringat Marina sudah berpeluh di wajah, kepala, dan punggung tubuh janda muda itu. Dia gengsi meminta tolong pada Johan.
"Biar saya bantu."
Johan mengambil alih tanpa menunggu persetujuan Marina. Dia juga tidak tahan dilihatin orang-orang yang melintas, laki-laki yang hanya berdiri menonton tidak membantu perempuan di dekatnya yang sedang kesusahan. Harga dirinya runtuh.
'Dari tadi kek bantuin, bukannya diam kayak nonton bioskop!'
***
Johan melepas bajunya sebelum ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Pukul 22.05 dia baru tiba di rumah setelah drama engkol motor yang cukup menghabiskan tenaganya. Bukan energi yang terkuras karena motornya, melainkan karena pemiliknya yang sewot tidak karuan.
Laki-laki itu keluar dari kamar mandi di dekat dapur dengan berbalut handuk. Dia memutuskan untuk mandi karena gerah dan keringat yang lengket. Johan melihat ponselnya menyala ketika pintu kamarnya baru saja ditutup.
Dia memeriksanya. Tidak ada yang penting untuk dibalas.
Johan melempar pelan ponselnya ke atas kasur. Membuka lemari namun tidak mengambil pakaian. Dia hanya berdiri termenung di sana. Menatap kosong deretan pakaian dan celana dalam yang tersusun rapi.
Petuah Gusti tiba-tiba kembali terngiang-ngiang di telinganya. Ada rasa yang Johan tidak tahu apa–sudah menyusup ke relung hatinya sejak Gusti memberi 'dakwah' siang tadi.
"Terus, aku harus apa?"
Johan berbicara lirih dan terdengar pasrah pada diri sendiri tanpa dia sadari.
Sejauh dan selama apa pun kamu berjalan, gak akan bisa mengobati luka hati kalau kamu gak belajar membuka hati.
Satu petuah Gusti lainnya yang terngiang di telinga Johan. Pelan-pelan akal sehatnya mulai membenarkan ucapan Gusti, yang entah kenapa mendadak menjelma menjadi sosok broken heart consultant.
Dia tersadar sudah berdiri di depan lemari hampir dua puluh menit, saat suara klakson mobil yang melintas membuyarkan lamunannya.
Johan melirik dompet dan uang merah selembar yang sudah kusut di dekatnya, yang berada di meja kecil dekat pintu kamar. Pikirannya kini teralih pada Marina yang sudah dua kali bertemu, namun Johan tidak mengenalinya karena penampilan perempuan itu yang sangat berbeda –menurutnya.
Dia mengambilnya, dan duduk di pinggir kasur masih dengan handuk yang melilit di pinggang. Johan masih tidak mengerti sikap ketus Marina yang membingungkan.
"Perempuan aneh."
Dia menarik kisah di pom bensin dengan nasibnya yang kehilangan uang siang itu. Sebetulnya Johan bertanya-tanya saat Marina menyodorkan uang tersebut. Uangku? Jatuh? Di SPBU?
Johan beranjak ke lemari mengambil celana dalam, dan melempar handuknya ke kursi dekat meja kecil tadi.
"Udah ditolongin gak bilang terima kasih."
Johan mendongkol bukan kepalang. Dia merangkak ke kasur, menepuk-nepuk bantal, dan menenggelamkan diri dalam selimut halus yang tidak tebal.
“Nama Abang siapa?” tanya Marina masih dengan kegelisahan di wajah. “Gusti.” Marina mengangguk pelan setelah Gusti bercerita panjang lebar hingga tenggorokannya kering dan haus. Hingga cerita itu berakhir pun, Johan belum kembali ke klinik. Pun Marina belum menjawab pertanyannya sejak tadi. “Maaf, tadi saya dengar obrolan kamu dan dokter. Kamu nggak punya riwayat asma, tapi bisa sesak napas begitu, kenapa? Karena teman saya bilang awalnya kamu nggak apa-apa. Tiba-tiba udah tremor dan sesak napas.” “Saya nggak apa-apa, memang sering kambuh kalau udah cemas,” lirihnya menyadari jawabannya akan memancing pertanyaan berikutnya. Gusti mengambil ponsel dan terkejut melihat jam di layar. Dia menghubungi Johan yang tidak tahu di mana rimbanya. Tiga kali tersambung tetapi tak satu pun panggilannya dijawab. “Makasih ya, Bang. Maaf, saya …” Marina berhenti merasa dadanya sakit seperti ditekan. “Ngerepotin.” Marina menghela napas lagi. “Te
“Pikirin dech solusinya,” cetus Gusti tak mau repot kali ini. Cukup tadi direpotkan dengan ban mobil.Johan beranjak keluar ruangan guna mendapat kelonggaran dada yang terasa sempit. Udara dingin menyapu wajah dan rambut hitamnya, serta kulit cokelat yang tersinar cahaya lampu. Johan benar-benar mencuri perhatian. Sayang, tidak ada yang melihat penampilan sempurna itu selain suster klinik dan dokter jaga.“Gus, kamu pulang dech, biar aku antar dia pulang.”“Kamu yakin? Terus motor dia gimana?”Johan menghela napas dalam-dalam di dinginnya udara malam yang semakin pekat.“Kalau boleh kamu mampir ke kafe, titip sama pihak kafe –““Mana ada yang mau dititipin? Kamu pikir klub malam? Kalau itu memang udah ada yang jagain, ditinggal pemilik juga masa bodoh. Tinggal bayar uang parkir sesuai peraturan.”Gusti benar dan menyolot agar Johan mengerti bahwa menyelesaikan masalah t
“Gimana? Pilihan kamu ke polisi atau ganti rugi uang saya.”Pilihan yang memojokkan Marina dan Johan sengaja melakukan itu. Kelakuan Marina tidak bisa ditolerir untuk diaggap sebagai lelucon atau iseng belaka. Johan mengeluarkan ponsel dan mengetik di pesan sms.“Ini nomor rekening saya. Transfer sekarang atau kamu jadi buronan!”‘Ha?’ Marina nyaris tersedak ketika ancaman Johan terlontar saat dia meneguk jus jeruk. Sudut bibir Johan ketarik menertawakan perilaku jelek lawan bicaranya. Ternyata perempuan banyak yang menggunakan kecantikan untuk memperdaya target kejahatannya.“Cantik-cantik penipu!” cibir Johan.“HEH, ANDA JANGAN SEMBARANG NUDUH SAYA. SAYA BUKAN PENIP –““KALAU KAMU BUKAN PENIPU, BUKTIKAN PERKATAAN KAMU!!!”Marina terkesiap mendapat bentakan Johan yang lantang dan bersuara tinggi. Sikap Marina semakin memancing darah Johan mend
“Kalian ketemu nggak sengaja berkali-kali, terus dengan dia bocorin ban kamu artinya kalian ada bercakap-cakap. Nah, cakap kamu pasti bikin perasaannya tersinggung.” “Sok tahu!” “Loh, kok sok tahu?” sanggah Gusti melirik sekitar. “Faktanya memang kalian ada ketemu sebelumnya, kan? Terus ngobrol apa gitu, basa-basi kek, apa kek. Nah, ini –“ “Udah lah, aku mau balik!” “Eh, Jo, nggak bisa gitu!” Gusti mengejar Johan yang mengambil bajunya di mobil. Tubuh Johan terasa lengket karena keringat. Berdiri di kap mobil cukup membantu mengeringkan keringat di permukaan kulitnya. Johan mengangkat sedikit tangannya untuk tahu aroma tubuhnya. “Nggak bau. Kalau pun bau juga cuma aku yang cium,” ujarnya membuat Johan menatap sadis. Beruntung Gusti tidak terlalu jelas melihatnya karena remang-remang. “Minggir, kalau nggak mau kena tonjok!” Karena penasarannya tidak terjawab, Gusti mengitari mobil dengan terburu-buru lalu masuk dan duduk
“Mau apa kamu di mobil saya?”Marina gelagapan ketika suara Johan menghujam telinganya dengan tegas tetapi datar.“Eng … itu, duit saya jatuh. Uang koin. Kalau dengar dari bunyinya kayaknya jatuhnya di sekitaran sini,” jawab Marina gugup. Andai bagian kepalanya bisa dilihat Johan, maka lelaki itu akan tertawa karena Marina mulai berkeringat.Johan meyakinkan dirinya sendiri bahwa lawan bicaranya tidak berbohong –selama menatap Marina. Perempuan itu semakin gelisah dari bahasa tubuhnya yang sejak tadi Johan lihat.“Lantas?”“Apanya?” Marina kembali menatap Johan, setelah sempat berpaling.“Uangnya udah ketemu?”“Eng … udah. Permisi!”Marina berlalu tanpa basa-basi lainnya atau menunggu Johan memberi respons. Lelaki itu mengamatinya hingga dia pergi meninggalkan parkiran bank. Ketika Johan mengalihkan perhatiannya ke mobil, mata lelaki itu
“Namanya bu Rini, dia orang berpengalaman nangani orang-orang yang kasus-kasus mental gitu. Kakak tinggal hubungi buat bikin janji ketemu.”Marina menarik napas dalam-dalam sambil membaca data psikolog tersebut. Dia tidak menyangka Santi bisa secepat itu menemukannya. Kerja bagus yang patut diapresiasi karena mendapatkannya dalam dua hari.“Ok, makasih, San. Nanti Kakak hubungi,” katanya menyimpan kertas tersebut ke dalam laci.“Nggak disimpan dulu nomornya, Kak? Kalau kertasnya hilang, kan, masih ada nomor yang bisa dihubungi.”Marina tertegun sejenak. “Nanti aja. Oh iya, pesanan dua hari lalu udah siap?”Kepala Marina bergerak melihat ke dapur. Tampak persiapan pesanan nasi kotak hampir rampung. Menu penganan siang itu juga sudah tertata di etalase warung.“Setengah jam lagi diambil,” sahut Santi sebelum kembali meja kasir. “Pesanan jam empat sore tambah peyek kacang dua pul