Share

Bab 4. Nego dengan pemilik warung

Riska sudah siap dengan semua perlengkapan untuk acara promo tahunan bersama tim marketing, tim penjualan, dan tim terkait yang kini berada di pelataran parkir lapangan tembak. Mereka harus bekerja keras untuk menarik perhatian pengunjung lapangan yang pagi itu sangat ramai.

Menjual produk lebih banyak demi bonus yang dijanjikan diluar bonus tahunan, bila target penjualan di hari itu tercapai.

Gusti bersiap menuju mobil kantor untuk menjemput nasi kotak, menggantikan Vina yang tiba-tiba tidak bisa menyelesaikan bagian tugasnya karena Suroso meminta tambahan dana untuk segera dikeluarkan. Dia berdecak kesal karena pekerjaan itu seharusnya bisa dilakukan oleh supir kantor.

Faktanya, mereka semua terlibat dalam sesi penjualan produk melihat antusiasme pengunjung yang cukup tinggi. Mau tidak mau, Suroso harus melibatkan tenaga mereka dalam sesi penjualan.

“Des, Vira mana?”

“Ha? Apa?” teriak Desi.

Dia tidak mendengar karena suara musik dan Riska yang komat-kamit di atas panggung. Terlebih posisi Desi berdiri tepat beberapa langkah di samping loudspeaker.

”Vira mana? Aku diminta ngambilin makan siang,” terang Gusti turut berteriak. 

”Gak tahu! Tadi kayaknya ke sana,” tunjuk Desi ke salah satu mobil kantor.         

Tanpa bicara, Gusti langsung berlari ke arah mobil yang ditunjuk, meninggalkan Desi yang manyun-manyun karena Gusti tidak mengucapkan terima kasih.

“Vir, makan siangnya ambil dimana? Bonnya mana? Udah lunas belum?”

Vira yang duduk di dalam mobil van sedang mengirim surel, terkejut saat kepala Gusti tiba-tiba menyembul.

“Kek tuyul aja!” sewotnya.

Gusti hanya memperhatikan Vira yang langsung mengambil bon nasi kotak dari dalam dompet seukuran dompet Note ponsel. Perempuan itu menghitung uang untuk membayar sisa tagihan setelah menyerahkan kertas tersebut. Wajah Vira mendadak tegang.

“Aduh, pak Suroso kemana, sih? Kok hpnya gak aktif?” Vira gelisah –menekan ulang tombol memanggil.

Vira terus menghubungi Suroso berulang-ulang tanpa menggubris Gusti yang keningnya sudah berkerut, hingga Gusti mengulangi pertanyannya.

"Kenapa, Vir?"

“Uangnya gak cukup, Bang."

***

“Sudah, Mbak. Pesanannya sudah siap dan sudah bisa diambil. Baik, Mbak. Terima kasih. Sama-sama.”

Santi menutup telepon dari seorang pemesan nasi kotak yang akan diambil jam satu siang nanti. Matanya melirik ke dapur masak yang tidak transparan. Kesibukan di sana tidak kalah dengan di depan yang mulai ramai pengunjung.

Sambal petai hijau ronde ke dua sedang dimasak. Seorang pekerja setengah teriak meminta tambahan daun ubi dan dibalas dengan acungan jempol.

"Ini punya kantor Grandibox kan, San? Kok belum diambil ya? Udah jam segini.”

Rani tiba-tiba berdiri di  dekat Santi yang baru saja menutup laci kasir. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11.20 siang.

“Gak tahu, Ran. Mungkin sebentar lagi.” Santi melirik jam dinding berbentuk Kalpataru.

Rani melihat satu unit mobil hitam terparkir di depan warung. Dua orang lelaki turun dengan aura gelisah, lelah, panas, dan kusam.

“Permisi.“

“Iya, Bang. Selamat siang.” Santi tersenyum ramah, melirik logo perusahaan yang ada di baju Gusti – Grandibox.

“Eng ... ini, saya mau ambil pesanan nasi untuk Grandibox, sisa tagihannya dua setengah juta lagi ya. Nah, kebetulan tadi ada kejadian di luar dugaan. Jadi, sisa tagihannya yang bisa saya bayar cash cuma dua juta. Kalau sisa lima ratus ribu diselesaikan besok, apa bisa, Dek? Biar nanti pihak finance yang langsung transfer.”

Gusti berucap hati-hati dengan jantung yang berdegup tidak karuan sambil menunjukkan bon down payment, mengingat nama baik perusahaan dan tampangnya yang pasti diingat oleh pihak warung.

Santi mendadak bingung. Grandibox cukup sering memesan nasi kotak pada mereka. Bahkan, tampang Gusti dan Johan pun sudah dihapal oleh pekerja warung.

Tapi, Santi tidak bisa memberi keputusan, meski dia ingin membantu Gusti menyelesaikan masalah tersebut. Kedua lelaki itu menangkap mimik wajah Santi yang terlihat serba salah.

Gadis itu permisi untuk ke ruangan Marina di pojok warung bermaksud meneleponnya guna meminta pendapat. Namun, Marina tidak kunjung menjawab panggilan Santi yang sudah tiga kali menghubunginya.

”Bang, maaf, saya udah hubungi pemilik warung berkali-kali tapi telepon saya gak dijawab,” sesal Santi.

Kedua lelaki itu mendesah bersamaan. Santi melihat keresahan Gusti dan Johan yang saling menatap, seakan berbicara melalui kontak mata ‘gimana ini?’ sementara waktu terus berlalu dan semakin mepet.

Mata Johan berbalik memandang keluar warung, menatap kosong satu mobil hitam mengkilap yang baru saja diparkir.

***

“Kamu yakin?”

Santi menjelaskan duduk perkara pada Marina yang sudah duduk di pojok ruangan. Dia masuk melalui pintu belakang yang menjadi kebiasaannya bila berkendara menggunakan mobil.

“Ya, ok dech. Cuma lima ratus ribu. Mengingat mereka juga udah jadi pelanggan kita. Pastikan besok mereka tepat waktu, ya. Jangan lewat hari.”

Santi mengangguk lantas keluar.

Marina sebetulnya tidak menerima alasan apa pun soal penundaan pembayaran pesanan berstatus uang muka. Janda cantik itu tidak mau terulang peristiwa yang pernah membuatnya berutang akibat pemesan yang tidak bertanggung jawab.

Diberi kepercayaan dengan kelonggaran tenggat waktu pelunasan uang muka nasi kotak yang sudah diambil, pemesan justru tidak pernah kembali untuk melunasi, pun tidak juga bisa dihubungi. Tidak tanggung-tanggung, Marina mengalami kerugian lima juta Rupiah di awal-awal dia merintis usaha warung.

“Ko, tolong bawa nasi kotak Grandibox ke mobil,” perintah Santi saat melewati Eko yang tengah membersihkan meja warung.

“Ok, sebentar!”

“Gimana, Dek?”

Gusti berdiri dari kursi saat melihat Santi keluar dengan senyum sumringah kepadanya sambil mengangguk. Johan masih di kursi mengamati sekitar ketika Gusti mengekori Santi ke meja kasir.

“Sebentar saya tulis dulu ya, Bang”

Santi merasa lega masalah dengan satu perusahaan Consumer goods yang menjadi pelanggan sejak dua tahun belakangan sudah selesai –setidaknya untuk hari ini.

Dia mengambil bon asli yang dicetak sablon percetakan, disatukan dengan rangkap satu yang diserahkan Gusti, menulis tanggal dan jumlah pembayaran tunai, beserta sisanya. Dan sebuah catatan kecil mengenai tanggal pelunasan.

“Sisanya ditunggu besok ya, Bang. Ini bonnya, silakan ditunggu. Makanannya akan diantar ke mobil.”

“Alhamdulillah!” seru keduanya kompak.

“Terima kasih ya, Dek,” ucap Johan cepat.

Gusti dan Johan melihat makan siang mereka diangkut keluar warung oleh empat orang lelaki. Keduanya benar-benar merasa perlu sujud syukur untuk momen tersebut, namun harus batal saat Gusti melihat sosok perempuan berjalan masuk ke warung bersama seorang anak berusia satu tahun, dan seorang lelaki di sampingnya.

Johan berlalu tanpa peduli sosok yang tiba-tiba berhenti beberapa langkah di depannya. Gusti melihat Johan yang melirik setengah detik tanpa reaksi ketika keluar warung.

Meskipun tinggal satu kota dan sudah berpisah lama, namun Johan tidak pernah bertemu tatap muka dengan mantan istrinya. Dia hanya melihat dari kejauhan –tanpa sengaja.

Marina pun tanpa sengaja melihat Johan berdiri di depan warungnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status