Helena tidak sadarkan diri saat bantuan datang dan mengankat tubuhnya masuk ke dalam mobil Ambulance. Anak buah Abraham dengan cepat mengawal prosesinya. Clarissa memilih untuk ikut di mobil yang membawa kakaknya. Gadis itu tak hentinya berdoa dan menggenggam tangan Helena.
"Bertahan, Kak. Semuanya akan baik-baik saja. Tolong, jangan tinggalkan aku," ucapnya tersedu.
Mobil Ambulance melaju dengan cepat kembali ke rumah sakit. Lima belas menit kemudian, mereka akhirnya tiba. Di lobby, suster dan brangkar telah bersedia.
"Hati-hati," ucap Clarissa saat perawat mengankat tubuh Helena.
Sang kakak langsung di larikan ke unit gawat darurat.
"Tolong, selamatkan Kakak saya!" ucap Clarissa histeris, setelah turun dari mobil. Rasa takut kehilangan membuatnya merasakan sesak.
Clarissa mengejar Helena yang di bawah menjauh.
"Baik, tunggulah di luar." Suster menahan Clarissa yang ingin ikut masuk ke dalam ruangan.
Gadis itu frustrasi.
"Bolehkah saya ikut masuk menemaninya, Sus?" pintanya.
Suster menggeleng dengan raut wajah datar.
"Tidak perlu, tunggulah di luar."
Pintu ditutup dan Clarissa hanya bisa mengintip dari kaca kecil yang berada di pintu.
Helena langsung mendapatkan pertolongan pertama, selang oksigen langsung terpasang untuk membantu wanita itu bernapas. Suster dengan cepat memasang infus karena kondisi tubuh Helena yang sangat lemah. Dokter dan suster tampak cekatan mengerjakan tugasnya dan memberikan bantuan.
Sudah satu minggu, mereka hanya menkomsumsi mie instan. Itupun dibagi dua dan kadang mereka tidak makan seharian. Helena selalu irit untuk dirinya dan selalu mengutamakan Clarissa diatas segalanya.
"Nona, kami membawa uang untuk membiayai perawatan kakak Anda," ucap salah satu pengawal yang diutus untuk menemuinya. Clarissa kaget dan memegang dadanya. Orang tersebut adalah orang yang sama yang berada di Cafe tadi. Clarissa tahu kuense kuensinya. Dia berharap bisa mengelak dan mengulur waktu.
"Terima kasih, tolong bisa biarkan saya sendiri dulu."
Clarissa ingin fokus pada sang kakak. Tak ada yang lebih mengkhawatirkan selain Helena saat ini. Kedua pengawal itu seakan mengerti kegalauan Clar. Mereka pun mundur dan berdiri tegak agak jauh untuk memberinya ruang. Beberapa menit kemudian dokter keluar dan Clarissa langsung menghampiri.
"Bagaimana, Dokter? Bagaimana keadaan kakak saya?" Clarissa yang begitu khawatir tak melepaskan tatapannya dari lelaki yang berpakaian serba putih itu.
Dokter itu tersenyum dan menatapnya lembut.
"Pasien sudah jauh lebih baik, tetapi untuk sekarang masih tidak sadarkan diri. Penderita asma memang seperti itu, pasien mengalami demam sebelum datang ke sini. Kami akan memprioritaskan beliau sesuai titah Tuan Abraham. Tenanglah, pasien akan segera pulih."
Clarissa lega mendengarnya, airmatanya kembali berlinang. Kali ini dia menangis sembari bersujud syukur.
"Terima kasih."
"Sama-sama, pasien akan dipindahkan ke ruang rawat. Silahkan selesaikan administrasinya, ya," ucap Dokter itu dan segera berlalu.
Clarissa terenyuh, dia terlalu ketakutan hingga tidak berpikir dua kali untuk menelpon Abraham. Kepalanya berdenyut sakit, pikiran tentang kesepakatan itu membuatnya stres.
"Kami akan mengurus biayanya, Nona." Tanpa menunggu persetujuan Clarissa, kedua pengawal itu segera menuju ke meja resepsionis.
Clarissa termangu, dia bangkit dan duduk di kursi merenungi nasibnya. Tangannya gemetar membayangkan apa yang akan terjadi kedepannya, sudah terlambat baginya untuk mundur sekarang.
Andai saja dia punya uang, andai saja dia tidak miskin. Pikiran itu memenuhi isi kepalanya.
"Nona, Anda harus pulang bersama kami," ucap sang pengawal setelah kembali dari membayar biaya perawatan Helena.
"Hah?" sesaknya melotot shock.
Clarissa mendongak, tiba waktunya untuk menghadap pada lelaki tua itu. Mau tidak mau, Cla harus menurut.
"S-saya tidak bisa pergi, kakak saya akan mencari saya saat dia bangun nanti," ucap gadis itu mencari alasan. Airmatanya jatuh menahan gugup, Clarissa menangis tanpa suara.
Kedua pengawal itu saling pandang. Mereka harus membawa Clarissa apapun yang terjadi sesuai dengan perintah tuannya.
"Tenang, Nona. Soal itu, seorang perawat telah disiapkan untuk mengawasi kakak Anda, jika Beliau bangun kita akan langsung kembali. Tuan Abraham telah menunggu dari tadi, sangat berbahaya jika moodnya tak karuan karena penolakan ini."
Jantung Clarissa berdegub kencang, setelah mendengarnya. Gadis itu teringat kedatangan Abraham sore tadi. Bayangan menikahi pria tua itu kembali mengganggunya.
"Ikutlah, jangan mempersulit tugas kami." Tatapan tegas dari kedua pengawal itu membuat nyali Clarissa menciut.
"Baiklah."
Clarissa Anastasya pasrah mengikuti kemana pengawal akan membawanya pergi. Gadis sederhana itu menguatkan diri, entah akan seperti apa nasibnya nanti. konsekuensi harus dijalani. Imbas dari keputusan harus dihadapinya.
Keringat dingin membasahi telapak tangan.
"Kita akan menuju ke kediaman keluarga Reevand, Nona. Sebaiknya Nona mengganti pakaian dengan busana yang telah kami siapkan."
Clarissa terhenyak mendengar semuanya.
"Tidak perlu, saya akan datang seperti ini." Clarissa merasa pakaiannya sangat layak, kemeja putih dengan celana kain berwarna hitam, baginya ini adalah pakaian terbaik.
"Keluarga Reevand sedang berkumpul, kami hanya melaksanakan perintah Tuan Abraham. Jika Nona tidak ingin menyesal, sebaiknya lakukan."
Clarissa menolak dengan tegas, justru jika cara ini mampu membuat pernikahan batal maka Clarissa akan sangat bersyukur.
"Saya tidak peduli, kalian jalan atau saya akan kembali lagi ke Rumah Sakit!"
Kedua pengawal itu tidak bisa membantahnya lagi. Lebih baik membawanya pergi dengan penampilan seadanya atau pulang dengan tangan kosong.
"Baiklah, jalan!"
Mobil bergerak meninggalkan rumah sakit, sepanjang jalan pikiran Cla hanya berpusat pada Helena, hanyut dalam masalahnya sendiri, Cla sampai tidak menyadari jika mobil telah melaju terlalu lama dan tiba di kediaman keluarga Reevand.
Kendaraan itu memasuki kawasan mewah dan berhenti di suatu bangunan megah. Cla tersentak kala salah satu pengawal yang stay di luar segera membantu membukakan pintu mobil untuknya.
"Nona, kita sudah sampai."
Clarissa hanya mengangguk, gadis itu keluar dari mobil, pemandangan yang tersaji membuat Clarissa Anastasya takjub. Para pengawal membungkuk memberikan penghormatan. Istana di depan mata tak kalah membuatnya tercengang. Clarissa tertegun dan ikut menunduk dengan kaku.
Lagi, Clarissa merasa dirinya sedang dalam dunia dongeng. Menjadi seorang putri di tengah istana yang megah.
"Selamat datang, Nona," ucap para pelayan serentak. Clarissa tersadar dari lamunannya.
"T-terima kasih," ucapnya kikuk.
Mobil mewah berjejer di garasi, Clarissa heran kenapa begitu banyak pengawal yang menyambutnya.
'Bagaimana lelaki tua itu menggaji orang sebanyak ini,' batinnya.
"Silahkan ikuti saya, Nona," ucap seorang pelayan wanita.
Clarissa menoleh pada kedua pengawal tadi, hanya isyarat mempersilahkan yang dia dapatkan. Clarissa merasa sangat gugup. Gadis itu menarik napas panjang sebelum mengikuti langkah si pelayan memasuki rumah. Langkah pasti sang pelayan yang membuat irama slop sepatu mengetuk lantai terdengar nyaring. Gadis itu menatap sepatunya, bahkan sepatu si pelayan terlihat lebih mahal dari alas kaki yang sedang dia kenakan.
"Hidup memang tidak adil," gumam gadis itu.
"Anda mengatakan sesuatu, Nona?" Pelayan yang ada di hadapannya berhenti dan menunduk sopan ke arahnya.
Clarissa yang melihat itu ikut berhenti.
"Ah, tidak. Saya hanya mengagumi bangunan ini."
Pelayan di rumah itu sangat profesional, mereka bisa mendengarkan suara tuan rumah walau di ucapkan dengan sangat pelan.
"Oh, kalau begitu mari ikut saya."
Baru saja melanjutkan langkah, Clarissa kembali terhenti saat si pelayan berpapasan dengan seorang pemuda. Dia adalah cucu kedua Abraham, Zeland Reevand. Zeland pria yang tampan dan cerdas. Namun, pembawaan pemuda itu sangatlah dingin.
"Selamat malam, Tuan," sapa sang pelayan.
Zeland hanya mengangguk dan menatap Clarissa dari kaki hingga ujung kepala. Tidak ada kata atau tegur sapa, Zeland adalah lelaki pendiam. Cucu kebanggaan Abraham. Pemuda itu berlalu menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Clarissa menatap pemuda itu tak berkedip, Zeland sangat memukau dengan wajah khas keturunan campuran, Indo dan Turki.
"Ikuti saya, Nona." Sang pelayan menoleh ke Clarissa yang terus mendongak mengikuti kemana Zeland pergi.
"Eh, iya."
Mereka menuju ke ruang tengah di mana Abraham sedang duduk membaca koran. Kedatangan Clarissa sudah di tunggu dari tadi. Semakin Clarissa memasuki rumah itu, semakin wanita itu menggeleng.
'Bahkan mereka bisa bermain bola di dalam rumah, berapa luas bangunan rumah ini,' batinnya.
"Tuan, Nona sudah sampai," ucap si pelayan.
Abraham melipat kembali korannya dan tersenyum ke arah tamu spesialnya. Gadis itu memindai seisi ruangan. Perabot dan pernak-pernik begitu mewah membuat Clarissa terpesona.
"Selamat datang, terima kasih telah menerima tawaranku," ucap Abraham.
Suasana hati Clarissa mendadak sedih mendengarnya. Gadis itu memilih diam tidak bersuara.
"Bi, panggil semua Anak-anak agar turun makan malam bersama."
"Baik, Tuan," ucap si pelayan dan berlalu pergi.
Abraham menatap Clarissa dengan seksama, hal itu membuat gadis di hadapannya bergidik ngeri.
"Pernikahan akan segera dilangsungkan, kau harus tinggal di rumah ini agar kami bisa menyiapkan segalanya dengan cepat."
Netra indah itu terbelalak.
"M-menikah!"
"Ya, kau berada di sini untuk itu kan? Kau akan melahirkan keturunan Reevand. Menjadi wanita terhormat dan tentu saja di segani."
Clarissa mengepalkan tangan kecilnya, marah sekaligus takut melanda hatinya, menikahi Abraham menjadi sebuah mimpi buruk bagi wanita muda sepertinya. Clarissa akan memohon untuk membatalkan pernikahan itu. Namun, pandangannya teralihkan saat beberapa pemuda berjalan ke arah mereka.
Tap
tap
Tap.
"Siapa dia, Kek? Pelayan baru!" seru Angelo Reevand.
Dia adalah cucu termuda di keluarga Reevand. Zeland pun berada di sana dan hanya menatap Clarissa yang tertunduk kikuk.
Pengawal telah memperingatkan soal penampilannya, tak di sangka. Dia akan di perlakukan serendah itu.
"Jaga bicaramu, El. Dia tamu Kakek dan akan segera menjadi bagian dari keluarga Reevand."
Ketiga pemuda itu terbelalak, mereka menatap Clarissa yang kucel dan sangat tidak menarik.
"Anggota keluarga! Apa maksud Kakek. Kakek nggak bermaksud akan menikahinya kan?" tanya Angelo mencibir.
Clarissa mengankat wajahnya sedikit, tatapan bak elang, tatapan merendahkan. Hingga mengasihani mengarah kepadanya.
"Kita lihat nanti," ucap Abraham menyisahkan teka-teki.
Zeland tidak berkomentar dan duduk di samping kakeknya.
"Ayolah, Kek. Dia terlalu muda," David angkat bicara.
"Lalu kenapa? Apa orangtua sepertiku tidak pantas mendapatkan wanita muda?"
Napas Clarissa tercekat, kedua tangannya meremas ujung baju kemeja yang dikenakannya.
"Aku tidak setuju, apa Kakek tidak bisa memilih wanita dari kalangan atas? Gadis sepertinya bisa ditemui di pinggiran jalan. Apa yang menarik darinya!" Angelo menyuarakan ketidak suakaannya.
"Jaga ucapanmu, El. Siapapun pilihan Kakek maka dia akan berharga," ucap Abraham menegaskan.
Angelo mendekati Clarissa dan membidik gadis itu dengan tatapannya.
"Lo heh, sangat menjijikkan, menikah karena harta menjadi pilihan kebanyakan wanita muda. Apalagi alasannya kalau bukan karena uang." Makian itu terdengar di telinga Clarissa walau Elo mengucapkannya dengan pelan. Hal itu menyakiti perasaan Cla. Dihina bagai tidak memiliki harga diri. Cla memutuskan membalas tatapannya.
"Kenapa? Jika ada yang muda. Kenapa harus memilih jalan yang sulit."
"Lo!" tunjuk Elo namun Cla mendekat seolah menantang.
"Baru bertemu dan kau lancang menilaiku."
"Jangan ganggu dia, El. Kakek pasti memiliki alasan mengapa memilihnya," ucap David. menengahi.
David Reevand, adalah cucu tertua dari Abraham. Lelaki paling dewasa dengan wajah yang rupawan. David menjadi incaran para wanita, selain tampan kemampuannya dalam dunia bisnis tidak diragukan.
Clarissa mendongak menatap iris mata pemuda itu, mereka saling berpandangan. Letupan amarah bergejolak di hati Clarissa, dia merasa terhina atas ucapan Elo dan David barusan.
"Dia menjijikan," sahut Elo serius.
David tersenyum kecut. Sepintas Cla memang tak ada apa-apanya. Tidak begitu cantik, juga terlihat pendek.
"Yup bukan selerahmu."
Asap mengepul memenuhi isi rumah, Cla yang baru saja selesai mengganti pakaiannya tampak panik dan berlari turun ke bawah. Entah apalagi yang terjadi saat ini. Ulah apa yang telah dibuat sang suami. "Uhuk uhukk uhuukk!" David membuat kekacauan, dia menggoreng ikannya dengan asal lalu tak membaliknya. Alhasil ikan itu hangus namun dia tak berani untuk mematikan kompornya. "Hey, apa yang kau lakukan dengan dapurku?!" Cla melotot melihat penggorengannya sudah tak tertolong. "Kauu!!" Gadis itu melangkah akan mematikan kompornya, namun David menangkap tubuhnya. Asap yang mengepul membuat David tak tega membiarkannya masuk. "Cla, pergi. Di sini berbahaya!" Cla menatapnya tak percaya. "Lebih berbahaya lagi jika kita tidak mematikan kompornya, kau bisa membakar seisi rumah." David terkesiap. Pemuda itu segera ke kamar mandi dan membawa se ember air. Dia tahu, gadis itu nekat. Sepanjang dia mengenalnya. Cla adalah sosok tak terduga. Klik. Byuur!! "Hah!" Cla tersentak panik den
Makanan tersaji di atas meja, wajah David bergidik bahkan saat dia hanya melirik aneka makanan yang di siapkan istrinya itu."Kau tidak akan kenyang jika hanya melihatnya," ucap Cla cuek.David menatap ngeri, dia kehilangan selera makan dan memilih bersandar di kursi kayu sembari menyilangkan tangan ke dada."Apa tidak ada restoran di sekitar sini, aku bisa sakit perut jika makan semua itu."Cla berdecak, tentu saja semua itu hanya omong kosong baginya."Hey, kau dengar aku. Aku bicara padamu!"David melambaikan tangan di depan wajah istrinya, baru dua hari menikah tapi keduanya masih belum menemukan kecocokan."Eheemm," Cla menghilangkan rasa gugup.David menyipitkan mata melihat tingkahnya."Jangan manja tuan muda. Tidak ada pelayan di sini. Apa yang kau takutkan, aku bahkan memakannya. Kenapa kau begitu suka membesar-besarkan masalah."David terkesiap.Cla duduk di kursi meja makan, menyantap sarapannya dengan tenang tak peduli suaminya menatap jijik."Tidak, tidak! Aku tidak bisa
Matahari bersinar cerah, David baru saja bangun setelah mendengar suara berisik dari luar jendela. Lelaki itu membuka mata dan tidak menemukan istrinya di ruangan yang sama. “Eh, udah kaya kan sekarang. Lunasin tuh hutang-hutang kakak kamu. Kita udah cukup bersabar ya, masa lunasin hutang besar ke rentenir bisa, ke kita-kita nggak bisa,” ucap salah satu wanita paruh baya yang berdiri di halaman kecil milik Clarissa. “Bener tu, Bu. Lihat aja pakaiannya, mahal banget, mobil itu juga. Kalau udah hidup seneng bayar hutang, woi.” Clarissa bingung dan hanya pasrah mendengar cacian mereka. Dia tak memiliki uang, dan lagi hutang-hutang yang di maksud tetangga-tetangganya entah berapa jumlahnya. David menutup telinga, suara berisik mereka benar-benar sangat mengganggu. “Kalau kamu nggak bayar, kami akan melapor sama Pak RT.” David bangkit dan mengintip dari jendela, melihat istrinya berdiri tak berdaya dia lalu meraih dompetnya dan segera keluar. “Mana diem aja lagi, punya kuping nggak s
Setelah pembicaraan di meja makan. Abraham lalu mengirim beberapa orang bersama Tiger untuk membersihkan rumah lama Clarissa. Dia sangat berharap hubungan antara David dan Cla akan berjalan harmonis. Abraham ingin cinta benar-benar tumbuh di antara mereka.David menunggu di ambang pintu, lelaki itu sedikit berubah setelah menjalani ijab kabul. Petuah dari penghulu di resapinya baik-baik. Cla datang ditemani Bibi Agnes, istrinya hanya mendongak sekilas lalu tertunduk lemah.“Kau sudah siap?”Cla mengangguk. Tatapannya memancarkan rasa takut.“Apa Bibi juga ikut dengan kami?” David menatap Bibi Agnes yang menarik koper milik istrinya.“Tidak, Tuan. Tuan besar memintaku membawa koper Nona Cla ke mobil.”David menyingkir dan memberi jalan.“Baiklah, silahkan.” Si bibi pun pergi dari sana.&
Pagi menyingsing, matahari bersinar cerah tapi tidak dengan ruangan yang di tempati Clarissa. Dia terduduk di atas ranjang tidak berani untuk melangkah menyingkap tirai. Selimut menyelimuti tubuhnya, dia berharap David akan bangun dan membantunya mengambil pakaian.Clarissa ingin sekali memanggil namanya, tapi dia sungkan untuk melakukannya.Resah dan gelisah, dia mulai tidak sabar karena waktu kini menunjukan Pukul 08:00 Pagi.“Tuan Abraham akan marah jika kami terlambat untuk sarapan. Aduh bagaimana ini?”Clarissa nekat berjinjit mendekati tirai lalu menyingkapnya, sinar matahari pun memenuhi ruangan, terang dan menyilaukan.David terusik dan menghalau sinar itu dengan tangannya.Sesaat Clarissa terdiam dan mengamati. Semalam begitu panas, hingga David melepaskan bajunya. Perlahan lelaki itu membuka mata dan menatap Clarissa yang berdiri di deka
Pesta pernikahan telah usai, hal yang menarik baru saja terjadi. Viona pergi meninggalkan ruangan saat ijab kabul selesai di lafalkan. Clarissa kini berada di kamar David. Bibi Agnes dan Abraham sendiri yang telah mengantarkannya. Gadis itu duduk ditepi ranjang dengan perasaan yang kacau.Kamar di hias dengan sedemikian rupa, kelopak bunga mawar berserakan dengan indah di atas seprei putih yang sengaja di pasang. Lilin-lilin berwarna-warni tampak cantik terpajang di setiap sisi. Lampu kamar telah di padamkan, semua telah di atur oleh Abraham.Suara pintu berderit, suaminya baru saja masuk dan melepas jas yang di pakainya.Tetiba hening, langkah David terhenti kala menyadari kehadiran Clarissa di kamarnya.“Kau, disini?”David tampak konyol menanyakan hal itu pada wanita yang baru saja dinikahinya.“Kakek yang memintaku masuk di kamar i