"Saya membutuhkan wanita cantik sepertimu untuk dijadikan calon pengantin," ucap seorang lelaki tua yang berdiri tepat dihadapan Clarissa Anastasya.
Gadis itu melotot sempurna dengan tangan mengepal menatap berang ke arah lelaki tersebut. Seharian ini, Clarissa telah berkeliling mencari pekerjaan, rehat sejenak di sebuah Cafe menjadi pilihannya. Bagai disambar petir di siang hari, tawaran menjadi pengantin datang dari seorang lelaki yang sudah sangat sepuh bahkan lebih cocok dipanggil seorang Kakek.
Abraham Reevand, seorang pebisnis nomor satu yang terkenal dengan karakter tegas dan arogant. Sangat menjaga martabat dan kehormatan keluarga, harga diri menjadi prioritas utamanya.
"Anda siapa? Datang-datang bicara tentang pernikahan, apakah Anda tidak bisa berkaca!" Clarissa menatapnya kesal.
Abraham menyukai sikap galak itu dan mengeluarkan cek dari saku jasnya.
"Aku akan memberikan uang berapa pun yang kau minta asal kau mau menjadi bagian dari keluarga Abraham Reevand."
Clarissa mengerutkan kening, nama itu tidak asing baginya. Clarissa adalah gadis sederhana. Impiannya yang selalu ingin menjadi seorang model membuatnya selalu menyisihkan uang untuk membeli majalah ternama. Nama Abraham tidak asing terdengar di telinga.
"Anda jangan kurang ajar, ya! Apakah saya terlihat seperti wanita matre!"
Clarissa tidak tahan lagi, entah mimpi apa dia semalam hingga bertemu dengan lelaki ganjen seperti Abraham. Mimik tak suka jelas terpancar di wajah Clarissa, walau Abraham masih terlihat tampan dan berkarisma. Dia tidak pernah terpikirkan untuk menjadi istri seorang om-om.
"Saya tahu kau sedang kesusahan, orang-orangku telah mengawasimu cukup lama. Kau telah mencari pekerjaan beberapa hari belakangan ini. Saya tawarkan uang dan kemewahan, tentu beserta dengan kehormatan dan fasilitas. Kau hanya perlu setuju dengan tawaran saya maka setiap keinginanmu akan menjadi nyata."
Cek dengan nominal satu milyar terpampang di depan mata. Clarissa terbelalak, bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan kesempatan emas seperti ini.
'Mimpi apa aku semalam,' batinnya.
Tertunduk dan melamun, Clarissa kembali ke akal sehatnya.
'Tidak, uang bukanlah segalanya!' batin gadis itu.
"A-anda pasti sedang bercanda, uang sebanyak itu. Apakah Anda sedang mempermainkan saya!" Tatapan tajam tak lepas dari sorot mata indah Clarissa.
Abraham menjentikkan tangannya, dalam sekejap. Seorang lelaki dengan setelan jas yang sangat rapi. Tinggi dan tanpa ekspresi datang membawa koper di tangannya. Lelaki itu membuka koper dan memperlihatkan uang yang sangat banyak. Clarissa lagi-lagi dibuat melongo.
"Saya sangat serius, semua ini akan menjadi milikmu, beserta ceknya. Jika kau mau menerima tawaranku."
"Gila!" Clarissa berdecak.
Gadis itu menelan salivanya berkali-kali. Clarissa kini melipat kedua tangannya ke dada menyembunyikan rasa gugup yang melanda hatinya. Abraham terlihat santai dengan kedua bodyguard yang selalu stay menemani.
Uang itu sangat banyak bahkan bisa menghidupinya dengan sang kakak yang telah berjuang keras membiayai sekolahnya. Sesaat Clarissa goyah dan berpikir. Dia masih muda, menjadi istri seorang kakek-kakek tak pernah terlintas di kepalanya, Clarissa mundur dan bergidik ngeri.
"Maaf, saya tidak mau, silahkan pergi dan bawa uang itu pergi!" Clarissa menolak dengan lantang. Ya, dia masih punya harga diri.
Perasaan kakaknya pasti akan hancur jika tahu dia menerima lamaran dari seorang kakek-kakek, plus Clarissa tidak mengenal siapa lelaki itu.
Abraham tidak menyerah, dia mengeluarkan kertas dan menulis nomor telepon di sana. Lalu menyerahkannya pada gadis itu.
"Ini, simpan saja. Jika kau berubah pikiran, orang-orangku akan datang menjemputmu kapanpun kau bersedia." Abraham berlalu setelah mengatakannya.
"Cih, sombong sekali." Clarissa membuang pandangan. Abraham sangat percaya jika Clarissa akan menghubunginya suatu saat nanti.
Wangi parfum dari lelaki itu menusuk penciuman Cla. Cek dan uang tunai hilang dari pandangan, Clarissa menghembuskan napas kasar.
"Huh, andai dia seorang Pangeran. Tentu aku tidak akan berpikir dua kali untuk menerimanya. Lagi pula, sudah tua, dia harusnya banyak beramal, bukannya malah mencari daun muda," ucapnya.
Clarissa memandang nomor ponsel itu lama. Dia sangat frustasi saat ini. Kakaknya sedang sakit di rumah dan dia tidak punya simpanan uang. Cafe yang tadi menyediakan lowongan pekerjaan tiba-tiba saja mencopot kertas pemberitahuan itu dari pintu kaca.
"Apes banget," Dengan terpaksa Clarissa meninggalkan tempat itu.
Perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan begitu sulit, apalagi ditengah pandemi seperti sekarang. Biaya hidup mencekik, kebutuhan membengkak. Clarissa bingung harus bagaimana lagi, kini gadis itu berjalan ditengah teriknya panas mentari. Betis mulai pegal, lantaran selalu berjalan kaki demi menghemat ongkos.
"Jika terus begini, bagaimana bisa aku membawa Kak Helena ke Dokter."
Clarissa Anastasya adalah gadis yatim. Dia dan kakaknya hanya hidup berdua di pinggiran kota. Kakak perempuannya Bernama Helena Aurora. Mereka kehilangan kedua orang tuanya saat kecelakaan beberapa tahun silam. Saat itu, Helena sudah tamat sekolah menengah atas sedang Clarissa baru duduk di bangku menengah pertama.
Tidak ada warisan atau simpanan uang, mereka hanya memiliki rumah sederhana untuk berteduh. Perjuangan sampai ke titik ini tidaklah mudah, Cla berhutang banyak pada saudari perempuannya atas pengorbanan yang telah di berikannya selama ini.
**
Hari hampir gelap saat Clarissa tiba di rumah, suara perabotan yang di banting membuat langkah gadis itu kian cepat. Suara gaduh terdengar riuh membuat gadis itu kaget dan berlari kecil.
"Kosongkan rumah ini! Kalian tidak berhak lagi tinggal di sini!" Helena dilempar keluar beserta pakaian yang ikut berhamburan.
Tampak beberapa orang lelaki terlihat sangat sangar berjaga di depan pintu. Clarissa yang baru tiba, bingung melihat apa yang terjadi. Apalagi saat ini, Helena telah tersungkur di tanah.
"Apa-apaan ini! Kalian siapa?" tanya Cla berani.
Gadis itu membantu kakaknya bangkit, Helena sangat lemah karena demam dan asma yang dideritanya.
"Ha! Tanya saja pada wanita yang ada disampingmu. Rumah ini telah menjadi milik Bos kami. Helena telah menggadaikannya dan dia telat membayar hampir satu tahun lamanya."
Clarissa melotot dengan mulut menganga, gadis itu mendadak lemas, seolah tulang belulangnya lepas dari tubuh. Rumah itu adalah harta mereka satu-satunya. Clarissa tidak ingin percaya apa yang baru saja didengarnya. Netra gadis itu mulai berkaca-kaca.
"Tidak mungkin, itu tidak mungkin, pergi kalian atau aku akan berteriak!" Clarissa mengancam dengan napas memburu.
Bukannya takut, preman-preman itu justru menertawakannya.
"Haha haha coba saja jika kau berani. Kau hanya akan membuang tenaga saja, Nona."
Clarissa mengepalkan tangan. Pandangannya dan ketua preman itu saling beradu.
"Sial!" Cla kembali berlutut dan menatap Helena.
"Kak, katakan sesuatu. Mereka berbohong kan? Kakak nggak mungkin menggadaikan rumah kita. Iya kan!" Clarissa nyaris putus asa. Airmatanya kini mulai menganak sungai.
Helena berusaha mengatur napasnya. Sangat sulit baginya untuk bicara sekarang.
"Gembok rumah itu! Jangan sampai mereka memasukinya kembali," titah seorang lelaki yang dianggap Bos.
"Baik, Bos."
Clarissa bangkit dan coba menghalangi.
"Tidak! Ini rumah kami, Ayah membuatnya untuk kami. Kalian tidak berhak apa-apa."
Helena sangat sedih melihat Clarissa yang berkeras di depan sana.
"Jika kau mau rumah ini kembali, bayar dulu hutang-hutang kalian!"
"Tapi aku tak punya uang, tolong. Kemana kami harus pergi, kami tak punya siapa-siapa."
"Emang gua pikirin,"
Clarissa di tarik dan di dorong keluar. Gadis itu meringis saat lututnya mendarat di tanah.
Brakk!
"Auuw!"
"Haha hahaha. Makanya jangan belagu."
Cla menangis pilu, dia tak mau menjadi gembel dan tidur di pinggir jalan.
"Kalian kejam! Kalian jahat!" makinya.
Cla menyeka airmatanya. Hal yang sangat dia benci adalah ketidakberdayaan. Di hadapannya saat ini. Saudarinya tersungkur lemah.
"Kami hanya menjalankan tugas, ingat! Tinggalkan rumah ini segera atau kita seret kalian ke jalan."
Bruk
Perabotan berserakan.
Helena tergeletak sembari memegang dadanya, napasnya makin sesak. Dan suhu tubuhnya makin panas.
Clarissa yang melihatnya sontak mendekat.
"Kak, apa kau baik-baik saja?" Clarissa melupakan soal hutang, dia fokus pada kesehatan Helena. Satu-satunya keluarga yang dimilikinya sekarang.
"Urus, tu. Makanya kalau udah penyakitan jangan ngutang!" Preman itu mencela sebelum berlalu meninggalkan mereka.
Clarissa tidak dapat membalas, hatinya diliputi rasa takut yang luar biasa.
"Kak,"
"Maaf, Cla. Kakak terpaksa mengambil pinjaman untuk biaya sekolahmu." Helena berusaha menyelesaikan ucapannya.
Airmata Clarissa jatuh berlinang, semenjak kehilangan kedua orang tuanya. Helena mengambil peran dan tanggung jawab lebih untuk mengurusnya. Helena selalu bilang jangan memikirkan soal biaya, apapun itu. Biarkan saja dia yang mengurusnya. Tapi, dia tidak pernah menyangka jika sang kakak akan menggadaikan harta mereka satu-satunya.
"Maafkan kakak, Cla." Bibir Helena bergetar, wanita itu kedinginan dengan wajah pucat pasi.
Clarissa membayangkan hal yang paling terburuk. Dia tidak mau kehilangan kakaknya.
"Kakak bertahan, kita akan ke Rumah Sakit." Clarissa berusaha tegar.
Gadis itu mulai panik dan melihat ke sekitar.
"Tolong! Siapapun itu tolong kami," teriak Clarissa sekuat tenaga.
Dalam hatinya dia begitu cemas.
Tidak ada yang datang, tetangga terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang ingin pusing dengan kehidupan Clarissa dan saudarinya.
"Kakak bertahanlah."
Clarissa mencari selimut atau pakaian yang bisa membantu menghangatkan tubuh Helena.
Nafas yang sesak menggebu membuat saudarinya begitu tersiksa.
"Bertahan, Kak. Aku akan mencari bantuan."
Helena memejamkan mata, sungguh meski Cla mengatakan itu, dia tahu adiknya tak bisa berbuat apa-apa.
"Cla,"
"Jangan bicara, tolong."
Clarissa berlari ke tepi jalan.
"Seseorang, tolong kami!"
"Tolong!" teriakan gadis itu tak berarti. Tidak ada yang datang membuat Clarissa mengutuk hari itu.
"Kenapa tidak ada rasa iba untuk kami, Tuhan." Gadis itu mengeluh, entah kenapa tidak ada yang peduli dengan mereka.
Helena berusaha bernapas, sesak membuatnya sangat tersiksa.
"Kak aku akan keluar mencari bantuan," ucap Clarissa tiba-tiba.
Helena menggeleng dia tidak setuju dan takut di tinggalkan.
"Aku harus keluar ke jalan raya untuk mendapatkan taksi, Kak."
Tangan Helena mengenggamnya erat. Clarissa tidak bisa pergi. Helena tak mengizinkannya. Di tengah kekalutannya, Clarissa teringat dengan nomor telepon yang ditinggalkan Abraham.
"Orang itu, apa aku hubungi saja dia."
Dengan cepat, Clarissa merogoh tas dan mengeluarkan ponsel jadul miliknya. Jari-jarinya dengan cepat menekan tombol angka yang di salinnya dari kartu nama. Tinggal menunggu panggilan bersambut.
Detik demi detik berjalan terasa sangat lama.
[Hallo,] sapa Abraham di ujung sana.
Clarissa gemetar, dihadapkan antara dua pilihan.
'Oh Tuhan, inikah akhirnya,' batin Clarissa. Waktu seolah berhenti saat itu.
"Uhuk uhuk uhuk." Helena terbatuk menyadarkan Cla dari lamunan.
[Siapa di sana?] tanya Abraham.
Clarissa menarik napas panjang, nyawa kakaknya lebih penting dari segalanya saat ini. Tidak ada uang dan kendaraan, gadis itu gundah, menyerahkan hidup sebagai seorang pengantin membuatnya semakin tersiksa. Apalagi, dia seorang lelaki tua.
[Hallo, jika kau orang iseng. Aku akan mematikan panggilan ini.]
[Jangan!]
Cla terpejam meremas celana panjang yang di kenakannya.
[Kau!]
[Ini saya, gadis di cafe tadi.]
Abraham tersenyum penuh kemenangan.
[Tolong kirimkan bantuanmu. Kakak saya sekarat dan saya tidak mau kehilangan dia.] Tangisnya luruh tanpa suara. Cla seperti telur di ujung tanduk.
[Apa kau menerima tawaranku?]
Clarissa menyeka air matanya dan mengangguk.
[Jawab aku.]
Clarissa menoleh melihat wajah pucat Helena, bahkan selimut yang di pakainya tidak berpengaruh. Clarissa meyakinkan diri untuk menolong Kakaknya terlebih dulu.
[Ya, asal kau bisa menyelematkan nyawanya.]
Asap mengepul memenuhi isi rumah, Cla yang baru saja selesai mengganti pakaiannya tampak panik dan berlari turun ke bawah. Entah apalagi yang terjadi saat ini. Ulah apa yang telah dibuat sang suami. "Uhuk uhukk uhuukk!" David membuat kekacauan, dia menggoreng ikannya dengan asal lalu tak membaliknya. Alhasil ikan itu hangus namun dia tak berani untuk mematikan kompornya. "Hey, apa yang kau lakukan dengan dapurku?!" Cla melotot melihat penggorengannya sudah tak tertolong. "Kauu!!" Gadis itu melangkah akan mematikan kompornya, namun David menangkap tubuhnya. Asap yang mengepul membuat David tak tega membiarkannya masuk. "Cla, pergi. Di sini berbahaya!" Cla menatapnya tak percaya. "Lebih berbahaya lagi jika kita tidak mematikan kompornya, kau bisa membakar seisi rumah." David terkesiap. Pemuda itu segera ke kamar mandi dan membawa se ember air. Dia tahu, gadis itu nekat. Sepanjang dia mengenalnya. Cla adalah sosok tak terduga. Klik. Byuur!! "Hah!" Cla tersentak panik den
Makanan tersaji di atas meja, wajah David bergidik bahkan saat dia hanya melirik aneka makanan yang di siapkan istrinya itu."Kau tidak akan kenyang jika hanya melihatnya," ucap Cla cuek.David menatap ngeri, dia kehilangan selera makan dan memilih bersandar di kursi kayu sembari menyilangkan tangan ke dada."Apa tidak ada restoran di sekitar sini, aku bisa sakit perut jika makan semua itu."Cla berdecak, tentu saja semua itu hanya omong kosong baginya."Hey, kau dengar aku. Aku bicara padamu!"David melambaikan tangan di depan wajah istrinya, baru dua hari menikah tapi keduanya masih belum menemukan kecocokan."Eheemm," Cla menghilangkan rasa gugup.David menyipitkan mata melihat tingkahnya."Jangan manja tuan muda. Tidak ada pelayan di sini. Apa yang kau takutkan, aku bahkan memakannya. Kenapa kau begitu suka membesar-besarkan masalah."David terkesiap.Cla duduk di kursi meja makan, menyantap sarapannya dengan tenang tak peduli suaminya menatap jijik."Tidak, tidak! Aku tidak bisa
Matahari bersinar cerah, David baru saja bangun setelah mendengar suara berisik dari luar jendela. Lelaki itu membuka mata dan tidak menemukan istrinya di ruangan yang sama. “Eh, udah kaya kan sekarang. Lunasin tuh hutang-hutang kakak kamu. Kita udah cukup bersabar ya, masa lunasin hutang besar ke rentenir bisa, ke kita-kita nggak bisa,” ucap salah satu wanita paruh baya yang berdiri di halaman kecil milik Clarissa. “Bener tu, Bu. Lihat aja pakaiannya, mahal banget, mobil itu juga. Kalau udah hidup seneng bayar hutang, woi.” Clarissa bingung dan hanya pasrah mendengar cacian mereka. Dia tak memiliki uang, dan lagi hutang-hutang yang di maksud tetangga-tetangganya entah berapa jumlahnya. David menutup telinga, suara berisik mereka benar-benar sangat mengganggu. “Kalau kamu nggak bayar, kami akan melapor sama Pak RT.” David bangkit dan mengintip dari jendela, melihat istrinya berdiri tak berdaya dia lalu meraih dompetnya dan segera keluar. “Mana diem aja lagi, punya kuping nggak s
Setelah pembicaraan di meja makan. Abraham lalu mengirim beberapa orang bersama Tiger untuk membersihkan rumah lama Clarissa. Dia sangat berharap hubungan antara David dan Cla akan berjalan harmonis. Abraham ingin cinta benar-benar tumbuh di antara mereka.David menunggu di ambang pintu, lelaki itu sedikit berubah setelah menjalani ijab kabul. Petuah dari penghulu di resapinya baik-baik. Cla datang ditemani Bibi Agnes, istrinya hanya mendongak sekilas lalu tertunduk lemah.“Kau sudah siap?”Cla mengangguk. Tatapannya memancarkan rasa takut.“Apa Bibi juga ikut dengan kami?” David menatap Bibi Agnes yang menarik koper milik istrinya.“Tidak, Tuan. Tuan besar memintaku membawa koper Nona Cla ke mobil.”David menyingkir dan memberi jalan.“Baiklah, silahkan.” Si bibi pun pergi dari sana.&
Pagi menyingsing, matahari bersinar cerah tapi tidak dengan ruangan yang di tempati Clarissa. Dia terduduk di atas ranjang tidak berani untuk melangkah menyingkap tirai. Selimut menyelimuti tubuhnya, dia berharap David akan bangun dan membantunya mengambil pakaian.Clarissa ingin sekali memanggil namanya, tapi dia sungkan untuk melakukannya.Resah dan gelisah, dia mulai tidak sabar karena waktu kini menunjukan Pukul 08:00 Pagi.“Tuan Abraham akan marah jika kami terlambat untuk sarapan. Aduh bagaimana ini?”Clarissa nekat berjinjit mendekati tirai lalu menyingkapnya, sinar matahari pun memenuhi ruangan, terang dan menyilaukan.David terusik dan menghalau sinar itu dengan tangannya.Sesaat Clarissa terdiam dan mengamati. Semalam begitu panas, hingga David melepaskan bajunya. Perlahan lelaki itu membuka mata dan menatap Clarissa yang berdiri di deka
Pesta pernikahan telah usai, hal yang menarik baru saja terjadi. Viona pergi meninggalkan ruangan saat ijab kabul selesai di lafalkan. Clarissa kini berada di kamar David. Bibi Agnes dan Abraham sendiri yang telah mengantarkannya. Gadis itu duduk ditepi ranjang dengan perasaan yang kacau.Kamar di hias dengan sedemikian rupa, kelopak bunga mawar berserakan dengan indah di atas seprei putih yang sengaja di pasang. Lilin-lilin berwarna-warni tampak cantik terpajang di setiap sisi. Lampu kamar telah di padamkan, semua telah di atur oleh Abraham.Suara pintu berderit, suaminya baru saja masuk dan melepas jas yang di pakainya.Tetiba hening, langkah David terhenti kala menyadari kehadiran Clarissa di kamarnya.“Kau, disini?”David tampak konyol menanyakan hal itu pada wanita yang baru saja dinikahinya.“Kakek yang memintaku masuk di kamar i