Abraham tidak peduli dengan sikap yang ditunjukan ketiga pewarisnya terhadap Clarissa, sebaliknya dia justru senang jika cucu-cucunya terang-terangan menyindir Cla di sana. Abraham ingin melihat perlawanan dari wanita muda itu. Ingin tahu sampai dimana dia sanggup untuk bertahan.
Makan malam kini sedang berlangsung, semua orang telah berada di kursinya masing-masing. Clarissa ikut duduk setelah seorang pelayan menuntunnya.
"Silahkan, Nona."
Angelo memandangnya sinis.
"Terima kasih," ucap Clarissa.
Zeland dan David kompak memperhatikan gadis itu. Pelayan dengan sigap melayani masing-masing anggota keluarga Reevand. Sudah menjadi kebiasaan di rumah itu. Tuan muda hanya makan jika makanan telah tersaji di atas piring.
"Anda ingin makan apa, Nona?" tanya sang pelayan.
Berbagai jenis makanan tersaji di depan mata, Clarissa menelan air liurnya, tergiur dengan aroma makanan yang lezat.
"Terima kasih, aku akan mengambil sendiri nanti," ucap Cla sopan.
Di satu sisi, dia juga gengsi karena tatapan Elo tak beralih darinya.
Angelo tersenyum masam, pemuda itu memang anti dengan orang asing. Apalagi jika yang datang berpenampilan seperti Clarissa. Bahkan pelayan yang bekerja di rumah mereka pun terlihat lebih rapi dan bersih ketimbang gadis itu. Angelo tidak tahan lagi, dan ....
Byarr.
"Gua nggak sudi makan satu meja dengan gadis miskin ini!" Angelo berdiri dan bersiap untuk pergi.
Semua mata tertuju padanya, Cla berdecak namun dia harus menahan diri untuk tidak memaki.
"Duduk!" Satu kata dari Abraham menghentikan langkah cucunya.
Elo mengepalkan tangan, pikiran buruk menelusup di kepalanya.
Kedatangan Cla pasti ingin menggerogoti kekayaan sang kakek.
"Jangan kurang ajar pada kakek, El. Ingat, semua fasilitas yang kau dapatkan dari mana?"
Angelo membuang muka, benci mendengar hal itu.
"Duduklah, jangan buat Kakek memaksamu."
Suasana di meja makan berubah tegang, Angelo yang sering kali berontak kembali ke kursinya.
Dia dalam istana itu, hanya ada satu orang yang berkuasa. Hanya Abraham.
Dengan sangat terpaksa.
Keluarga Reevand melanjutkan makan malam dalam keheningan. Elo yang tak berselera, muak melihat sang kakek Abraham mengawasi gadis itu dengan penuh perhatian.
Saat tangan Clarissa terulur untuk mengambil ayam goreng di atas piring. Semua mata kembali memandangnya, bukan hanya ketiga pewaris itu, tetapi para pelayan pun ikut meringis melihat apa yang dilakukan Cla saat ini. Dia menikmati makanannya dengan caranya sendiri, mengabaikan peralatan makan yang tersedia, Clarissa menggigit lauknya dengan tangan kosong.
Hup,
Dia tampak lahap, tidak peduli dengan tatapan semua orang. Zeland tersenyum untuk pertama kalinya, sedang David hanya menggeleng melihat tingkah Clarissa.
"Hey, cewek hutan! Lo, nggak bisa apa, menggunakan sendok, menjijikkan!" Nafsu makan Angelo hilang seketika. Pemuda itu menghempaskan peralatan makannya ke atas piring hingga menimbulkan bunyi berdenting.
Kling.
Semua orang kini menatap Angelo. Clarissa menoleh ke Abraham, dia tidak peduli dengan komentar pemuda itu. Angelo dari awal terus menyudutkan dan membuat Clarissa kesal.
"Apa makan dengan tangan dilarang?" tanya Clarissa santai.
Sesaat hening, Clarissa begitu berani dan tidak sungkan. Abraham menggeleng dan tersenyum. Ketiga cucunya saling menatap dengan heran.
"Tidak," ucapnya. Senyum Clarissa terbit membuat Zeland dan David tertegun.
"Untuk hari ini, kau mendapatkan pengecualian. Tetapi besok, kau akan mengikuti kelas kepribadian. Kau harus belajar cara menggunakan peralatan makanan, cara berjalan dan cara bersikap."
Anggelo tersenyum puas mendengar ucapan kakeknya.
"Kenapa kalian mempersulit apa yang mudah, makan menggunakan sendok atau tidak yang penting kenyang kan?" Clarissa terlihat tangguh. David dan Zeland jadi penasaran dengan karakternya.
"Wow! Kau sangat berani," puji David.
Clarissa menoleh sesaat pada ketiga pewaris Abraham, hanya sesaat lalu kembali menatap Abraham.
"Mengambil kelas kepribadian bukan untuk mempersulit hidup, Clarissa. Tapi, untuk belajar lagi cara memantaskan diri dengan bergabung dalam keluarga kami."
Clarissa tidak peduli. Ucapan Abraham hanya angin lalu baginya. Gadis itu menikmati makanannya tanpa peduli reaksi Anggelo yang menahan mual melihat kelakuannya.
"Orang kaya selalu melebih-lebihkan sesuatu yang sangat mudah."
"Kau akan mengerti jika bi Agnes menjelaskannya padamu."
"Siapa bi Agnes?" tanya Cla penasaran.
"Pelayan yang akan menyediakan segalanya untukmu."
Seorang pelayan mendekat lalu membungkuk hormat.
"Oh," Di sisi lain, Cla masih memikirkan cara untuk pergi.
Beberapa saat kemudian.
Makan malam telah selesai, Clarissa terpaku melihat dessert yang cantik dan mungil di atas piring. Dia kembali teralihkan dengan makanan, menikmati sajian sedang yang lain hanya bisa menontonnya.
"Entah apa yang ada dipikiran Kakek. Bisa-bisanya dia membawa cewe hutan ke rumah kita," ucap Angelo ketus.
Clarissa yang mendengarnya lalu melempar garpu ke atas meja. David dan Zeland terperangah atas sikap yang ditunjukan gadis itu. Carissa jelas tersinggung dengan ucapan Angelo.
Abraham menatap Cla, gadis itu mengepalkan tangan kecilnya. Tanda bahwa dia sedang menahan amarah.
Angelo muak melihatnya.
"Wow, lo mau buktiin apa ke kita? Ternyata bukan hanya penampilan lo yang tidak masuk kriteria dalam keluarga kami, tapi sikap lo juga. Bahkan gua rasa orang miskin pun punya adab di meja makan. Apalagi jika dia hanya seorang tamu!"
Angelo berlalu setelah menampar Clarissa dengan ucapannya, gadis itu tertunduk sejenak, Zeland dan David menatap kakeknya lalu berlalu menyusul Angelo. Hening, hanya Abraham dan Clarissa yang berada di sana.
Titik bening itu jatuh, degub jantung bergemuruh membuat bahu Clarissa bergetar. Abraham tahu jika gadis itu sedang menangis. Sesak yang dirasakan Clarissa saat ini hanya dinikmati sendiri. Tissu disodorkan Abrahama dihadapan gadis itu. Setelah puas menangis, Abraham memberi nasehat.
"Belajarlah bersikap, Angelo hanya satu dari ribuan orang yang akan mengkritik sikapmu."
Kepala Clarissa mendongak dengan sorot mata memerah menatap Abraham, gadis itu bingung dengan ucapan lelaki tua itu.
"Dengan adanya kau di keluarga kami. Kau akan menjadi sorotan, media akan mencari tahu siapa kau? Dari mana asal-usulmu. Apa hubunganmu dengan kami, hal seperti ini sangat wajar."
Clarissa terperangah tak percaya, tangannya gemetar. Bagaimana dia bisa menghadapi orang-orang nyiyir setelah ini. Jika menghadapi Angelo saja menguras perasaan dan juga tenaganya.
"Bi, bawa dia ke kamarnya. Lakukan tugas kalian dan buat dia paham." Abraham berdiri meninggalkan meja makan. Sikap dingin pria itu menghilangkan keramahan yang di sajikan sepanjang kebersamaan.
Clarissa yang masih ingin bicara berusaha mengejar, langkahnya terhenti saat tiga pelayan langsung menghadangnya.
"Anda mau kemana? Sudah waktunya beristirahat. Anda harus masuk ke kamar sekarang juga."
Clarissa berdecak, dia tidak menyangka bahkan seorang pelayan bersikap tegas kepadanya.
"Kehidupan seperti apa ini? Apa di sini aku akan dipenjara dan tunduk dengan aturan! Ha, itu keterlaluan!" ucap Cla berontak.
Abraham berada tepat dibalik dinding, mendengar ucapan gadis itu.
"Anda harus patuh, Nona. Di rumah ini Tuan Abraham lah yang berkuasa. Semua orang tunduk dengan aturannya. Lebih baik Nona menurut atau,"
"Atau, apa?!" Clarissa tampak gusar dan takut.
"Tuan Abraham punya cara sendiri untuk membuat orang patuh, bahkan sekeras Tuan Muda Angelo takluk di bawa kuasa Kakeknya."
Clarissa menelan salivanya, ya pesona Abraham masih bersinar, berkarisma dan tidak terbantahkan, aura yang mampu membuat orang di sekelilingnya tertunduk.
"Silahkan ikuti kami, Nona harus membersihkan diri."
Clarissa patuh dan mengikuti langkah ke tiga pelayan yang di utus untuk melayaninya. Bayangan Helena kembali terlintas di kepala.
"Bisakah aku menemui kakakku? Aku berharap bisa menginap di Rumah Sakit, dia akan mencariku jika sadar nanti, ku mohon." Clarissa memelas dengan netra berkaca-kaca.
Ketiga pelayan itu saling bertatapan, mereka tidak berani memberikan izin.
"Maaf, seseorang telah di utus untuk menjaganya, Nona bisa menemuinya besok. Untuk malam ini, Nona tidak boleh kemana-mana."
Clarissa tersiksq, batinnya merana dan dia tertekan.
"Tolong, tunjukan dimana kamar Tuan Abraham berada? Aku akan memohon untuk kembali ke Rumah Sakit!"
Kali ini Clarissa memohon dan berlutut di lantai, gadis itu tidak sungkan memelas dihadapan para pelayan. Zeland menyaksikan semuanya dari lantai dua rumah itu.
"Apa yang Anda lakukan, Nona. Berdirilah, kami tidak bisa membantu apapun. Titah Tuan Abraham sudah jelas, Nona akan kembali besok."
Percakapan di bawah sana mengundang rasa penasaran Zeland, David dengan santai ikut bergabung dengannya.
"Siapa dia sebenarnya? Kenapa Kakek membawanya ke rumah kita?" tanya David.
Zeland mengedikan bahu, pandangannya fokus pada Clarissa. Setelah beberapa menit, pelayan akhirnya berhasil membujuk gadis itu.
"Entahlah, aku rasa dia bukan orang sembarangan. Pasti ada alasan kenapa Kakek membawanya," ujar Zeland.
"Kakek mengatakan dia akan menjadi bagian dari keluarga kita, apa menurutmu Kakek akan menikahinya?" David terlihat gusar.
"Jangan ngaco, dia bahkan lebih muda dari kita. Tidak mungkin Kakek akan menikahinya, itu bukan gaya Kakek. Kau tahu itu, 'kan?"
Angelo tiba-tiba datang dari arah belakang.
"Siapapun dia, gua akan buat dia keluar dari rumah ini cepat atau lambat!"
Semalaman di layani bak putri raja, Clarissa merasa dirinya sedang di alam dunia mimpi. Pelayan bahkan mengikutinya hingga ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untuknya. Clarissa merasa kehilangan privasi saat kedua pelayan utusan Abraham memutuskan semuanya. Mulai dari pakaian yang harus dikenakan dan ritual sebelum tidur yang harus dijalani. "Nona harus memakai semua ini sesuai perintah Tuan Abraham." Pelayan itu memperlihatkan satu set skincare di atas atas meja rias. "Nona, juga harus pakai piyama ini." "Apa tidak bisa jika saya pakai kaos saja? Lagi, saya tidak mengerti tulisan di botol skincare itu." Clarissa melihat dengan teliti tulisan china dalam produk kemasan skincare itu. Pelayan dengan sigap menjelaskan semuanya. "Tenang, Nona. Itulah tugas kami," ucap si pelayan. Clarissa memutuskan untuk mematuhi aturan Abraham, agar bisa kembali bertemu dengan lelaki itu. Clarissa berharap masih bisa bernegosiasi atas pernikahan yang tidak diharapkannya. Untuk pertama kal
Tiba di Rumah Sakit, Zeland dan David langsung keluar dari mobil, Angelo tiba lebih awal dan berdiri dengan tampang bete di lobby. Jelas terlihat jika Angelo tidak nyaman menuruti keinginan Abraham. “Dimana cewek miskin itu?” tanya Elo saat Zeland dan David berdiri di sampingnya. “Tuh,” ucap David memberi kode. Clarissa baru saja turun dari mobil dengan langkah pelan, sekilas Clarissa tidak ada bedanya dengan gadis dari kalangan atas. Cantik, modis dan terlihat perfect. Hanya dalam semalam penampilannya berubah menjadi 190° Clarissa melangkah memasuki rumah sakit tanpa menyapa ketiga sang pewaris. Bodoh amat, baginya dia tak perlu patuh selama tuan Abraham tak melihatnya. “Hu, entah kenapa dia tidak pernah terlihat baik di mata gua. No attitude, no respect.” “Sudahlah, kau tahu Kakek akan marah besar jika kita membantah keinginannya.” Zeland memperingatkan Angelo. Tak berdaya dibawa tekanan fasilitas dan uang, Angelo akhirnya mengalah. Sebisanya dia harus mengabaikan perasaan ji
Takdir mempermainkan Clarissa Anastasya, hati gadis itu kini merasa sangat cemas. Bagaimana jika Helena tahu? Bagaimana jika sang kakak tidak setuju? Sepanjang perjalanan, pikiran Clarissa lagi-lagi terkuras memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Zeland dan David menatapnya yang gelisah sejak tadi. Kedua lelaki itu kini tahu, jika Clarissa punya banyak masalah. "Mau makan siang dulu atau langsung menuju ke butik, Tuan?" tanya Tiger memecah keheningan. Tiger adalah supir sekaligus pengawal yang akan mendampingi Clarissa. "Butik, siapa yang akan belanja?" tanya David. "Nona Clarissa. Nona akan memilih model gaun untuk acara pertunangan, Tuan." "Apa!" Ketiganya shock mendengarnya. Zeland menatap Clarissa, wajah gadis itu berubah pias. Tubuhnya gemetar membayangkan apa yang paling di takutinya, selangkah demi selangkah semakin dekat. Cla frustasi memikirkan bagaimana caranya untuk menggagalkan semua itu. "Tuan Abraham sudah mengatur semuanya, di harapkan Tuan muda ikut me
Clarissa berlari tanpa henti, suara klakson mobil terdengar di sisi kanan dan kirinya. Gadis itu tak menyadari betapa konyolnya apa yang dia lakukan kini. Bahkan sekarang, gadis itu tengah menjadi sorot perhatian. David, Zeland mengejar sekuat tenaga dan Angelo masih dengan akal sehatnya mengendarai mobil sport miliknya. Gadis nan cantik dengan gaun super mewah melangkah di tengah jalan raya, sedang mobil kontainer melaju dengan kencang dari arah berlawanan. Cla terpaku sekaligus kaget saat melihat mobil dengan ukuran besar itu tepat melajuh ke arahnya. "Acchhhh!!" teriak Cla ketakutan, kematian telah berada di depan mata. "Inikah akhirnya, apa aku akan mati?" batinnya. Sreaatth. Sebuah tangan kekar meraih bahu gadis itu, Clarissa oleng dan jatuh bersamaan. Piiiippp. Klakson panjang tedengar nyaring. Semua mata memandang dan teriakan pak supir memecah kesadaran. "Mau mati jangan di sini woi!! Dasar cewek gila!!" sang supir kesal, dengan sengaja lelaki itu menghembuskan asap k
Abraham menemui seorang paparazi secara empat mata, sudah menjadi kebiasaan Abraham untuk menyelesaikan semuanya sendiri tanpa menyerahkan semua urusan pada sang bawahan. Suasana Cafe sedang ramai, dengan sekali jentikan jari, Abraham bisa mengosongkan tempat itu. Seorang lelaki dengan kamera di tangan masuk ke dalam Cafe dan menenteng tas di tangan kanannya. “Maaf menganggu waktu Anda Pak Abraham,” sapa lelaki itu. Dia adalah seorang yang selalu mengambil keuntungan dari setiap gambar yang di dapatkannya di lapangan. “Tidak masalah, kali ini berita apa yang kau punya?” Abraham bersikap dingin, menyingkirkan satu parasit bukanlah hal yang sangat sulit bagi Abraham. Namun, apa yang di lakukan wartawan itu menurutnya sejauh ini masih dalam ketegori aman. Wartawan itu bernama Jack, dia mengeluarkan beberapa lembar foto dan menyerahkannya pada Abraham. Foto Clarissa sedang berlari mengenakan gaun di tengah jalan terpampang di sana. Foto David yang mengejar serta berguling di jalan me
Helena duduk termenung menyapu rambut Clarissa yang tidur di pangkuannya. Nasib buruk mendekati sang adik karena kondisinya saat itu membuat Helena merasa sangat bersalah. “Kakak akan membantumu lepas dari sini, Cla. Kakak janji,” bisiknya. Clarissa menangis dalam diam. David, Zeland dan Angelo sedang berkumpul di ruang khusus di lantai dua, mereka sedang memikirkan rencana Angelo saat berada di Butik tadi. Raut wajah Clarissa dan Helena tidak memperlihatkan kebahagiaan atau merasa bangga karena rencana pernikahan akan semakin dekat. Hal itu mengusik ketenangan ketiga pewaris Reevand. “Apa ini baik? Mereka sepertinya tertekan dan kita tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka tidak seperti dengan apa yang ada dalam pikiran kita,” ucap David gelisah. Zeland memiliki pemikiran yang sama. Namun, siapa yang bisa membantah keputusan sang Kakek. “Alah, kalian itu gampang banget ditipu oleh akting mereka. Banyak yang di luar berpura-pura menolak tapi kenyataannya, apa? Mereka adalah wanita
Dengan lemah lembut, Clarissa mengoles obat merah dan sesekali meniup luka sayat pada tangan David, dia membalutnya pelan dengan kain kasa. Gadis itu merasa sangat berhutang budi pada pemuda itu. ‘Apa yang ada di pikirannya? Kenapa dia bisa melukai diri sendiri seperti ini,’ batin Cla. Luka di lengan David mencuri perhatiannya, kilasan kejadian tadi siang kembali di ingatan. “Terima kasih,” ucap gadis itu memecah keheningan. David terus menatapnya sejak tadi. “Untuk apa?” “Karena telah menyelamatkanku dari maut.” David tersenyum kecut dan segera bangkit. “Sudah malam, istrahatlah.” Pemuda itu kembali ke kamar dengan perasaan kacau. Tatapan Clarissa menganggu konsentrasinya. Siapa dia? dan apa tujuannya menjadi misteri tersendiri bagi David. Malam berganti dengan cepat, Clarissa ketiduran dan masih terlelap di atas kasur. Helena sudah bangun dari tadi dan dua pelayan telah berdiri di sisi tempat tidurnya. “Selamat pagi, Nona.” Bibi Agnes sang asisten datang membangunkan Cla.
Clarissa telah duduk di mobil, setelah meyakinkan Helena semuanya akan baik-baik saja. Gadis itupun pasrah mengikuti David. Tiger dan tuannya saling berembuk, tangan David sakit dan dia meminta Tiger mengalah. Helena menatap khawatir melepas Cla keluar tanpa dirinya. Namun titah Abraham, jelas. Hanya Clarissa dan David yang boleh menghadiri acara penting itu. Klik. Pintu mobil terbuka dan David masuk ke kursi pengemudi. Tanpa bicara, lelaki itu membanting pintu mobil dan menyalahkan mesin, mereka melaju meninggalkan kediaman Reevand. Clarissa terpaku menatap tangan lelaki itu dan bergumam di dalam hati. ‘Kenapa dia harus menyetir sendiri saat tangannya masih cidera, kenapa tidak memakai jasa supir,' batinnya. Mereka telah jauh dari rumah, David berhasil meminta Tiger tidak mengikutinya. “Dengar," ucap David tanpa menoleh. Cla menatapnya segan. "Entah ini akan berakhir baik atau sebaliknya. Aku hanya ingin memberi tahu. Konferensi pers ini sangatlah penting bagi kakek." Cla