Share

Chapter 3

Abraham tidak peduli dengan sikap yang ditunjukan ketiga pewarisnya terhadap Clarissa, sebaliknya dia justru senang jika cucu-cucunya terang-terangan menyindir Cla di sana. Abraham ingin melihat perlawanan dari wanita muda itu. Ingin tahu sampai dimana dia sanggup untuk bertahan.

Makan malam kini sedang berlangsung, semua orang telah berada di kursinya masing-masing. Clarissa ikut duduk setelah seorang pelayan menuntunnya.

"Silahkan, Nona." 

Angelo memandangnya sinis.

"Terima kasih," ucap Clarissa.

Zeland dan David kompak memperhatikan gadis itu. Pelayan dengan sigap melayani masing-masing anggota keluarga Reevand. Sudah menjadi kebiasaan di rumah itu. Tuan muda hanya makan jika makanan telah tersaji di atas piring.

"Anda ingin makan apa, Nona?" tanya sang pelayan.

Berbagai jenis makanan tersaji di depan mata, Clarissa menelan air liurnya, tergiur dengan aroma makanan yang lezat.

"Terima kasih, aku akan mengambil sendiri nanti," ucap Cla sopan.

Di satu sisi, dia juga gengsi karena tatapan Elo tak beralih darinya.

Angelo tersenyum masam, pemuda itu memang anti dengan orang asing. Apalagi jika yang datang berpenampilan seperti Clarissa. Bahkan pelayan yang bekerja di rumah mereka pun terlihat lebih rapi dan bersih ketimbang gadis itu. Angelo tidak tahan lagi, dan ....

Byarr.

"Gua nggak sudi makan satu meja dengan gadis miskin ini!" Angelo berdiri dan bersiap untuk pergi.

Semua mata tertuju padanya, Cla berdecak namun dia harus menahan diri untuk tidak memaki. 

"Duduk!" Satu kata dari Abraham menghentikan langkah cucunya.

Elo mengepalkan tangan, pikiran buruk menelusup di kepalanya. 

Kedatangan Cla pasti ingin menggerogoti kekayaan sang kakek.

"Jangan kurang ajar pada kakek, El. Ingat, semua fasilitas yang kau dapatkan dari mana?"

Angelo membuang muka, benci mendengar hal itu.

"Duduklah, jangan buat Kakek memaksamu."

Suasana di meja makan berubah tegang, Angelo yang sering kali berontak kembali ke kursinya.

Dia dalam istana itu, hanya ada satu orang yang berkuasa. Hanya Abraham.

Dengan sangat terpaksa.

Keluarga Reevand melanjutkan makan malam dalam keheningan. Elo yang tak berselera, muak melihat sang kakek Abraham mengawasi gadis itu dengan penuh perhatian.

Saat tangan Clarissa terulur untuk mengambil ayam goreng di atas piring. Semua mata kembali memandangnya, bukan hanya ketiga pewaris itu, tetapi para pelayan pun ikut meringis melihat apa yang dilakukan Cla saat ini. Dia menikmati makanannya dengan caranya sendiri, mengabaikan  peralatan makan yang tersedia, Clarissa menggigit lauknya dengan tangan kosong.

Hup,

Dia tampak lahap, tidak peduli dengan tatapan semua orang. Zeland tersenyum untuk pertama kalinya, sedang David hanya menggeleng melihat tingkah Clarissa.

"Hey, cewek hutan! Lo, nggak bisa apa, menggunakan sendok, menjijikkan!" Nafsu makan Angelo hilang seketika. Pemuda itu menghempaskan peralatan makannya ke atas piring hingga menimbulkan bunyi berdenting.

Kling.

Semua orang kini menatap Angelo. Clarissa menoleh ke Abraham, dia tidak peduli dengan komentar pemuda itu. Angelo dari awal terus menyudutkan dan membuat Clarissa kesal.

"Apa makan dengan tangan dilarang?" tanya Clarissa santai.

Sesaat hening, Clarissa begitu berani dan tidak sungkan. Abraham menggeleng dan tersenyum. Ketiga cucunya saling menatap dengan heran.

"Tidak," ucapnya. Senyum Clarissa terbit membuat Zeland dan David tertegun.

"Untuk hari ini, kau mendapatkan pengecualian. Tetapi besok, kau akan mengikuti kelas kepribadian. Kau harus belajar cara menggunakan peralatan makanan, cara berjalan dan cara bersikap."

Anggelo tersenyum puas mendengar ucapan kakeknya.

"Kenapa kalian mempersulit apa yang mudah, makan menggunakan sendok atau tidak yang penting kenyang kan?" Clarissa terlihat tangguh. David dan Zeland jadi penasaran dengan karakternya.

"Wow! Kau sangat berani," puji David.

Clarissa menoleh sesaat pada ketiga pewaris Abraham, hanya sesaat lalu kembali menatap Abraham.

"Mengambil kelas kepribadian bukan untuk mempersulit hidup, Clarissa. Tapi, untuk belajar lagi cara memantaskan diri dengan bergabung dalam keluarga kami."

Clarissa tidak peduli. Ucapan Abraham hanya angin lalu baginya. Gadis itu menikmati makanannya tanpa peduli reaksi Anggelo yang menahan mual melihat kelakuannya.

"Orang kaya selalu melebih-lebihkan sesuatu yang sangat mudah."

"Kau akan mengerti jika bi Agnes menjelaskannya padamu."

"Siapa bi Agnes?" tanya Cla penasaran.

"Pelayan yang akan menyediakan segalanya untukmu."

Seorang pelayan mendekat lalu membungkuk hormat.

"Oh," Di sisi lain, Cla masih memikirkan cara untuk pergi.

Beberapa saat kemudian.

Makan malam telah selesai, Clarissa terpaku melihat dessert yang cantik dan mungil di atas piring. Dia kembali teralihkan dengan makanan, menikmati sajian sedang yang lain hanya bisa menontonnya.

"Entah apa yang ada dipikiran Kakek. Bisa-bisanya dia membawa cewe hutan ke rumah kita," ucap Angelo ketus.

Clarissa yang mendengarnya lalu melempar garpu ke atas meja. David dan Zeland terperangah atas sikap yang ditunjukan gadis itu. Carissa jelas tersinggung dengan ucapan Angelo.

 Abraham menatap Cla, gadis itu mengepalkan tangan kecilnya. Tanda bahwa dia sedang menahan amarah.

Angelo muak melihatnya.

"Wow, lo mau buktiin apa ke kita? Ternyata bukan hanya penampilan lo yang tidak masuk kriteria dalam keluarga kami, tapi sikap lo juga. Bahkan gua rasa orang miskin pun punya adab di meja makan. Apalagi jika dia hanya seorang tamu!"

Angelo berlalu setelah menampar Clarissa dengan ucapannya, gadis itu tertunduk sejenak, Zeland dan David menatap kakeknya lalu berlalu menyusul Angelo. Hening, hanya Abraham dan Clarissa yang berada di sana.

Titik bening itu jatuh, degub jantung bergemuruh membuat bahu Clarissa bergetar. Abraham tahu jika gadis itu sedang menangis. Sesak yang dirasakan Clarissa saat ini hanya dinikmati sendiri. Tissu disodorkan Abrahama dihadapan gadis itu. Setelah puas menangis, Abraham memberi nasehat.

"Belajarlah bersikap, Angelo hanya satu dari ribuan orang yang akan mengkritik sikapmu."

Kepala Clarissa mendongak dengan sorot mata memerah menatap Abraham, gadis itu bingung dengan ucapan lelaki tua itu.

"Dengan adanya kau di keluarga kami. Kau akan menjadi sorotan, media akan mencari tahu siapa kau? Dari mana asal-usulmu. Apa hubunganmu dengan kami, hal seperti ini sangat wajar."

Clarissa terperangah tak percaya, tangannya gemetar. Bagaimana dia bisa menghadapi orang-orang nyiyir setelah ini. Jika menghadapi Angelo saja menguras perasaan dan juga tenaganya.

"Bi, bawa dia ke kamarnya. Lakukan tugas kalian dan buat dia paham." Abraham berdiri meninggalkan meja makan. Sikap dingin pria itu menghilangkan keramahan yang di sajikan sepanjang kebersamaan.

Clarissa yang masih ingin bicara berusaha mengejar, langkahnya terhenti saat tiga pelayan langsung menghadangnya.

"Anda mau kemana? Sudah waktunya beristirahat. Anda harus masuk ke kamar sekarang juga."

Clarissa berdecak, dia tidak menyangka bahkan seorang pelayan bersikap tegas kepadanya. 

"Kehidupan seperti apa ini? Apa di sini aku akan dipenjara dan tunduk dengan aturan! Ha, itu keterlaluan!" ucap Cla berontak.

Abraham berada tepat dibalik dinding, mendengar ucapan gadis itu.

"Anda harus patuh, Nona. Di rumah ini Tuan Abraham lah yang berkuasa. Semua orang tunduk dengan aturannya. Lebih baik Nona menurut atau,"

"Atau, apa?!" Clarissa tampak gusar dan takut.

"Tuan Abraham punya cara sendiri untuk membuat orang patuh, bahkan sekeras Tuan Muda Angelo takluk di bawa kuasa Kakeknya."

Clarissa menelan salivanya, ya pesona Abraham masih bersinar, berkarisma dan tidak terbantahkan, aura yang mampu membuat orang di sekelilingnya tertunduk.

"Silahkan ikuti kami, Nona harus membersihkan diri."

Clarissa patuh dan mengikuti langkah ke tiga pelayan yang di utus untuk melayaninya. Bayangan Helena kembali terlintas di kepala.

"Bisakah aku menemui kakakku? Aku berharap bisa menginap di Rumah Sakit, dia akan mencariku jika sadar nanti, ku mohon." Clarissa memelas dengan netra berkaca-kaca.

Ketiga pelayan itu saling bertatapan, mereka tidak berani memberikan izin.

"Maaf, seseorang telah di utus untuk menjaganya, Nona bisa menemuinya besok. Untuk malam ini, Nona tidak boleh kemana-mana."

Clarissa tersiksq, batinnya merana dan dia tertekan.

"Tolong, tunjukan dimana kamar Tuan Abraham berada? Aku akan memohon untuk kembali ke Rumah Sakit!"

Kali ini Clarissa memohon dan berlutut di lantai, gadis itu tidak sungkan memelas dihadapan para pelayan. Zeland menyaksikan semuanya dari lantai dua rumah itu.

"Apa yang Anda lakukan, Nona. Berdirilah, kami tidak bisa membantu apapun. Titah Tuan Abraham sudah jelas, Nona akan kembali besok." 

Percakapan di bawah sana mengundang rasa penasaran Zeland, David dengan santai ikut bergabung dengannya.

"Siapa dia sebenarnya? Kenapa Kakek membawanya ke rumah kita?" tanya David.

Zeland mengedikan bahu, pandangannya fokus pada Clarissa. Setelah beberapa menit, pelayan akhirnya berhasil membujuk  gadis itu.

"Entahlah, aku rasa dia bukan orang sembarangan. Pasti ada alasan kenapa Kakek membawanya," ujar Zeland.

"Kakek mengatakan dia akan menjadi bagian dari keluarga kita, apa menurutmu Kakek akan menikahinya?" David terlihat gusar.

"Jangan ngaco, dia bahkan lebih muda dari kita. Tidak mungkin Kakek akan menikahinya, itu bukan gaya Kakek. Kau tahu itu, 'kan?"

Angelo tiba-tiba datang dari arah belakang.

"Siapapun dia, gua akan buat dia keluar dari rumah ini cepat atau lambat!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status