Share

04 • sleep over

Naileen memotret beberapa gambar Raja dan Ratu yang asyik bermain gelembung di taman komplek bersama anak-anak seumurannya. Nilam di sebelahnya tampak santai berjemur di atas karpet yang mereka bawa.

"Ma, ini matahari sore, bukan pagi."

"So what? I love this."

Naileen memutar bolamatanya, "Ma, jadi seorang ibu itu berat nggak sih?" Tanya Naileen tiba-tiba. Nilam melirik anaknya sekilas lalu berdehem, "Mudah aja sebenernya. Tapi karena Mama dapet anaknya modelan kamu, itu susah banget."

"Dih?"

"Petakilan, boros, pundungan. Susah banget disuruh beberes rumah."

"Jahat banget."

Nilam terkekeh pelan, "Nai, menjadi orangtua itu nggak semudah yang dipikirin kebanyakan kaum muda-mudi. Tapi juga nggak sesusah yang kalian bayangin. Ada saatnya kalian bahagia banget, ada saatnya juga kalian sedih, stres, bahkan marah," Nilam merubah posisinya menjadi miring sambil menatap anak tunggalnya. "Semua fase hidup ini kan selalu beragam macam perasaan. Entah saat kamu jadi seorang anak, remaja, dewasa, orangtua, bahkan ketika kamu sudah jadi seorang nenek. Tapi yang kamu harus lakukan ya cuma menjalaninya dengan ikhlas. Selama Mama hidup, Mama pikir hal yang membahagiakan itu ketika Mama mendapat gaji besar dan ngasih Nenek juga Kakek atau ketika Mama menikah sama Papa. Tapi kebahagiaan itu berganti ketika kamu lahir di dunia. Kamu ngerti maksud Mama?"

"Setiap manusia selalu memiliki fase paling bahagia dihidupnya?"

"Benar," angguk Nilam. "Mungkin saat kamu masih kecil, fase paling membahagiakan itu ketika jalan-jalan ke taman hiburan. Ketika kamu beranjak remaja, fase paling membahagiakan itu ketika merasakan cinta pertama. Atau ketika kamu dewasa, fase paling membahagiakan itu ketika merasakan gaji besar yang bisa kamu habiskan semau kamu,"

Nilam mengulum bibirnya lalu menggenggam tangan putrinya, "Ketika kamu sudah menikah, fase paling membahagiakan bagi kamu ketika anakmu lahir di dunia. Bisa juga ketika lanjut usia, fase paling membahagiakan buat kamu ketika anak cucu kamu berkumpul di hari tua kamu yang tenang dan tentram itu. Apapun itu, setiap manusia pasti mengalami fase bahagia dalam hidupnya. Nggak cuma itu, kesedihan juga pasti akan kamu alamin, Nai."

Naileen memiringkan kepalanya sedikit, "Hal yang buat Mama sedih banget itu kapan?"

"Pas kamu udah beranjak besar. Jangankan Mama, Papa kamu aja nangis di kamar pas SMP kamu udah haid dan curhat suka sama cowok."

Naileen tertawa geli. Dia ingat masa itu. Awalnya Naileen kira sang ayah menangis karena khawatir melihat Naileen yang panik menangis setelah melihat celananya berdarah untuk haid pertama kali. Rupanya itu karena Cakra sedih anaknya sudah beranjak remaja. Apalagi setelah itu Naileen curhat pada mereka kalau sedang menyukai kakak kelasnya meskipun hanya sebentar karena kecantol tetangga samping rumahnya yang jauh lebih tua darinya.

"Hm, aku inget banget."

"Papa sesayang itu sama kamu. Apalagi kamu putri tunggalnya."

"Aku beruntung banget lahir di keluarga ini, Ma. Mama sama Papa selalu nurutin apa yang aku mau. Meskipun Mama suka ngomel, cerewet, tapi nggak papa. Aku tetep sayang sama Mama."

Nilam mendengus.

"Tetep aja ngeselin kamu ya?"

"Ma, aku nggak bisa bayangin kalau aku di posisi Raja dan Ratu. Pasti mereka sedih banget ya?" Naileen beralih menatap keduanya yang sudah berganti permainan. Nilam mengangguk, "Mama sedih banget ngelihat mereka, Nai. Usia memang nggak ada yang tahu, tapi menjadi piatu atau yatim di usia dini itu yang paling menyakitkan. Apalagi mereka nggak sempet liat muka asli ibunya."

"Aku rela kok, Ma, jadi ibu sambung mereka. Ngasih semua kasih sayang yang aku punya dan anggap mereka anakku sendiri."

PLAK!

Naileen meringis kesakitan. Dia memegang bahunya yang perih seperti digigit semut akibat pukulan sang ibu. Wajah galak Nilam terlihat begitu menyeramkan di mata Naileen.

"Ibu sambung! Ibu sambung! Nggak boleh!"

"Kenapa sih, Ma?! Sakit tahu nih! Lagian apa salahnya suka sama duda?! Aku kan bukan pelakor!"

"Nai, cinta itu emang gampang. Tapi bangun rumah tangga itu nggak segampang yang kamu pikir! Apalagi sama duda!"

"Ma-"

"Mau sebaik, sekaya apapun dia. Kalau dia duda, Mama say no. Kamu cantik, pinter, baik, kamu bisa dapet yang masih seumuran kamu."

"Tapi Mama yakin misalnya seumuran aku, cowok itu perjaka? Nggak kan? Di zaman ini sedikit yang bisa kita percaya, Ma."

"Mama punya banyak temen yang anaknya cowok seumuran kamu. Atau beda sedikit dari kamu, bukan duda."

Naileen hanya menganga. Memang benar adanya, tidak ada yang bisa mengalahkan omongan seorang ibu. Rasanya kepala Naileen mendidih sempurna akibat ibunya. Namun bibirnya tidak bisa protes lebih lanjut.

•••

Ruang makan di kediaman Bimantara ini sedikit berbeda. Walaupun biasanya memang ramai karena keluarga kecil itu sering berkomunikasi, tetapi malam ini terdengar jauh lebih ramai karena kehadira bocah kembar berusia 4 tahun ini.

Ratu memegang paha ayam bakar, "Oma, besok aku sekolah sama siapa?"

"Sama Kakak Nai."

"Kakak Nai memang nggak kerja ya?" Tanya Raja setelah menyeruput air putih. Naileen menggeleng, "Besok Kakak juga mau interview di sekolahan kalian. Jadi kita bisa berangkat bareng." Jawabnya.

"Kak Nai kenapa mau jadi guru? Kata Leo, gaji guru sedikit."

Bukan hanya Naileen yang shock bercampur geli. Tetapi Nilam dan Cakra juga hampir tersedak nasi mereka. Naileen berdehem, "Memangnya sedikit? Berapa?"

"Berapa, Bang, kata Leo?"

"Mulai dari lima ratus ribu sampai empat juta. Tapi kalau di sekolah kami nggak bakal miskin miskin amat kok, Kak."

"Miskin?" Gumam Naileen tak percaya.

"Gaji Miss Eveline cuma sepuluh juta. Kasihan ya, Kak? Masa kerja capek capek ngurusin anak nakal kayak Leo digajinya sepuluh juta doang?"

Naileen menganga dibuatnya. Dia menggeleng, segera menyadarkan pikirannya, "Memang sepuluh juta sedikit? Itu banyak lho, Ratu."

"Sedikit. Kata Papi itu sedikit, makanya kami nggak boleh nakal di sekolah dan harus dengar Miss Eveline supaya hatinya tidak sedih dan patah semangat."

"Iya, Papi bilang begitu. Soalnya kalau gajinya tidak sebanding sama ilmu yang Miss Eveline berikan. Apalagi kasih sayang juga perhatiannya ke semua murid." Sahut Raja membenarkan perkataan Ratu.

Cakra tersenyum hangat. Tangannya mengusap kepala Raja yang duduk di dekatnya, "Pintar sekali cucu-cucu Opa ini. Siapa yang ajarin hm?"

"Papi sama Sus Tari!"

"Yang kamu omongin bener, Raja, Ratu. Ah andai aja anak Oma sepintar kalian, pasti rasanya tentram banget."

"Kok aku lagi?!" Delik Naileen sinis. "Apa apa ke aku. Apa apa ke aku. Jahat ih."

"Nggak sadar diri atau lupa kalau kamu sering bolak-balik BK pas sekolah? Nggak kasihan sama gurumu yang gajinya sedikit? Malah gajinya lebih sedikit dari guru-guru di Skyland yang bisa sampe lima belas juta hah?!"

Naileen mengerucutkan bibirnya sebal. Dia memakan makan malam dengan hati jengkel. Sepertinya bila dia mempunyai anak kelak akan kalah dimata sang ibu.

Setelah makan malam, Naileen naik ke kamarnya bersama Ratu dan Raja. Si kembar enggan tidur sendirian di kamar tamu dan memilih tidur bersama Naileen. Naileen pun mengiyakan dengan hati senang. 

"Kak Nai, hari ini cerita tentang putri salju boleh?"

"Boleh."

"Jangan. Aku bosen. Si kura-kura dan kelinci aja."

"Nggak mau! Bosen!"

"Aku nggak mau cerita putri salju, Adik."

"Adik juga nggak mau cerita upin ipin itu!"

Naileen menggaruk pangkal hidungnya lalu menepuk kedua tangannya, "Oke! Kak Nai bacain cerita yang lain. Yang baru. Jadi jangan pada berantem oke?"

"Cerita apa?"

Naileen berjalan menuju rak buku di dekat pintu balkonnya. Tangannya mengambil salah satu buku dongeng yang memang dia beli karena menyukai isi ceritanya.

"Putri duyung?"

Naileen mengangguk. Dia duduk di sisi kasur, "Gimana?" Tanya Naileen menanyakan pendapat keduanya. Ratu mengangguk, "Not bad, Kak. Aku suka."

"Aku cowok, Kak Nai."

Naileen meringis pelan. Dia berdehem pelan lalu kembali mencari buku dongeng lainnya di lemari bukunya yang tinggi itu. Matanya mencari-cari judul yang pas untuk si kembar.

"Gimana kalau belalang dan semut?" Tanya Naileen membalikan badannya. Raja dan Ratu mengangkat jempolnya. Mereka juga belum pernah mendengar dongeng itu. 

Naileen kembali duduk di sisi kasur dan membuka buku dongeng miliknya, "Suatu ketika di ladang yang cukup subur, tinggallah keluarga semut yang rajin dan seekor belalang yang pemalas. Meskipun begitu, belalang sangatlah bersahabat dengan keluarga semut. Tidak jarang mereka menyapa satu sama lain ketika berjumpa ..." Naileen bercerita sesuai dengan intonasi dan ekspresi yang bagus. Raja dan Rau mendengarkan Naileen berdongeng sambil sesekali tertawa atau mendengus kesal karena larut dalam cerita. 

Belasan menit kemudian, Naileen melirik si kembar yang sudah memejamkan mata mereka, "... semenjak saat itu, belalang mendapatkan pelajarannya yang amat berharga. Mulai dari musim semi berikutnya ia pun bersemangat membantu keluarga semut bekerja dan mengumpulkan makanan. Selesai."

Naileen menutup buku dongeng singkat miliknya lalu mengecup dahi Raja dan Ratu bergantian. Bibirnya tersenyum kecil, "Kakak janji, meskipun jodoh aku nanti bukan Papi kalian, aku tetep sayang sama kalian." Bisik Naileen. 

Dia segera menyalakan lampu tidur dan menaikan suhu AC agar tidak terlalu dingin. Langkah kakinya masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya. Dia bersiap untuk tidur bersama si kembar, tak lupa berdoa agar Tuhan melancarkan interviewnya esok hari dan lolos menjadi guru di Skyland Kindergarten.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status