Share

03 • momong

Disaat hampir semua teman perempuannya tidak bisa membaca g****e maps, Naileen benar-benar bisa membacanya. Bukan karena dia pintar dan ingin tahu. Tetapi, rasa takutnya melebihi rasa ingin tahunya akan jalan.

Nilam mungkin ibu yang sabar dengan kelakuan Naileen. Tapi tidak dengan cara gadis itu membaca maps saat pertama kali saat mereka berencana ke Madiun yang membuat mereka bablas sampai Surabaya karena tidak berbelok. Salah siapa? Tentu saja Naileen. 

Sejak saat itu, dia bertekad untuk bisa membaca maps agar ibunya tidak berubah menjadi nenek lampir yang sangat jahat yang menguasai semua ilmu sihir hitam di dunia ini. Okay, itu terlalu hiperbola. Tetapi kemarahan dan kekesalan Nilam saat itu benar-benar membuat Naileen tak bisa berkutik sama sekali. Bahkan Cakra yang tadinya beristirahat di bangku tengah langsung terbangun dengan wajah bodohnya.

"Ma, kayaknya bener deh disini."

"Iya. Bentar, ada satpamnya. Kok glowing banget kayak bodyguard."

Mobil mereka berhenti di gerbang pemeriksaan. Seorang satpam dengan seragam hitam menghormat sopan, "Permisi, Bu. Ada keperluan apa?"

"Saya mau jemput cucu saya, Pak. Dia lagi main sama temennya."

Satpam tadi mengangguk mengerti, "Atas nama siapa dan blok apa, Ibu?" Tanyanya sopan. Naileen melirik isi ruang obrolannya dengan Dewa sekilas, "Blok Emerald nomor sepuluh, Pak. Rumahnya Om Arlo Gideon." Jawab Naileen.

Seorang satpam lain yang berjaga di dalam pos pun akhirnya mengasih kode pada satpam tadi untuk membiarkan mereka masuk ke dalam Crystal townhouse. Nilam pun melanjutkan mobilnya mencari blok emerald yang sebenarnya sangat mudah ditemukan karena townhouse seperti ini tidak memiliki banyak rumah. Meskipun begitu, terdapat banyak fasilitas mewah yang mereka lewati. Salah satunya adalah taman bermain yang luas dan indah untuk berpiknik.

"Ah, bener. Ini rumahnya."

"Huh. Akhirnya."

Naileen dan Nilam turun dari dalam mobil dan menekan bell di dekat pagar rumah milik teman si kembar ini. Tak butuh waktu lama, pagar khusus pejalan kaki terbuka. Seorang wanita kisaran 30-an tersenyum ramah dengan seragam khas suster.

"Selamat siang. Ada keperluan apa, Bu?"

Nilam tersenyum, "Saya mau jemput si kembar, Sus. Bapaknya sendiri yang minta tolong ke saya." 

"Ah begitu... masuk dulu, Bu. Kebetulan di dalam juga ada Nyonya lagi nemenin mereka bermain."

"Makasih, Sus."

Nilam mengikuti langkah ART di depannya. Sedangkan Naileen malah berhenti di ruang tamu dengan mata terpesona dan bibir terbuka lebar. Alih-alih merasa bersyukur dan kaya dengan apa yang dimiliki keluarganya, Naileen malah merasa sangat miskin setelah memasuki rumah ini.

"Padahal dari depan kelihatan minimalis. Siapa sangka kalau bakalan semewah tapi nggak kampungan kayak gini?" Gumam Naileen. Dia berjalan menghampiri meja panjang sebagai alas untuk beberapa bingkai foto berukuran kecil dan beberapa vas bunga dengan bunga asli. Di sebelah meja itu dan setiap sudut rumah ini terdapat guci tinggi sebagai hiasan.

Cantik banget. Pikir Naileen.

Naileen memegang bingkai foto yang berisikan keluarga kecil. Dia tersenyum kecil, "Imut." Gumamnya pelan.

"KAK NAI!" kejut Raja tiba-tiba berteriak di dekatnya. Naileen yang terkejut pun berteriak ketakutan. Tanpa sengaja menjatuhkan bingkai tadi karena spontan menutup kedua telinganya.

PRANGGGG!!!

Bunyi suara pecahan yang keras itu membuat semua orang di dalam rumah ini berlari tergopoh-gopoh dengan wajah terkejut bercampur cemas. Sedangkan si pelaku satu dan dua malah berdiri seperti orang linglung setelah mundur beberapa langkah dari tempat mereka berdiri barusan. Keduanya menganga terkejut dengan saling menatap satu sama lain.

"Naileen ..." suara rendah sang ibu sukses membuat alarm siaga tiga di kepalanya berbunyi kencang. Dia menatap wajah Nilam yang sudah tersenyum dengan mata menyipit yang siap melaser wajahnya. "Mau sampe umur berapa tangan kamu usil, hm?" Tanya Nilam lembut. Sangat lembut sampai membuat dia merasa terancam.

Lily yang merasa kondisi disekitarnya mencekam pun buru-buru menghangatkan suasananya. Dia memanggil ART nya untuk membereskan pecahan beling yang tidak seberapa itu lalu tersenyum ke arah Naileen.

"Kakak umurnya berapa? Cantik banget sih anaknya Bu Nilam ini."

Nilam mendengus, "Cantik sih cantik, Bu. Tapi malesnya minta ampun." Sindirnya terang-terangan. Naileen cemberut ke arah ibunya, "Aku baru 21 tahun, Tan."

"Pasti seru ya, Bu, punya anak gadis. Ibunya masih muda, anaknya juga udah bisa diajak shopping."

"Oh jelas, Tan. Mama itu sangat bahagia. Kalau mau minta duit tambahan ke Papa aja lewat aku." Celetuk Naileen membongkar salah satu kartu AS milik Nilam. Nilam hanya tersenyum malu sambil menatap Naileen sinis.

Lily tertawa pelan.

"Ah kalau itu mah biasa. Tante juga sewaktu seumuran kamu sering kongkalingkong sama maminya Tante."

"Dengerin tuh." 

"Apasih, Mama?" Naileen beralih memegang lengan Lily dengan wajah memelas, "Aku minta maaf ya, Tan. Tadi nggak sengaja jatuhin karena dikagetin sama Raja."

"Udah gede masih aja nyalahin anak kecil. Salahmu sendiri, Nai. Kok dikagetin sampe begitu."

"Kok Mama sensi banget sih?"

"Enggak tuh," Nilam mengibaskan rambut tebalnya yang baru dia coloring di salon lalu menggandeng tangan Raja dan Ratu, "Ayo guys kita pulang. Tinggalin Kakak Nai aja."

Naileen menganga kecil melihat sang ibu yang sangat kekanakan. Berbeda dengan Lily yang sudah tertawa geli melihat interaksi ibu dan anak yang baru dia kenal.

"Bu, saya balik dulu ya." Pamit Nilam. Lily tersenyum, "Kakak jangan panggil aku ibu lah. Panggil aja Lily."

"Iya deh, Lily."

"See you soon, Kak Nilam." Ujar Lily sambil melambaikan tangannya. Nilam menekan klaksonnya bersamaan dengan Ratu, Raja, dan Naileen yang ikut melambaikan tangan ke arah Lily dan Leo dalam gendongan sang ibu.

Begitu mobil mereka keluar dari townhouse elit itu, semuanya sepakat untuk makan siang di richeese factory. Terutama Raja dan Ratu yang sangat ingin memesan pink lava dan tambahan saus keju yang banyak.

"Kamu bisa makan sendiri nggak, Raja?" Tanya Naileen yang datang dengan satu nampan berisi minuman mereka. Disusul oleh Nilam yang juga membawa satu nampan lainnya, "Adek bisa makan sendiri nggak?"

"Bisa lah."

"Enggak."

Nilam mengangkat kedua alisnya saat pertanyaan untuk Ratu malah dijawab juga oleh Naileen. Sadar akan kebodohannya, Naileen menyengir. Dia sudah terbiasa dipanggil adik oleh ibunya.

"Kok Kak Nai juga jawab sih?" Komentar Raja. Nilam terkekeh, "Kakak Nai juga suka Oma panggil adek di rumah, Raja."

"Oh ..."

"Selamat makan~"

Nilam pun menyuapi Ratu yang sedang manja. Sebenarnya dia tahu bahwa Ratu sudah bisa makan sendiri. Tetapi, sepertinya hari ini Ratu memang sedang ingin bermanja. Beberapa saat lalu ketika masih di kediaman keluarga Gideon, Ratu membisik pelan di telinga Nilam bahwa dia ingin mempunyai ibu seperti Lily. Kontan saja hal itu membuat perasaan Nilam terkejut dan sedih.

•••

"Raja, besok mau nonton nggak? Ada film baru di bioskop." 

Raja yang duduk di ayunan sebelah Naileen mengangguk, "Boleh. Nanti aku bilang ke Papi supaya dikasih jajan." Cengirnya. 

Naileen terkekeh sambil menggeleng.

"Nggak usah. Kakak punya uang kok kalau cuma buat ngajak Raja sama Ratu jalan atau makan."

"Tapi kata Papi, kita itu nggak miskin. Jadi kalau mau jalan-jalan bilang aja, nanti Papi kasih uang." Celetuk Ratu polos dalam pangkuan Naileen. Raja mengangguk mengiyakan, "Bener, Kak. Kita pernah ikut keluarga Leo jalan-jalan ke Japan. Papi langsung transfer Sus Tari buat jajan kita bertiga."

"Tapi akhirnya nggak kepake karena Aunt Lily yang bayar semuanya."

"Terus kata Leo, Papi akhirnya transfer ke Aunt Lily dua kali lipat."

Naileen melongo, "Masa? Kok kamu tahu?" Sahut Naileen memasang wajah bodohnya; setengah percaya pada cerita Raja dan Ratu. 

Ratu menyentuh dagunya dengan jari telunjuk mungilnya. Dia mengangkat kedua bahunya bingung, "Leo yang cerita ke kita."

"Soalnya Leo bilang, dia dibeliin Macbook sama Ipad baru sama Aunt Lily dari uang Papi," timpal Raja. Ratu kembali mengangguk, "Aunt Lily sama Uncle Arlo nggak tahu uang itu mau diapain karena sebenernya mereka biasa aja kalau biayain perjalanan kami ke Japan waktu itu."

Naileen bersumpah dia tidak pernah kekurangan sejak kecil. Bahkan kemauannya selalu dituruti oleh kedua orangtuanya, termasuk nenek kakeknya dari kedua belah pihak. Tetapi, mendengar cerita anak kembar ini dia benar-benar shock. Dirinya seketika menyadari bahwa dia tidak sebanding dengan Dewa.

"Ah sial... kalau gini, gue harus kerja keras supaya sanggup jadi ibu mereka." Gumam Naileen sangat pelan.

Dia benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa ada orang seperti Dewa dan Lily? Pihak satu memiliki rasa tidak enak dan mengembalikan apa yang sudah anaknya nikmati, pihak lainnya merasa biasa saja malah senang. Tetapi karena uangnya diganti kembali, mereka sampai bingung mau dipakai untuk apa sehingga berakhir membelikan apa yang anaknya mau.

Sepertinya memang dia harus kerja keras agar bisa menjadi ibu yang luar biasa kelak bagi mereka. Pikiran konyol Naileen membuat dirinya sendiri tersenyum geli.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status