Aku melihatnya, perempuan berbadan kurus dengan perut yang membuncit. Mungkin kandungannya sudah berumur sekitar tujuh bulan. Tapi kenapa badannya begitu kurus?
Panji menepuk bahuku, memberi isyarat padaku untuk mendekat ke arah perempuan yang sedang duduk di gazebo. Matanya terpejam, dan mungkin tidak menyadari kedatanganku dan Panji.
Aku menarik tangan Panji, namun ditepisnya dengan halus. Sekarang tangan kami bertautan.
"Dia membutuhkanmu, aku tunggu di sini. Ingat, jangan marah, jangan sia-siakan perjuanganmu untuk sampai di titik ini," ucapnya pelan.
"Apa aku bisa, berhadapan dengannya tanpa rasa marah?"
"Pasti bisa, kamu ingat … aku pernah bilang kalau kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan?"
"Ada apa ini?" Suara berat Pak Har tiba-tiba terdengar.Aku mengalihkan tatapan tajam ke arah lelaki setengah baya yang sudah berdiri di samping Raina.Panji dan Pak Arka yang dari tadi menjaga jarak dari kami kemudian mendekat."Kamu yang membawa mereka kemari?" tanya Pak Har pada keponakannya."Om sendiri sering merecoki butikku, bahkan memintaku menerima Marta jadi pegawai."Pak Har menatap malas ke arah Pak Arka dan di balas dengan kedikan bahu. Dapat ku rasakan udara di sekitarku memanas."Kenapa kamu selalu ikut campur!" Keluh lelaki tua itu."Mereka datang tadi pagi dan merengek agar aku mau mengantar kemari. Aku bisa apa?" ucap Pak Arka tanpa rasa berdosa.Ku lihat dengan jelas, jika Raina berusaha menjauhi Pak Har.
Sampai malam aku masih berharap Panji menghubungiku. Tapi sayangnya itu tidak terjadi.Aku hanya seperti menggenggam angin.Tanpa sadar aku tertidur. Meninggalkan jejak basah di atas bantal.Aku menangis? Sayangnya iya. Aku tidak ingin, tapi entahlah. Air dari mataku mengalir tanpa permisi. Aku pun tak bisa mencegahnya.Tak bisa, sekuat apapun aku didepan orang lain, nyatanya aku rapuh dan tidak bisa menghadapi diriku sendiri.Hingga pagi, tak ada satu pesan pun menyinggahi ponselku. Aku mendesah pelan.Baiklah … selamat pagi hari yang baru.Mulai hari ini aku janji. Hanya akan ada aku dan bahagiaku.Semangat Marta!!!
Jam dua belas, dan aku segera merapikan kertas-kertas yang terserak di meja. Sempat ku lirik Bos menyebalkan itu, dia sedang asyik melakukan sesuatu dengan komputernyaSesekali dia mengurut kening. Berdecak kesal, ataupun mendengus. Dan aku mulai terbiasa dengan raut wajah itu. Saat seperti ini, dia tidak mau diganggu. Salah gerak pun, amarahnya akan meledak.Lebih baik aku segera beristirahat.Tanpa permisi aku melangkah keluar. Makan bersama karyawan lain, sepertinya menyenangkan. Karyawan butik berjumlah lima orang, dan mereka biasa istirahat siang bergantian."Dasar, jaman sekarang tuh jadi atasan kayak nggak ada harganya." Pak Arka seperti dengan sengaja mengeraskan suara.Terpaksa aku melongokkan kembali kepalaku, "Bapak ada perlu dengan saya?""Nggak," jawabnya ketus."Oh, baik. Kalau begitu saya pamit makan siang dengan anak-anak di depan, Pak." Aku segera keluar kembali."Tunggu!"Yang terdengar selanjutnya hanya seperti beberapa buku dan alat tulis lainnya dirapikan dengan t
Aku duduk diantara rumput, setelah berhasil menarik kaki kanan yang tertimpa badan motor.Beruntung aku tidak salah membedakan rem dan gas. Dan motor tetap bisa ku kendalikan walau akhirnya terjatuh juga. Jatuh tepat di atas rumput tebal.Pak Arka, dia menatapku tajam tanpa berniat membantu. Sedikit kejam, tapi ku pikir itu wajar karena ini salahku. Lagi pula ini tak parah. Kakiku baik-baik saja.Sedikit ku goyangkan kaki kananku, sedikit nyeri. Mungkin ada sedikit urat yang tertarik. Selebihnya tak ada masalah."Kenapa, patah?" Nada Pak Arka terdengar seperti menahan geram."Tidak," jawabku santai."Huhh … kenapa nggak patah sekalian. Biar tau rasa. Sok jagoan. Kamu pikir ini arena balap liar?""Doanya jelek amat, Pak."Pak Arka masih menggerutu. Aku memilih diam dan berpura tak mendengar. Aku beringsut mundur. Menyandarkan punggung di tebing.Perlahan nyeri mulai merambat. Yang awalnya tak terasa sakit, sekarang seperti nyeri, panas dan seolah menebal.Pak Arka menegakkan motor mili
Perawat itu mengangguk dan menutup pintu ruangan.Dengan teliti dia memeriksa dan juga berdiskusi dengan dokter di ruangan ini. Sesekali di olesnya salep dingin ke beberapa bagian kakiku yang membiru."Tidak apa-apa, cuma dalam beberapa hari sebaiknya dibalut dulu. Biar tidak ada kotoran masuk melalui luka-luka ini," kata Dokter ramah.Luka? Apa ada luka di kakiku? Kupikir hanya lebam-lebam saja."Apa lukanya parah?" tanyaku akhirnya."Tidak, hanya goresan sedikit agak dalam. Hanya saja kalau dibiarkan terbuka, bisa kena bakteri dan menimbulkan infeksi. Itu yang bahaya." Dokter menerangkan sambil membuka kacamatanya.Aku meringis saat perawat tadi mulai membersihkan lukaku. Ku lihat kapas di tangannya berwarna merah.Tadi sesaat setelah jatuh aku memang merasakan kakiku basah. Ku pikir itu oli atau bensin yang tumpah. Ternyata itu darah. Pantas tadi Pak Arka terlihat sedikit panik."Nggak dijahit kan, Mbak?" bisikku pada perawat itu."Tidak, Bu. Ini sudah tidak terjadi pendarahan kok.
Sosok itu mendekat. Wajahnya semakin jelas terlihat, seiring kelebatan waktu yang pernah kulalui bersamanya.Ah, aku tidak pernah menginginkan berada di posisi seperti ini. Menatapnya hanya menambah goresan tak bermakna. Yang hanya akan membuat perasaanku penuh oleh rasa dendam dan sakit hati.Aku tak pernah sekalipun membayangkan akan bertemu lagi dengannya.Lebih-lebih saat tanganku berada dalam genggaman Pak Arka. Bukan khawatir pada perasaan atau pemikirannya. Aku hanya tidak nyaman. Itu saja.Pak Arka menepuk lembut tanganku yang masih bertaut erat dengan tangannya. Tepukan yang membuatku sadar, aku harus bersikap seolah tak pernah terjadi hubungan spesial diantara kami. Aku dan Akmal.Semua yang berawal, akan berakhir. Begitupun aku dan dia. Telah lama usai. Meski sekarang aku tahu, ini bukan hanya tentang bayi di dalam perut Raina. Ada hal lain yang masih tersembunyi. Dan haruskah aku peduli? Tentu saja tidak.Kini kami sama-sama asing. Dan orang asing tidak perlu mengorek kehi
"Istirahatlah, aku hanya akan memberitahu tentang pesan si mobil putih kalau kamu sudah benar-benar bersedia menjadi istriku," ujarnya tegas.Pak Arka tahu 'si mobil putih' yang dimaksudnya adalah lelaki bernama Panji. Tapi bahkan dia enggan menyebut nama itu.Aku memutar bola mata. Apa dia sedang berusaha memanipulasi?"Bagaimana kalau Panji datang? Dia lebih kuat dari Akmal. Dia tak akan segan menghajarmu, seperti dia menghajar pak Har." Aku tersenyum miris."Ck, jangan ingat atau ucapkan sesuatu yang menyakitkan.""Bagaimana kalau Panji datang?" Aku mengulang pertanyaan.Pak Arka tampak tak peduli. Dia masih asyik menggerakkan jari di atas layar ponsel."Laki-laki itu akan datang beberapa menit sebelum kita menikah. Jika itu terjadi, apa yang akan kamu lakukan?" Pak Arka meletakkan ponsel, dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku baca. Sepertinya dia begitu yakin aku mau menikah dengannya.Jarak kami begitu dekat, hingga aku bisa melihat jika matanya berwarna coklat tua. Buka
Berulang kali aku mencoba menghubungi Maya dan pak Haris. Nihil. Mungkin mereka kesulitan mendapat sinyal.Aku masih mencoba menghubungi keduanya. Terlalu sibuk hingga tak menyadari kedatangan Arka dengan dua kantong berisi makanan.Aku merasa dejavu.Perasaan pernah mengalami kejadian serupa. Malam itu Panji datang setelah dan memesan makanan lewat ojek online. Dia membawa masuk kantong berisi makanan. Kemudian mengajakku pergi."Kenapa ponselmu?" tanya Arka.Aku merasa kali ini sangat ceroboh. Mudah saja aku meng-iya-kan tawaran menikah dengan laki-laki ini. Apa aku memang segila itu?"Hei …, Ta …," tegurnya lagi."Hmmm, ya. Aku baru saja menghubungi Maya." Aku ingin bertanya, tapi tak tahu bagaimana caranya."Maya, dimana dia sekarang?""Dia sedang di perjalanan. Kemarin lelaki baik melamarnya."Alis Arka terangkat naik. "Baik? Ada apa denganmu? Tiba-tiba kamu membahas tentang laki-laki baik.""Ah, sudahlah. Ayo makan. Nanti kita bicarakan setelah makan," pungkasnya.Dengan cekatan