Seperti mayat hidup. Mata cekung dan dihiasi lingkaran hitam, rambut tergerai berantakan. Memeluk tubuh sendiri sehari semalam.
Hingga pagi Mas Akmal tidak pulang. Dan sampai ketika senja datang tepat waktu suamiku tetap tak datang. Mungkinkah dia tak ingat jalan pulang?
Suara gedoran pintu ku abaikan. Tentu bukan suamiku yang datang. Suamiku sedang asyik berkumpul dengan Raina dan calon anak mereka.
Kenapa? Kenapa Raina bisa hamil sedang aku tidak! Kenapa Raina?
Jika saja itu perempuan lain, mudah bagiku untuk memukul, menendang, menjambak, atau melemparkan kotoran di wajahnya. Tapi kenapa harus Raina?
Raina yang dari kecil selalu bersama denganku. Raina yang berdua bersamaku menghadapi kepergian orang-orang tercinta. Raina yang saling bertukar bahu denganku, untuk saling menopang saat kesedihan bertubi datang di masa lalu.
"Marta … aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!" Suara itu tak asing meski jarang ku dengar.
Panji. Ya, itu suara Panji, tunangan Raina.
Dengan susah payah aku bangun dan berusaha mencapai pintu depan.
Saat pintu berhasil kubuka, aku menemukan sosok kekar dibalut jaket kulit.
Panji tercengang melihat kondisiku. Aku hampir jatuh, beruntung tanganku cukup kuat menahan dengan bertumpu pada pintu. Panji urung menangkapku.
"Kamu sakit?" Pertanyaan bodoh yang aku dengar dari seorang pengusaha muda.
"Masuk," ucapku lirih. Aku berusaha menjangkau sofa terdekat. Panji siaga di belakangku, menjaga tanpa menyentuh.
Matanya terus mengawasiku. Aku yang berantakan, mungkin terlihat sangat aneh. Lama kami berdua terdiam.
"Aku boleh ke dapur?" Panji meminta ijinku. Ku anggukkan kepala. Mungkin dia merasa haus, aku sebagai tuan rumah tak bisa menjamunya dengan baik. Biarlah dia mencari sendiri apa yang dia butuhkan. Toh sudah beberapa kali dia berkunjung kemari bersama Raina.
Ah, Raina lagi. Entah kenapa tiap kali mengingat Raina, hatiku semakin sakit.
"Kapan terakhir kali kamu makan?"
Tiba-tiba Panji muncul. Mungkin dia tidak menemukan apapun di dapur. Kalaupun ada, mungkin nasi dan kuah mie basi yang ditinggalkan Mas Akmal.
Aku menggelengkan kepala. Panji meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja. "Minum," perintahnya.
Panji mengeluarkan smartphone dari saku jaketnya. Kemudian asyik dengan benda itu. Aku meraih teh hangat, dan menyesapnya pelan. Seketika tenggorokanku merasakan aliran hangat dan meluncur turun dengan cepat.
Kami berdua hanya duduk, diam tanpa bicara.
Tak berapa lama kemudian ku dengar suara motor berhenti. Panji berdiri dan berjalan keluar.
"Di luar gelap, tolong tunjukkan saklarnya. Biar aku nyalakan lampu depan." Kalimat Panji sontak mengingatkan aku pada sosok pemalas yang sering lupa menyalakan lampu depan.
Aku menunjuk ke arah belakang pintu, di situ terdapat saklar lampu depan. Panji segera menyalakan lampu, kemudian kembali keluar menemui pengendara motor yang berhenti di depan rumahku.
Tak lama Panji masuk membawa kantong berlogo restaurant terkenal di kotaku.
"Maaf, aku lapar dan tuan rumah tidak punya apa-apa. Jadi terpaksa aku beli makanan." Ujarnya sambil membuka kantong dan mengeluarkan isinya.
Beberapa jenis makanan menggugah selera terhidang. "Ayo makan," ajaknya.
Aku menatap malas. Nafsu makanku hilang sejak kemarin.
"Ayo, kita habiskan makanan ini. Kita butuh tenaga ekstra."
Aku menatapnya heran, "maksud kamu?"
"Ya, kita harus banyak makan, biar kuat menghadapi kenyataan."
Kata-kata Panji membuatku tersenyum pahit. Benar, aku harus kuat. Aku harus bisa menghadapi kenyataan.
Dengan cepat aku mengambil beberapa jenis makanan sekaligus.
Tangan kananku terus menjejalkan makanan ke dalam mulut. Aku harus kuat. Aku harus kuat.
Bagaikan mantra kalimat itu ku ulang terus dalam hati. Tanpa terasa airmataku mengalir.
Biarlah orang melihatku bodoh dan lemah. Mereka mungkin belum pernah merasakan apa yang ku rasa. Wajar jika mereka menilaiku sebatas pengertian mereka. Aku tak peduli.
Panji menatapku dengan pandangan … kasihan. Mungkin aku terlihat sangat menyedihkan.
"Ta, setelah ini selesai kamu ikut aku ya?"
Aku menghentikan suapanku. Mulutku penuh, dan aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Entah pertanyaan atau pernyataan. Aku malas berpikir.
"Kamu harus pergi dari sini. Kamu cukup berharga untuk disakiti."
Ucapannya yang pelan, entah kenapa kembali mengingatkanku pada kesakitanku.
Otakku kosong. Setiap kata yang ku dengar seolah berdengung, aku harus pergi. Aku disakiti. Aku harus pergi. Aku disakiti.
Aku pergi. Aku sakit. Sakit.
Panji kembali menatapku. Tajam. Auranya sangat kuat. Aku seolah tak bisa mengatakan tidak.
Sekelebat hatiku mengatakan, jika aku pergi, apa bedanya aku dengan Mas Akmal. Namun segera ku tepis. Aku memang harus pergi. Tak mungkin aku menunggunya di rumah ini.
Bagaimana mungkin aku begitu bodoh menunggu kedatangan Mas Akmal. Bukankah saat ini dia sedang bahagia mendamping Raina, dan calon bayi mereka.
"Ayo berkemas. Kita segera pergi."
Aku menatap ke dalam mata Panji. Tak ku temukan apapun.
Gamang, haruskah aku ikut bersama dengannya?
Semalaman aku dan Panji duduk di sofa ruang tamu. Tanpa bicara, masing-masing sibuk dengan hati dan pikiran.Nyatanya ketika fajar menyingsing Mas Akmal tak juga muncul di balik pintu.Aku pun segera berkemas. Membawa beberapa potong pakaian. Dan tanpa kata Panji mendahuluiku masuk ke dalam mobil.Ini pertama kalinya aku pergi jauh tanpa suamiku. Perjalanan panjang ke kota tempat tinggal Panji. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana, dan tentu saja bersama dengan Raina dan Mas Akmal.Sepanjang jalan aku memeluk tubuh Mas Akmal. Dan suamiku tetap berkonsentrasi mengendarai motornya, meski sesekali satu tangannya menggenggam tanganku yang melingkari pinggangnya.Mas
Sudah dua hari aku tinggal di rumah Tante Nina. Selama aku di rumah ibunya, Panji memilih menginap di apartemen miliknya. Laki-laki dingin itu hanya muncul saat jam makan. Benar-benar datang hanya untuk makan, kemudian pergi lagi.Sesekali aku mengaktifkan ponsel, dan selalu pesan dari Mas Akmal membanjir. Ia memaksa aku untuk pulang. Tak sekalipun aku membalas. Beberapa kubaca, dan sebagian besar ku abaikan.Tante Nina selalu memberiku semangat, menyalurkan energi positif hingga aku merasa lebih baik.Siang ini aku merasa butuh udara segar. Saat makan siang, aku meminta izin kepada Tante Nina untuk pergi keluar.Diluar dugaan, Panji mengajukan diri untuk mengantarku."Kamu nggak tahu jalan. Aku juga yang repot kalau kamu nyas
Seketika keringat dingin membanjiri tubuhku. Aku tak berani bicara, apalagi menoleh ke arah Panji.Aku menyesal, kenapa tadi tidak membawa ponselku. Paling tidak aku bisa menghubungi Tante Nina atau Reno. Ya, aku ingat pernah menyimpan nomor ponsel Reno. Hanya dua orang itu yang ku kenal di kota ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Jam digital di atas dashboard menunjukkan pukul tiga. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.Panji nampak santai, sesekali melirik ke arahku. Dan tentu saja perbuatannya itu semakin membuatku takut.Sebisa mungkin aku menyembunyikan ketakutanku. Orang yang ingin berbuat jahat akan semakin senang saat melihat calon mangsanya merasa terintimidasi.Jika tadi jalanan penuh pepohonan, sekarang pemandangan berubah drastis. Mataku disuguhi pegunungan gersang berbatu cadas. Entah aku ada dimana s
"Tante mendukung apapun keputusan kamu, Ta," tutur Tante Nina ketika aku menyampaikan maksudku untuk pulang.Sungguh aku tak pernah rela jika rumah peninggalan orang tuaku dijadikan tempat pernikahan orang yang telah menghancurkanku. Semakin terinjak harga diriku sebagai istri. Semakin terkikis cinta yang dulu begitu ku agungkan.Pesan yang dikirim ibu mertuaku seolah membuka kembali luka yang sedang berusaha ku tutup. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Tak adakah sedikit rasa bersalah, ataukah mereka pikir aku begitu mudah mengalah?"Ma, menurutku Marta masih butuh sedikit waktu lagi. Mama nggak ingat bagaimana kondisinya saat ku bawa kemari," tegas Panji."Tapi Ji, cepat atau lambat Marta tetap harus menyelesaikan masalahnya. Kalau dia tetap disini, keluarga Akmal han
Inikah bukti cinta yang selalu Mas Akmal gaungkan? Dia sampai rela bersimpuh di kakiku, dan meminta izin untuk pernikahannya yang kedua.Inikah buah kesabaran yang harus kutuai?Aku tak pernah menanam luka, tapi kenapa harus menuai air mata?Aku seolah tak berpijak. Tak peduli berapa lama suamiku bersimpuh."Akmal, jangan merendah di hadapan istri yang nggak bisa kasih kamu keturunan!" Ibu menarik tubuh Mas Akmal."Segera nikahi Raina, bahagiakan ibu. Bosan ibu mendengar ocehan orang. Biar kita buktikan kalau anak ibu bisa memiliki keturunan!" Ibu berteriak, kemarahan terlihat nyata.Jadi masih saja ini tentang anak yang tak kunjung hadir di rahimku, karena itu dia mencoba peruntungan dengan wanita lain?"Marta …, tolong biarkan Akmal menikahi Raina. Ibu janji, hanya sampai anak mereka lahir. Dan Raina sudah setuju memberikan anaknya untuk kalian. Ibu mohon …," tangis mertuaku te
Mas Akmal memandangku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sementara Panji, lelaki itu masih berdiri di depan pintu kamarku. Kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk."Kamu …," desis Mas Akmal."Kenapa?""Benar kata ibu. Kamu istri yang tak tahu diuntung," tandas Mas Akmal. Aku menatapnya heran."Maksudmu apa?""Aku berusaha mempertahankan kamu, walaupun ibu sering memintaku untuk mencari istri lagi, nyatanya kamu bukan cuma nggak bisa hamil. Kamu juga murahan! Baru berapa malam kita tidak tidur bersama, dan kamu sudah gatal untuk tidur dengan laki-laki lain, hah?"Merasa tak terima dengan ucapan Mas Akmal, aku mendekat dan langsung mendorong bahunya."Kamu pikir kamu apa? Kamu lebih baik dariku?""Sampai
Aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Saat membuka mata, aku berada dalam pelukannya. Dari jarak sedekat ini semakin tajam aroma alkohol tercium dari mulutnya. Tentu saja itu membuatku mual.Aku menggeser tubuhku pelan, berusaha menyingkirkan lengan yang menindih perutku. Laki-laki itu tertidur lelap setelah menyeretku ke dalam kamar. Dan menuntaskan hasratnya seperti binatang.Pelan aku bergegas beringsut ke kamar mandi. Membersihkan diriku secepat mungkin. Membasuh tubuh, mengacuhkan perih dari luka yang terlihat di beberapa tempat. Laki-laki yang dulu begitu lembut memperlakukanku telah berubah menjadi monster.Aku harus pergi dari rumah ini. Setidaknya sampai aku benar-benar bisa berdiri di atas kakiku. Beberapa surat penting ku masukkan ke dalam koper, menyusul baju-baju yang tak seberapa. Aku harus cepat sebelum laki-laki gila itu bangun.
Kacau, kacau.Aku menatap nanar ruangan yang menjadi saksi bisu kebejatanku. Samar tergambar bagaimana perempuan yang begitu ku cintai itu menolak, hingga berujung pada perlakuan kasarku padanya.Hatiku teriris oleh derai air matanya yang perlahan surut. Kebisuannya seolah menantang kelelakianku. Aku masih suaminya, tapi dia pergi begitu saja dengan lelaki brengsek bernama Panji.Dan lebih brengseknya, dengan setengah sadar aku telah melukai harga dirinya. Kehormatan yang selama ini terjaga dengan segenap cinta dan kelembutan koyak oleh nafsu.Otakku kacau, pikiranku terbelah.Raina tiba-tiba mengaku bahwa dia tengah mengandung anakku. Perempuan manja sepupu Marta itu mengungkit kejadian dua bulan yang lalu, saat dia dan aku b