Home / Romansa / MARTA, cinta kedua / 5. Tunangan Raina Datang

Share

5. Tunangan Raina Datang

Author: Tri Nur
last update Last Updated: 2021-10-03 15:26:57

Seperti mayat hidup. Mata cekung dan dihiasi lingkaran hitam, rambut tergerai berantakan. Memeluk tubuh sendiri sehari semalam.

Hingga pagi Mas Akmal tidak pulang. Dan sampai ketika senja datang tepat waktu suamiku tetap tak datang. Mungkinkah dia tak ingat jalan pulang?

Suara gedoran pintu ku abaikan. Tentu bukan suamiku yang datang. Suamiku sedang asyik berkumpul dengan Raina dan calon anak mereka.

Kenapa? Kenapa Raina bisa hamil sedang aku tidak! Kenapa Raina?

Jika saja itu perempuan lain, mudah bagiku untuk memukul, menendang, menjambak, atau melemparkan kotoran di wajahnya. Tapi kenapa harus Raina?

Raina yang dari kecil selalu bersama denganku. Raina yang berdua bersamaku menghadapi kepergian orang-orang tercinta. Raina yang saling bertukar bahu denganku, untuk saling menopang saat kesedihan bertubi datang di masa lalu.

"Marta … aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!" Suara itu tak asing meski jarang ku dengar.

Panji. Ya, itu suara Panji, tunangan Raina.

Dengan susah payah aku bangun dan berusaha mencapai pintu depan.

Saat pintu berhasil kubuka, aku menemukan sosok kekar dibalut jaket kulit.

Panji tercengang melihat kondisiku. Aku hampir jatuh, beruntung tanganku cukup kuat menahan dengan bertumpu pada pintu. Panji urung menangkapku.

"Kamu sakit?" Pertanyaan bodoh yang aku dengar dari seorang pengusaha muda.

"Masuk," ucapku lirih. Aku berusaha menjangkau sofa terdekat. Panji siaga di belakangku, menjaga tanpa menyentuh.

Matanya terus mengawasiku. Aku yang berantakan, mungkin terlihat sangat aneh. Lama kami berdua terdiam.

"Aku boleh ke dapur?" Panji meminta ijinku. Ku anggukkan kepala. Mungkin dia merasa haus, aku sebagai tuan rumah tak bisa menjamunya dengan baik. Biarlah dia mencari sendiri apa yang dia butuhkan. Toh sudah beberapa kali dia berkunjung kemari bersama Raina.

Ah, Raina lagi. Entah kenapa tiap kali mengingat Raina, hatiku semakin sakit.

"Kapan terakhir kali kamu makan?"

Tiba-tiba Panji muncul. Mungkin dia tidak menemukan apapun di dapur. Kalaupun ada, mungkin nasi dan kuah mie basi yang ditinggalkan Mas Akmal.

Aku menggelengkan kepala. Panji meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja. "Minum," perintahnya.

Panji mengeluarkan smartphone dari saku jaketnya. Kemudian asyik dengan benda itu. Aku meraih teh hangat, dan menyesapnya pelan. Seketika tenggorokanku merasakan aliran hangat dan meluncur turun dengan cepat.

Kami berdua hanya duduk, diam tanpa bicara.

Tak berapa lama kemudian ku dengar suara motor berhenti. Panji berdiri dan berjalan keluar.

"Di luar gelap, tolong tunjukkan saklarnya. Biar aku nyalakan lampu depan." Kalimat Panji sontak mengingatkan aku pada sosok pemalas yang sering lupa menyalakan lampu depan.

Aku menunjuk ke arah belakang pintu, di situ terdapat saklar lampu depan. Panji segera menyalakan lampu, kemudian kembali keluar menemui pengendara motor yang berhenti di depan rumahku.

Tak lama Panji masuk membawa kantong berlogo restaurant terkenal di kotaku.

"Maaf, aku lapar dan tuan rumah tidak punya apa-apa. Jadi terpaksa aku beli makanan." Ujarnya sambil membuka kantong dan mengeluarkan isinya.

Beberapa jenis makanan menggugah selera terhidang. "Ayo makan," ajaknya.

Aku menatap malas. Nafsu makanku hilang sejak kemarin.

"Ayo, kita habiskan makanan ini. Kita butuh tenaga ekstra."

Aku menatapnya heran, "maksud kamu?"

"Ya, kita harus banyak makan, biar kuat menghadapi kenyataan."

Kata-kata Panji membuatku tersenyum pahit. Benar, aku harus kuat. Aku harus bisa menghadapi kenyataan.

Dengan cepat aku mengambil beberapa jenis makanan sekaligus.

Tangan kananku terus menjejalkan makanan ke dalam mulut. Aku harus kuat. Aku harus kuat.

Bagaikan mantra kalimat itu ku ulang terus dalam hati. Tanpa terasa airmataku mengalir.

Biarlah orang melihatku bodoh dan lemah. Mereka mungkin belum pernah merasakan apa yang ku rasa. Wajar jika mereka menilaiku sebatas pengertian mereka. Aku tak peduli.

Panji menatapku dengan pandangan … kasihan. Mungkin aku terlihat sangat menyedihkan.

"Ta, setelah ini selesai kamu ikut aku ya?"

Aku menghentikan suapanku. Mulutku penuh, dan aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Entah pertanyaan atau pernyataan. Aku malas berpikir.

"Kamu harus pergi dari sini. Kamu cukup berharga untuk disakiti."

Ucapannya yang pelan, entah kenapa kembali mengingatkanku pada kesakitanku.

Otakku kosong. Setiap kata yang ku dengar seolah berdengung, aku harus pergi. Aku disakiti. Aku harus pergi. Aku disakiti.

Aku pergi. Aku sakit. Sakit.

Panji kembali menatapku. Tajam. Auranya sangat kuat. Aku seolah tak bisa mengatakan tidak.

Sekelebat hatiku mengatakan, jika aku pergi, apa bedanya aku dengan Mas Akmal. Namun segera ku tepis. Aku memang harus pergi. Tak mungkin aku menunggunya di rumah ini.

Bagaimana mungkin aku begitu bodoh menunggu kedatangan Mas Akmal. Bukankah saat ini dia sedang bahagia mendamping Raina, dan calon bayi mereka.

"Ayo berkemas. Kita segera pergi."

Aku menatap ke dalam mata Panji. Tak ku temukan apapun.

Gamang, haruskah aku ikut bersama dengannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MARTA, cinta kedua   79

    Pulang adalah pilihan terakhir. Rumah ini terlihat sangat sepi. Namun, aku merasa setiap sudut tidak lepas dari sosok seorang Arka.Aku ingin menangis. Menikmati sesak yang semakin dalam menghujam.Rasa bersalah karena menyusupkan nama lelaki lain selain Arka, membuatku merasa jika Arka pantas melakukan ini padaku.Mungkin dia merasa, dalam hatiku belum sepenuhnya menerima dia.[Ka, pulang.] Tanpa sadar aku menulis pesan untuknya.[Aku kangen.] Entah kenapa kalimat singkat itu kuketik begitu saja.Tidak peduli kapan terbaca. Setidaknya aku berusaha mengungkapkan isi hati.Tanpa permisi, tiba-tiba saja kenanganku dengan Arka kembali datang. Awal pertemuan, lalu semua yang pernah kami lalui. Semua muncul tiba-tiba.Ada nyeri yang tiba-tiba menghujam. Saat bayangan pernikahan kami tertayang. Aku seorang istri. Namun, di hatiku masih belum bisa seutuhnya menerima. Masih ada nama lain yang tertulis indah, walau aku berusaha menghapusnya.Tidak. Aku tidak benar-benar menghapusnya. Aku hanya

  • MARTA, cinta kedua   78

    Bodoh!Aku terus mengutuk kebodohanku sendiri. Sekarang, selain lemah dan tidak bisa apa-apa, cap apa lagi yang akan Panji sematkan untukku?Murahan?Ck!Aku meremas stang motor dengan kuat. Itu juga membuat laju motor semakin menggila.Tanpa peduli dengan apapun, aku terus melaju. Membiarkan angin menampar wajahku berkali-kali.Jalanan yang lengang di jam kerja membuatku merasa bebas. Mengumpat, memainkan gas dan melakukan apapun di atas kendaraan roda dua ini.Bahkan tanpa sadar aku berkendara semakin jauh. Bukan ke arah rumah Pak Har. Melainkan ke tempat sunyi yang pernah ku kunjungi.Saat ini aku hanya ingin sendiri. Menyepi, memuaskan diri merutuk juga mengutuk.Sendiri.Perjalananku berakhir di atas bukit, tempat yang pernah kukunjungi bersama Maya, Pak Haris dan juga Panji.Aku tetap duduk di atas motor. Mencoba mencari ketenangan di atas ketinggian.Suasana yang sedikit mendung, menyelamatkanku dari terik matahari.Pelan kulepas helm, dan meletakkan benda itu di gantungan yang

  • MARTA, cinta kedua   77

    Kepalaku seperti berputar.Banyak kemungkinan dan bayangan buruk berjubel di sana.Jika benar perempuan itu Amel, berarti Arka menghamili gadis itu! Lalu, di mana mereka sekarang?Aku bergegas mengobrak abrik laci di meja Arka. Rasa marah begitu besar, hingga nafasku sesak.Arka brengs*k!!!Lelaki itu, apa maunya! Membuat seorang gadis hamil, lalu menikahiku? Gila!Apa dia dilahirkan oleh batu, hingga tidak bisa menjaga harga diri dan perasaan seorang perempuan?Umpatan masih terus bergaung di dalam hatiku. Sementara tanganku bergerak lincah mengeluarkan apa saja yang ada di dalam laci. Kertas, kain, alat gambar dan lain-lain.Tanpa kuduga, aku melihat selembar foto ikut terhempas. Penasaran kuambil dan mataku menyipit.Seorang anak laki-laki, tertawa lebar menghadap kamera. Sementara dua orang dewasa duduk mengapitnya. Keduanya merangkul anak itu dengan senyum mengembang.Ini Arka? Kernyitku saat mengamati foto itu lebih detail. Aku bahkan melihat pancaran rasa bahagia dari tiga soso

  • MARTA, cinta kedua   76

    Jam sembilan kurang lima menit, terlihat sebuah motor berbelok dan berhenti di parkiran.“Mbak!“ Pengendara itu berteriak memanggil.“Ita,” sapaku. Perempuan itu membuka helm, lalu melepas jaket. Setelah mencabut kunci motor, dia bergegas turun dan menghampiriku.“Ngapain pagi-pagi nongkrong di situ?“ tanyanya heran.Aku tersenyum geli. “Nungguin kamu, Beb,” godaku.“Ih, geli!“ ucapnya sambil tergelak.Tangannya terlihat mencari sesuatu di tas. Tak lama, sebuah kunci yang sangat kukenal berhasil dia keluarkan.“Ini nggak dalam rangka sidak, kan?“ tanya Ita.“Enggak, aku cuma pengen main,” sangkalku.Ita membuka pintu utama butik. Aroma khas kain bercampur pengharum ruangan segera menyambutku. Suasana ruang display tidak ada yang berubah.“Mbak tunggu di ruangan Pak Bos aja, aku bersih-bersih dulu,” kata Ita yang sudah memegang alat kebersihan.Melihatnya, aku seperti kembali ke masa lalu. Hanya saja, dulu Bos galak itu memintaku datang lebih pagi dan membawakannya sarapan.“Mbak!“ Ita

  • MARTA, cinta kedua   75.

    Aku memutuskan tidur di penginapan bersama Maya. Nyaris semalam kami menunggu, kalau-kalau Amel muncul. Penantian yang sia-sia menimbulkan rasa lelah yang teramat sangat.Bertiga dengan Maya dan Agnes, kami berbagi tempat tidur. Beruntung pihak penginapan menyediakan ruang khusus untuk pegawai. Kondisi keuangan yang menipis, membuatku harus berhemat.Aku bahkan baru sadar, belum pernah menerima uang sepeserpun dari Arka.Arka, lelaki itu ikut menyedot pikiranku. Kemana dia? Apa mungkin dia berpikir aku masih di rah Pak Har? Karena itu tidak ada rasa khawatir di hatinya?Atau, jangan-jangan sesuatu terjadi padanya?Segera kuenyahkan pikiran buruk. Aku berharap, dimanapun dia saat ini semoga dalam keadaan baik-baik saja.***“Aku mau ke butik,” sahutku ketika Agnes menanyakan kegiatanku hari ini.“Oh, tapi sebelumnya kamu sarapan dulu, ya,” katanya sambil menunjuk area taman.Aku mengangguk dan kembali merapikan penampilan.Tanpa menunggu lama, aku segera menyusul gadis itu. Di meja tam

  • MARTA, cinta kedua   74.

    Cepat kucekal tangan Panji. Aku tidak mau ikut campur, tapi aku juga tidak mau Panji melakukan kesalahan. Cukup dua kali aku melihatnya berkelahi. Pertama dengan Pak Har, kedua dengan Arka.Sosok Aldi cepat masuk ke lobi. Seperti biasa, dia melempar senyum pada semua yang ada di ruangan ini.“Kamu bukannya masuk pagi, May? Ngapain nongkrong di sini?“ tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah.“Kamu kemana aja?“ pancing Maya.“Ini kenapa pada heboh nanyain aku, sih? Berasa artis, deh,” kekehnya pelan.Panji semakin menengang. Semakin kuat pula cekalan tanganku di lengannya.“Ta, dosa, loh, ngegandeng laki lain.“ Aldi masih sempat menggodaku.Kepala ini berdenyut, sikapnya tidak menunjukkan jika dia baru saja membawa kabur anak orang.Kulirik Panji, lelaki itu sangat terlihat sulit menahan diri.“Di, dari mana aja kamu? Sesore ini kita kalang kabut nyariin. Ponsel kamu juga nggak aktif!“ Agnes tiba-tiba datang dan memberondongnya dengan pertanyaan.“Pulang kerja tadi langsung mancing, pons

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status