Share

5. Tunangan Raina Datang

Seperti mayat hidup. Mata cekung dan dihiasi lingkaran hitam, rambut tergerai berantakan. Memeluk tubuh sendiri sehari semalam.

Hingga pagi Mas Akmal tidak pulang. Dan sampai ketika senja datang tepat waktu suamiku tetap tak datang. Mungkinkah dia tak ingat jalan pulang?

Suara gedoran pintu ku abaikan. Tentu bukan suamiku yang datang. Suamiku sedang asyik berkumpul dengan Raina dan calon anak mereka.

Kenapa? Kenapa Raina bisa hamil sedang aku tidak! Kenapa Raina?

Jika saja itu perempuan lain, mudah bagiku untuk memukul, menendang, menjambak, atau melemparkan kotoran di wajahnya. Tapi kenapa harus Raina?

Raina yang dari kecil selalu bersama denganku. Raina yang berdua bersamaku menghadapi kepergian orang-orang tercinta. Raina yang saling bertukar bahu denganku, untuk saling menopang saat kesedihan bertubi datang di masa lalu.

"Marta … aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!" Suara itu tak asing meski jarang ku dengar.

Panji. Ya, itu suara Panji, tunangan Raina.

Dengan susah payah aku bangun dan berusaha mencapai pintu depan.

Saat pintu berhasil kubuka, aku menemukan sosok kekar dibalut jaket kulit.

Panji tercengang melihat kondisiku. Aku hampir jatuh, beruntung tanganku cukup kuat menahan dengan bertumpu pada pintu. Panji urung menangkapku.

"Kamu sakit?" Pertanyaan bodoh yang aku dengar dari seorang pengusaha muda.

"Masuk," ucapku lirih. Aku berusaha menjangkau sofa terdekat. Panji siaga di belakangku, menjaga tanpa menyentuh.

Matanya terus mengawasiku. Aku yang berantakan, mungkin terlihat sangat aneh. Lama kami berdua terdiam.

"Aku boleh ke dapur?" Panji meminta ijinku. Ku anggukkan kepala. Mungkin dia merasa haus, aku sebagai tuan rumah tak bisa menjamunya dengan baik. Biarlah dia mencari sendiri apa yang dia butuhkan. Toh sudah beberapa kali dia berkunjung kemari bersama Raina.

Ah, Raina lagi. Entah kenapa tiap kali mengingat Raina, hatiku semakin sakit.

"Kapan terakhir kali kamu makan?"

Tiba-tiba Panji muncul. Mungkin dia tidak menemukan apapun di dapur. Kalaupun ada, mungkin nasi dan kuah mie basi yang ditinggalkan Mas Akmal.

Aku menggelengkan kepala. Panji meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja. "Minum," perintahnya.

Panji mengeluarkan smartphone dari saku jaketnya. Kemudian asyik dengan benda itu. Aku meraih teh hangat, dan menyesapnya pelan. Seketika tenggorokanku merasakan aliran hangat dan meluncur turun dengan cepat.

Kami berdua hanya duduk, diam tanpa bicara.

Tak berapa lama kemudian ku dengar suara motor berhenti. Panji berdiri dan berjalan keluar.

"Di luar gelap, tolong tunjukkan saklarnya. Biar aku nyalakan lampu depan." Kalimat Panji sontak mengingatkan aku pada sosok pemalas yang sering lupa menyalakan lampu depan.

Aku menunjuk ke arah belakang pintu, di situ terdapat saklar lampu depan. Panji segera menyalakan lampu, kemudian kembali keluar menemui pengendara motor yang berhenti di depan rumahku.

Tak lama Panji masuk membawa kantong berlogo restaurant terkenal di kotaku.

"Maaf, aku lapar dan tuan rumah tidak punya apa-apa. Jadi terpaksa aku beli makanan." Ujarnya sambil membuka kantong dan mengeluarkan isinya.

Beberapa jenis makanan menggugah selera terhidang. "Ayo makan," ajaknya.

Aku menatap malas. Nafsu makanku hilang sejak kemarin.

"Ayo, kita habiskan makanan ini. Kita butuh tenaga ekstra."

Aku menatapnya heran, "maksud kamu?"

"Ya, kita harus banyak makan, biar kuat menghadapi kenyataan."

Kata-kata Panji membuatku tersenyum pahit. Benar, aku harus kuat. Aku harus bisa menghadapi kenyataan.

Dengan cepat aku mengambil beberapa jenis makanan sekaligus.

Tangan kananku terus menjejalkan makanan ke dalam mulut. Aku harus kuat. Aku harus kuat.

Bagaikan mantra kalimat itu ku ulang terus dalam hati. Tanpa terasa airmataku mengalir.

Biarlah orang melihatku bodoh dan lemah. Mereka mungkin belum pernah merasakan apa yang ku rasa. Wajar jika mereka menilaiku sebatas pengertian mereka. Aku tak peduli.

Panji menatapku dengan pandangan … kasihan. Mungkin aku terlihat sangat menyedihkan.

"Ta, setelah ini selesai kamu ikut aku ya?"

Aku menghentikan suapanku. Mulutku penuh, dan aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Entah pertanyaan atau pernyataan. Aku malas berpikir.

"Kamu harus pergi dari sini. Kamu cukup berharga untuk disakiti."

Ucapannya yang pelan, entah kenapa kembali mengingatkanku pada kesakitanku.

Otakku kosong. Setiap kata yang ku dengar seolah berdengung, aku harus pergi. Aku disakiti. Aku harus pergi. Aku disakiti.

Aku pergi. Aku sakit. Sakit.

Panji kembali menatapku. Tajam. Auranya sangat kuat. Aku seolah tak bisa mengatakan tidak.

Sekelebat hatiku mengatakan, jika aku pergi, apa bedanya aku dengan Mas Akmal. Namun segera ku tepis. Aku memang harus pergi. Tak mungkin aku menunggunya di rumah ini.

Bagaimana mungkin aku begitu bodoh menunggu kedatangan Mas Akmal. Bukankah saat ini dia sedang bahagia mendamping Raina, dan calon bayi mereka.

"Ayo berkemas. Kita segera pergi."

Aku menatap ke dalam mata Panji. Tak ku temukan apapun.

Gamang, haruskah aku ikut bersama dengannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status