Semalaman aku dan Panji duduk di sofa ruang tamu. Tanpa bicara, masing-masing sibuk dengan hati dan pikiran.
Nyatanya ketika fajar menyingsing Mas Akmal tak juga muncul di balik pintu.
Aku pun segera berkemas. Membawa beberapa potong pakaian. Dan tanpa kata Panji mendahuluiku masuk ke dalam mobil.
Ini pertama kalinya aku pergi jauh tanpa suamiku. Perjalanan panjang ke kota tempat tinggal Panji. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana, dan tentu saja bersama dengan Raina dan Mas Akmal.
Sepanjang jalan aku memeluk tubuh Mas Akmal. Dan suamiku tetap berkonsentrasi mengendarai motornya, meski sesekali satu tangannya menggenggam tanganku yang melingkari pinggangnya.
Mas Akmal, kenapa sakit ini kau hadiahkan untukku?
Aku melirik ke arah Panji. Lelaki pendiam itu tak sedikitpun mengeluarkan kata. Separuh perjalanan kami lewati dalam diam. Akupun masih enggan untuk bicara. Mulutku terasa pahit.
"Aku lapar. Kita berhenti sebentar." Kalimat pertama yang Panji keluarkan. Entah itu pernyataan atau ajakan. Aku hanya menjawab dengan anggukan.
Mobil berhenti tepat di depan sebuah warung makan sederhana.
"Kamu bisa makan apa saja kan?"
"Ya."
"Oke, kita makan."
Panji membuka sabuk pengaman dan segera keluar dari mobil. Dengan enggan aku mengikutinya keluar.
Selesai makan kami kembali melanjutkan perjalanan. Dari rumahku ke kota tempat tinggal Panji membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh jam perjalanan.
"Tidurlah, perjalanan masih jauh." Suara Panji ku dengar setelah mobil kembali melaju.
Aku tak tau kenapa setiap ucapan Panji seolah mengandung mantra yang harus ku turuti. Dan benar saja, tak butuh waktu lama aku tertidur pulas.
***
Aku terbangun, dan sendirian di dalam mobil. Mataku memandang keluar jendela mobil. Kulihat sebuah rumah minimalis di depanku. Rumah orangtua Panji.
Ada keraguan yang menahanku untuk turun. Entah bagaimana tanggapan keluarga Panji tentang nasib malang yang menimpa kami berdua.
Pintu rumah itu setengah terbuka, seolah pemilik rumah mempersilahkan aku untuk masuk kapan saja. Kurapikan rambut, dan ku usap wajahku dengan tisu basah. Bagaimanapun aku tak boleh berkunjung dengan keadaan berantakan bukan?
Dari dalam rumah muncul seorang perempuan, langkah kakinya menuju ke arah mobil. Aku segera membuka pintu, dan dengan sedikit ragu menatap ke arahnya.
"Selamat malam Tante," sapaku.
"Marta …?" Pelukan hangat langsung ku dapatkan.
"Lama sekali kamu nggak mengunjungi Tante. Panji memang keterlaluan. Sudah tante bilang suruh gendong kamu ke dalam. Eh, dia malah langsung makan."
Tante Nina, mama Panji, tak berubah. Dia menyambutku dengan hangat. Aku digandeng masuk langsung menuju ruang makan.
"Mau bersih-bersih dulu atau langsung makan Ta?" Tanya Tante Nina. Di meja makan aku melihat Panji makan dengan lahap.
"Saya ijin mandi dulu Tante, badan lengket semua,"
Tante Nina mengangguk. Dia menunjukkan letak kamarku, di dalamnya terdapat kamar mandi.
Segera ku bersihkan badanku. Segar. Sedikit bebanku seakan luntur terbawa guyuran air.
***
Pagi ini aku terbangun dengan dada penuh sesak. Airmataku kembali berderai, mengingat hari-hari terakhir yang menguras emosiku.
Tak bisa ku bohongi, saat ini aku merasakan setitik rindu pada Mas Akmal. Lelaki yang telah menyakitiku, menggoreskan luka yang tak akan hilang selama hidupku.
Semalam aku tertidur setelah mandi, dan melewatkan makan malamku. Lelah karena sakit dihati, ditambah lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Memudahkan kantukku datang.
"Selamat pagi Tante, maaf saya bangun kesiangan," kataku lirih.
Tante Nina sudah menyiapkan sarapan untuk kami bertiga.
"Nggak papa Ta, kamu mengalami hari yang sulit. Maaf, Panji sudah cerita semuanya sama Tante."
Aku menunduk.
Aku dan Tante Nina baru akan menyuapkan nasi ketika Panji muncul.
"Semalam Akmal terus menghubungiku."
Aku urung mengunyah makananku saat mendengar kalimat Panji.
Ponselku mati sejak kemarin. Karena itu mungkin Mas Akmal menghubungi Panji.
"Dia tahu, kamu bawa Marta pergi?" tanya Tante Nina.
"Iya."
"Terus?"
"Hmm, dia ingin Marta kembali ke rumah. Ku suruh dia jemput kemari …,"
Panji menjeda ucapannya. Matanya menatapku tajam.
"Tapi dia bilang nggak bisa. Kondisi Raina sedikit mengkhawatirkan, menurutnya."
Lagi-lagi selera makanku hilang.
Raina. Raina. Raina.
Sejak kapan aku mereka curangi?
"Ta, Akmal masih suamimu. Tante nggak memaksamu untuk pulang, tapi paling tidak selesaikan masalah kalian saat kepalamu sudah dingin. Dan kamu Panji, jangan seenaknya bawa pergi istri orang."
Panji menunduk.
"Ma, aku …"
"Panji, biarkan Marta memilih jalan hidupnya. Kita boleh mendampingi, tapi jangan pernah sekalipun kamu mencampuri kehidupannya. Sekalipun ini juga tentang Raina."
Tante Nina menepuk pelan bahuku.
"Tante percaya, kamu bisa melewati ini dan bisa memilih jalan terbaik." Tukasnya.
Ya, tante Nina benar. Aku harus kuat. Aku tak bisa lari dengan beban bergelantungan di kedua kakiku. Aku hanya perlu membenahi hati, dan menyiapkan diri untuk menemui mereka berdua.
Raina dan suamiku. Dua mata pisau yang telah menusuk kedalaman hatiku.
Pulang adalah pilihan terakhir. Rumah ini terlihat sangat sepi. Namun, aku merasa setiap sudut tidak lepas dari sosok seorang Arka.Aku ingin menangis. Menikmati sesak yang semakin dalam menghujam.Rasa bersalah karena menyusupkan nama lelaki lain selain Arka, membuatku merasa jika Arka pantas melakukan ini padaku.Mungkin dia merasa, dalam hatiku belum sepenuhnya menerima dia.[Ka, pulang.] Tanpa sadar aku menulis pesan untuknya.[Aku kangen.] Entah kenapa kalimat singkat itu kuketik begitu saja.Tidak peduli kapan terbaca. Setidaknya aku berusaha mengungkapkan isi hati.Tanpa permisi, tiba-tiba saja kenanganku dengan Arka kembali datang. Awal pertemuan, lalu semua yang pernah kami lalui. Semua muncul tiba-tiba.Ada nyeri yang tiba-tiba menghujam. Saat bayangan pernikahan kami tertayang. Aku seorang istri. Namun, di hatiku masih belum bisa seutuhnya menerima. Masih ada nama lain yang tertulis indah, walau aku berusaha menghapusnya.Tidak. Aku tidak benar-benar menghapusnya. Aku hanya
Bodoh!Aku terus mengutuk kebodohanku sendiri. Sekarang, selain lemah dan tidak bisa apa-apa, cap apa lagi yang akan Panji sematkan untukku?Murahan?Ck!Aku meremas stang motor dengan kuat. Itu juga membuat laju motor semakin menggila.Tanpa peduli dengan apapun, aku terus melaju. Membiarkan angin menampar wajahku berkali-kali.Jalanan yang lengang di jam kerja membuatku merasa bebas. Mengumpat, memainkan gas dan melakukan apapun di atas kendaraan roda dua ini.Bahkan tanpa sadar aku berkendara semakin jauh. Bukan ke arah rumah Pak Har. Melainkan ke tempat sunyi yang pernah ku kunjungi.Saat ini aku hanya ingin sendiri. Menyepi, memuaskan diri merutuk juga mengutuk.Sendiri.Perjalananku berakhir di atas bukit, tempat yang pernah kukunjungi bersama Maya, Pak Haris dan juga Panji.Aku tetap duduk di atas motor. Mencoba mencari ketenangan di atas ketinggian.Suasana yang sedikit mendung, menyelamatkanku dari terik matahari.Pelan kulepas helm, dan meletakkan benda itu di gantungan yang
Kepalaku seperti berputar.Banyak kemungkinan dan bayangan buruk berjubel di sana.Jika benar perempuan itu Amel, berarti Arka menghamili gadis itu! Lalu, di mana mereka sekarang?Aku bergegas mengobrak abrik laci di meja Arka. Rasa marah begitu besar, hingga nafasku sesak.Arka brengs*k!!!Lelaki itu, apa maunya! Membuat seorang gadis hamil, lalu menikahiku? Gila!Apa dia dilahirkan oleh batu, hingga tidak bisa menjaga harga diri dan perasaan seorang perempuan?Umpatan masih terus bergaung di dalam hatiku. Sementara tanganku bergerak lincah mengeluarkan apa saja yang ada di dalam laci. Kertas, kain, alat gambar dan lain-lain.Tanpa kuduga, aku melihat selembar foto ikut terhempas. Penasaran kuambil dan mataku menyipit.Seorang anak laki-laki, tertawa lebar menghadap kamera. Sementara dua orang dewasa duduk mengapitnya. Keduanya merangkul anak itu dengan senyum mengembang.Ini Arka? Kernyitku saat mengamati foto itu lebih detail. Aku bahkan melihat pancaran rasa bahagia dari tiga soso
Jam sembilan kurang lima menit, terlihat sebuah motor berbelok dan berhenti di parkiran.“Mbak!“ Pengendara itu berteriak memanggil.“Ita,” sapaku. Perempuan itu membuka helm, lalu melepas jaket. Setelah mencabut kunci motor, dia bergegas turun dan menghampiriku.“Ngapain pagi-pagi nongkrong di situ?“ tanyanya heran.Aku tersenyum geli. “Nungguin kamu, Beb,” godaku.“Ih, geli!“ ucapnya sambil tergelak.Tangannya terlihat mencari sesuatu di tas. Tak lama, sebuah kunci yang sangat kukenal berhasil dia keluarkan.“Ini nggak dalam rangka sidak, kan?“ tanya Ita.“Enggak, aku cuma pengen main,” sangkalku.Ita membuka pintu utama butik. Aroma khas kain bercampur pengharum ruangan segera menyambutku. Suasana ruang display tidak ada yang berubah.“Mbak tunggu di ruangan Pak Bos aja, aku bersih-bersih dulu,” kata Ita yang sudah memegang alat kebersihan.Melihatnya, aku seperti kembali ke masa lalu. Hanya saja, dulu Bos galak itu memintaku datang lebih pagi dan membawakannya sarapan.“Mbak!“ Ita
Aku memutuskan tidur di penginapan bersama Maya. Nyaris semalam kami menunggu, kalau-kalau Amel muncul. Penantian yang sia-sia menimbulkan rasa lelah yang teramat sangat.Bertiga dengan Maya dan Agnes, kami berbagi tempat tidur. Beruntung pihak penginapan menyediakan ruang khusus untuk pegawai. Kondisi keuangan yang menipis, membuatku harus berhemat.Aku bahkan baru sadar, belum pernah menerima uang sepeserpun dari Arka.Arka, lelaki itu ikut menyedot pikiranku. Kemana dia? Apa mungkin dia berpikir aku masih di rah Pak Har? Karena itu tidak ada rasa khawatir di hatinya?Atau, jangan-jangan sesuatu terjadi padanya?Segera kuenyahkan pikiran buruk. Aku berharap, dimanapun dia saat ini semoga dalam keadaan baik-baik saja.***“Aku mau ke butik,” sahutku ketika Agnes menanyakan kegiatanku hari ini.“Oh, tapi sebelumnya kamu sarapan dulu, ya,” katanya sambil menunjuk area taman.Aku mengangguk dan kembali merapikan penampilan.Tanpa menunggu lama, aku segera menyusul gadis itu. Di meja tam
Cepat kucekal tangan Panji. Aku tidak mau ikut campur, tapi aku juga tidak mau Panji melakukan kesalahan. Cukup dua kali aku melihatnya berkelahi. Pertama dengan Pak Har, kedua dengan Arka.Sosok Aldi cepat masuk ke lobi. Seperti biasa, dia melempar senyum pada semua yang ada di ruangan ini.“Kamu bukannya masuk pagi, May? Ngapain nongkrong di sini?“ tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah.“Kamu kemana aja?“ pancing Maya.“Ini kenapa pada heboh nanyain aku, sih? Berasa artis, deh,” kekehnya pelan.Panji semakin menengang. Semakin kuat pula cekalan tanganku di lengannya.“Ta, dosa, loh, ngegandeng laki lain.“ Aldi masih sempat menggodaku.Kepala ini berdenyut, sikapnya tidak menunjukkan jika dia baru saja membawa kabur anak orang.Kulirik Panji, lelaki itu sangat terlihat sulit menahan diri.“Di, dari mana aja kamu? Sesore ini kita kalang kabut nyariin. Ponsel kamu juga nggak aktif!“ Agnes tiba-tiba datang dan memberondongnya dengan pertanyaan.“Pulang kerja tadi langsung mancing, pons