Share

6. Memilih Pergi

Semalaman aku dan Panji duduk di sofa ruang tamu. Tanpa bicara, masing-masing sibuk dengan hati dan pikiran.

Nyatanya ketika fajar menyingsing Mas Akmal tak juga muncul di balik pintu.

Aku pun segera berkemas. Membawa beberapa potong pakaian. Dan tanpa kata Panji mendahuluiku masuk ke dalam mobil.

Ini pertama kalinya aku pergi jauh tanpa suamiku. Perjalanan panjang ke kota tempat tinggal Panji. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana, dan tentu saja bersama dengan Raina dan Mas Akmal.

Sepanjang jalan aku memeluk tubuh Mas Akmal. Dan suamiku tetap berkonsentrasi mengendarai motornya, meski sesekali satu tangannya menggenggam tanganku yang melingkari pinggangnya.



Mas Akmal, kenapa sakit ini kau hadiahkan untukku?

Aku melirik ke arah Panji. Lelaki pendiam itu tak sedikitpun mengeluarkan kata. Separuh perjalanan kami lewati dalam diam. Akupun masih enggan untuk bicara. Mulutku terasa pahit.

"Aku lapar. Kita berhenti sebentar." Kalimat pertama yang Panji keluarkan. Entah itu pernyataan atau ajakan. Aku hanya menjawab dengan anggukan.

Mobil berhenti tepat di depan sebuah warung makan sederhana.

"Kamu bisa makan apa saja kan?"

"Ya."

"Oke, kita makan."

Panji membuka sabuk pengaman dan segera keluar dari mobil. Dengan enggan aku mengikutinya keluar.

Selesai makan kami kembali melanjutkan perjalanan. Dari rumahku ke kota tempat tinggal Panji membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh jam perjalanan.

"Tidurlah, perjalanan masih jauh." Suara Panji ku dengar setelah mobil kembali melaju.

Aku tak tau kenapa setiap ucapan Panji seolah mengandung mantra yang harus ku turuti. Dan benar saja, tak butuh waktu lama aku tertidur pulas.

***

Aku terbangun, dan sendirian di dalam mobil. Mataku memandang keluar jendela mobil. Kulihat sebuah rumah minimalis di depanku. Rumah orangtua Panji.

Ada keraguan yang menahanku untuk turun. Entah bagaimana tanggapan keluarga Panji tentang nasib malang yang menimpa kami berdua.

Pintu rumah itu setengah terbuka, seolah pemilik rumah mempersilahkan aku untuk masuk kapan saja. Kurapikan rambut, dan ku usap wajahku dengan tisu basah. Bagaimanapun aku tak boleh berkunjung dengan keadaan berantakan bukan?

Dari dalam rumah muncul seorang perempuan, langkah kakinya menuju ke arah mobil. Aku segera membuka pintu, dan dengan sedikit ragu menatap ke arahnya.

"Selamat malam Tante," sapaku.

"Marta …?" Pelukan hangat langsung ku dapatkan.

"Lama sekali kamu nggak mengunjungi Tante. Panji memang keterlaluan. Sudah tante bilang suruh gendong kamu ke dalam. Eh, dia malah langsung makan."

Tante Nina, mama Panji, tak berubah. Dia menyambutku dengan hangat. Aku digandeng masuk langsung menuju ruang makan.

"Mau bersih-bersih dulu atau langsung makan Ta?" Tanya Tante Nina. Di meja makan aku melihat Panji makan dengan lahap. 

"Saya ijin mandi dulu Tante, badan lengket semua,"

Tante Nina mengangguk. Dia menunjukkan letak kamarku, di dalamnya terdapat kamar mandi.

Segera ku bersihkan badanku. Segar. Sedikit bebanku seakan luntur terbawa guyuran air.

***

Pagi ini aku terbangun dengan dada penuh sesak. Airmataku kembali berderai, mengingat hari-hari terakhir yang menguras emosiku.

Tak bisa ku bohongi, saat ini aku merasakan setitik rindu pada Mas Akmal. Lelaki yang telah menyakitiku, menggoreskan luka yang tak akan hilang selama hidupku.

Semalam aku tertidur setelah mandi, dan melewatkan makan malamku. Lelah karena sakit dihati, ditambah lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Memudahkan kantukku datang.

"Selamat pagi Tante, maaf saya bangun kesiangan," kataku lirih.

Tante Nina sudah menyiapkan sarapan untuk kami bertiga.

"Nggak papa Ta, kamu mengalami hari yang sulit. Maaf, Panji sudah cerita semuanya sama Tante."

Aku menunduk.

Aku dan Tante Nina baru akan menyuapkan nasi ketika Panji muncul.

"Semalam Akmal terus menghubungiku."

Aku urung mengunyah makananku saat mendengar kalimat Panji.

Ponselku mati sejak kemarin. Karena itu mungkin Mas Akmal menghubungi Panji.

"Dia tahu, kamu bawa Marta pergi?" tanya Tante Nina.

"Iya."

"Terus?"

"Hmm, dia ingin Marta kembali ke rumah. Ku suruh dia jemput kemari …," 

Panji menjeda ucapannya. Matanya menatapku tajam.

"Tapi dia bilang nggak bisa.  Kondisi Raina sedikit mengkhawatirkan, menurutnya."

Lagi-lagi selera makanku hilang.

Raina. Raina. Raina.

Sejak kapan aku mereka curangi?

"Ta, Akmal masih suamimu. Tante nggak memaksamu untuk pulang, tapi paling tidak selesaikan masalah kalian saat kepalamu sudah dingin. Dan kamu Panji, jangan seenaknya bawa pergi istri orang."

Panji menunduk.

"Ma, aku …"

"Panji, biarkan Marta memilih jalan hidupnya. Kita boleh mendampingi, tapi jangan pernah sekalipun kamu mencampuri kehidupannya. Sekalipun ini juga tentang Raina."

Tante Nina menepuk pelan bahuku.

"Tante percaya, kamu bisa melewati ini dan bisa memilih jalan terbaik." Tukasnya.

Ya, tante Nina benar. Aku harus kuat. Aku tak bisa lari dengan beban bergelantungan di kedua kakiku. Aku hanya perlu membenahi hati, dan menyiapkan diri untuk menemui mereka berdua.

Raina dan suamiku. Dua mata pisau yang telah menusuk kedalaman hatiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status