Aku mematikan ponselku. Seharian aku duduk melamun di taman kota. Menghabiskan sisa airmata yang hari ini belum sempat mengalir.
Lelah. Lemah. Tak ada asupan yang masuk seharian ini. Aku memilih menggunakan taksi untuk mengantarku pulang.Halaman rumahku masih gelap. Namun ada nyala lampu dari dalam rumah. Kebiasaan Mas Akmal, selalu lupa menyalakan lampu depan. Berkali-kali aku mengingatkannya untuk menyalakan lampu. Dan Mas Akmal masih saja lupa.Senyum miris terukir di bibirku. Mas Akmal, setelah hari ini akankah kita masih bisa seperti dulu?Kubuka pintu ruang tamu. Sepi. Beberapa puntung rokok tersebar di atas meja. Pecahan cangkir kopi yang tadi pagi berserak sudah tak ada. Namun bekas percikan berwarna coklat masih setia menempel di lantai hingga tembok putih.Aku duduk di sofa. Benar-benar tak ada energi yang tersisa. Perutku mual. Seolah ada gelembung panas merambat dari perut menuju ke dada. Sakit.Kedua kaki kuangkat, aku meringkuk. Memeluk diriku sendiri. Nyatanya aku tak cukup kuat. Aku kalah. Airmata menitik pelan.Perutku semakin berulah.Pandanganku terhalang ribuan kunang-kunang sebelum semua berubah jadi gelap."Yang …, yang …," suara itu sayup ku dengar. Suara Mas Akmal.****Aku terbangun di kamarku. Tubuhku menggigil. Selimut tebal yang mengungkungku tak banyak membantu. Dingin, seiring ribuan jarum menancap di kepalaku.Tanpa sadar aku merintih. Gemerutuk gigi tak dapat kutahan."Yang …," suara Mas Akmal terdengar khawatir. Mungkin dia terbangun karena suara rintihanku."Dingin …," keluhku. Dan tubuh kekar itu seketika merapat kepadaku. Dengan pelan Mas Akmal memiringkan tubuh lemahku untuk membelakanginya. Tak butuh waktu lama punggungku menghangat. Dada bidangnya menempel sempurna di bagian belakang tubuhku.Ku rasakan tangan Mas Akmal menyusup. Melewati bawah leher, dan menggenggam jemariku yang mengepal. Pelukannya sangat erat. Seolah tak ada hari esok untuk memelukku lagi.Aku tak mampu untuk menghindar. Hatiku menolak, tapi tubuhku butuh tempat bersandar."Yang, sebentar aku ambil air minum ya …," pamitnya. Dengan gerakan halus dia menjauh.Tak lama Mas Akmal kembali dengan segelas air putih hangat. Salah satu telapak tangannya terbuka. Mas Akmal duduk di samping tempat tidur."Ini garam, kamu telan buat menetralkan asam lambungmu," katanya sambil menyuapkan sejumput garam. Pelan dia membantuku bangun untuk minum air hangat yang dia bawa."Sehari ini kamu belum makan?" Pertanyaannya ku jawab dengan anggukan."Mau ku buatkan sesuatu?" Aku diam mendengar tawaran nya. Mas Akmal menghela nafas.Dia bergegas pergi entah ingin melakukan apa.Entah mengapa kali ini aku menikmati kecemasannya. Sesuatu yang sudah lama tak dia tunjukkan.Mas, tahukah kamu, aku rindu dan benci padamu. Sekuat tenaga aku mencoba menghilangkan bayangan Raina yang terbujur lemah di rumah sakit. Biarlah untuk malam ini Mas Akmal ku kuasai.Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.Selama ini aku tak pernah mempunyai teman dekat. Hanya Raina dan Mas Akmal yang mengisi hari-hariku.Agak lama baru kemudian Mas Akmal muncul dari balik pintu. Kedua tangannya membawa nampan berisi mangkuk dan piring yang masih mengepulkan asap."Aku tahu ini konyol, tapi hanya mie instan dan telur yang ku temukan."Dia meletakkan nampan di meja kecil samping tempat tidur. Lalu dengan cekatan membantuku duduk dan menyusun bantal untukku bersandar.Aku melihat apa yang dia bawa. Semangkuk mie rebus campur telur dan sepiring nasi putih."Aku suapin ya," pintanya. Dan beberapa sendok nasi dan kuah mie berhasil menghangatkan perutku. Di suapan berikutnya aku menolak. Mual kembali datang."Sudah dulu mas, mual."Mas Akmal tersenyum dan mengangguk."Mie nya aku habiskan ya? Aku juga lapar, hehehe,"Ucapannya barusan membuatku reflek mengulas senyum. Aku melihatnya menghabiskan sisa mie di dalam mangkuk.Dan disuapan terakhir tiba-tiba ponselnya berdering. Aku melihat ke arah jam dinding. Benda bulat itu menunjukkan pukul sebelas.Deringan ponsel kembali terdengar.Dengan isyarat dia minta ijin untuk mengangkatnya."Ya halo, saya sendiri.""......""A-apa? Oh, baik, … ya …, saya segera ke sana …."Raut wajah suamiku mendadak berubah panik."Kenapa?" tanyaku heran."Ehm … Raina …, Raina mencoba bunuh diri." Ucapnya dengan sedikit terbata. Kegelisahan tak bisa ditutupi."Yang, maaf aku … aku harus ke rumah sakit sekarang."Segera dia membereskan sisa makanan yang belum sempat habis. Dengan cepat dia membawa nampan keluar, dan kembali ke kamar dengan seteko air putih."Maaf Yang …, maaf …." Kecupan panjang mendarat di keningku.Airmataku tiba-tiba mengalir deras. Mas Akmal yang sudah mencapai pintu berbalik mendekat kembali padaku.Tangisku pecah di pelukannya.Ponselnya kembali berdering.Mas Akmal melepas pelukanku, dikecupnya seluruh wajahku."Maaf Yang …," rintihnya. Mas Akmal memejamkan mata sebelum kembali melangkah menuju pintu."Selangkah saja Mas keluar dari rumah untuk menemui Raina, Mas tak akan menemui Marta yang sama!"Aku berteriak.Mataku nyalang menatap punggung suamiku."Kamu tak akan berubah. Selamanya, kamu Martaku yang sama. Selamanya."Mas Akmal berucap tanpa menoleh. Tak lama kemudian kudengar suara motor menggerung. Entah kemarahan atau kehancuran yang dia hamburkan.Aku tergugu. Di kamar, sendirian. Segera ku hempas teko berisi air. Tangisku memecah hening.Aku meraih gelas, dengan sisa tenaga ku banting ke lantai. Mataku nyalang menatap pecahan gelas.Warasku diambang batas ….Seperti mayat hidup. Mata cekung dan dihiasi lingkaran hitam, rambut tergerai berantakan. Memeluk tubuh sendiri sehari semalam.Hingga pagi Mas Akmal tidak pulang. Dan sampai ketika senja datang tepat waktu suamiku tetap tak datang. Mungkinkah dia tak ingat jalan pulang?Suara gedoran pintu ku abaikan. Tentu bukan suamiku yang datang. Suamiku sedang asyik berkumpul dengan Raina dan calon anak mereka.Kenapa? Kenapa Raina bisa hamil sedang aku tidak! Kenapa Raina?Jika saja itu perempuan lain, mudah bagiku untuk memukul, menendang, menjambak, atau melemparkan kotoran di wajahnya. Tapi kenapa harus Raina?Raina yang dari kecil selalu bersama denganku. Raina yang berdua bersamaku menghadapi kepergian orang-orang tercinta. Raina yang saling bertukar bahu denganku, untuk saling menopang saat kesedihan bertubi datang di masa l
Semalaman aku dan Panji duduk di sofa ruang tamu. Tanpa bicara, masing-masing sibuk dengan hati dan pikiran.Nyatanya ketika fajar menyingsing Mas Akmal tak juga muncul di balik pintu.Aku pun segera berkemas. Membawa beberapa potong pakaian. Dan tanpa kata Panji mendahuluiku masuk ke dalam mobil.Ini pertama kalinya aku pergi jauh tanpa suamiku. Perjalanan panjang ke kota tempat tinggal Panji. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana, dan tentu saja bersama dengan Raina dan Mas Akmal.Sepanjang jalan aku memeluk tubuh Mas Akmal. Dan suamiku tetap berkonsentrasi mengendarai motornya, meski sesekali satu tangannya menggenggam tanganku yang melingkari pinggangnya.Mas
Sudah dua hari aku tinggal di rumah Tante Nina. Selama aku di rumah ibunya, Panji memilih menginap di apartemen miliknya. Laki-laki dingin itu hanya muncul saat jam makan. Benar-benar datang hanya untuk makan, kemudian pergi lagi.Sesekali aku mengaktifkan ponsel, dan selalu pesan dari Mas Akmal membanjir. Ia memaksa aku untuk pulang. Tak sekalipun aku membalas. Beberapa kubaca, dan sebagian besar ku abaikan.Tante Nina selalu memberiku semangat, menyalurkan energi positif hingga aku merasa lebih baik.Siang ini aku merasa butuh udara segar. Saat makan siang, aku meminta izin kepada Tante Nina untuk pergi keluar.Diluar dugaan, Panji mengajukan diri untuk mengantarku."Kamu nggak tahu jalan. Aku juga yang repot kalau kamu nyas
Seketika keringat dingin membanjiri tubuhku. Aku tak berani bicara, apalagi menoleh ke arah Panji.Aku menyesal, kenapa tadi tidak membawa ponselku. Paling tidak aku bisa menghubungi Tante Nina atau Reno. Ya, aku ingat pernah menyimpan nomor ponsel Reno. Hanya dua orang itu yang ku kenal di kota ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Jam digital di atas dashboard menunjukkan pukul tiga. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.Panji nampak santai, sesekali melirik ke arahku. Dan tentu saja perbuatannya itu semakin membuatku takut.Sebisa mungkin aku menyembunyikan ketakutanku. Orang yang ingin berbuat jahat akan semakin senang saat melihat calon mangsanya merasa terintimidasi.Jika tadi jalanan penuh pepohonan, sekarang pemandangan berubah drastis. Mataku disuguhi pegunungan gersang berbatu cadas. Entah aku ada dimana s
"Tante mendukung apapun keputusan kamu, Ta," tutur Tante Nina ketika aku menyampaikan maksudku untuk pulang.Sungguh aku tak pernah rela jika rumah peninggalan orang tuaku dijadikan tempat pernikahan orang yang telah menghancurkanku. Semakin terinjak harga diriku sebagai istri. Semakin terkikis cinta yang dulu begitu ku agungkan.Pesan yang dikirim ibu mertuaku seolah membuka kembali luka yang sedang berusaha ku tutup. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Tak adakah sedikit rasa bersalah, ataukah mereka pikir aku begitu mudah mengalah?"Ma, menurutku Marta masih butuh sedikit waktu lagi. Mama nggak ingat bagaimana kondisinya saat ku bawa kemari," tegas Panji."Tapi Ji, cepat atau lambat Marta tetap harus menyelesaikan masalahnya. Kalau dia tetap disini, keluarga Akmal han
Inikah bukti cinta yang selalu Mas Akmal gaungkan? Dia sampai rela bersimpuh di kakiku, dan meminta izin untuk pernikahannya yang kedua.Inikah buah kesabaran yang harus kutuai?Aku tak pernah menanam luka, tapi kenapa harus menuai air mata?Aku seolah tak berpijak. Tak peduli berapa lama suamiku bersimpuh."Akmal, jangan merendah di hadapan istri yang nggak bisa kasih kamu keturunan!" Ibu menarik tubuh Mas Akmal."Segera nikahi Raina, bahagiakan ibu. Bosan ibu mendengar ocehan orang. Biar kita buktikan kalau anak ibu bisa memiliki keturunan!" Ibu berteriak, kemarahan terlihat nyata.Jadi masih saja ini tentang anak yang tak kunjung hadir di rahimku, karena itu dia mencoba peruntungan dengan wanita lain?"Marta …, tolong biarkan Akmal menikahi Raina. Ibu janji, hanya sampai anak mereka lahir. Dan Raina sudah setuju memberikan anaknya untuk kalian. Ibu mohon …," tangis mertuaku te
Mas Akmal memandangku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sementara Panji, lelaki itu masih berdiri di depan pintu kamarku. Kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk."Kamu …," desis Mas Akmal."Kenapa?""Benar kata ibu. Kamu istri yang tak tahu diuntung," tandas Mas Akmal. Aku menatapnya heran."Maksudmu apa?""Aku berusaha mempertahankan kamu, walaupun ibu sering memintaku untuk mencari istri lagi, nyatanya kamu bukan cuma nggak bisa hamil. Kamu juga murahan! Baru berapa malam kita tidak tidur bersama, dan kamu sudah gatal untuk tidur dengan laki-laki lain, hah?"Merasa tak terima dengan ucapan Mas Akmal, aku mendekat dan langsung mendorong bahunya."Kamu pikir kamu apa? Kamu lebih baik dariku?""Sampai
Aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Saat membuka mata, aku berada dalam pelukannya. Dari jarak sedekat ini semakin tajam aroma alkohol tercium dari mulutnya. Tentu saja itu membuatku mual.Aku menggeser tubuhku pelan, berusaha menyingkirkan lengan yang menindih perutku. Laki-laki itu tertidur lelap setelah menyeretku ke dalam kamar. Dan menuntaskan hasratnya seperti binatang.Pelan aku bergegas beringsut ke kamar mandi. Membersihkan diriku secepat mungkin. Membasuh tubuh, mengacuhkan perih dari luka yang terlihat di beberapa tempat. Laki-laki yang dulu begitu lembut memperlakukanku telah berubah menjadi monster.Aku harus pergi dari rumah ini. Setidaknya sampai aku benar-benar bisa berdiri di atas kakiku. Beberapa surat penting ku masukkan ke dalam koper, menyusul baju-baju yang tak seberapa. Aku harus cepat sebelum laki-laki gila itu bangun.