Share

4. Putus Asa

Aku mematikan ponselku. Seharian aku duduk melamun di taman kota. Menghabiskan sisa airmata yang hari ini belum sempat mengalir.

Lelah. Lemah. Tak ada asupan yang masuk seharian ini. Aku memilih menggunakan taksi untuk mengantarku pulang.

Halaman rumahku masih gelap. Namun ada nyala lampu dari dalam rumah. Kebiasaan Mas Akmal, selalu lupa menyalakan lampu depan. Berkali-kali aku mengingatkannya untuk menyalakan lampu. Dan Mas Akmal masih saja lupa.

Senyum miris terukir di bibirku. Mas Akmal, setelah hari ini akankah kita masih bisa seperti dulu?

Kubuka pintu ruang tamu. Sepi. Beberapa puntung rokok tersebar di atas meja. Pecahan cangkir kopi yang tadi pagi berserak sudah tak ada. Namun bekas percikan berwarna coklat masih setia menempel di lantai hingga tembok putih.

Aku duduk di sofa. Benar-benar tak ada energi yang tersisa. Perutku mual. Seolah ada gelembung panas merambat dari perut menuju ke dada. Sakit.

Kedua kaki kuangkat, aku meringkuk. Memeluk diriku sendiri. Nyatanya aku tak cukup kuat. Aku kalah. Airmata menitik pelan.

Perutku semakin berulah.

Pandanganku terhalang ribuan kunang-kunang sebelum semua berubah jadi gelap.

"Yang …, yang …," suara itu sayup ku dengar. Suara Mas Akmal.

****

Aku terbangun di kamarku. Tubuhku menggigil. Selimut tebal yang mengungkungku tak banyak membantu. Dingin, seiring ribuan jarum menancap di kepalaku.

Tanpa sadar aku merintih. Gemerutuk gigi tak dapat kutahan.

"Yang …," suara Mas Akmal terdengar khawatir. Mungkin dia terbangun karena suara rintihanku.

"Dingin …," keluhku. Dan tubuh kekar itu seketika merapat kepadaku. Dengan pelan Mas Akmal memiringkan tubuh lemahku untuk membelakanginya. Tak butuh waktu lama punggungku menghangat. Dada bidangnya menempel sempurna di bagian belakang tubuhku.

Ku rasakan tangan Mas Akmal menyusup. Melewati bawah leher, dan menggenggam jemariku yang mengepal. Pelukannya sangat erat. Seolah tak ada hari esok untuk memelukku lagi.

Aku tak mampu untuk menghindar. Hatiku menolak, tapi tubuhku butuh tempat bersandar.

"Yang, sebentar aku ambil air minum ya …," pamitnya. Dengan gerakan halus dia menjauh.

Tak lama Mas Akmal kembali dengan segelas air putih hangat. Salah satu telapak tangannya terbuka. Mas Akmal duduk di samping tempat tidur.

"Ini garam, kamu telan buat menetralkan asam lambungmu," katanya sambil menyuapkan sejumput garam. Pelan dia membantuku bangun untuk minum air hangat yang dia bawa.

"Sehari ini kamu belum makan?" Pertanyaannya ku jawab dengan anggukan.

"Mau ku buatkan sesuatu?" Aku diam mendengar tawaran nya. Mas Akmal menghela nafas.

Dia bergegas pergi entah ingin melakukan apa.

Entah mengapa kali ini aku menikmati kecemasannya. Sesuatu yang sudah lama tak dia tunjukkan.

Mas, tahukah kamu, aku rindu dan benci padamu. Sekuat tenaga aku mencoba menghilangkan bayangan Raina yang terbujur lemah di rumah sakit. Biarlah untuk malam ini Mas Akmal ku kuasai.

Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.

Selama ini aku tak pernah mempunyai teman dekat. Hanya Raina dan Mas Akmal yang mengisi hari-hariku.

Agak lama baru kemudian Mas Akmal muncul dari balik pintu. Kedua tangannya membawa nampan berisi mangkuk dan piring yang masih mengepulkan asap.

"Aku tahu ini konyol, tapi hanya mie instan dan telur yang ku temukan."

Dia meletakkan nampan di meja kecil samping tempat tidur. Lalu dengan cekatan membantuku duduk dan menyusun bantal untukku bersandar.

Aku melihat apa yang dia bawa. Semangkuk mie rebus campur telur dan sepiring nasi putih.

"Aku suapin ya," pintanya. Dan beberapa sendok nasi dan kuah mie berhasil menghangatkan perutku. Di suapan berikutnya aku menolak. Mual kembali datang.

"Sudah dulu mas, mual."

Mas Akmal tersenyum dan mengangguk.

"Mie nya aku habiskan ya? Aku juga lapar, hehehe,"

Ucapannya barusan membuatku reflek mengulas senyum. Aku melihatnya menghabiskan sisa mie di dalam mangkuk.

Dan disuapan terakhir tiba-tiba ponselnya berdering. Aku melihat ke arah jam dinding. Benda bulat itu menunjukkan pukul sebelas.

Deringan ponsel kembali terdengar.

Dengan isyarat dia minta ijin untuk mengangkatnya.

"Ya halo, saya sendiri."

"......"

"A-apa? Oh, baik, … ya …, saya segera ke sana …."

Raut wajah suamiku mendadak berubah panik.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Ehm … Raina …, Raina mencoba bunuh diri." Ucapnya dengan sedikit terbata. Kegelisahan tak bisa ditutupi.

"Yang, maaf aku … aku harus ke rumah sakit sekarang."

Segera dia membereskan sisa makanan yang belum sempat habis. Dengan cepat dia membawa nampan keluar, dan kembali ke kamar dengan seteko air putih.

"Maaf Yang …, maaf …." Kecupan panjang mendarat di keningku.

Airmataku tiba-tiba mengalir deras. Mas Akmal yang sudah mencapai pintu berbalik mendekat kembali padaku.

Tangisku pecah di pelukannya.

Ponselnya kembali berdering.

Mas Akmal melepas pelukanku, dikecupnya seluruh wajahku.

"Maaf Yang …," rintihnya. Mas Akmal memejamkan mata sebelum kembali melangkah menuju pintu.

"Selangkah saja Mas keluar dari rumah untuk menemui Raina, Mas tak akan menemui Marta yang sama!"

Aku berteriak.

Mataku nyalang menatap punggung suamiku.

"Kamu tak akan berubah. Selamanya, kamu Martaku yang sama. Selamanya."

Mas Akmal berucap tanpa menoleh. Tak lama kemudian kudengar suara motor menggerung. Entah kemarahan atau kehancuran yang dia hamburkan.

Aku tergugu. Di kamar, sendirian. Segera ku hempas teko berisi air. Tangisku memecah hening.

Aku meraih gelas, dengan sisa tenaga ku banting ke lantai. Mataku nyalang menatap pecahan gelas.

Warasku diambang batas ….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mulia Putra
lebay ........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status