Bethany melebarkan matanya. Ia belum siap dengan hal baru yang ia dengar. Meski sangat membenci ibunya, kenyataan yang baru saja ia dengar membuatnya sangat terkejut sekaligus penasaran. "Awalnya, saya berpikir bahwa istri saya telah meninggalkan saya untuk bersama pria lain. Tapi, saya baru mengetahui bahwa ternyata istri saya telah meninggal ketika ia mengunjungi kembarannya di negara asalnya. Saya mengetahui hal ini saat melakukan pencarian untuk menemukannya ke New Jersey beberapa tahun lalu." "Lalu, apa maksudnya istri anda salah dikira sebagai ibuku?" "Wanita yang ditemukan tewas dalam kecelakaan bersama ayahmu adalah istri saya." "Apa anda melakukan tes DNA? Bukankah itu butuh persetujuan kami jika membongkar makamnya kembali?" "Tidak. Saya tidak melakukan hal itu." "Lalu, bagaimana anda yakin bahwa yang tewas itu adalah istri anda dan bukan ibu saya?" "Itu karena saya mengetahuinya dari orang ini." Pria itu memberikan sebuah kartu nama dari seseorang bergelar d
Bethany melihat cerminan dirinya sendiri pada kaca buram pintu lobby. Ia menyadari bahwa siang itu penampilannya sangat kacau dengan rambut diikat secara asal-asalan. Dengan rambut terangkat ke atas dan jaket tipis yang ia kenakan, tato ular di lehernya cukup terlihat meski dari jarak yang tidak terlalu dekat. "Kau Bethany Redwig, kan?" Bethany memandangi pria asing yang ada di hadapannya. Ia melihat sekeliling dan untung saja tidak ada orang di sekitar mereka. Ia memperhatikan pria itu lagi, pria yang usianya sudah matang sekitar lima puluh tahunan tapi masih terlihat gagah dengan rambut pirang. Siapa pun tahu bahwa dia bukan orang Amerika. Dia pasti keturunan Eropa. "Maaf, siapa anda?" tanya Bethany dengan sedikit waspada. "Saya Thomas Abellard. Bisa kita bicara sebentar?" "Apa kita saling mengenal?" "Kau mungkin tidak mengenalku. Tapi, saya sudah mencari-cari keberadaan kalian sejak dulu." Menyadari bahwa pria bernama Thomas itu membahas soal dirinya dan Bel
Alex dan Bethany berdiri di ambang pintu. Keduanya sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja mereka saksikan. Selain melihat banyaknya canvas di lantai dengan cat berhamburan, tatapan mereka terfokus pada satu lukisan besar yang tergambar pada tengah-tengah dinding yang tingginya sekitar tiga meter tersebut. Terlukis sebuah tengkorak dan seekor ular yang melilitnya. Alex sering mendatangi pameran lukisan yang diadakan oleh ibunya. Tapi, ia tidak pernah melihat lukisan yang di luar dari kebiasaan ibunya itu. Ibunya bahkan selalu melukis pemandangan alam yang menakjubkan. Ia tidak pernah terpikir bahwa ibunya dapat menggambar sesuatu yang menyeramkan seperti itu. Setelah cukup lama memandangi lukisan menyeramkan itu, keduanya mendengar suara beberapa orang yang mendekat ke studio tersebut. Alex dan Bethany dengan panik segera menutup pintu untuk bersembunyi. Bethany masih tidak mengerti kenapa mereka harus memasuki studio tersebut dan bersembunyi di sana. Dengan siga
Bethany masih memandangi cicin yang baru saja dipasangkan oleh Alex pada jari telunjuknya. Ia mengelus-elus batu permata berkilau di atas cincin tersebut sambil tersenyum. "Aku akan mengisi posisi yang lain begitu waktunya tepat," ucap Alex pelan sambil berbisik pada telinga Bethany yang mulai memerah. Bethany hanya terdiam, ia seperti merenungkan sesuatu dalam benaknya. "Apa kau tidak suka?" Bethany menggeleng lalu menatapnya. "Aku sangat menyukainya hingga membuatku ragu dengan diriku sendiri." "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu? Apa kau kecewa karena kau mengharapkan sesuatu yang lain?" "Tidak. Aku hanya sedang berpikir apakah aku pantas mendapatkan hal ini." "Kau lebih dari pantas. Jangan pernah memandang rendah dirimu. Kau adalah wanita paling luar biasa yang pernah kutemui." Alex mengelus-elus rambut Bethany dengan lembut. Beberapa saat kemudian, sang koki yang membuat seluruh hidangan lezat pada malam itu sudah berada di sana. "Ehem. Maaf mengganggu
Bethany masih shock dengan tindakan tak terduga itu. Meski diam-diam ia menyukainya, dengan kesadaran penuh ia terpaksa menghentikannya. "Alex, apa kau sudah gila? Kenapa kau tiba-tiba melakukan itu?" Alex tersenyum misterius sambil mengelap bibirnya sendiri dengan ibu jarinya. Bethany hanya menegak ludahnya sendiri melihat pemandangan itu. "Jangan salahkan aku, kau yang terlalu menggodaku." "Sejak kapan hanya memilihkan baju untuk seorang pria bisa dikatakan menggodanya?" "Sejak kau bersamaku." Alex kembali tersenyum, ia mulai membuka kancing kemejanya satu per satu dengan tatapan yang masih mengarah kepada kekasihnya. "Sampai kapan kau akan di sini? Apa kau juga akan membantuku mengganti baju?" Bethany langsung malu mendengar hal itu dan bergegas keluar dari ruang ganti tersebut. Meski masih sangat penasaran dengan tindakan Alex tadi, ia akan menahan diri untuk saat ini. Beberapa saat kemudian, Alex keluar dengan pakaian yang Bethany pilihkan sebelumnya. Warna
Sepanjang jalan menuju restoran James yang baru, Alex hanya fokus menyetir dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Suhu pendingin mobil sudah hampir menyamai suhu dingin cuaca di luar. Jejak roda mobil menjadi ukiran indah yang bertahan sesaat di tengah jalan raya bersalju sebelum akhirnya ditimpa dengan ukiran baru pada lalu lintas yang cukup padat malam itu. Tanpa sadar, Bethany tenggelam dalam nuansa malam yang ramai dengan gemerlap lampu kota New York yang seakan tidak pernah menjadi kota mati meski di malam hari. Bethany yang sejak tadi sadar akan perubahan suasana hati Alex sejak percakapan rahasianya dengan James tadi, akhirnya terpikir topik percakapan untuk membuat suasana menjadi cair. "Wanita tangguh yang sama sekali tidak pernah meliriknya." Alex memalingkan wajahnya sepersekian detik ke arah Bethany untuk memastikan bahwa Bethany sedang mulai mengajaknya bicara. "Apa yang baru saja kau katakan?" "Itu kalimat yang James bisikkan padaku di kantor polisi