Beranda / Romansa / MEET AISHA IN 1998 / Sebuah Gelenyar Rasa

Share

Sebuah Gelenyar Rasa

Penulis: Brata Yudha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-10 16:24:21

“Regaaa … astagfirullahaladzim!”

Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.

“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.

“Mau ke mana lagi?”

“Kan Ibu udah tahu.”

Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”

“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.

Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.

“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.

“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”

“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”

Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.

“Eeeh!! Malah jawab!”

Serbasalah, Rega memilih diam. 

“Kamu kan tahu, kejadian apa yang terjadi di ibukota kemaren? Ada penembakan, demo jadi kerusuhan. Tolonglah, Nak … jangan kamu ikut-ikutan lagi. Buat apa? Kalau kamu celaka gimana?” cerocos Bu Siti Marfu’ah. “Pikirin Ibu, kalau ada apa-apa sama kamu, nanti Ibu gimana?”

“Rega bisa jaga diri, Bu.”

“Bukan masalah jaga diri. Untuk apa kamu turun ke jalan? Berguna memang buat kamu? Buat keluarga?”

“Bu, mereka yang gugur itu harus diteruskan perjuangannya. Enggak dibiarin begitu aja.” Rega mendesah pelan. “Rekan-rekan pemuda, yang bersuara demi rakyat, terus kita abai gitu?”

Sebetulnya Bu Siti Marfu’ah enggan berdebat dengan Rega, terlebih perihal semacam ini. Bukannya Rega anak pembangkang, tetapi dia selalu memiliki argumen. Sang ibu menyadari, bahwa argumen Rega tidak bisa terpatahkan, karena memang benar. Hanya saja Bu Siti Mar’fuah berharap Rega lebih memikirkan masa depan ‘diri sendiri’.

“Hidup jangan dibuat pusing, Rega. Cukup punya tempat tinggal, makan, kerja yang nyaman, jangan cari masalah. Urusan begitu, bukan urusan kita.”

Lalu urusan siapa lagi? Batin Rega.

“Kita cuma rakyat kecil. Enggak usah ikut-ikutan apa yang dilakuin orang-orang gede di sana,” keluh Bu Siti Marfu’ah. “Orang-orang kayak kita, asal hidup tenang udah syukur.”

“Cita-cita Ibu, enggak akan bisa terwujud, kalau negara kacau balau,” ucap Rega. “Terus tanggung jawab negara, kelak ada di bahu para generasi muda, Bu. Kalau enggak dicegah dari sekarang, gak bakal ada negara yang nyaman buat penerus nanti.”

“Pikiran kamu kejauhan,” komentar sang ibu.

Rega paham, ibunya memiliki pola pemikiran yang sederhana. Namun, sebagai seorang pemuda yang cukup prihatin dengan kondisi negara sekarang, wajar jika hati Rega tergugah untuk ikut mengaspirasikan suara. 

Selama ini, banyak suara dibungkam. 

Apa hal itu harus terus berlangsung? Selamanya? Tidak bisa. 

“Bu, kalau negara ini banyak yang korupsi, kolusi sama nepotisme, mau jadi negara apa?” 

“Orang-orang itu nanti ketulah perbuatannya sendiri.”

“Iya, tapi kan, kalau dibiarkan? Bisa bikin negara kita keropos, toh mental-mental orangnya bobrok.”

“Kamu pikir dengan demo itu bisa mengubah negara?”

“Kalau semua rakyat yang bersuara, Bu. Kenapa enggak?”

Rega lalu beranjak berdiri, dan menyodorkan tangan pada Bu Siti Marfu’ah. Namun, sang ibu malah melipat tangan. Membuang muka, dengan cemberut. Menunjukkan kekesalannya.

“Bu, Rega mau berangkat. Rega minta restu Ibu, tolong doain Rega, supaya bisa pulang selamat.”

Rega itu keras kepala, Bu Siti Marfu’ah sudah tahu watak putranya. Anak lelaki satu-satunya yang memiliki prinsip kuat. Juga jiwa patriotik yang tinggi. Dibandingkan dengan pemuda seusia, yang lebih suka berkumpul-kumpul atau bermain, Rega sangat aktif di kampus. Dia juga suka membaca buku berbagai bidang ilmu, sosok pemerhati dan kritis.

Bu Siti Marfu’ah bangga, sekaligus takut. Kekhawatiran Bu Siti Marfu’ah cukup berdasar, jika Rega terlalu vokal, itu bukan sesuatu yang baik bagi masa depannya. Tidak sedikit ada kabar berita, orang-orang yang bersuara lantang, lantas lenyap. Entah ke mana rimbanya.

Namun, Bu Siti Marfu’ah takkan mungkin bisa meluluhkan hati putranya untuk hal yang satu ini. Dengan berat hati, Bu Siti Marfu’ah meraih uluran tangan Rega. 

“Hati-hati,” ucap Bu Siti Marfu’ah pelan.

“Rega berangkat, ya Bu?”

Bu Siti Marfu’ah mengangguk. “Jangan ngebut-ngebut kamu, Ga.”

“Iya, Bu. Enggak.”

Rega segera melangkah ke halaman lalu naik ke atas motor. Tak butuh waktu lama, pemuda itu sudah mengendarai motornya keluar dari rumah. Bu Siti Marfu’ah masih berdiri di teras, menatap cemas ke arah sosok sang anak yang kini sudah menghilang di belokan jalan.

Dalam hatinya Bu Siti Marfu’ah berkata, “Ya Allah, ini mungkin permintaan seorang Ibu yang terlalu sayang pada anaknya. Tapi, kalau bisa … jangan sampai Rega ikut demo. Biar dia pulang aja. Mau ban motornya bocor, selama dia selamat, semoga dia batal ikut demo.”

*

Rega mengendarai motornya agak terburu-buru, dia melirik pada jam tangan waktu menunjukkan pukul enam. Pukul tujuh dengan sedikit ngebut ia bisa tiba di Jakarta. Namun, tidak jauh dari hadapan Rega ada seorang pria paruh baya yang melambai-lambaikan tangan. Pemuda itu pun menghentikan kendaraan, lalu turun.

“Assalamualaikum, Pak Ustaz,” sapa Rega dia langsung mencium tangan sosok yang dihormatinya itu.

“Waalaikumsalam.” Pak Ustaz menatap Rega keheranan. “Mau ke mana pagi-pagi begini? Ke kampus? Nyubuh amat.”

Rega tersenyum kikuk. “Iya, Pak.”

“Ada ujian?” 

Rega langsung menggaruk-garuk belakang lehernya. “Enggak ada sih, Pak.”

Pak Ustaz paham, lalu mengangguk diplomatis sembari bertanya, “Mau ke gedung DPR?”

Mana mungkin Rega mengelak. Lagipula untuk apa berbohong, jika niat Rega untuk menegakkan kebenaran? Akhirnya ia mengangguk dengan mantap. “Iya, Pak. Mau berangkat ke sana,” jawabnya.

Hening sesaat di antara keduanya.

“Bapak enggak akan melarang. Kalau menurut kamu itu baik, dan kamu berjuang untuk suara rakyat,” ucap Pak Ustaz.

“Terima kasih, Pak.”

Hati Rega lega seketika. Dia mengira sikap Pak Ustaz tidak akan berbeda dengan sang ibu, tetapi rupanya guru mengaji Rega sejak kecil itu lebih mengerti. Situasi yang tidak terkendali sekarang, mungkin saja bisa membaik setelah pemerintah benar-benar mendengarkan apa yang diinginkan oleh rakyat. Itu salah satu hal yang ingin diperjuangkan oleh Rega.

“Sangat disayangkan dengan insiden beberapa hari lalu. Bapak juga benar-benar kaget dengernya. Masya Allah, sekarang keadaan jadi enggak terkendali,” ujar Pak Ustaz.

“Itu sudah jelas siapa yang salah, Pak. Karena itu, saya ke sana pun mau memperjuangkan keadilan untuk rekan-rekan yang gugur,” tegas Rega.

“Tenang, kamu jangan bertindak gegabah. Semua masih dalam penyelidikan, terlepas siapa yang salah atau benar.” Pak Ustaz berusaha untuk bersikap netral. “Akibatnya yang juga harus kita pikirkan, orang-orang menjadi lupa, dan lalai. Kamu harus ingat tujuan kamu itu apa.”

“Iya, Pak. Saya paham.”

“Kamu harus jaga diri baik-baik. Usahakan jangan terbawa sama emosi, Rega. Tetapi pakai akal sehat, ya?” nasihat Pak Ustaz.

“Baik, Pak. Saya pasti inget sama pesan, Bapak.”

“Jangan berhenti berzikir.”

“Iya, Pak Ustaz.”

“Ya sudah, hati-hati di jalan. Assalamualaikum,” tukas Pak Ustaz.

“Waalaikumsalam.”

Rega masih berdiri mematung sembari menunggu sosok Pak Ustaz melangkah lebih jauh. Ketika ia hendak naik ke atas motor, perhatian pemuda itu teralih ke arah depan rumah Pak Yono. Ada sosok asing yang tak pernah ia temui sama sekali.

Seorang wanita berpakaian yang tertutup dari ujung kepala hingga kaki, hanya menunjukkan bagian mata saja. Tampak sibuk menyapu dedaunan dan mengumpulkan di satu tumpukan dekat ujung pagar. 

“Siapa tuh?” gumam Rega tak sadar dengan ucapannya sendiri.

Setahu Rega, anak-anak Pak Yono masih kecil. Keluarga mereka juga jarang ada tamu atau kerabat. Tiba-tiba ada wanita lain, dengan pakaian yang sebetulnya agak mencolok karena serba tertutup begitu, justru membuat Rega menjadi penasaran.

Tiba-tiba terdengar suara derakan yang cukup keras, Rega otomatis mendongakkan kepala ke atas dan melihat pelepah daun kelapa yang hampir jatuh. Entah wanita itu sadar atau tidak, tetapi pelepah daun itu berada di atas kepalanya. 

Suara derakan terdengar lagi. Tanpa banyak pikir, Rega langsung berlari ke arah wanita itu. Ia berteriak keras, “Awas!!!”

Tubuh sang wanita berada dalam rengkuhan Rega, dan keduanya langsung jatuh ke permukaan tanah. Daun pelepah kelapa jatuh bersamaan, pada sebelah kaki Rega. 

“Aduh,” erang Rega.

Pemuda itu tersentak kaget, karena tengah memeluk seorang wanita yang memejamkan mata. Entah kenapa, meski pakaiannya serba tertutup, wanita itu membuat gelenyar rasa yang berbeda di batin Rega.

Wanita itu adalah Phey, yang tengah menyapu dan tidak sadar ada bahaya jika Rega tak menolong. Mata Phey pun terbuka.

Mata yang cantik, begitu kesan yang Rega rasakan. Mata yang tiba-tiba saja membius dan membuat pemuda itu terpaku.

“Kamu enggak apa-apa?” tanya Rega, ketika tersadar.

Phey bertindak impulsif, langsung mendorong tubuh laki-laki yang tengah memeluknya dengan sekali sentak yang sangat kuat. 

“Aduh, duh, duh ….,” erang Rega lagi.

Tubuh Phey gemetar, dia benar-benar ketakutan. “TOLOOONG!!!” jeritnya.

“Eh, kenapa? Hei, hei!” Rega kebingungan sendiri.

Padahal Rega hanya menolong Phey, tidak berbuat yang macam-macam atau mengganggu. Namun, reaksi dari Phey justru seolah-olah Rega tengah menyakitinya.

“Saya enggak apa-apain kamu!” seru Rega panik.

“TOLOOONGG!!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
jiwa prationalisme rega kuat sekali ya dia malah mau ke Jakarta mengeluarkan aspirasinya dan membantu sesama duh bu siti marfuah pasti ketar ketir banget anaknya kejakarta
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
hahahaha kasihan Rega niatnya nolongin Phey malah si Phey nya teriak pasti bakal ngundang warga berkerumun ............. Siti Marfu'ah sumpeh yeee itu bukan nama panjang ku itu nama ibu nya Rega ............️...️
goodnovel comment avatar
Qianas Shopp
Nah kan Rega ga mau dengar apa kata ibu jadinya gtu dapat peringaatan kecil. Phey jangan teriak2 entar pada salah paham ya Rega cuman berusaha nolongin kamu aja kok ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MEET AISHA IN 1998   Akhirnya Bertemu Lagi

    “Kenapa ya, kamu ini malah pergi ke tempat-tempat yang bahaya?” keluh Bu Siti Marfu’ah.Perempuan itu tampak sudah pasrah melihat Rega sudah bersiap-siap untuk pergi ke ibukota, karena siangnya ia akan bertolak ke Aceh bersama rombongan relawan. Selang dua hari setelah menghubungi rekan-rekan almamater kampus, Rega dan Pak Mangara ikut dalam rombongan relawan.“Bahaya apanya, Bu? Di sana kan justru banyak orang butuh bantuan.”“Kita gak tahu kalau gempa susulan nanti datang, gimana?”“Doain Rega yang baik-baik, Bu. Dateng ke sana baik-baik aja, pulang pun selamat. Setuju?”“Terserah kamu aja lah.”Pergi ke Aceh bersama relawan, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bu Siti Marfu’ah pada awalnya. Namun, saat Rega mengatakan dia harus ke sana, karena mendampingi atasan, akhirnya mau tidak mau Bu Siti Marfu’ah melepaskan izin. Tetap saja Bu Siti Marfu’ah selalu memberikan mimik wajah khawatir berlebih, sebelum Rega benar-benar berangkat.“Berapa lama kamu di sana?” tanya sang ibu. “Engg

  • MEET AISHA IN 1998   Kabar Genting

    Aisyah.Nama itu terus terngiang-ngiang di batin Rega, saat semalam Bu Siti Marfu’ah menyebut lagi. Tidak ada pembicaraan panjang setelah itu, karena Rega langsung pergi ke masjid. Menghindar, iya. Akan tetapi, dia juga tak mau dituduh terus memupuk harapan tak pasti pada sosok bernama Aisyah selama bertahun-tahun.Rega tidak memungkiri, bahwa dia tidak melupakan Aisyah.Sosok Anchie Phey yang sudah mengikrarkan hatinya untuk menjadi muslimah. “Rega!” Pintu kamar setengah digedor dari luar. “Kamu tidur lagi abis Subuh, heh?”“Enggak, Bu.” Rega membuka pintu kamar, dan melihat sosok sang ibu sudah berdiri di depan sana. Salah satu tangannya menenteng rantang dari bahan stainless. “Ini Syafa bawain sarapan. Cepet, kita makan dulu.” Bu Siti Marfu’ah langsung meletakkan rantang ke atas meja. “Kamu ajakin Syafa masuk, biar kita makan sama-sama.”“Ibu aja lah. Rega mau keluar ini.”“Lho? Mau ke mana?”“Olah raga!”Karena tidak mau dipusingkan oleh masalah percintaan, Rega bergegas keluar

  • MEET AISHA IN 1998   Sosok pengganti Aisha

    Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Rega, sehingga pemuda yang sedang mendengarkan musik dari pemutar MP3 itu tersentak kaget. Rega menoleh dan melihat sosok pemuda lain berambut plontos duduk di sampingnya.“Tapa terus,” komentar pemuda itu sembari terkekeh pelan.“Dengerin lagu,” balas Rega enteng.“Eh, dengerin tuh nasihat orangtua. Bukan lagu.”“Orangtua yang mana? Yang lo denger aja nasihat orangtua botolan.”“Anjir, setan!”Pemuda itu tergelak keras. Namanya Robby, satu almamater dengan Rega. Mereka sama-sama mengambil lanjutan advokasi, dan magang di kantor advokat yang sama. Robby dan Rega memiliki sifat yang bertolak belakang. Rega lebih cenderung diam, sedangkan Robby ke mana-mana antara membuat suasana heboh atau kacau. Akan tetapi, mereka selalu kompak. Bahkan orang-orang di kantor advokat, selalu menganggap keduanya “partner in crime”. Yang sebetulnya, Rega amit-amit dalam hati.“Makan dulu, lah. Biar otak lancar,” celetuk Robby.Dia memesan sepiring ketoprak di mana t

  • MEET AISHA IN 1998   Rasa sakit karena cinta

    Matahari sudah menggeliat bangun dari peraduan, dan sinarnya mulai memasuki celah jendela. Phey duduk dengan tenang di teras, menunggu Pak Yono memanaskan mobil, dan setelah itu mereka segera kembali ke ibukota.Kali ini Phey siap pergi tanpa rasa gundah, dia sudah benar-benar tenang.Bahkan merasakan bahagia.“Non Phey, itu kok gak diminum teh manisnya? Nanti keburu dingin,” tunjuk Bu Puji pada secangkir teh yang ia suguhkan di meja, dan belum disentuh sama sekali. Wajah perempuan itu tersembul dari balik pintu.“Mau kok, Bu. Ini tunggu nasinya turun, saya kekenyangan. Abis nasi goreng buatan Ibu enak banget, sampai nambah.”“Aduh, cuma nasi goreng, apa enaknya? Non Phey ini suka berlebihan aja, ah.”“Bu, sekarang nama saya jadi Aisyah. Jangan panggil Phey lagi.” Phey terkekeh pelan.Aisyah.Itu nama yang Phey pilih setelah mengikrarkan syahadat. Meski butuh waktu untuk membuat orangtuanya menerima pilihannya kelak, tetapi Phey sudah bertekad untuk mengubah identitas. “Oh iya, Non A

  • MEET AISHA IN 1998   Menjemput hidayah

    Phey masih berdiri mematung di depan rumah Bu Siti Marfu’ah, bingung karena rencana yang telah dibayangkan mendadak buyar. Kata tetangga Bu Siti Marfu’ah sedang pergi bersama ibu-ibu pengajian ke Banten, sejak pagi tadi. Lalu Rega ke kampus, dan entah pulang kapan. Bahkan menurut penuturan tetangga, Rega sering pulang larut malam.“Gimana, nih?” gumam Phey pelan sembari mengembuskan napas berat.Meski kecewa, akhirnya Phey putuskan kembali ke kediaman Pak Yono. Jika memang ia tidak bisa bertemu dengan Rega, maka memang itu yang harus ia terima dengan lapang dada. Namun, baru saja hendak melangkah, Phey melihat sebuah motor mendekat, dan suara derumannya ia kenali betul.Motor Rega!Laju motor melambat, dan berhenti di hadapan Phey. Wajah Rega tidak bisa berbohong, dia begitu terkejut melihat gadis pujaannya ada di sana. Bergegas Rega turun dari motor, membuka helm dan menghampiri Phey. Dia tidak berkata satu patah kata pun. Dalam hatinya, Rega ragu. Teringat akan permintaan Bu Siti M

  • MEET AISHA IN 1998   Berdiskusi dengan Ustaz

    Perbedaan keyakinan itu seperti dua sisi mata pedang. Jika tidak berhati-hati, maka salah satu akan tersakiti. Maka tidak sedikit yang memberi petuah bijak, baiknya tetap mencari sosok yang satu iman. Bahkan satu keyakinan pun, belum tentu memiliki visi dan misi yang beriringan. Apalagi jika berbeda?“Kita sendiri tahu, beda umur yang jauh bisa jadi gunjingan orang. Menikahi duda atau janda, bisa dicibir juga. Mau enggak mau, kita enggak bisa menutupi penilaian orang-orang, Rega,” ujar Pak Ustaz.“Ya, kan tinggal gak perlu digubris, Pak. Yang menjalani rumah tangga, justru yang mau menikah, kan?”“Terus kamu enggak hidup di dalam masyarakat memangnya?” Pak Ustaz terkekeh. “Harus siap mental, Rega. Karena kita ini hidup di budaya yang ragam, masyarakat plural juga.”Kembali Pak Ustaz menjelaskan pada Rega secara hati-hati. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa yang berbeda bisa menjadi satu. Tetap saja, ada yang dikorbankan. Karena masing-masing keyakinan percaya, bahwa agama yang seb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status