Share

Sebuah Ide

Penulis: Brata Yudha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-10 16:16:23

Mendengar pertanyaan Phey, Pak Yono tersentak kaget, begitu juga dengan istrinya yang sedang menata hidangan di meja makan. Pak Yono tidak bisa menahan lagi, akhirnya derai tawa laki-laki itu terdengar di seantero ruangan.

“Ya Allah, Non Phey,” ucap Pak Yono masih berusaha untuk mengendalikan tawa.

“Siapa, Pak? Pasti Bu Hamidah, ya?” tanya sang istri.

Pak Yono mengangguk. “Iya, Bu Hamidah.”

Bu Puji menghampiri Phey, lalu mempersilakan gadis itu untuk makan. Belum ada jawaban maupun penjelasan dari Pak Yono maupun istrinya, sehingga Phey menurut, dan duduk di meja makan. Dia masih menatap bergantian pada Pak Yono juga istrinya.

“Ini supaya Non Phey paham, ya? Ibu Hamidah itu enggak sakit, dia sehat walafiat,” kata Pak Yono.

“Tapi kenapa bajunya seperti itu? Memang supaya apa bajunya tertutup semua?” tanya Phey. Dia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut, lalu bergegas mengunyah dan menelan cepat-cepat. “Enggak kepanasan apa, ya? Kan gerah kalau pakai baju hitam mana tertutup semua.”

“Ada pepatah bilang, Non. Pakai hijab itu, melindungi perempuan dari panas api neraka,” seloroh Bu Puji. “Saya juga kalau keluar rumah pakai hijab.”

“Tapi, pakai yang ditutup sampai semua wajah begitu, Bu? Cadar, kan?” tanya Phey.

“Oh, kalau saya enggak semua. Kan hukumnya enggak wajib. Kalau mau pakai boleh,” jawab Bu Puji.

Rasa penasaran Phey masih berlanjut. “Terus supaya apa pakai cadar?”

“Supaya dijauhi dari fitnah.” Senyum simpul ditunjukkan oleh Bu Puji.

Jujur, Phey tidak paham apa maksudnya. Fitnah seperti apa? Seperti yang terjadi dengan keluarganya sekarang? Terkena fitnah, imbas dari kerusuhan? Pikiran Phey bergelut dengan berbagai pertanyaan.

“Itu namanya niqab, Non,” kata Pak Yono. “Zaman nabi dulu, dipakai untuk menutupi wajah supaya enggak kena pasir. Kan perempuan-perempuan di sana, hidup di gurun pasir.”

Phey mendengarkan penjelasan Pak Yono dengan saksama.

“Ya, dibawa ke sini fungsinya juga sama buat melindungi diri. Meski di sini enggak ada pasir, tetapi pakai niqab juga buat mencegah pandangan laki-laki lain. Kalau yang udah nikah, untuk jaga hati suami biar enggak cemburu, karena wajah istrinya dilihat laki-laki lain,” jelas Pak Yono.

“Ibu, kenapa enggak pakai niqab?” tanya Phey tiba-tiba.

Bu Puji terkekeh. “Kan enggak wajib, Non. Kecuali, si Bapak tiba-tiba cemburuan, ya udah … Ibu pakai aja, supaya Bapak enggak cemberut kalau Ibu pergi ke pasar.”

Pak Yono terkekeh pelan. “Enggaklah. Bapak sih, gimana Ibu.”

“Anak-anak pada ke mana?” tanya Pak Yono, tersadar kedua putra-putrinya tidak ada di rumah.

“Tadi waktu Bapak ke kantor RT, mereka diajak tetangga sebelah, ke kenduri kampung seberang,” jawab sang istri.

“Oh, iya-iya.” Pak Yono mengangguk-angguk, mengiyakan. 

“Ke kantor RT, ada apa, Pak?” tanya Phey.

“Bilang kalau saya ada saudara jauh yang tinggal sementara di sini. Non Phey, maksudnya,” jawab Pak Yono. “Kan harus lapor.”

Tamu wajib lapor 2x24 jam, itu prosedur yang memang sudah menjadi standar di mana-mana. Phey hanya mengangguk singkat.

“Tapi, sementara ini … saya minta Non jangan keluar rumah dulu, ya? Karena, di sini pun mulai menyebar kondisi genting dari ibukota,” tambah Pak Yono.

“Jadi enggak aman?” tanya Phey dan dia mulai ketakutan.

“Aman, Non. Cuma, baiknya Non Phey jangan sering-sering kelihatan dulu sama orang sini,” kata Pak Yono. “Mohon maaf, soalnya Non Phey kan kelihatan berbeda dari orang-orang kampung saya.”

Phey paham, ini tidak jauh dari kondisi fisik yang ia miliki. Phey tidak bisa memilih, harus terlahir dari siapa. Tidak ada keturunan Adam-Hawa yang bisa memilih siapa orangtuanya, seperti apa hidupnya. Hanya saja, setelah kerusuhan terjadi, ada rasa sedih bersarang di hati Phey. Kenapa ia harus dianggap berbeda? Kenapa harus dia yang mengasingkan diri?

Sedangkan Phey, tidak mau hidup terkekang karena keadaan. Mungkin ada jalan, agar Phey tidak merasa terpenjara dalam pengungsiannya.

Melindungi diri.

Dua kata itu terngiang terus di benak Phey selama waktu sarapan bersama itu. Entah mengapa, Phey merasakan harus melakukan sesuatu. Ada gagasan yang terus ia pikirkan, dan sepertinya harus segera ia realisasikan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Qianas Shopp
Ada ada aja Phey... Keinginan tahuannya tinggi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MEET AISHA IN 1998   Akhirnya Bertemu Lagi

    “Kenapa ya, kamu ini malah pergi ke tempat-tempat yang bahaya?” keluh Bu Siti Marfu’ah.Perempuan itu tampak sudah pasrah melihat Rega sudah bersiap-siap untuk pergi ke ibukota, karena siangnya ia akan bertolak ke Aceh bersama rombongan relawan. Selang dua hari setelah menghubungi rekan-rekan almamater kampus, Rega dan Pak Mangara ikut dalam rombongan relawan.“Bahaya apanya, Bu? Di sana kan justru banyak orang butuh bantuan.”“Kita gak tahu kalau gempa susulan nanti datang, gimana?”“Doain Rega yang baik-baik, Bu. Dateng ke sana baik-baik aja, pulang pun selamat. Setuju?”“Terserah kamu aja lah.”Pergi ke Aceh bersama relawan, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bu Siti Marfu’ah pada awalnya. Namun, saat Rega mengatakan dia harus ke sana, karena mendampingi atasan, akhirnya mau tidak mau Bu Siti Marfu’ah melepaskan izin. Tetap saja Bu Siti Marfu’ah selalu memberikan mimik wajah khawatir berlebih, sebelum Rega benar-benar berangkat.“Berapa lama kamu di sana?” tanya sang ibu. “Engg

  • MEET AISHA IN 1998   Kabar Genting

    Aisyah.Nama itu terus terngiang-ngiang di batin Rega, saat semalam Bu Siti Marfu’ah menyebut lagi. Tidak ada pembicaraan panjang setelah itu, karena Rega langsung pergi ke masjid. Menghindar, iya. Akan tetapi, dia juga tak mau dituduh terus memupuk harapan tak pasti pada sosok bernama Aisyah selama bertahun-tahun.Rega tidak memungkiri, bahwa dia tidak melupakan Aisyah.Sosok Anchie Phey yang sudah mengikrarkan hatinya untuk menjadi muslimah. “Rega!” Pintu kamar setengah digedor dari luar. “Kamu tidur lagi abis Subuh, heh?”“Enggak, Bu.” Rega membuka pintu kamar, dan melihat sosok sang ibu sudah berdiri di depan sana. Salah satu tangannya menenteng rantang dari bahan stainless. “Ini Syafa bawain sarapan. Cepet, kita makan dulu.” Bu Siti Marfu’ah langsung meletakkan rantang ke atas meja. “Kamu ajakin Syafa masuk, biar kita makan sama-sama.”“Ibu aja lah. Rega mau keluar ini.”“Lho? Mau ke mana?”“Olah raga!”Karena tidak mau dipusingkan oleh masalah percintaan, Rega bergegas keluar

  • MEET AISHA IN 1998   Sosok pengganti Aisha

    Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Rega, sehingga pemuda yang sedang mendengarkan musik dari pemutar MP3 itu tersentak kaget. Rega menoleh dan melihat sosok pemuda lain berambut plontos duduk di sampingnya.“Tapa terus,” komentar pemuda itu sembari terkekeh pelan.“Dengerin lagu,” balas Rega enteng.“Eh, dengerin tuh nasihat orangtua. Bukan lagu.”“Orangtua yang mana? Yang lo denger aja nasihat orangtua botolan.”“Anjir, setan!”Pemuda itu tergelak keras. Namanya Robby, satu almamater dengan Rega. Mereka sama-sama mengambil lanjutan advokasi, dan magang di kantor advokat yang sama. Robby dan Rega memiliki sifat yang bertolak belakang. Rega lebih cenderung diam, sedangkan Robby ke mana-mana antara membuat suasana heboh atau kacau. Akan tetapi, mereka selalu kompak. Bahkan orang-orang di kantor advokat, selalu menganggap keduanya “partner in crime”. Yang sebetulnya, Rega amit-amit dalam hati.“Makan dulu, lah. Biar otak lancar,” celetuk Robby.Dia memesan sepiring ketoprak di mana t

  • MEET AISHA IN 1998   Rasa sakit karena cinta

    Matahari sudah menggeliat bangun dari peraduan, dan sinarnya mulai memasuki celah jendela. Phey duduk dengan tenang di teras, menunggu Pak Yono memanaskan mobil, dan setelah itu mereka segera kembali ke ibukota.Kali ini Phey siap pergi tanpa rasa gundah, dia sudah benar-benar tenang.Bahkan merasakan bahagia.“Non Phey, itu kok gak diminum teh manisnya? Nanti keburu dingin,” tunjuk Bu Puji pada secangkir teh yang ia suguhkan di meja, dan belum disentuh sama sekali. Wajah perempuan itu tersembul dari balik pintu.“Mau kok, Bu. Ini tunggu nasinya turun, saya kekenyangan. Abis nasi goreng buatan Ibu enak banget, sampai nambah.”“Aduh, cuma nasi goreng, apa enaknya? Non Phey ini suka berlebihan aja, ah.”“Bu, sekarang nama saya jadi Aisyah. Jangan panggil Phey lagi.” Phey terkekeh pelan.Aisyah.Itu nama yang Phey pilih setelah mengikrarkan syahadat. Meski butuh waktu untuk membuat orangtuanya menerima pilihannya kelak, tetapi Phey sudah bertekad untuk mengubah identitas. “Oh iya, Non A

  • MEET AISHA IN 1998   Menjemput hidayah

    Phey masih berdiri mematung di depan rumah Bu Siti Marfu’ah, bingung karena rencana yang telah dibayangkan mendadak buyar. Kata tetangga Bu Siti Marfu’ah sedang pergi bersama ibu-ibu pengajian ke Banten, sejak pagi tadi. Lalu Rega ke kampus, dan entah pulang kapan. Bahkan menurut penuturan tetangga, Rega sering pulang larut malam.“Gimana, nih?” gumam Phey pelan sembari mengembuskan napas berat.Meski kecewa, akhirnya Phey putuskan kembali ke kediaman Pak Yono. Jika memang ia tidak bisa bertemu dengan Rega, maka memang itu yang harus ia terima dengan lapang dada. Namun, baru saja hendak melangkah, Phey melihat sebuah motor mendekat, dan suara derumannya ia kenali betul.Motor Rega!Laju motor melambat, dan berhenti di hadapan Phey. Wajah Rega tidak bisa berbohong, dia begitu terkejut melihat gadis pujaannya ada di sana. Bergegas Rega turun dari motor, membuka helm dan menghampiri Phey. Dia tidak berkata satu patah kata pun. Dalam hatinya, Rega ragu. Teringat akan permintaan Bu Siti M

  • MEET AISHA IN 1998   Berdiskusi dengan Ustaz

    Perbedaan keyakinan itu seperti dua sisi mata pedang. Jika tidak berhati-hati, maka salah satu akan tersakiti. Maka tidak sedikit yang memberi petuah bijak, baiknya tetap mencari sosok yang satu iman. Bahkan satu keyakinan pun, belum tentu memiliki visi dan misi yang beriringan. Apalagi jika berbeda?“Kita sendiri tahu, beda umur yang jauh bisa jadi gunjingan orang. Menikahi duda atau janda, bisa dicibir juga. Mau enggak mau, kita enggak bisa menutupi penilaian orang-orang, Rega,” ujar Pak Ustaz.“Ya, kan tinggal gak perlu digubris, Pak. Yang menjalani rumah tangga, justru yang mau menikah, kan?”“Terus kamu enggak hidup di dalam masyarakat memangnya?” Pak Ustaz terkekeh. “Harus siap mental, Rega. Karena kita ini hidup di budaya yang ragam, masyarakat plural juga.”Kembali Pak Ustaz menjelaskan pada Rega secara hati-hati. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa yang berbeda bisa menjadi satu. Tetap saja, ada yang dikorbankan. Karena masing-masing keyakinan percaya, bahwa agama yang seb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status