Beranda / Romansa / MEET AISHA IN 1998 / Merasa Lebih Cantik

Share

Merasa Lebih Cantik

Penulis: Brata Yudha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-10 16:20:02

Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.

Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. 

Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. 

Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobrol. 

“Pak, Bu,” sapa Phey sebelum membuka pembicaraan. Gadis itu segera duduk di samping Bu Puji. “Saya boleh minta tolong, enggak?”

“Ada masalah apa, Non Phey?” tanya Pak Yono.

“Saya mau pakai pakaian yang dipakai oleh Ibu,” Phey terdiam sebentar, “Ibu siapa itu yang pakai cadar?” 

“Bu Halimah?” seloroh Bu Puji.

Phey mengangguk. “Kalau bisa, tolong carikan saya pakaian yang persis sama.”

Tentu saja Pak Yono beserta istri tersentak kaget mendengarnya. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba Phey mengungkapkan keinginan yang cukup absurd.

“Kenapa Non Phey tiba-tiba pengin baju muslimah?” tanya Pak Yono.

Lalu Phey menjawab dengan lugas, “Saya cuma mikir, sepertinya dengan pakaian itu saya lebih nyaman, dan leluasa.”

“Non Phey, pakaian itu biasanya untuk wanita muslim,” timpal Bu Puji.

“Lantas kenapa? Enggak boleh saya pakai?” tanya Phey penasaran.

“Bukan enggak boleh, hanya saja ….” 

Suara Pak Yono menggantung di udara. Sebetulnya sang supir pun bingung mengenai hal ini, masalah boleh atau tidak, karena dia tidak memiliki pengetahuan lebih akan hal tersebut. Itu merupakan sesuatu yang identik dengan muslimah, sedangkan Pak Yono jika menjelaskan pada Phey, apa tidak akan jadi isu yang sensitif nanti.

“Saya enggak niat mau macam-macam, Pak Yono. Cuma pengin melindungi diri,” jelas Phey. “Ya, mungkin dengan berpakaian tertutup saya merasa jauh lebih aman.”

Pak Yono dan istrinya saling bertatapan, tetapi tidak mengatakan sepatah kata pun.

“Enggak ada niatan saya mau mempermainkan mengenai arti pakaian itu sendiri. Anggap saja, saya merasa itu yang bisa membantu saya merasa nyaman.” Phey menatap sungguh-sungguh pada Pak Yono dan juga sang istri. “Tolong bantu saya, Pak, Bu.”

“Mungkin besok, saya coba tanyakan ke Bu Halimah, ya Non?” kata Bu Puji.

“Iya, Bu. Saya ada simpanan uang, jadi semisal ada, nanti saya langsung berikan ke Ibu uangnya.” Ada binar bahagia terpancar dari mata Phey. “Terima kasih sebelumnya, Pak, Bu.”

*

Bu Puji duduk di kursi ruang tamu, dan menunggu. Matanya mengitari interior ruang tamu, yang disulap menjadi tempat menjahit. Ada lemari pakaian kayu besar, dengan barisan pakaian yang penuh di dalamnya. Tumpukan kain, di atas nakas sudut. 

Tirai yang menutupi pintu penghubung ke ruang tengah tersingkap, seorang wanita keluar dari sana membawa beberapa potong pakaian tersampir di lengan.

“Ini kira-kira cukup enggak, ya?” tanya Bu Halimah, sembari menyerahkan beberapa potong pakaian tersebut pada Bu Puji. “Habis, kenapa enggak dibawa ke sini aja saudaranya, biar saya ukur sekalian. Supaya saya bisa tahu ukurannya.”

Sebetulnya Bu Puji datang ke sana hanya ingin bertanya, di mana Bu Halimah membeli pakaian dan niqab-nya. Akan tetapi, Bu Halimah justru menjahit semua pakaiannya sendiri, malah menawarkan ada pakaian-pakaian yang sudah selesai ia jahit.

“Sepertinya cukup, sih, Bu,” jawab Bu Puji melihat salah satu pakaian berwarna coklat polos. 

“Ini untuk saudara Pak Yono yang dari luar kota?” 

Bu Puji mengangguk.

“Dicoba aja dulu, Bu. Kalau terlalu kebesaran, nanti saya betulkan lagi jahitannya.”

“Jadi kira-kira, ini semua berapa, Bu Halimah?” Bu Puji bertanya agak malu-malu.

Bu Halimah tersenyum. “Enggak usah, Bu. Lagipula, itu contoh seragam untuk ponpes, pesanan.”

“Yang betul, Bu? Ini enggak apa-apa untuk saudara saya?”

Ada anggukan singkat ditunjukkan Bu Halimah. “Ini ada beberapa model, ada yang memakai niqab, cador, dan burqa. Masih ada beberapa potong pakaian lain, nanti bawa saja mau yang mana.”

“Oh, memang beda?”

Tawa renyah Bu Halimah terdengar. “Makanya nanti saya jelaskan.”

Selepas dari rumah Bu Halimah, Bu Puji bergegas kembali ke rumah. Dengan perasaan gembira membawa pakaian untuk Phey-Phey. Melihat Bu Puji sudah pulang, Phey langsung menyambut antusias. 

“Ini semua dikasih gratis sama Bu Halimah,” ucap Bu Puji.

“Yang bener, Bu?” Phey hampir-hampiran tak percaya.

Lalu Bu Puji mengembalikan uang milik Phey. “Iya, katanya dipakai aja. Bu Halimah senang, ada yang mau pakai baju muslim,” kata Bu Puji. “Ya, saya bilang kalau Non Phey itu, saudara jauh. Mungkin beliau pikir, ya begitulah.”

Phey paham, mungkin maksudnya untuk seseorang yang memiliki kepercayaan yang sama. “Saya janji, akan jaga amanat Bu Halimah baik-baik, kok, Bu,” sahut Phey.

“Iya, Non. Saya aja sempat bingung, ternyata ada beda-beda cadar itu sebetulnya.”

“Oh, begitu, Bu?”

“Ada cador, niqab, ada juga burqa.”

Dahi Phey mengerut. “Terus ini disebutnya apa?”

Bu Puji memaparkan perbedaan antara cador, niqab, dan burqa. Kebetulan yang dibawa yang menggunakan niqab. 

“Jadi niqab itu sebetulnya kain penutup kepala dengan cadar,” kata Bu Puji.

“Oh, kalau cador itu sampai ke bawah-bawah, ya?”

“Iya tutup kepala sampai kaki. Ada yang pakai cadar, ada yang enggak, tetapi saya ambil yang pakai niqab aja buat Non Phey,” kata Bu Puji. “Takutnya malah jadi agak apa, yah? Repot aja begitu kalau bergerak.”

Phey terkekeh pelan. 

“Dicoba dulu deh, Non. Kata Bu Halimah kalau enggak pas, nanti dibetulin lagi.”

“Iya, Bu.”

Tanpa membuang waktu Phey segera masuk ke kamar. Ia segera memakai pakaian yang diberikan Bu Halimah, dan tidak sulit. Malah terbilang mudah, dan tidak merepotkan sama sekali. Gadis itu berdiri di depan cermin buram, menatap postur tubuhnya yang tertutup. 

Phey merasakan sesuatu di dalam hatinya, gelenyar yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Entah apa itu, Phey juga tidak tahu.

“Non? Pakaiannya cukup, enggak?” tanya Bu Puji dari luar kamar.

“Ini pas banget, Bu,” balas Phey.

Lagi-lagi Phey menatap pantulan dirinya dari cermin. Hati Phey mulai merasakan rasa nyaman, bahkan ada rasa merasa lebih cantik. Entah kenapa bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. 

Dia keluar dari kamar, dan menunjukkan penampilannya pada Bu Puji yang menunggu di luar dengan penasaran.

“Ya ampun, cantik sekali.” Bu Puji terkesima.

“Beneran, Bu? Saya cantik?”

“Cantik, Non. Kelihatan apa, ya? Tenang gitu lihatnya, adem,” kekeh Bu Puji.

“Ya sudah, kalau begitu saya mau sapu-sapu di depan.”

Bu Puji tersentak kaget. “Eh, mau apa? Jangan ih, Non.”

“Ih, Ibu … saya bosen. Enggak apa-apa, ya? Kan udah pakai baju tertutup.”

“Nanti saya dimarahi Bapak, lho.”

“Kalau Bapak marah, bilang sama saya, Bu.”

Terdengar suara motor yang dikemudikan begitu kencang melewati depan rumah, hingga membuat Phey dan Bu Puji tersentak kaget.

“Astagfirullahaladzim,” ucap Bu Puji sembari membuka tirai jendela sedikit.

“Siapa, Bu?”

“Enggak tahu. Biasanya pemuda daerah sini, namanya juga anak muda, Non.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
bu hamilah baik. banget ya mau kasih baju muslimah itu buat phey dan phey terlihat nyaman banget itu pake baju modelan kaya gitu. nah sekarang kan jadi bebas keluar rumah tanpa harus beban ya phey
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
Phey merasa jadi lebih nyaman dan cantik pakai baju serba tertutup yahh
goodnovel comment avatar
Qianas Shopp
Bu Halimah baik bangat ya..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MEET AISHA IN 1998   Akhirnya Bertemu Lagi

    “Kenapa ya, kamu ini malah pergi ke tempat-tempat yang bahaya?” keluh Bu Siti Marfu’ah.Perempuan itu tampak sudah pasrah melihat Rega sudah bersiap-siap untuk pergi ke ibukota, karena siangnya ia akan bertolak ke Aceh bersama rombongan relawan. Selang dua hari setelah menghubungi rekan-rekan almamater kampus, Rega dan Pak Mangara ikut dalam rombongan relawan.“Bahaya apanya, Bu? Di sana kan justru banyak orang butuh bantuan.”“Kita gak tahu kalau gempa susulan nanti datang, gimana?”“Doain Rega yang baik-baik, Bu. Dateng ke sana baik-baik aja, pulang pun selamat. Setuju?”“Terserah kamu aja lah.”Pergi ke Aceh bersama relawan, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bu Siti Marfu’ah pada awalnya. Namun, saat Rega mengatakan dia harus ke sana, karena mendampingi atasan, akhirnya mau tidak mau Bu Siti Marfu’ah melepaskan izin. Tetap saja Bu Siti Marfu’ah selalu memberikan mimik wajah khawatir berlebih, sebelum Rega benar-benar berangkat.“Berapa lama kamu di sana?” tanya sang ibu. “Engg

  • MEET AISHA IN 1998   Kabar Genting

    Aisyah.Nama itu terus terngiang-ngiang di batin Rega, saat semalam Bu Siti Marfu’ah menyebut lagi. Tidak ada pembicaraan panjang setelah itu, karena Rega langsung pergi ke masjid. Menghindar, iya. Akan tetapi, dia juga tak mau dituduh terus memupuk harapan tak pasti pada sosok bernama Aisyah selama bertahun-tahun.Rega tidak memungkiri, bahwa dia tidak melupakan Aisyah.Sosok Anchie Phey yang sudah mengikrarkan hatinya untuk menjadi muslimah. “Rega!” Pintu kamar setengah digedor dari luar. “Kamu tidur lagi abis Subuh, heh?”“Enggak, Bu.” Rega membuka pintu kamar, dan melihat sosok sang ibu sudah berdiri di depan sana. Salah satu tangannya menenteng rantang dari bahan stainless. “Ini Syafa bawain sarapan. Cepet, kita makan dulu.” Bu Siti Marfu’ah langsung meletakkan rantang ke atas meja. “Kamu ajakin Syafa masuk, biar kita makan sama-sama.”“Ibu aja lah. Rega mau keluar ini.”“Lho? Mau ke mana?”“Olah raga!”Karena tidak mau dipusingkan oleh masalah percintaan, Rega bergegas keluar

  • MEET AISHA IN 1998   Sosok pengganti Aisha

    Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Rega, sehingga pemuda yang sedang mendengarkan musik dari pemutar MP3 itu tersentak kaget. Rega menoleh dan melihat sosok pemuda lain berambut plontos duduk di sampingnya.“Tapa terus,” komentar pemuda itu sembari terkekeh pelan.“Dengerin lagu,” balas Rega enteng.“Eh, dengerin tuh nasihat orangtua. Bukan lagu.”“Orangtua yang mana? Yang lo denger aja nasihat orangtua botolan.”“Anjir, setan!”Pemuda itu tergelak keras. Namanya Robby, satu almamater dengan Rega. Mereka sama-sama mengambil lanjutan advokasi, dan magang di kantor advokat yang sama. Robby dan Rega memiliki sifat yang bertolak belakang. Rega lebih cenderung diam, sedangkan Robby ke mana-mana antara membuat suasana heboh atau kacau. Akan tetapi, mereka selalu kompak. Bahkan orang-orang di kantor advokat, selalu menganggap keduanya “partner in crime”. Yang sebetulnya, Rega amit-amit dalam hati.“Makan dulu, lah. Biar otak lancar,” celetuk Robby.Dia memesan sepiring ketoprak di mana t

  • MEET AISHA IN 1998   Rasa sakit karena cinta

    Matahari sudah menggeliat bangun dari peraduan, dan sinarnya mulai memasuki celah jendela. Phey duduk dengan tenang di teras, menunggu Pak Yono memanaskan mobil, dan setelah itu mereka segera kembali ke ibukota.Kali ini Phey siap pergi tanpa rasa gundah, dia sudah benar-benar tenang.Bahkan merasakan bahagia.“Non Phey, itu kok gak diminum teh manisnya? Nanti keburu dingin,” tunjuk Bu Puji pada secangkir teh yang ia suguhkan di meja, dan belum disentuh sama sekali. Wajah perempuan itu tersembul dari balik pintu.“Mau kok, Bu. Ini tunggu nasinya turun, saya kekenyangan. Abis nasi goreng buatan Ibu enak banget, sampai nambah.”“Aduh, cuma nasi goreng, apa enaknya? Non Phey ini suka berlebihan aja, ah.”“Bu, sekarang nama saya jadi Aisyah. Jangan panggil Phey lagi.” Phey terkekeh pelan.Aisyah.Itu nama yang Phey pilih setelah mengikrarkan syahadat. Meski butuh waktu untuk membuat orangtuanya menerima pilihannya kelak, tetapi Phey sudah bertekad untuk mengubah identitas. “Oh iya, Non A

  • MEET AISHA IN 1998   Menjemput hidayah

    Phey masih berdiri mematung di depan rumah Bu Siti Marfu’ah, bingung karena rencana yang telah dibayangkan mendadak buyar. Kata tetangga Bu Siti Marfu’ah sedang pergi bersama ibu-ibu pengajian ke Banten, sejak pagi tadi. Lalu Rega ke kampus, dan entah pulang kapan. Bahkan menurut penuturan tetangga, Rega sering pulang larut malam.“Gimana, nih?” gumam Phey pelan sembari mengembuskan napas berat.Meski kecewa, akhirnya Phey putuskan kembali ke kediaman Pak Yono. Jika memang ia tidak bisa bertemu dengan Rega, maka memang itu yang harus ia terima dengan lapang dada. Namun, baru saja hendak melangkah, Phey melihat sebuah motor mendekat, dan suara derumannya ia kenali betul.Motor Rega!Laju motor melambat, dan berhenti di hadapan Phey. Wajah Rega tidak bisa berbohong, dia begitu terkejut melihat gadis pujaannya ada di sana. Bergegas Rega turun dari motor, membuka helm dan menghampiri Phey. Dia tidak berkata satu patah kata pun. Dalam hatinya, Rega ragu. Teringat akan permintaan Bu Siti M

  • MEET AISHA IN 1998   Berdiskusi dengan Ustaz

    Perbedaan keyakinan itu seperti dua sisi mata pedang. Jika tidak berhati-hati, maka salah satu akan tersakiti. Maka tidak sedikit yang memberi petuah bijak, baiknya tetap mencari sosok yang satu iman. Bahkan satu keyakinan pun, belum tentu memiliki visi dan misi yang beriringan. Apalagi jika berbeda?“Kita sendiri tahu, beda umur yang jauh bisa jadi gunjingan orang. Menikahi duda atau janda, bisa dicibir juga. Mau enggak mau, kita enggak bisa menutupi penilaian orang-orang, Rega,” ujar Pak Ustaz.“Ya, kan tinggal gak perlu digubris, Pak. Yang menjalani rumah tangga, justru yang mau menikah, kan?”“Terus kamu enggak hidup di dalam masyarakat memangnya?” Pak Ustaz terkekeh. “Harus siap mental, Rega. Karena kita ini hidup di budaya yang ragam, masyarakat plural juga.”Kembali Pak Ustaz menjelaskan pada Rega secara hati-hati. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa yang berbeda bisa menjadi satu. Tetap saja, ada yang dikorbankan. Karena masing-masing keyakinan percaya, bahwa agama yang seb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status