Share

5

Aku kejar ibu. Kenapa beliau menghindar dariku? Lalu lalang orang di trotoar membuat ku kehilangan sosok ibu. Kemungkinan ibu telah naik angkot yang lewat tadi.

Aku kembali terpaku di kursi kemudi. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah kemarin Anggun mengirim pesan kepada Mas Ridwan bahwa ibu sakit? Kenapa sekarang justru ibu berjualan?

Mungkin memang pada Mas Ridwan lah aku menemukan kunci jawabannya. Semoga aku bisa mengorek apa yang sebenarnya terjadi.

*

Malam harinya...

"Mas tadi aku ketemu ibu."

"Dimana?"

Degg. Apa aku bilang di sekitar kantor? Saat aku kesana tadi Mas Ridwan kan tidak tau.

"Ehm di sekitar kantor mas. Tadi aku lewat. Aku berhenti lalu ingin mengejar ibu, tetapi beliau menghindar mas. Bukan kah ibu sedang sakit mas?"

"Lah itu kamu tau sendiri. Kamu salah lihat paling Nis."

"Enggak mas. Aku yakin itu ibu."

"Mana mungkin Nisa. Rumah ibu itu jauh. Tidak mungkin ibu berjualan sampai sini. Lagipula ngapain ibu berjualan. Uang yang aku kirim lebih dari kata cukup kok. Sudah kamu itu tidak usah berfikir yang macam-macam. Fokus pada program hamil lagi."

Cuih. Apa aku yakin pernikahan ku dengan Mas Ridwan akan berlangsung lama? Seumur hidup itu terlalu lama jika aku habiskan dengan tukang selingkuh sepertinya.

"Oh iya Nis. Malam minggu aku di undang ke acara syukuran rumah barunya Pak Teja. Tidak apa-apa kan?" tanya Mas Ridwan yang ku ketahui Pak Teja adalah klien perusahaan ayah dari dulu.

Biasanya setiap ada acara, aku enggan ikut. Karena pasti yang dibahas hanya seputar bisnis. Tapi tentu kali ini berbeda dong. Pak Teja pasti mengundang seluruh karyawan kantor. Beliau jika mengadakan pesta, tak tanggung-tanggung meriahnya. Akan ku ambil kesempatan Mas Tama bertemu atau bahkan bersama Ratih.

"Aku ikut deh mas," rengek ku.

"Tumben?"

"Kenapa? Tidak boleh?"

"Hemmm."

Hanya itu jawaban Mas Ridwan. Aku tau dalam hati ia pasti merasa tidak ikhlas. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Jangan bangga dulu atas apa yang kamu capai mas. Andai aku bisa, dalam hitungan detik aku bisa menghancurkan mu.

*

Malam minggu pun tiba. Ah tapi aku lebih akrab menyebutnya sabtu malam. Karena bagiku setiap malam itu sama saja.

"Anisa, ayok cepat," teriak Mas Ridwan dari bawah. Ku lihat dia tampak mondar-mandir tak karuan dengan melihat jam dalam tangannya.

Aku tak menyahutnya. Hanya langkahku yang menuruni tangga terdengar olehnya. Sehingga ia menoleh menatapku. Mas Ridwan melongo.

"Kalau kamu tadi ke salon bilang dulu Nis," katanya.

"Memang tadi kamu lihat aku keluar rumah mas? Enggak kan?"

"Ta-tapi ka-kamu cantik."

Aku tersenyum penuh bangga. Ada kalanya yang kau sangka kepompong tanpa daya akan mekar seindah kupu-kupu.

"Ah cantik itu relatif mas. Sama seperti perumpamaan pernikahan. Jika wanita jatuh pada lelaki yang tepat, ia akan jadi ratu,"

"Kalau jatuh pada lelaki yang salah?"

"Jadi selir mungkin. Tapi ya aneh zaman sekarang mana ada selir, yang banyak jadi pelakor." jawabku asal.

"Kamu jangan sering lihat sinetron-sinetron atau cerita yang membahas pelakor Nis. Jadi baper sendiri kan."

"Tapi pelakor itu nyata adanya mas."

"Terserah kamu lah. Ayo berangkat."

Di dalam mobil, Mas Ridwan lebih banyak diam. Apa dia berharap yang duduk di kursi ini adalah Ratih? Suatu saat akan aku kabulkan mas. Saat kamu sudah hancur.

Pesta terlihat meriah sekali. Hingar bingarnya tak dapat mengalihkan kegelisahan hatiku tentang keberadaan pelakor ini dalam pesta.

Ah bahkan tidak perlu waktu lama, sudah muncul batang hidungnya. Tanpa malu ia menghampiri kami. Senyum mulai merekah dari bibir Mas Ridwan. Nikmatilah dulu senyuman itu sebelum nanti akan berubah menjadi tangis.

"Selamat malam Pak Ridwan. Wah istrinya cantik sekali malam ini. Habis berapa duit pak? Sayang lho uangnya di beri pada perias. Lebih baik dandan sendiri. Kan wanita. Harus pintar dandan dong," katanya seakan tanpa dosa melontarkan kalimat-kalimat itu.

"Orang kaya mah bebas," ucapku penuh penekanan seraya menggandeng Mas Ridwan menjauh dari nya.

"Sudah gila mungkin sekretaris mu itu mas," kataku.

"Jangan diambil hati Nis. Ambil sisi positifnya," bela Mas Ridwan.

" Apa perlu aku melakukan siaran langsung saat dandan sendiri mas? Biar seluruh dunia tau kalau aku juga bisa dandan."

Mas Ridwan terdiam. Ratih sepertinya mulai menyerang ku secara perlahan. Apa dia tidak takut untuk ku pecat? Kalau memang tidak, lalu tujuannya kerja untuk apa? Apa memang hanya untuk menggoda suamiku? Kalaupun begitu, semoga hasil kerja nya menjadi darah daging deh. Darahnya darah kotor. Dagingnya daging tumbuh. Nauzubillah.

Aku lihat juga sang resepsionis dengan gaya sok cantiknya lewat di depanku dengan seorang pria gagah yang bisa dibilang tampan. Namun sang pria tiba-tiba menatapku. Aku salah tingkah, takut dikira memperhatikannya. Karena aku memang hanya kebetulan melihatnya. Tetapi justru pria itu memanggilku.

"Anisa...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status