Share

5

Author: Anik Safitri
last update Last Updated: 2024-01-17 21:44:17

Aku kejar ibu. Kenapa beliau menghindar dariku? Lalu lalang orang di trotoar membuat ku kehilangan sosok ibu. Kemungkinan ibu telah naik angkot yang lewat tadi.

Aku kembali terpaku di kursi kemudi. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah kemarin Anggun mengirim pesan kepada Mas Ridwan bahwa ibu sakit? Kenapa sekarang justru ibu berjualan?

Mungkin memang pada Mas Ridwan lah aku menemukan kunci jawabannya. Semoga aku bisa mengorek apa yang sebenarnya terjadi.

*

Malam harinya...

"Mas tadi aku ketemu ibu."

"Dimana?"

Degg. Apa aku bilang di sekitar kantor? Saat aku kesana tadi Mas Ridwan kan tidak tau.

"Ehm di sekitar kantor mas. Tadi aku lewat. Aku berhenti lalu ingin mengejar ibu, tetapi beliau menghindar mas. Bukan kah ibu sedang sakit mas?"

"Lah itu kamu tau sendiri. Kamu salah lihat paling Nis."

"Enggak mas. Aku yakin itu ibu."

"Mana mungkin Nisa. Rumah ibu itu jauh. Tidak mungkin ibu berjualan sampai sini. Lagipula ngapain ibu berjualan. Uang yang aku kirim lebih dari kata cukup kok. Sudah kamu itu tidak usah berfikir yang macam-macam. Fokus pada program hamil lagi."

Cuih. Apa aku yakin pernikahan ku dengan Mas Ridwan akan berlangsung lama? Seumur hidup itu terlalu lama jika aku habiskan dengan tukang selingkuh sepertinya.

"Oh iya Nis. Malam minggu aku di undang ke acara syukuran rumah barunya Pak Teja. Tidak apa-apa kan?" tanya Mas Ridwan yang ku ketahui Pak Teja adalah klien perusahaan ayah dari dulu.

Biasanya setiap ada acara, aku enggan ikut. Karena pasti yang dibahas hanya seputar bisnis. Tapi tentu kali ini berbeda dong. Pak Teja pasti mengundang seluruh karyawan kantor. Beliau jika mengadakan pesta, tak tanggung-tanggung meriahnya. Akan ku ambil kesempatan Mas Tama bertemu atau bahkan bersama Ratih.

"Aku ikut deh mas," rengek ku.

"Tumben?"

"Kenapa? Tidak boleh?"

"Hemmm."

Hanya itu jawaban Mas Ridwan. Aku tau dalam hati ia pasti merasa tidak ikhlas. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Jangan bangga dulu atas apa yang kamu capai mas. Andai aku bisa, dalam hitungan detik aku bisa menghancurkan mu.

*

Malam minggu pun tiba. Ah tapi aku lebih akrab menyebutnya sabtu malam. Karena bagiku setiap malam itu sama saja.

"Anisa, ayok cepat," teriak Mas Ridwan dari bawah. Ku lihat dia tampak mondar-mandir tak karuan dengan melihat jam dalam tangannya.

Aku tak menyahutnya. Hanya langkahku yang menuruni tangga terdengar olehnya. Sehingga ia menoleh menatapku. Mas Ridwan melongo.

"Kalau kamu tadi ke salon bilang dulu Nis," katanya.

"Memang tadi kamu lihat aku keluar rumah mas? Enggak kan?"

"Ta-tapi ka-kamu cantik."

Aku tersenyum penuh bangga. Ada kalanya yang kau sangka kepompong tanpa daya akan mekar seindah kupu-kupu.

"Ah cantik itu relatif mas. Sama seperti perumpamaan pernikahan. Jika wanita jatuh pada lelaki yang tepat, ia akan jadi ratu,"

"Kalau jatuh pada lelaki yang salah?"

"Jadi selir mungkin. Tapi ya aneh zaman sekarang mana ada selir, yang banyak jadi pelakor." jawabku asal.

"Kamu jangan sering lihat sinetron-sinetron atau cerita yang membahas pelakor Nis. Jadi baper sendiri kan."

"Tapi pelakor itu nyata adanya mas."

"Terserah kamu lah. Ayo berangkat."

Di dalam mobil, Mas Ridwan lebih banyak diam. Apa dia berharap yang duduk di kursi ini adalah Ratih? Suatu saat akan aku kabulkan mas. Saat kamu sudah hancur.

Pesta terlihat meriah sekali. Hingar bingarnya tak dapat mengalihkan kegelisahan hatiku tentang keberadaan pelakor ini dalam pesta.

Ah bahkan tidak perlu waktu lama, sudah muncul batang hidungnya. Tanpa malu ia menghampiri kami. Senyum mulai merekah dari bibir Mas Ridwan. Nikmatilah dulu senyuman itu sebelum nanti akan berubah menjadi tangis.

"Selamat malam Pak Ridwan. Wah istrinya cantik sekali malam ini. Habis berapa duit pak? Sayang lho uangnya di beri pada perias. Lebih baik dandan sendiri. Kan wanita. Harus pintar dandan dong," katanya seakan tanpa dosa melontarkan kalimat-kalimat itu.

"Orang kaya mah bebas," ucapku penuh penekanan seraya menggandeng Mas Ridwan menjauh dari nya.

"Sudah gila mungkin sekretaris mu itu mas," kataku.

"Jangan diambil hati Nis. Ambil sisi positifnya," bela Mas Ridwan.

" Apa perlu aku melakukan siaran langsung saat dandan sendiri mas? Biar seluruh dunia tau kalau aku juga bisa dandan."

Mas Ridwan terdiam. Ratih sepertinya mulai menyerang ku secara perlahan. Apa dia tidak takut untuk ku pecat? Kalau memang tidak, lalu tujuannya kerja untuk apa? Apa memang hanya untuk menggoda suamiku? Kalaupun begitu, semoga hasil kerja nya menjadi darah daging deh. Darahnya darah kotor. Dagingnya daging tumbuh. Nauzubillah.

Aku lihat juga sang resepsionis dengan gaya sok cantiknya lewat di depanku dengan seorang pria gagah yang bisa dibilang tampan. Namun sang pria tiba-tiba menatapku. Aku salah tingkah, takut dikira memperhatikannya. Karena aku memang hanya kebetulan melihatnya. Tetapi justru pria itu memanggilku.

"Anisa...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MELAWAN PELAKORĀ Ā Ā 39

    Tentu saja Bu Woro kaget mendengar jawaban Clara. Bahkan dari raut wajahnya memang Clara terlihat begitu tegas. Netranya sedikit melotot "Ra," ucap Bu Woro pelan. Ia benar benar tidak menyangka akan begini respon Clara.Clara mengangguk."Iya. Tak ada yang salah dengan jawaban saya. Dengan tegas saya memang menolak.""Tapi Hisyam Ra."Clara hanya mendengus kesal "Kenapa dengan Hisyam Bu? Bukannya usahanya saja yang terbakar? Hisyam juga baik baik saja bukan?" respon Clara dengan santai."Apa kamu lupa dengan niat awal kamu untuk mendapatkan dia?" tanya Bu Woro dengan lirih"Hemm dulu. Kalau sekarang sudah tidak mungkin ya. Hisyam sudah jatuh. Mungkin memang hanya Anisa yang mau. Lagipula siapa yang mau dengan pria yang sudah bangkrut. Laki laki itu kodratnya menafkahi, tidak bergantung dengan wanita," jawab Clara Bu Woro menggeleng. Ia benar benar tak menyangka. Saat mendengar Hisyam jatuh, terungkap sudah sifat asli Clara."Tapi saya bersyukur Ra atas musibah ini." ucap Bu Woro ti

  • MELAWAN PELAKORĀ Ā Ā 38

    Sontak warga yang lalu lalang segera menghampiri wanita yang tergeletak di pinggir jalan. Luka di kakinya membuat sebagian orang merasa jijik."Panggil Dinsos saja," inisiatif seseorang.Dan akhirnya Ratih dibawa ke rumah sakit. Pemberitaan mengenai Ratih mati ternyata salah. Dia masih hidup. Namun menurut Dokter, Ratih terkena penyakit diabetes akut.Ia menangis sesenggukan di atas ranjang rumah sakit. Sendirian. Teringat bagaimana saat dia di masa berjaya. Dia bisa makan dan minum apa saja yang di mau. Hidupnya bebas. Ingin apapun tinggal beli. Apa itu kesehatan? Ia tak perduli. Baginya asal punya uang, hidup pasti akan berjalan dengan mulus.Tentu orang orang tak ada yang berani mendekat atau mungkin menunggu. Karena takut dimintai pertanggungjawaban.Namun tak lama ada seorang wanita muda yang mendekat. Ia tidak tau siapa wanita itu. Dia tak mengenalnya sama sekali maupun bertemu sebelumnya."Bagaimana ibu? Apakah sudah ada perubahan? Oh iya saya Desi. Saya dari Dinas Sosial." ka

  • MELAWAN PELAKORĀ Ā Ā 37

    Bu Woro tampak melengos dengan pertanyaan Hisyam. Pelan, namun tak meninggalkan kesan tegasnya. Kalau bukan dia yang membela Anisa, lalu siapa lagi?"Bukan maksut ibu untuk tidak memperlakukan Anisa dengan tidak baik. Hanya saja siapa sih orang tua yang tidak ingin agar anaknya segera mendapatkan keturunan?" elak Bu Woro lagi.Hisyam mengambil nafas panjang. Semata agar emosinya tetap stabil."Bu, anak adalah rezeki. Dan rezeki, jodoh maut itu sudah ada yang mengatur. Jadi berhenti untuk bersikap seperti Tuhan," Hampir saja Bu Woro ingin menyela lagi."Saya sedang repot Bu. Sebentar lagi ada meeting yang harus saya ikuti," potong Hisyam dengan cepat. Agar sang ibu diam. Dan akhirnya dengan langkah gontai, Bu Woro terpaksa pergi dari ruangan itu.Berkali kali pihak properti melihat lihat rumah Anggun yang akan dijual. Membuat Ridwan sedikit uring uringan."Nggun sebelum kamu menikah, setidaknya tolonglah Carikan aku hunian dan pekerjaan," keluh Ridwan di suatu hari.Anggun hanya mengh

  • MELAWAN PELAKORĀ Ā Ā 36

    Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T

  • MELAWAN PELAKORĀ Ā Ā 35

    Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T

  • MELAWAN PELAKORĀ Ā Ā 34

    Mulanya Ratih hanya menatap penuh tanda tanya. Matanya melotot."Ya kalau kamu tidak mau tidak apa apa. Aku tidak memaksa. Aku juga tidak bisa memberikanmu apa apa. Karena aku sendiri juga kesusahan. Hasil sedikit tidak apa apa. Yang penting cukup untuk makan." kata Ridwan lagiRatih masih terdiam di tempatnya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya, jika dia harus menjadi pemulung. Bahkan usianya saat ini masih tergolong muda.Perlahan Ridwan mulai melangkah meninggalkannya. Dia berpikir, Ratih tidak punya keputusan. Jadi untuk apa dia membuang buang waktu.Saat langkah Ridwan sudah agak jauh baru Ratih menoleh."Tunggu. Aku ikut," teriaknya.Ya dia membulatkan tekad. Jika saat ini ia masih ada yang memberi bantuan. Tapi bagaimana keesokan harinya. Belum tentu ia bisa makanMulanya Ratih merasa kikuk. Canggung. Tapi semua ia lawan demi isi perut.Karena belum terlalu mengerti tentang seluk beluk disini, Ratih hanya mengekor di belakang Ridwan. Sembari menungvi komando untuk apa yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status