Aku kejar ibu. Kenapa beliau menghindar dariku? Lalu lalang orang di trotoar membuat ku kehilangan sosok ibu. Kemungkinan ibu telah naik angkot yang lewat tadi.
Aku kembali terpaku di kursi kemudi. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah kemarin Anggun mengirim pesan kepada Mas Ridwan bahwa ibu sakit? Kenapa sekarang justru ibu berjualan?Mungkin memang pada Mas Ridwan lah aku menemukan kunci jawabannya. Semoga aku bisa mengorek apa yang sebenarnya terjadi.*Malam harinya..."Mas tadi aku ketemu ibu.""Dimana?"Degg. Apa aku bilang di sekitar kantor? Saat aku kesana tadi Mas Ridwan kan tidak tau."Ehm di sekitar kantor mas. Tadi aku lewat. Aku berhenti lalu ingin mengejar ibu, tetapi beliau menghindar mas. Bukan kah ibu sedang sakit mas?""Lah itu kamu tau sendiri. Kamu salah lihat paling Nis.""Enggak mas. Aku yakin itu ibu.""Mana mungkin Nisa. Rumah ibu itu jauh. Tidak mungkin ibu berjualan sampai sini. Lagipula ngapain ibu berjualan. Uang yang aku kirim lebih dari kata cukup kok. Sudah kamu itu tidak usah berfikir yang macam-macam. Fokus pada program hamil lagi."Cuih. Apa aku yakin pernikahan ku dengan Mas Ridwan akan berlangsung lama? Seumur hidup itu terlalu lama jika aku habiskan dengan tukang selingkuh sepertinya."Oh iya Nis. Malam minggu aku di undang ke acara syukuran rumah barunya Pak Teja. Tidak apa-apa kan?" tanya Mas Ridwan yang ku ketahui Pak Teja adalah klien perusahaan ayah dari dulu.Biasanya setiap ada acara, aku enggan ikut. Karena pasti yang dibahas hanya seputar bisnis. Tapi tentu kali ini berbeda dong. Pak Teja pasti mengundang seluruh karyawan kantor. Beliau jika mengadakan pesta, tak tanggung-tanggung meriahnya. Akan ku ambil kesempatan Mas Tama bertemu atau bahkan bersama Ratih."Aku ikut deh mas," rengek ku."Tumben?""Kenapa? Tidak boleh?""Hemmm."Hanya itu jawaban Mas Ridwan. Aku tau dalam hati ia pasti merasa tidak ikhlas. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Jangan bangga dulu atas apa yang kamu capai mas. Andai aku bisa, dalam hitungan detik aku bisa menghancurkan mu.*Malam minggu pun tiba. Ah tapi aku lebih akrab menyebutnya sabtu malam. Karena bagiku setiap malam itu sama saja."Anisa, ayok cepat," teriak Mas Ridwan dari bawah. Ku lihat dia tampak mondar-mandir tak karuan dengan melihat jam dalam tangannya.Aku tak menyahutnya. Hanya langkahku yang menuruni tangga terdengar olehnya. Sehingga ia menoleh menatapku. Mas Ridwan melongo."Kalau kamu tadi ke salon bilang dulu Nis," katanya."Memang tadi kamu lihat aku keluar rumah mas? Enggak kan?""Ta-tapi ka-kamu cantik."Aku tersenyum penuh bangga. Ada kalanya yang kau sangka kepompong tanpa daya akan mekar seindah kupu-kupu."Ah cantik itu relatif mas. Sama seperti perumpamaan pernikahan. Jika wanita jatuh pada lelaki yang tepat, ia akan jadi ratu,""Kalau jatuh pada lelaki yang salah?""Jadi selir mungkin. Tapi ya aneh zaman sekarang mana ada selir, yang banyak jadi pelakor." jawabku asal."Kamu jangan sering lihat sinetron-sinetron atau cerita yang membahas pelakor Nis. Jadi baper sendiri kan.""Tapi pelakor itu nyata adanya mas.""Terserah kamu lah. Ayo berangkat."Di dalam mobil, Mas Ridwan lebih banyak diam. Apa dia berharap yang duduk di kursi ini adalah Ratih? Suatu saat akan aku kabulkan mas. Saat kamu sudah hancur.Pesta terlihat meriah sekali. Hingar bingarnya tak dapat mengalihkan kegelisahan hatiku tentang keberadaan pelakor ini dalam pesta.Ah bahkan tidak perlu waktu lama, sudah muncul batang hidungnya. Tanpa malu ia menghampiri kami. Senyum mulai merekah dari bibir Mas Ridwan. Nikmatilah dulu senyuman itu sebelum nanti akan berubah menjadi tangis."Selamat malam Pak Ridwan. Wah istrinya cantik sekali malam ini. Habis berapa duit pak? Sayang lho uangnya di beri pada perias. Lebih baik dandan sendiri. Kan wanita. Harus pintar dandan dong," katanya seakan tanpa dosa melontarkan kalimat-kalimat itu."Orang kaya mah bebas," ucapku penuh penekanan seraya menggandeng Mas Ridwan menjauh dari nya."Sudah gila mungkin sekretaris mu itu mas," kataku."Jangan diambil hati Nis. Ambil sisi positifnya," bela Mas Ridwan." Apa perlu aku melakukan siaran langsung saat dandan sendiri mas? Biar seluruh dunia tau kalau aku juga bisa dandan."Mas Ridwan terdiam. Ratih sepertinya mulai menyerang ku secara perlahan. Apa dia tidak takut untuk ku pecat? Kalau memang tidak, lalu tujuannya kerja untuk apa? Apa memang hanya untuk menggoda suamiku? Kalaupun begitu, semoga hasil kerja nya menjadi darah daging deh. Darahnya darah kotor. Dagingnya daging tumbuh. Nauzubillah.Aku lihat juga sang resepsionis dengan gaya sok cantiknya lewat di depanku dengan seorang pria gagah yang bisa dibilang tampan. Namun sang pria tiba-tiba menatapku. Aku salah tingkah, takut dikira memperhatikannya. Karena aku memang hanya kebetulan melihatnya. Tetapi justru pria itu memanggilku."Anisa..."Anisa," panggil pria itu.Aku menoleh ke arahnya. Aku memicingkan mata. Memori otak ku bekerja. Ah aku gagal mengingat dia itu siapa. Clara memandang ku penuh tatapan tak suka. Apalagi pasangannya memanggilku."Aku Hisyam," ucapnya.Ku lihat Clara sepertinya protes, dia memanggilku. Mungkin juga dia melarang untuk menyapaku."Oh Hisyam. Apa kabarnya? Kamu masih ingat aku?""Bagaimana aku lupa Nis ? Karena kebaikan ayahmu lah yang membuatku hidup sampai sekarang. Ayahmu yang memungutku di jalanan, merawat ku dan menjamin pendidikanku."Ayah dulu memang senang merawat anak jalanan lalu menjamin pendidikan nya. Ayah membangunkan sebuah pondok bagi mereka. Dan dulu aku sering diajak kesana. Agar aku selalu bersyukur bisa dekat dengan orang tua. Karena ada yang nasibnya dibawah ku.Setelah berbasa-basi, aku melanjutkan mengikuti Mas Ridwan lagi. Ku pepet pundak Clara."Lihat ini yang kamu sangka orang gila tempo hari, pasanganmu justru menyapaku tuh. Malu atuh neng," bisik ku melangkah pe
"Kamu kenapa sih Nis? Dari kemarin uring-uringan gara-gara ibu terus?" tanya Mas Ridwan tiba-tiba.Aku tidak boleh menceritakan perihal pertemuanku tadi dengan ibu. Takut memang ini sebagian rencana dari Mas Ridwan."Enggak mas. Nisa cuma ingat ibu saja. Kan baru kali ini lagi Nisa merasakan sosok seorang ibu.""Yang penting keluarga ibu itu setiap bulan diberi nafkah ya udah. Selebihnya jangan kamu pikirkan."Aku hanya mengangguk pelan walau dalam hati tidak terima atas semua kalimat yang dilontarkan Mas Ridwan. Aku harus mengatur jadwal kapan aku bisa ke rumah ibu.Tapi mungkin jika dalam waktu dekat, aku takut ibu masih dalam sikapnya seperti tadi. Biarlah aku jeda beberapa hari dulu.Handphone Mas Ridwan berdering menandakan ada pesan masuk dari aplikasi hijau tersebut. Mumpung Mas Ridwan masih di toilet, aku reflek membuka nya walau hanya di layar kunci, pesan itu terlihat.[ Mas, besok lunch yuk. Sudah lama nggak hang out bareng ]Pesan dari kontak bernama R. Sudah ku pastikan i
"Yang penting kan isinya. Bukan dompet nya," jawabku sinis.Ratih hanya tersenyum kecut dan melenggang pergi. Ku tarik nafas, ku keluarkan pelan pelan. Panas. Iya hati ku panas. Melihat raut wajah Ratih. Melihat lirikannya pada suamiku. Oh Tuhan jika memang Engkau menganggap ku kuat menerima ujian ini, maka kuatkan aku. Sabarkanlah hatiku.Ya aku memang rapuh. Tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan mereka. Di depan orang-orang yang memang harusnya aku singkirkan dalam hidup. Bukan hanya karena cinta dan merasa di khianati. Tapi hatiku lebih sakit ketika kepercayaan almarhum ayahku disia-siakan. Lelaki yang dianggap baik, yang dititipi amanah, yang di percaya bisa melindungi ku, kini menggores luka hati dengan sengaja. Aku butuh ketenangan. Ya setelah aku mengikuti saran Mas Ridwan untuk program hamil dan lebih banyak beristirahat, aku meninggalkan kebiasaan ku dulu."Mas, nanti sore aku mau ikut pengajian lagi di masjid Al Furqon setelah itu ikut berpartisipasi mengajar anak-ana
" Aku hanya teman biasa dengan Clara," jawab Hisyam." Hah serius ? Tetapi sewaktu di pesta kemarin, Clara sepertinya marah kamu menyapaku,"" Ah masak iya sih ? Kebetulan kemarin Clara meminta ku menemaninya. Malu sama teman-temanya katanya kalau tidak bawa pasangan. Kalau aku memang ada hubungan dengan Clara, harusnya kemarin aku takut dong menyapamu,"Kami tertawa bersama. Aku terakhir kali bertemu Hisyam sewaktu SMA. Selepas SMA, kami melanjutkan kuliah di kota yang berbeda." Bukanya Clara itu bekerja di kantor suamimu ya Nis ?"" Iya,"" Kenapa dia terus menatapmu sinis. Penuh perasaan tidak suka ?"" Memangnya Clara tidak cerita Syam ?"Hisyam salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tidak gatal." Iya cerita. Tapi aku tidak serta merta mempercayainya Nis. Kamu wanita yang baik, pintar, insya Allah solehah. Kurang apa lagi dan dengan alasan apa dia menduakanmu ?"" Kurang cinta. Kurang cantik mungkin Syam," jawabku sambil tersenyum." Kalau semua menuruti nafsu,
Pagi ini setelah Mas Ridwan pergi, aku memanasi mobil ku. Kali ini kuajak dia bepergian jauh ke luar kota. Dan memutuskam untuk menyetir sendir agatbtifak ada seorang pun yang tau tentang apa yang akam terjadi nanti. Ya aku ke rumah ibu mertua. Mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.Kini aku telah berdiri di depan rumah mertua ku. Rumah yang masih sama, tidak ada perubahan sedikitpun. Tapi rumah itu tampak lengang tak seperti biasanyaAku ketuk pintu, ku ucapkan salam. Tapi lama tidak ada sahutan. Lama akhirnya ada suara dari dalam menyahut." Iya sebentar,"Aku tunggu. Dan seorang perempuan muda mebukakan pintunya. Anggun." Mbak Nisa,"Aku tersenyum. Belum sempat aku mengajakmya bicara terdengar sahutan lagi dari dalam." Siapa Nggun ?" teriaknya. Anggun hanya diam mematung tanpa mampu menjawab. Kenapa dia melihat aku seperti momok yang menakutkan." Ngapain kamu kesini ?" tanya Mbak Mira kakak pertama Mas Ridwan.Aku mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan. Tapi dia men
Sungguh hatiku berada di persimpangan dilema. Logika serta nurani ku bertabrakan. Ada rasa kasihan yang mendalam dengan keadaan keluarga Mas Ridwan.Baik kini saatnya aku berdamai dengan hati. Karena jiwa dan hatiku juga berhak bahagia bukan. Tentang keluarga Mas Ridwan, biarlah keyakinanku yang berbicara." Mas, Anggun itu sudah semester berapa ya ?" tanyaku disuatu malam." Entahlah Nis. Aku lupa. Urusanku bukan cuma Anggun saja. Lagi pula kalau waktunya lulus juga lulus kok. Kenapa ? Kamu keberatan dengan biaya kuliahnya ?"" Kamu itu yang kenapa mas ? Setiap aku bahas keluarga mu selalu saja sensitif. Bukanya bersyukur istrinya masih memikirkan keluarga suami. Aneh kamu mas,"" Banyak yang bisa dibahas daripada sekedar membahas keluargaku kan Nis," kata Ridwan tidak mau kalah." Aku tidak mau membahas yang lain. Apalagi membicarakan orang lain. Aku hanya ngin mengurus apa yang memang menjadi urusan kita,"" Ya sudahlah, kalau begitu kamu mau tanya apa lagi ?" tanya Ridwan dengan k
" Kenapa kamu disini Nis ?" tanya Mas Ridwan. Yang bisa aku tangkap adalah wajahnya menyimpat gurat kemarahan mendalam.Tapi justru aku tersenyum manis untuknya. " Perbaiki dulu pertanyaanmu Mas,"Mas Ridwan salah tingkah. Ia menunduk penuh gusar." Sudahlah Nis maksud kamu itu sebenarnya apa ?"" Aku ingun mengelola kembali perusahaan ayahku. Ada yang salah ?"" Tapi kan Nis. Ayahmu sudah memasrahkan ini ke aku. Dan kamu tetap fokus pada program hamil."Aku nenyilangkan tangan ke dada. Menatap Mas Ridwan seperti kucing yang tengah menatap tikus yang lemah." Memasrahkan bukan berarti memberi kan ? Lagipula aku sudah pasrah untuk hamil. Kalau Allah menakdirkan aku hamil, pasti juga hamil kok,"Dia menjambak rambutnya sendiri. Dan Brakkkk....Mas Ridwan memukul meja." Lalu kamu anggap suamimu ini apa ?"" Tenang mas. Kamu tetap disini membantuku. Kamu berada di posisi wakil dirut. Sudah lama semenjak ayah tiada, posisi itu kosong karena kamu telah meniadakanya,"" Kenapa harus begini
" Lihat ada yang tidak setuju kan kalau kamu menjadi pucuk pimpinan perusahaan ?". Ternyata Mas Ridwan mengikuti ku dari belakang.Aku berbalik badan dengan tatapan tenang dan penuh senyum. Menghabiskan tenaga, pikirku jika terus melayani emosi Mas Ridwan." Biarlah. Nanti akan ku buktikan bahwa aku memang pantas menduduki pucuk pimpinan perusahaan ini. Lagipula enam puluh persen saham perusahaan ini adalah punya ayahku kok,"" Lalu bagaimana kalau dalam satu semester kamu tidak dapat menaikan statistika perusahaan. Kamu rela akan melelang jabatan pada pemegang saham. Lalu kamu anggap suamimu ini apa ?"Sebenarya aku benar-benar muak dengan pertanyaan Mas Ridwan. Seolah-olah memang ia hanya mengincar harta semata." Pak Ridwan, ayah saya menyekolahkan saya sampai luar negeri itu dengan harapan saya dapat berkembang dengan baik. Saya sudah membawahi cabang perusahaan di Bali. Hingga dapat membuka cabang-cabang di pulau lain seperti di Maluku dan Makasar. Jadi tolong hormati keputusan s