Share

6

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-17 21:44:37

"Anisa," panggil pria itu.

Aku menoleh ke arahnya. Aku memicingkan mata. Memori otak ku bekerja. Ah aku gagal mengingat dia itu siapa. Clara memandang ku penuh tatapan tak suka. Apalagi pasangannya memanggilku.

"Aku Hisyam," ucapnya.

Ku lihat Clara sepertinya protes, dia memanggilku. Mungkin juga dia melarang untuk menyapaku.

"Oh Hisyam. Apa kabarnya? Kamu masih ingat aku?"

"Bagaimana aku lupa Nis ? Karena kebaikan ayahmu lah yang membuatku hidup sampai sekarang. Ayahmu yang memungutku di jalanan, merawat ku dan menjamin pendidikanku."

Ayah dulu memang senang merawat anak jalanan lalu menjamin pendidikan nya. Ayah membangunkan sebuah pondok bagi mereka. Dan dulu aku sering diajak kesana. Agar aku selalu bersyukur bisa dekat dengan orang tua. Karena ada yang nasibnya dibawah ku.

Setelah berbasa-basi, aku melanjutkan mengikuti Mas Ridwan lagi. Ku pepet pundak Clara.

"Lihat ini yang kamu sangka orang gila tempo hari, pasanganmu justru menyapaku tuh. Malu atuh neng," bisik ku melangkah pergi. Menolehnya dengan senyum yang anggun. Sementara Clara hanya gusar menahan marah.

Mayoritas memang yang diundang di acara ini adalah karyawan perusahaan ku. Tapi sayang aku bahkan tidak mengenalnya karena Mas Ridwan merombaknya hampir seratus persen.

Aku lihat Ratih, Clara dan beberapa wanita lainya tengah berkumpul. Mereka berbincang-bincang setengah berbisik-bisik menatap ku lalu tertawa. Saat aku ditinggal Mas Ridwan di toilet, aku hanya sendiri. Kalian pasti bisa membayangkan di situasi seperti ini. Risih, tidak nyaman merasa terhina. Ditatap seperti orang rendahan. Seakan-akan menghina ku karena aku tidak bergaul dengan siapapun. Tapi labrak melabrak bukan sifatku. Kau lebih senang bermain cantik

Tetapi tiba-tiba seorang wanita dengan gaun bak putri di negeri dongeng dan beberapa wanita dengan baju mewah seperti artis menghampiriku.

"Anisa sayang,".

Mereka memanggilku lalu memeluk ku. Kami berpelukan bak Teletubbies.

Dia adalah Melia, putri tunggal Pak Teja. Dan yang lain adalah Indira, Zaskia, dan Fanesa. Mereka semua teman masa kecilku. Karena ayah kami sama-sama seorang bisnis man. Wajarlah bila saling mengenal.

Tentu kami mengobrol panjang lebar. Lebih heboh dari golongan Ratih cs. Kami memang tidak suka berbisik-bisik. Rasanya tidak sopan.

Melia sebagai tuan rumah, mengajak ku untuk mencicipi jamuan nya. Tentu penampilan mereka lebih berkelas.

"Yang berkualitas tentu berkumpul dengan yang sepadan. Tidak perlu berkumpul dengan yang tidak bermutu,"

Kembali aku berbisik di telinga Ratih dan kawan-kawan. Ini baru permulaan sayang. Lihat tanggal mainnya nanti.

*

Hari ini jadwalku berbelanja bulanan. Tentu saja aku sendiri. Tanpa Mas Ridwan di sisi, aku pun masih bisa mandiri.

Saat aku hampir sampai ke mini market, kembali aku bertemu seseorang yang menyerupai sosok ibu mertua. Atau mungkin memang benar ibu mertua. Tak ingin kehilangan jejak lagi, aku buru-buru menghampirinya mumpung beliau belum mengetahui kehadiranku.

Saat sudah dekat, ku pastikan itu memang ibu. Beliau tengah melayani pembeli. Jadi kemungkinan besar, beliau tidak akan mencoba lari dariku.

"Ibu," panggilku.

Beliau hanya menoleh sekilas. Ku ulurkan tangan untuk menyalaminya.

"Tidak usah hormat begitu. Aku orang miskin. Kamu orang kaya. Ada kesenjangan sosial didalamnya," kata beliau dengan ketus.

Hatiku bergetar. Tidak seperti biasanya ibu seperti ini. Beliau yang ku kenal dulu adalah seorang yang lembut dan welas asih.

"Ibu kenapa?" tanyaku lesu.

"Jangan berbasa-basi. Cepat pergi dari sini. Aku muak melihat wajahmu."

Ya Tuhan tidak biasanya ibu berkata kasar seperti ini. Bahkan sekalipun beliau tidak pernah melontarkan kalimat kasar kepadaku.

"Ibu, Anisa memangnya salah apa? Kalau ada salah, tolong jelaskan sekaligus Anisa minta maaf. Tapi tolong jangan seperti ini," ucapku memohon.

"Tidak. Orang kaya kan tidak ada salah apa-apa."

"Bu... "

"Pergi dari sini, atau aku akan teriak maling?"

Aku tidak ada pilihan selain menuruti beliau dan meninggalkan nya dengan dagangannya. Tapi langkahku memaksaku untuk kembali.

"Bu, kalau ada apa-apa, ibu bilang ya sama Nisa."

Ibu tidak menanggapi omonganku. Dan aku pergi dengan seribu tanya dalam hati.

Apa mungkin aku menceritakan ini kepada Mas Ridwan?

Tidak. Aku tidak boleh menceritakan masalah ini. Rencanaku kapan-kapan aku akan ke rumah ibu mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.

*

"Mas, kemarin kamu sudah transfer uang untuk ibu?" tanyaku suatu malam.

"Sudah. Kamu tenang saja."

Lalu mengapa ibu bersikap seperti itu. Rasa nya aku selalu berhati-hati dalam bersikap maupun berkata terhadap beliau.

Sebenarnya apa yang salah?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MELAWAN PELAKOR   39

    Tentu saja Bu Woro kaget mendengar jawaban Clara. Bahkan dari raut wajahnya memang Clara terlihat begitu tegas. Netranya sedikit melotot "Ra," ucap Bu Woro pelan. Ia benar benar tidak menyangka akan begini respon Clara.Clara mengangguk."Iya. Tak ada yang salah dengan jawaban saya. Dengan tegas saya memang menolak.""Tapi Hisyam Ra."Clara hanya mendengus kesal "Kenapa dengan Hisyam Bu? Bukannya usahanya saja yang terbakar? Hisyam juga baik baik saja bukan?" respon Clara dengan santai."Apa kamu lupa dengan niat awal kamu untuk mendapatkan dia?" tanya Bu Woro dengan lirih"Hemm dulu. Kalau sekarang sudah tidak mungkin ya. Hisyam sudah jatuh. Mungkin memang hanya Anisa yang mau. Lagipula siapa yang mau dengan pria yang sudah bangkrut. Laki laki itu kodratnya menafkahi, tidak bergantung dengan wanita," jawab Clara Bu Woro menggeleng. Ia benar benar tak menyangka. Saat mendengar Hisyam jatuh, terungkap sudah sifat asli Clara."Tapi saya bersyukur Ra atas musibah ini." ucap Bu Woro ti

  • MELAWAN PELAKOR   38

    Sontak warga yang lalu lalang segera menghampiri wanita yang tergeletak di pinggir jalan. Luka di kakinya membuat sebagian orang merasa jijik."Panggil Dinsos saja," inisiatif seseorang.Dan akhirnya Ratih dibawa ke rumah sakit. Pemberitaan mengenai Ratih mati ternyata salah. Dia masih hidup. Namun menurut Dokter, Ratih terkena penyakit diabetes akut.Ia menangis sesenggukan di atas ranjang rumah sakit. Sendirian. Teringat bagaimana saat dia di masa berjaya. Dia bisa makan dan minum apa saja yang di mau. Hidupnya bebas. Ingin apapun tinggal beli. Apa itu kesehatan? Ia tak perduli. Baginya asal punya uang, hidup pasti akan berjalan dengan mulus.Tentu orang orang tak ada yang berani mendekat atau mungkin menunggu. Karena takut dimintai pertanggungjawaban.Namun tak lama ada seorang wanita muda yang mendekat. Ia tidak tau siapa wanita itu. Dia tak mengenalnya sama sekali maupun bertemu sebelumnya."Bagaimana ibu? Apakah sudah ada perubahan? Oh iya saya Desi. Saya dari Dinas Sosial." ka

  • MELAWAN PELAKOR   37

    Bu Woro tampak melengos dengan pertanyaan Hisyam. Pelan, namun tak meninggalkan kesan tegasnya. Kalau bukan dia yang membela Anisa, lalu siapa lagi?"Bukan maksut ibu untuk tidak memperlakukan Anisa dengan tidak baik. Hanya saja siapa sih orang tua yang tidak ingin agar anaknya segera mendapatkan keturunan?" elak Bu Woro lagi.Hisyam mengambil nafas panjang. Semata agar emosinya tetap stabil."Bu, anak adalah rezeki. Dan rezeki, jodoh maut itu sudah ada yang mengatur. Jadi berhenti untuk bersikap seperti Tuhan," Hampir saja Bu Woro ingin menyela lagi."Saya sedang repot Bu. Sebentar lagi ada meeting yang harus saya ikuti," potong Hisyam dengan cepat. Agar sang ibu diam. Dan akhirnya dengan langkah gontai, Bu Woro terpaksa pergi dari ruangan itu.Berkali kali pihak properti melihat lihat rumah Anggun yang akan dijual. Membuat Ridwan sedikit uring uringan."Nggun sebelum kamu menikah, setidaknya tolonglah Carikan aku hunian dan pekerjaan," keluh Ridwan di suatu hari.Anggun hanya mengh

  • MELAWAN PELAKOR   36

    Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T

  • MELAWAN PELAKOR   35

    Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T

  • MELAWAN PELAKOR   34

    Mulanya Ratih hanya menatap penuh tanda tanya. Matanya melotot."Ya kalau kamu tidak mau tidak apa apa. Aku tidak memaksa. Aku juga tidak bisa memberikanmu apa apa. Karena aku sendiri juga kesusahan. Hasil sedikit tidak apa apa. Yang penting cukup untuk makan." kata Ridwan lagiRatih masih terdiam di tempatnya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya, jika dia harus menjadi pemulung. Bahkan usianya saat ini masih tergolong muda.Perlahan Ridwan mulai melangkah meninggalkannya. Dia berpikir, Ratih tidak punya keputusan. Jadi untuk apa dia membuang buang waktu.Saat langkah Ridwan sudah agak jauh baru Ratih menoleh."Tunggu. Aku ikut," teriaknya.Ya dia membulatkan tekad. Jika saat ini ia masih ada yang memberi bantuan. Tapi bagaimana keesokan harinya. Belum tentu ia bisa makanMulanya Ratih merasa kikuk. Canggung. Tapi semua ia lawan demi isi perut.Karena belum terlalu mengerti tentang seluk beluk disini, Ratih hanya mengekor di belakang Ridwan. Sembari menungvi komando untuk apa yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status