Gawai berbunyi nyaring, nama Raka tertera didalam layar.
"Mas ..." suara manja perempuan yang aku rindu, memenuhi pendengaran."Apa sayang?" balasku lembut.Ya ... Raka adalah nama untuk Sekar di gawaiku. Tak mungkin aku menuliskan namanya, bisa banyak pertanyaan nantinya."Kapan kekosan ... kalau terlalu lama bisa berjamur aku," nada suaranya terdengar merajuk, namun gemas ditelinga.Sudah empat hari ini aku tidak menemuinya, aku mau mencari aman dulu dari mertua. Papah itu sangat keras, berbeda sekali dengan anaknya yang lemah lembut."Sabar ... ini juga demi kebaikan kita," sahutku."Nanti Mas pikirkan, bagaimana caranya agar kita bisa bertemu setiap hari," sambungku, setelah mendengar dengkusan kesal dari ujung telepon."Mas ... bagaimana kalau aku melamar kerja ditoko matrial?" usul Sekar. "Kita bisa setiap hari bertemu," sambungnya riang."Mm ... tidak mudah menerima karyawan disMata mengejrap pelan, lalu mengedarkan pandangan keseluruh ruangan.Ssss ....Sakit langsung menyerang kepala, mata kembali tertutup, tak sanggup terbuka karna rasa perih yang begitu luar biasa."Astaga apa yang terjadi!" teriakan Ibu terdengar ditelinga.Tak lama sentuhan tangan mendarat diwajahku. "Siapa pelakunya!!" geram Ibu.Suara tangis Sekar terdengar, dengan sekuat tenaga aku membuka mata."Ibu ... huhu," Sekar menangis pilu."Argh...""Ro-nald," wajah Ibu yang pertama kali aku lihat. Gurat kecemasan tergambar jelas diwajahnya."Air ..." lirihku. Ibu langsung meraih botol mineral dan membukanya, lalu memasukkan sedotan kedalamnya.Tenggorokan yang semula kering, kini terasa lega seirama dengan air yang mengalir melewati tenggorokan."Siapa? Siapa yang berani melukaimu?" cecar Ibu. Aku hanya terdiam, dan mengehela nafas dengan berat."Ibu ..." Se
"Kenapa Bu?" tanyaku saat melihatnya tertegun memandangi gawai."Astrid ... dia memblokir nomer Ibu," lirihnya dengan tatapan tak percaya.Aku terkejut mendengar ucapan Ibu, memijit pelipis yang tiba-tiba terasa tegang.Ada apa ini. Mengapa Astrid sekejam itu."Mbak Astrid blokir nomer Ibu?" seru Zeky dengan alis menaut.Ibu memandang kearahku dan Zeky bergantian dengan panik."Ada masalah apa? Selama ini Mbak Astrid sangat baik sama Ibu, Ibu apain Mbak Astrid?" cecar Zeky dengan wajah frustasi."Kalau caranya begini, bisa gagal beli motor baru," sungut Zeky dengan sinis."Benar-benar kurang ajar! Mertua sendiri diblokir, masih untung kamu tidak menceraikan dia." rutuk Ibu tak terima."Cerai. Siapa yang mau cerai?" Zeky menatapk
"Ibu Astrid bilang, di-a tidak menerima sumbangan ..." ragu Bik Irah berucap."Apaaa!!" Ibu terlonjak dari tempatnya.Meneguk saliva yang terasa menggumpal, hatiku mencelos mendendengar ucapan Bik Irah.Astrid ... dia menganggap kami pengemis? Jahat sekali.Wajah Ibu langsung memerah, dengan langkah lebar dia berjalan menaiki tangga, melewati Bik Irah yang ketakutan."Hei ... jangan sembarang memasuki rumah orang!" Vivian yang biasa masa bodoh dengan keadaan, angkat bicara."Kamu diam. Jangan ikut campur! Ini rumah Ronald juga!" sentak Ibu. Vivian mendecih, lalu mengangkat bahunya."Menantu tidak tahu adab. Didiamkan semakin melunjak, tidak tahu diri!!" umpat Ibu dengan begitu geramnya."Dia pikir aku itu pengemis. Dasar anak durhaka!"
"Aku tidak peduli dengan masalah kalian ... yang aku tahu, Mbak harus menepati janji itu," sambung Zeky sambil memegangi tangan Astrid.Astrid menatap Zeky tak percaya, ada binar kesedihan yang terpancar dari matanya."Mbak ... Mbak Astrid," Zeky terus memohon, sementara Astrid hanya diam menanggapinya."Lepas ..." manik Astrid menyorot tangan Zeky yang memeganginya. Mata Zeky memerah, dengan pelan dia melepasnya."Saya tidak pernah menjanjikan apapun untukmu, Zek." sanggah Astrid."Loh ... Mas Ronald bilang, Mbak akan membeli motor untukku bulan depan. Ini sudah lebih dari sebulan, Mbak." Zeky memelas."Mas mu yang menjanjikan bukan saya," tegas Astrid. "Saya bukan lagi Atm berjalan, yang bisa kapan saja kalian poroti." sambung Astrid dengan senyum miring menyebalkan."Jadi selama ini kamu tidak ikhlas? Pakai ngomong di poroti segala. Wajar! Kami ini keluargamu, sudah seharusnya kamu yang punya banyak uang
"Zeky!!" jerit Ibu. "Dasar tidak punya hati, lihat Zeky seperti ini karna ulahmu!" nafas Ibu menggebu-gebu, matanya melotot tajam kearah Astrid.Astrid menatap datar, lalu masuk kedalam kamar tanpa menoleh sedikitpun kearah Zeky."Astrid!! Mau kemana kamu hah! Tanggung jawab," deru nafas Ibu menggebu-gebu.Astrid tetap tak peduli, dia malah membanting pintu dengan keras."Siaaallan! Menantu durjana!" maki Ibu dengan gigi bergeletuk kuat."Ronald, bagaimana ini. Huhu ..." Ibu menangis histeris, memegangi tangan Zeky."Dasar ibliiis! Tidak punya otak! Dia menyuruh Zeky bunuh diri. Huhu," rutuk Ibu disela isak tangisnya."Ya Alloh ... Mas Zeky kenapa, Oma!" seru Bik Irah sambil berlari kearah kami."Astrid ... dia pelakunya!" jerit Ibu. Bik Irah terlonjak, tak
"Biar dia selalu patuh sama keluarga kita. Seperti sebelumnya, Ibu pusing kalau ini sampai berkepanjangan," sambung Ibu dengan pandangan lurus kedepan."Sudah lama kita tidak mengunjungi rumah Pamanmu, bisa jadi mantranya sudah luntur," cicit Ibu.Aku terduduk lesu mendengarnya, bukan tidak percaya. Namun itu terdengar konyol. Bagaimana mungkin, hanya karna air yang katanya sudah dimantrai Astrid akan luluh. Ada-ada saja.Aku jamin selama ini cinta Astrid tulus padaku, bukan karna embel-embel mistik. Saat ini Astrid marah karna aku menduakannya, bukan karna ajimat yang sudah luntur semata."Cepat pulang ... selesai penanganan, pihak rumah sakit pasti akan menagih adminitrasi," lirih Ibu."Perhiasan ada didalam brangkas lemari, kodenya 34359. Ambil kalung beserta suratnya lalu jual ketoko biasa Ibu beli perhiasan," jelas Ibu sambil menyenderkan tubuhnya dipunggung kursi. Terlihat sangat lelah dengan wajah kusut tidak bersemangat.
Pov Astrid.Suara ketukan terdengar dari luar, wajah Vivian menyembul dibalik pintu."Kak ..." aku hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap layar 14inci didepanku."Katanya pusing, masih kerja aja," cibirnya sambil jalan mendekat."Laporan penting, harus dikerjakan," sahutku."Ada suami tercintamu diluar," Vian terkekeh geli, perutku langsung mual mendengar ucapannya.Suami tercinta? Cih ... memuakkan!Dulu, mungkin itu terdengar menggemaskan, tapi sekarang tidak lagi."Suruh pulang sanah, aku malas melihat wajah pengkhianat itu," cebikku."Ciye ... dulu di sanjung-sanjung," ledek Vivian. Aku tersenyum kecut mendengarnya."Sanah suruh pulang, bilang aku tidak bisa diganggu," ucapku tanpa beralih dari layar didepanku."Usir sendirilah ... aku sih malas," sahut Vian. Lalu keluar dari kamarku.Aku kembali mengerjakan tugas yang dikirimkan oleh Bos, tak p
Suara guntur mencubit hati, aku menutup diri dibalik selimut. Merapalkan doa-doa yang aku bisa, untuk menghilangkan rasa terkejut didalam sanubari. Perlahan suara hujan terdengar, hawa sejuk terasa menggigit kulit meski pendingin ruangan dalam keadaan padam.Perlahan aku membuka selimut, ingatanku tertuju pada Naura yang tertidur dikamarnya. Menuruni ranjang, langkahku mendekat pada kamar anak manis kesayanganku.Samar, aku mendengar suara orang berbincang didalam kamar. Aku kembali melangkah tanpa suara lalu menajamkan pendengaran.Itu suara Mas Ronald, dia sedang membacakan buku cerita untuk Naura. Aku menghela nafas, Naura memang cukup dekat dengan Ayahnya. Aku yang terlalu sibuk, pulang kerja langsung beristirahat masuk kamar. Berbeda dengan Mas Ronald yang menyempatkan diri bermain dengan Naura.Sulit dipercaya memang, laki-laki baik hati dan sayang keluarga seperti Mas Ronald tega mendua dan mengingkari janji suci pernikahan. Mungkin