Pov Astrid.
Suara ketukan terdengar dari luar, wajah Vivian menyembul dibalik pintu."Kak ..." aku hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap layar 14inci didepanku."Katanya pusing, masih kerja aja," cibirnya sambil jalan mendekat."Laporan penting, harus dikerjakan," sahutku."Ada suami tercintamu diluar," Vian terkekeh geli, perutku langsung mual mendengar ucapannya.Suami tercinta? Cih ... memuakkan!Dulu, mungkin itu terdengar menggemaskan, tapi sekarang tidak lagi."Suruh pulang sanah, aku malas melihat wajah pengkhianat itu," cebikku."Ciye ... dulu di sanjung-sanjung," ledek Vivian. Aku tersenyum kecut mendengarnya."Sanah suruh pulang, bilang aku tidak bisa diganggu," ucapku tanpa beralih dari layar didepanku."Usir sendirilah ... aku sih malas," sahut Vian. Lalu keluar dari kamarku.Aku kembali mengerjakan tugas yang dikirimkan oleh Bos, tak pSuara guntur mencubit hati, aku menutup diri dibalik selimut. Merapalkan doa-doa yang aku bisa, untuk menghilangkan rasa terkejut didalam sanubari. Perlahan suara hujan terdengar, hawa sejuk terasa menggigit kulit meski pendingin ruangan dalam keadaan padam.Perlahan aku membuka selimut, ingatanku tertuju pada Naura yang tertidur dikamarnya. Menuruni ranjang, langkahku mendekat pada kamar anak manis kesayanganku.Samar, aku mendengar suara orang berbincang didalam kamar. Aku kembali melangkah tanpa suara lalu menajamkan pendengaran.Itu suara Mas Ronald, dia sedang membacakan buku cerita untuk Naura. Aku menghela nafas, Naura memang cukup dekat dengan Ayahnya. Aku yang terlalu sibuk, pulang kerja langsung beristirahat masuk kamar. Berbeda dengan Mas Ronald yang menyempatkan diri bermain dengan Naura.Sulit dipercaya memang, laki-laki baik hati dan sayang keluarga seperti Mas Ronald tega mendua dan mengingkari janji suci pernikahan. Mungkin
Sebulan berlalu begitu saja, kehidupan berjalan seperti biasa tidak ada yang menarik apa lagi special. Mas Ronald masih betah dengan muka temboknya, selama hidup dirumah dia berusaha memperbaiki hubungan dan merebut perhatianku, meski aku mengacuhkan itu semua.Mas Ronald seakan tak kenal lelah, meski aku bersikap keras dan menganggapnya tak ada, dia selalu sabar dan terima dengan segala perlakuanku.Sebelum pulang kerja aku sempatkan diri mampir ketoko mainan dan kerestoran memesan makanan untuk Naura.Sesampainya dirumah kulihat Ibu mertua sedang bermain dengan Naura, ditemani Mas Ronald. Hatiku benar-benar mencelos melihatnya, dulu Ibu bahkan tak menganggap Naura cucunya. Buat dia cucu perempuan tidak bisa dibanggakan.Melihatnya yang mendadak ramah dengan Naura, membuat hati berburuk sangka. Pasti ada udang dibalik batu, mengingat ini adalah hari gajianku."Mamah pulang.." sorak Naura saat melihat kehadiranku. Aku tersenyum
Menikmati terik matahari yang tidak terlalu panas, kaki melangkah menuju bibir pantai. Pasir basah kini menyentuh kulit, angin segar yang terasa hangat menampar rambut dan wajahku.Sejenak melepas penat dari kehidupan yang kini menjengkelkan, melepas sesak dirongga dada dengan mengedarkan pandang kesetiap sudut pantai. Keindahan alam mampu membuat hati merasa lebih baik, kuharap angin pantai serta deburan ombak mampu membawa segala perih yang tersimpan disanubari.Kaki kembali menjelajah, menginjak pasir putih yang meninggalkan jejak dikulitku. Bibirku terkulum, melihat anak-anak bermain dengan ceria tanpa beban."As ..." suara Mas Ronald terdengar ditelinga aku menghentikan langkah, berdiam diri ditempat."Sampai kapan kita terus seperti ini," suaranya pelan, namun mampu mengalahkan desiran ombak."Tolong ... lupakan kejadian yang lalu," auaranya kini terdengar frustasi.Aku mendesah lelah, lalu kembali melangk
Masih terdengar teriakkan Ibu dibawah sana, mengumpat mengeluarkan segala uneg-unegnya. Nenek bawel itu sangat emosional, tak boleh dicubit sedikit pasti lansung mencak.Benar dugaanku, Ibu mertua berpura baik karna ada maunya terlebih ini adalah tanggal gajianku. Sepertinya dia ingin meminta jatah bulanan padaku, dengan cara merebut perhatian Naura. Cucu yang selama ini dia sia-siakan.Bu.. Ibu. Bahkan aktingmu tak bertahan lama, kau kembali pada sifat aslimu saat aku tak memberi oleh-oleh. Dasar mata duitan!Aku langsung menuju toilet, membersihkan badan yang mengganti pakaian. Setelahnya aku menuruni tangga, untuk menengok Naura didalam kamarnya.Aku mendengar ada suara orang berbicara dari arah dapur, dengan langkah pelan aku mengendap kesumber suara."Makan pelan-pelan kenapa, kaya orang kelaparan aja." Terdengar suara Ibu. Jadi dia belum pulang?Ckckcck, kuat malu juga ya. Apa tadi aku belum mengusirnya?
"jangan begitu Mah.. biar bagaimana pun, aku ini masih suamimu. Seharusnya kamu menghormatiku, jangan bersikap kurang ajar seperti ini," desah Mas Ronald."Cih.. kamu yang kurang ajar! Setelah menyakitiku, kau menjebloskan aku kedalam penjara. Lupa?" Tanyaku dengan mata memicing."Kau menikah diam-diam. Menghamburkan uangku demi bersenang-senang dengan betina itu. Kini kau menyalahkan semua ini padaku!""Bukan begitu..""Jangan selalu menyalahkan orang lain. Kau harus sadar diri, masalah ini berasal dari ulahmu sendiri. Tak ada asap, kalau tak ada api," semprotku."As.. semua sudah terjadi. Aku harus bagaimana agar semua kembali seperti sedia kala?" Sahutnya frustasi."Tolong As.. lembutkan hatimu. Jangan membatu seperti ini," cicitnya membuatku muak."Sudahlah.. bicara padamu tak ada habisnya. Maunya menang sendiri, tidak pernah berfikir mengapa semua bisa terjadi. Mau enaknya aja!" Sentakku.Di
Menatap lekat kearahnya, mataku menyipit mengamati expresi Mas Ronald."Telpon Ibu sekarang? Sebelum aku lapor polisi," titahku."Lapor polisi?" kening Mas Ronald mengerut."Aku kemalingan, ya harus lapor polisi. Tapi sebelumnya aku harus bertanya pada orang rumah. Ibumu kan dari sini, masa dia tidak tahu apa-apa," jelasku.Mas Ronald mendengkus, lalu meraih gawainya didalam saku celana."Tidak diangkat," ucapnya sambil menunjukkan gawai didepan wajahku."Telpon terus, sebelum aku beneran kekantor polisi." Ancamku. Mas Ronald kembali menaruh gawai ditelinga, rautnya memancar kecemasan. Sepertinya jalan pikiran kita sama."Halo Bu ...."..."Ibu lihat sofa sama televisi diruang tamu?"..."Kemana ya. Kok hilang," ucap Mas Ronald sambil melirik takut kearahku.Aku mendecih sinis, lalu merenggut gawai dari tangannya."Ibu beneran tidak lihat?" U
"Bagus kalau begitu," sahutku sambil menepuk bahu suamiku.Aku melangkahkan kaki, meninggalkan Mas Ronald yang diliputi raut kecemasan.Aah ... sejak mendapat masalah, belum pernah hatiku seriang ini. Ibu, kamu memang benar-benar dapat merubah suasana hatiku.Segera membersihkan diri, kupakai pakaian yang simpel, nyaman dan tentu saja cantik untuk berjaga-jaga jika Ibu tak bisa mengembalikan sofa dan televisiku.Aku bersiul riang sambil mengamati jam yang menempel didinding kamar. Sepertinya harus mengisi perut dulu, aku yakin akan ada drama yang akan menguras energi serta emosiku.Melangkahkan kaki dengan riang, lalu berjalan menuju dapur. Kulihat Naura dan Mas Ronald sedang duduk dikursi makan, sedang menikmati santapannya."Enak Mas?" untuk pertama kali set
Plakk!!Satu tamparan keras mendarat dipipiku, menyisakan perih dan panas yang luar biasa disekitar area wajah.Meski pipi terasa terbakar, aku memasang wajah menantang, berharap Ibu kembali melayangkan tangan dipipiku. Sesuai harapan, Ibu teramat geram melihat expresiku yang menjengkelkan tangannya kembali terangkat keudara."Cukup Bu ... jangan main kekerasan disini," cegah polisi berwajah tampan itu.Huh ... padahal tadi biarkan saja, Pak.Aku memegangi wajah, kubuat air muka sangat ketakutan sambil memegangi lengan Pak Anton."Tolong Pak," rintihku ketakutan."Ibu! Bisa jaga sikap tidak!" bentak Pak Anton sambil memasang badan saat Ibu bersiap untuk menyerang aku kembali.