Menyeret langkah memasuki rumah, pikiranku kalut berkelana tak tentu arah. Sundal itu, beraninya dia menusukku dari belakang. Datang padaku memohon belas kasih bagai pengemis, setelah aku berbaik hati dia malah menebar racun untuk keluargaku.
Benar-benar tidak bisa dimaafkan!Ah ... memikirkan itu semua membuat otakku berdenyut nyeuri. Segera membersihkan diri, untuk menenangkan hati dan pikiran.Memejamkan mata, saat ribuan air yang mengucur dari shower menerpa kulit kepala. Hatiku berangsur dingin seiring dengan aliran air yang mengalir lembut disetiap inci kulitku.Memandangi diri dipantulan cermin, usiaku sudah memasuki angka 35 tahun. Namun aku merasa diri masih terlihat menarik, berkat polesan rutin yang aku pakai dipagi dan malam hari. Wajahku masih berseri dan cantik alami.Jangan pernah bertanya tentang dosa atau kekurangan pada pasangan yang mendua. Itu hanya akan memperkecil harga dirimu, sudahlah cukup kau pahami dirinya memang serakah serta lemah iman dan pastinya sangat murahan. Tidak bermoral!Merebahkan tubuh dipembaringan, mataku menatap lurus langit-langit diatas kamar. Perih, sungguh hatiku begitu sakit, mengingat kejadian hina itu.Suami yang begitu aku cinta dan hormati, ternyata tak lebih dari seekor serigala berbulu domba. Menjengkelkan!"Mas ... aku tak menyangka kau bisa sebejat itu. Kalau saja, aku tak datang ketoko. Mungkin aku masih terus dibohongi olehmu," ratapku pilu, layaknya orang bodoh.Air mata berjatuhan tanpa kuminta, tubuhku bergetar menahan semua gejolak yang sudah meronta-ronta. Amarah kembali menguasai hati, segera aku mengambil koper yang ada didalam lemari, membukanya lebar-lebar dan memasukkan semua pakaian Mas Ronald kedalamnya.Tidak akan aku biarkan dia kembali memasuki rumahku, dia tak pantas menerima pengampunan apa lagi kesempatan kedua.Menarik nafas dalam-dalam, membuka jendela kamar setelah memastikan tidak ada orang diluar rumah. Aku menjatuhkan koper Mas Ronald dari lantai dua kamarku.Pergi Mas ... jangan pernah berharap apapun dengan pernikahan ini. Sejatinya jika seseorang sudah berselingkuh, itu berarti dia sudah siap dengan segala konsekuensinya. Dan inilah akibatnya sudah berani bermain gila dibelakangku.Rasa lelah membuat mata ini terpejam dengan sendirinya. Entah sudah berapa lama aku terlelap hingga tepukkan kecil membangunkanku."Mamah ..." suara gadis kecilku memenuhi telinga.Dengan susah payah, aku mengejrapkan mata. "Naura ..." lirihku saat melihat wajah cantiknya.Wajah cantik itu mengembangkan senyum, kubalas dengan renggangan tangan agar dia segera memelukku."Mah ... Ayah kok tidak ada, yang mengantar Naura sekolah siapa dong?" tanya Naura dengan kepala celingukkan."Ayah ..." hatiku kembali ngilu saat Naura bertanya tentang Ayahnya."Ayah, dia sedang ada pekerjaan diluar kota," jawabku sekenanya."Untuk sementara, biar Mamah saja yang mengantar, Naura." lanjutku dengan senyum yang merekah."Beneran, Mah?" tanya wajah lugu itu dengan mata yang berbinar."Bener dong, masa bohong." sahutku sambil menjawil hidungnya. Naura bersorak ria, lalu mencium pipi ini."Ya sudah, Naura sarapan dulu ya." ucapnya seraya beringsut dari ranjang dan keluar dari kamarku.Aku tersenyum getir, aku harus terbiasa hidup tanpa Mas Ronald, begitu pun dengan Naura. Meski tidak mudah, aku yakin bisa mengatasinya.Selesai membersihkan badan dan memoles wajah, aku segera menuruni tangga menuju meja makan. Aku tertegun sesaat mendapati meja makan hanya ada, Naura dan Bik Irah yang sibuk dengan pekerjaannya. Memang ada yang berbeda dirumah ini. Biasanya Mas Ronald ada disana, bercanda ria dengan putriku.***ofd.Menjalani hidup seperti biasa, meski sedikit kerepotan aku bahagia menjalaninya. Hari ini adalah hari ketiga aku tanpa Mas Ronald, entah bagaimana kabarnya saat ini aku pun tidak terlalu memikirkannya.Suara ketukan pintu terdengar dari luar, setelahnya disusul suara Bik Irah memanggil namaku."Iya masuk saja, Bik ..." sahutku sedikit berteriak, pandanganku lurus menghadap layar 14inci. Aku menoleh sekilas, wajah Bik Irah menyembul dibalik pintu lalu membuka pintu dengan lebar."Ibu ... dibawah ada, Oma dan Mas Ronald." ucapnya.Aku menghela nafas, kukira bajingan itu tidak berani menunjukkan wajahnya lagi disini. Rupanya aku salah, membawa Ibunya turut serta pula. Dengan malas aku bangkit dari ranjang dan melangkah menemui mertua serta suamiku.Ibu mertua menatap sinis, sementara Mas Ronald menundukkan wajah saat melihat kedatanganku.Pandanganku terhenti saat melihat perempuan sundal itu ada di sisi, Mas Ronald. Senyum mengejek dia sunggingkan, membuat amarah di dalam dada tersulut bara api seketika.***OfdJangan lupa subcribe ya kakak, biar lebih semangat ngetik. Trimakasih. 🙏Pov Author."Gimana, beres?" tanya laki-laki berbadan tegap dengan gawai ditelinga."Beres, Boss. Aman. Semua sesuai dengan rencana." jawab suara serak diujung sana.Laki-laki dengan janggut tipis itu tersenyum puas, lalu memutuskan sambungan telepon."Cih! Sampah! Ditolong, malah menikamku!" desis laki-laki tampan itu."Boss Setyo, ada paket." terdengar suara teriakan dari balik pintu. Laki-laki itu menaruh gawai diatas meja kerja, lalu bangkit dari kursi kebesarannya."Ini, Boss." Yadi, karyawan baru pengganti Ronald menyodorkan amplop tebal berwarna coklat."Ya." jawab Setyo, sambil mengangkat kepala. Yadi mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaan."Ckckck, rapih juga cara kerjanya." gumam Setyo sambil merobek ujung amplop, lalu menarik isi didalamnya.Senyum miring tercipta saat Setyo melihat isi amplop, sedetik kemudian bibirnya tersenyum dengan lebar."Ini belum apa-apa," gumamnya pelan. "Setelah ini ak
Pov Sekar."Ha-lo Mbak," suara Rikhi terdengar saat aku menggeser tombol hijau dan menaruhnya ditelinga."Iya, Khi. Gimana Mas Ronald, sudah aka kabar?" cecarku cemas. Hampir satu minggu, Mas Ronald tidak bersua kabar. Istri mana yang tidak khawatir saat tak mendangar kabar beritanya."Mbak," suara Rikhi kembali terdengar tapi kali ini terdengar bergetar disertai isakan."Ada apa, Khi?" aku semakin penasaran."Mas Ronald ..." hawa dingin langsung menyelusup tengkuk leher, mendengar suara Rikhi yang menyebut nama suamiku dengan tersendat-sendat membuat fikiran buruk langsung menjalar difikiran."Mas Ronald kenapa, Khi. Kamu yang benar dong kalau bicara, jangan begini!" aku mulai panik, kehilangan sabar."Mas Ronald sudah tiada, Mbak. Huhu."Tubuh langsung bergetar hebat, kepala berdenyut tak sanggup mencerna kalimatnya."Mbak ..." suara Rikhi kembali terdengar. Aku hanya diam dengan dada yang bergemuruh hebat.Mas
Aku memekik tertahan, tubuhku meremang seirama dengan rasa nyeuri yang luar biasa disekujur badan. Laki-laki itu menatap datar, gerakannya semakin kuat menancapkan belati diperutku.***Ofd.Pov Astrid"Saya terima nikah dan kawinnya Astrid Anandia binti Bapak Santoso Permana, dengan mas kawin satu set emas seberat lima puluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"Dengan satu tarikan nafas, Edwin mengucap janji suci. Hatiku bergetar seiring dengan serempaknya kata 'saaahhh' yang menggema disetiap sudut masjid."Alhamdulillah ..."
Laras langsung menarik selimut, tubuhnya bergetar hebat memandang sosok yang ada dihadapannya.Sementara aku, nafasku tercekat tubuhku membeku tidak dapat bergerak saat sorot itu menatap tajam kearahku."Gua kira kita temen," desis Setyo mengagetkanku.Lidah begitu kelu, aku kehilangan kata-kata. Tubuh bergetar hebat, saat melihat dua laki-laki berbadan tegap masuk kedalam kamar."Yo ... gue bisa jelasin ini semua." tuturku dengan jantung yang berdebar kencang."Jelasin?" Setyo menatap remeh, lalu terkekeh setelahnya. "Gimana tubuh istri gue, nikmat?" Setyo melangkah maju mendekatiku.Aku terdiam, menoleh kearah Laras."Gue bantu kesusahan lo. Tapi ini balasannya?" api kemarahan berkobar-kobar dimatanya."Yo," aku berusaha menahan tubuhnya yang semakin mendekati."Setan lo!!"Bugh ... bugh.Pukulan bertubi-tubi menghantam wajahku, aku tak ing
Ada uang disayang, tak ada uang dicemberutin.Nasib ....***Ofd"Mas berangkat dulu," aku mengulurkan tangan, membiarkan Sekar mencium punggung tanganku."Hati-hati," ucapnya sambil melempar senyum. Aku menganggukkan kepala, lalu mengusap lembut wajah Mutia dengan lembut."Ayah kerja dulu ya," bisikku ditelinga bayi berusia satu bulan itu.Aku langsung keluar rumah, melajukan kendaraan roda dua menuju tempat kerja.Butuh waktu empat puluh menit untuk sampai dirumah Setyo, aku lihat Boss Setyo sudah duduk dikursi teras rumah sambil menyeruput kopi hitamnya."Ngopi, Boss?" tanyaku setelah memarkirkan motor dihalaman luas milik Laras. Ya setahuku begitu, rumah dan usaha yang digeluti Setyo adalah warisan dari mertuanya yang berarti punya Laras."Hmm ..." Setyo hanya bergumam, sambil mengangkat cangkir kopi dan kembali menyeruputnya."Ngirim barang kemana har
"Cucu Ibu perempuan, dia cantik seperti Mamahnya," suster menyahut.Ibu terperangah, wajah penuh harapnya berubah keruh."Silahkan, Bapak." suster berjalan mendahuluiku, memberi jalan agar aku mengekorinya.Kulihat Ibu tertunduk lesu, tak ada gairah sama sekali.Bayi mungil didalam box bayi bergeliat, wajahnya benar-benar menyerupai Sekar. Hatiku terenyuh saat tangan ini bersentuhan dengan wajah merahnya.Kulantunkan takbir, bibirku bergetar saat melihat bayi itu membuka matanya. Entah mengapa aku jadi mengingat dosa, dosa kepada Astrid dan Sekar karna sudah mengkhianati kedua.Selesai mengadzankan bayi mungil itu, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan. Rasa sesak menghimpit hati, merobek-robek relung jiwaku. Aku tidak tahu apa yang membuat hatiku serapuh ini, yang aku tahu aku sudah terlalu banyak berbuat dosa."Ibu mau kemana?" tanyaku saat melihat Ibu dan Zeky berjalan meninggalkan kursi