Share

Bab 2 - Sabotase

 

 

 

 

Aku mendecih sinis saat melihat perempuan sundal itu merangkak, mendekati suamiku.

 

"Keterlaluan! Dasar tidak punya hati!!" jeritnya saat melihat keadaan, Mas Ronald lebih dekat. 

 

Jalang itu tergugu pilu, dipeluknya laki-laki yang masih sah bersetatus sebagai suamiku yang sudah lemah tak berdaya.

 

Ingin sekali melompat, dan mencekik keduanya. Namun aku mengurungkan niat, pikiranku berangsur waras saat melihat darah yang tercecer diatas lantai.

 

Melangkah keluar dengan hati yang kesal luar biasa. Jantungku masih bertalu-talu dengan amarah yang masih menyala-nyala. Aku tak menyangka bisa sekuat itu. Tubuhku bergetar saat berjalan menuju kasir.

 

Suara teriakan memekik telinga, dengan susah payah jalang itu memapah tubuh kekar suamiku.

 

"Tolong siapa saja ... bawa, Mas Ronald kerumah sakit!!" teriaknya didepan pintu.

 

Aku menatap datar, tiga karyawan laki-laki yang sejak tadi mematung disamping meja saling berpandangan. Lalu berhamburan membantu membawa tubuh, Mas Ronald.

 

Perempuan itu menghentikan langkah saat melihatku, sorotnya menatapku murka dengan tangan yang terkepal.

 

Kenapa dia?

 

Apa jalang itu ingin membalas menghajarku?

 

Aku menegakkan badan, bersiap dengan segala kemungkinan.

 

"Aku akan menuntutmu! Perbuatanmu sudah terlewat batas. Bersiaplah, penjara menanti kedatanganmu!" rutuknya penuh amarah, telunjuk tangannya menuding kearahku.

 

Aku tersenyum miring dan tertawa renyah mendengarnya. Menurutku itu adalah hukuman setimpal untuk para pengkhianat. Dan sejujurnya, aku bahkan masih ingin membuat kedua manusia kotor itu menjerit lebih lama lagi.

 

Wajahku mendekat pada wajahnya. Menantang sorot mata menyalang itu.

 

"Laporkan!" sahutku tegas. "Jika aku sampai menginjakkan kaki di penjara, aku pastikan kau tidak akan mampu bernafas dengan tenang." sahutku pelan namun penuh dengan tekanan.

 

Perempuan itu terlihat gusar, tatapan menyalangnya berubah cemas. Dia pikir aku akan gentar dengan ancaman murahan itu.

 

Jangan harap!

 

"Urus pecundang itu. Jangan sampai aku melihat wajah hinamu lagi disini. Jika itu terjadi, jangan menangis saat rambut panjangmu hilang tak tersisa." ancamku tak main-main.

 

Wajah itu terlihat pias, menatapku ketakutan. Aku tersenyum mengejek saat melihat jejak tanganku masih terlihat jelas dipipi dan bibirnya.

 

Dengan cepat dia berlalu, diiringi dengan sumpah serapah yang terlontar dari bibir tebalnya.

 

Lala menyodorkan kursi, dan memberi minuman botol ke tanganku. Aku melirik sinis kearahnya, merampas botol minuman itu dan meneguknya dengan rakus. Air berceceran dari mulut, membasahi blazer dan celanaku.

 

"Sejak kapan?" desisku, sambil menghempaskan bobot diatas kursi. Menormalkan nafas dan amarah yang masih saja membara.

 

"Ma-af Bu ... Pak Ronald selalu mengancam akan memecat, jika saya mengadu pada Ibu." sahut Lala dengan kepala yang menunduk ketakutan.

 

Aku mendengkus kesal, dan menyenderkan tubuh dipunggung kursi.

 

"Siapa dia?"

 

"Di-a karyawan disini Bu ..." jawab Lala ragu-ragu.

 

"Oh ya?" 

 

"Iya Bu ... baru tiga bulan," sahut Lala, masih dengan menundukan wajah.

 

Aku menghela nafas, memijat pelipis yang terasa ngilu berdenyut-denyut.

 

Aku merasa pernah melihat wajah perempuan itu. Tapi dimana?

 

"Astaga!" aku memekik keras. Jantungku berdetak kencang, saat otakku mengingat jejak wajahnya.

 

Dia pernah datang kerumah dan memohon pekerjaan padaku!

 

***Ofd

 

Lanjut lagi?

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
hhhhjjjjjopi
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
berliannnnn
goodnovel comment avatar
Sri Lestari
ooih.... ternyata karyawn antara bosnya tho.... dasar wanita tak tau diri. ma'aaaf.... ko' aq yg jd emosi gni ya... ma'af.... ma'af....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status