Pov Ronald.
Mengurut kening yang terasa berdenyut, kepala merunduk dengan fikiran berkelana. Suara Ibu tak kunjung henti, membuat isi kepalaku seakan terbakar ditempatnya."Amit-amit berurusan lagi sama keluarga sombong itu. Sok kaya, gayanya seperti dia orang paling kaya di Bumi ini." cecar Ibu masih tidak mau berhenti."Awas kamu balik lagi sama dia!" Ibu menunjuk telunjuknya diwajahku.Setelah membubuhkan tanda tangan kami segera pulang kerumah, selama perjalanan Ibu kembali mengeluarkan segala kekesalannya terhadap Astrid beserta Mamahnya. Benar-benar bikin pusing kepala!"Nald ... besok urus perceraian kalian. Jangan sampai perempuan songong itu, yang menggugatmu terlebih dahulu!" Ibu yang berada dijok belakang menepuk pundakku.Aku hanya diam tak bereaksi apapun."Dengar tidak?""Bu ... sudahlah, sebenarnya Ronald tak ingin bercerai dengan Astrid. Biar bagaimana pun, Astrid yang selalu setiAku menautkan alis, mana ada pengacara yang mau dibayar murah. Tapi jika tidak bertindak, enak di Astrid. Biar bagaimana pun, aku sudah lama menikahinya, sudah seharusnya rumah itu dibagi dua. Jika memang dia menginginkan perpisahan. Mobil beserta aset yang lain harus aku tuntut juga, setidaknya jika harus bercerai dengannya aku tidak akan kebingungan mencari uang."Ingat. Jangan terlalu mengalah dengan Astrid, kamu berhak atas semua aset yang dia punya." Tuding Ibu sambil menujuk tepat diwajahku."Tidak perlu takut bercerai dengan Astrid, dia fikir hidup kita akan berantakan tanpa uang anaknya? Cih.. sombong sekali perempuan itu. Jika tak ingat ada dikantor Polisi, sudah habis Ibu bejek-bejek," ucap Ibu dengan geram, sambil meremas-remas kedua tangannya.Aku hanya diam, bicarapun percuma. Aku rasa akan menambah kekesalan Ibu."Ibu
Kulihat nafas Sekar memburu saat melihat kedatanganku, dan melempar tatapan dengan tajam kearahku."Penipu!!" Sembur Sekar, sambil melangkah lebar kearahku."Ada apa ini?" Tanya Ibu. "Siapa yang penipu?" Ibu dan aku saling berpandangan."Mas Ronald. Dia sudah menipu Sekar Bu, dia membuat Sekar sangat malu," teriaknya sambil menudingkan jari telunjuk diwajahku. Wajah itu memerah, antara kesal dan malu bercampur diwajahnya."Ada apa?" Tanyaku. Bukan menjawab Sekar malah mendengkus sinis."Kenapa kamu bicara sekasar itu pada Ronald. Dia menipu apa?" Sengit Ibu, tak terima anaknya diteriaki.Nafas Sekar tersenggal, tatapan benci dilayangkan kearahku. Ada apa dengannya?"Dimana sopan santunmu! Sama suami kok seperti itu. Kamu fi
"Mas ..." suara pintu dibuka terdengar, siiring dengan suara panggilan dari Sekar.Aku hanya bergeming, duduk disofa panjang yang ada didalam kamar.Kuraba sofa dengan hati berkecamuk. Dulu, kami bahkan sering bercinta ditempat ini. Entahlah, rasanya aku benar-benar merindukan Astrid saat ini.Benar orang bilang, bila sudah tiada baru terasa. Dan itu sangat menyakitkan. Bisakah aku kembali merebut hatinya? Aku rasa itu akan sulit."Kamu marah sama aku Mas?" Sekar duduk diatas ranjang, dengan tatapan sedih."Aku hanya pengangguran, kau pergi saja. Jika masih menganggapku kacung," desahku sambil menyenderkan tubuh.Kehilangannya tak masalah bagiku, ada pun hanya menambah pusing kepala. Uang terus yang ada diotaknya. Salahku memang yang sering memanjakannya, dan sekarang malah menjadi racun dalam hidupku."Jangan begitu, bagaimana pun keadaanmu. Aku terima kok," Sekar tersenyum manis lalu berjalan mendekat, da
Pov Astrid"Halo, Mah?" Sapaku saat suara panggilan sudah terangkat."Kenapa, As?" Tanya Mamah disebrang telepon."Mas Ronald ... dia bawa Naura Mah," lirihku sambil menahan air mata."Kok bisa?" jawab Mamah sedikit terkejut."Tadi Bik Irah telpon ada Mas Ronald, dia bawa Naura pulang kerumah Ibunya. Gimana ini, Mah." tanyaku panik."Sabar ... tenang, tarik nafas dulu," ucap Mamah."Tarik nafas," ulangnya. Aku menarik nafas lalu menghembusnya dengan gusar."Kamu dimana sekarang?""Astrid ada dikantor, Mah." sahutku. "Gimana Naura Mah?" tanyaku saat tak mendengar suara Mamah."Apa aku harus menelpon polisi? Aku takut Naura diperlakukan tidak baik oleh Omanya," cecarku benar-benar takut.Terdengar helaan nafas berat dari sebrang. "Ya sudah biarkan Naura sama Ayahnya. Biar bagaimana pun Naura itu anaknya, Ronald tidak akan menyakiti, Naura." terang Mamah.
"Oh ya?" aku tersenyum manis mendengar keluhannya.Mas Ronald mengangguk lemas, binarnya begitu lesu tak bersemangat.Haruskah aku bersorak bahagia untukmu Mas? Tapi sepertinya belum. Penderitaan panjang masih menantimu, calon mantan suamiku."Nikmati saja, itu pilihanmu, Mas ... lagi pun, bukankah Ibu menyayanginya? Aku rasa hidupmu akan sempurna setelah Sekar melahirkan bayi laki-laki." sengaja aku tekan kalimat bayi laki-laki, agar dia ingat tentang keluhannya selama ini."Bisakah kita jangan bercerai?" lirihnya."Kita sudah pernah membahasnya, dan jawabanku tetap sama," ucapku dengan senyum kecut. Sungguh sulit menyangkal hati masih menyimpan namanya, namun logika merutuk keras jika aku kembali padanya.Kebodohan, takakan terulang kembali. Bagiku berpisah dengannya adalah suatu kesedihan sekaligus ketenangan. Sakit dan perih diawal itu sudah biasa, waktu akan memperbaiki semuanya.Pengkhianatan bukan ma
Senyumnya semakin berkembang seiring langkah kaki ini, tatapannya sangat bersahabat menyambut kedatanganku.Apa dia tak punya malu? Kemana perginya tatapan sinis dan benci yang biasa dia hunuskan untukku."Ada apa?" Tanyaku. Sekar yang biasa sinis, mendadak kikuk. Dia bangkit dari duduknya dan menegakkan badan."Ada yang ingin aku sampaikan," jawabnya dengan senyum kaku."Katakanlah.. aku tak punya banyak waktu," sahutku."Mbak.." alisku menaut, Sekar memanggilku dengan sebutan Mbak?Mm.. sepertinya aku mencium aroma kebusukan, yang akan terlontar dari bibirnya."Tolong jangan bercerai," lirihnya dengan senyum tipis.Aku melipat tangan dibawah dada, mataku mengamatinya dengan serius. Sekar mendadak salah tingkah."Apa hakmu meminta aku jangan bercerai?" Tanyaku.Sekar menarik nafas dalam, memegangi perut dan kembali menjatuhkan bokong dipos keamanan."Saya s
"A-strid.." ucapnya seraya mengeja namaku.Aku tersenyum tipis, bayangan masalalu berseliwiran diingatan."Kamu Astrid kan?" Tanyanya memastikan, langkahnya melebar tatapannya tak lepas dari wajahku."Iya ini aku," jawabku sambil mengulas senyum tipis. Papah dan Mamah saling pandang, dengan expresi kebingungan."Kalian sudah saling mengenal?" Tanya Mamah."Edwin.. dia temanku saat SMA mah," jawabku. Edwin tersenyum cerah, lalu bersalaman dengan kedua orangtuaku."Sehat?" Tanyanya sambil mengulurkan tangan padaku."Sehat.. Alhamdulillah," jawabku seraya mengulas senyum dan meyambut uluran tangannya. Edwin tersenyum hangat, lalu melepaskan tangan.Edwin..Tidak ada perubahan yang berarti dari dirinya. Tetap hangat dan enak dipandang mata, seperti dulu."Silahkan duduk, Pak Edwin," ucapku. Edwin seperti gelagapan lalu mengangguk cepat."Berhubung kalian sudah saling
Kini keduanya saling beradu tatap, kulihat tangan Mas Ronald sudah terkepal dengan kuat."Sudah, Pak ..." aku berusaha menengahi dengan menarik lengan Edwin. Edwin tersenyum sinis, sementara Mas Ronald terus menatapnya dengan geram."Ada apa ini?" Ibu mertua menatap sinis kearahku. Aku membuang muka, malas menyahutinya.Lagi ... apa yang dirasa, tahu-tahu sinis padaku. Sudah mau ceraipun sikapnya tidak berubah. Kalau ingat aku pernah dibodoh olehnya, aku jadi kesal sendiri."Ada apa, Ronald?" tanya Ibu pada anaknya.Tanpa menjawab, Mas Ronald berlalu dari hadapanku, tatapan garang ditinggalkan untuk Edwin. Ibu menyusul dibelakangnya."Sombong sekali suamimu ..." desis Edwin."Mantan ..." ralatku."Ya calon mantan," sahut Edwin. Aku hanya mendengkus menanggapinya."Mau aku antar pulang?" Tanyanya."Tidak perlu, aku bawa mobil sendiri," jawabku."Baiklah ... hati-ha