Share

4. Meet Up

last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-12 02:55:13

Sekali lagi aku menatap bayangan diriku di depan cermin, merapikan sedikit rambutku yang kubiarkan tergerai. Blouse putih berlengan panjang—dengan sedikit gelembung di bagian ujungnya—kupadukan dengan celana panjang warna khaki dan sepatu hak rendah berwarna hitam. Sengaja aku memilih outfit yang terkesan formal karena aku menebak Arsya juga pasti akan mengenakan outfit formal mengingat dia akan menemuiku di sela istirahat kerja. Dengan begitu orang-orang akan mengira bahwa kami adalah klien yang akan membicarakan pekerjaan, bukan sepasang pria dan wanita yang bertemu setelah berkenalan di situs kencan online.

Setelah yakin dengan penampilanku, aku bergegas berangkat, khawatir terjebak macet. Di tengah perjalanan, ada pesan masuk dari Arsya. Dia mengatakan mungkin akan sedikit terlambat dari jam pertemuan yang sudah kami sepakati. Aku mengiakan. Tentu saja aku memakluminya karena ini hari kerja. Untuk ke sekian kali, kurapikan lagi pakaian dan rambutku begitu akan memasuki restoran tempat kami bertemu. Arsya yang memilih tempat ini, dia juga sudah memesan meja. Restoran yang dipilih Arsya terletak di satu wilayah perkantoran di Jakarta Selatan. Kantor Arsya sepertinya memang berada tidak jauh dari sini.

Pramusaji menyambutku ketika aku membuka pintu restoran. Aku menyebut reservasi atas nama Arsya, lalu pramusaji itu mengantarku ke sebuah meja yang berada di ujung ruangan, di bagian depan. Dua buah kursi yang berseberangan menemani meja itu. Aku segera duduk setelah mengucapkan terima kasih dan tersenyum kepada pramusaji yang mengantarku tadi.

Aku mengedarkan pandanganku. Restoran ini cukup mewah dengan desain interior bernuansa klasik, meski masih termasuk casual dining. Pengunjung restoran ini—sesuai dugaanku—adalah orang-orang kalangan atas. Setelah memperhatikan penampilan mereka, lalu memperhatikan penampilanku, aku jadi merasa tidak percaya diri. Ah, biarlah. Kubuang pandanganku ke samping sambil menghela napas. Dinding kaca restoran ini membuatku leluasa memandang ke arah jalan. Tampak lalu lintas yang padat di siang yang terik ini.

Pramusaji yang mengantarkan menu membuyarkan lamunanku. Aku memutuskan untuk memesan minuman saja dulu. Selebihnya aku akan pesan ketika Arsya datang nanti. Sepuluh menit berlalu. Apa Arsya akan sangat terlambat? Atau malah dia tidak akan datang? Bibirku mengerucut memikirkan kemungkinan itu. Bukan apa-apa, kalau dia sampai tidak datang berarti dia tidak menghargaiku. Kalau benar dia tidak datang, maka aku tidak akan mau bertemu lagi kalau dia menawarkan pertemuan selanjutnya. Aku bersungut dalam hati.

Seorang pria yang baru saja masuk mengalihkan pandanganku dari jendela kaca. Setelah berbicara sebentar dengan pramusaji, pria itu berjalan—sepertinya—ke arahku. Ia terlihat menolak untuk diantarkan. Apa mungkin itu Arsya? Pria tegap itu mengenakan setelan formal berwarna abu tua. Aku meyakini itu memang dia setelah dia berjalan semakin dekat ke mejaku. Kubuang pandanganku darinya, pura-pura menatap layar ponsel, agar tidak terlalu kelihatan sedang menunggunya.

Jantungku berdegup. Bukan karena Arsya terlihat wah atau bagaimana, namun ini memang selalu terjadi padaku setiap bertemu dengan orang baru. Namun aku juga tak menyangkal bahwa penampilan pria itu dan wajahnya yang tampan memang membuatku sedikit berdebar. Semoga aku tidak canggung saat bicara nanti.

Pria itu tersenyum ketika sudah sampai di mejaku. Masih berdiri, dia mengulurkan tangannya padaku dan menyebut namanya.  Aku berdiri menyambut uluran tangannya, dan ikut menyebut namaku. Perkenalan kami terlihat sangat formal. Baguslah, jadi orang-orang akan berpikir bahwa kami adalah benar-benar klien kerja.

"Sorry for being late.” Arsya membuka percakapan.

"It's okay." Aku tersenyum tipis.

"Sudah pesan?" tanyanya menatapku. Suaranya terdengar lembut namun tegas di telingaku.

"Baru pesan minum. Mau pesan makanan tadi tapi saya menunggu Bapak datang dulu," jawabku canggung.

"Bapak?" Alisnya berkerut. "Tidak perlu terlalu formal, panggil nama saja." Arsya tertawa pelan.

Aku tidak tahu aku tadi memanggilnya dengan sebutan ‘Bapak’ karena aku terlalu canggung atau karena dia memang berpenampilan terlalu formal. Padahal aku sudah tahu usianya dari percakapan kami kemarin. Dia hanya setahun lebih tua dariku. Wajahnya juga masih terlihat muda, sesuai dengan usianya.

"Maaf, mungkin karena penampilan kamu formal banget.” Aku mencoba tertawa. Tawa yang sedikit kupaksakan.

Arsya hanya mengangguk tersenyum, kemudian menoleh pada pramusaji yang kembali datang untuk menawarkan menu. Setelah kami memesan makanan, pramusaji itu berlalu. Arsya mengalihkan tatapannya padaku lagi. Kali ini ia memandangiku cukup lama, seperti sedang menilai penampilanku. Aku jadi merasa sedikit salah tingkah, lantas memalingkan wajah.

"Saya kira kamu adalah seorang gadis yang selalu berpakaian serba hitam," komentar Arsya kemudian.

"Saya suka warna hitam, tapi tentu saja saya tidak selalu berpakaian serba hitam." Aku terdiam sejenak, lalu bertanya penasaran,"Did you expect me to be that kind of girl?"

Ia tersenyum lagi. "No, I didn't. Saya hanya berpikir bahwa kamu adalah tipe wanita seperti itu karena kamu terdengar misterius."

Aku hanya tertawa kecil.

Arsya kembali memandangiku. Kali ini aku menunduk. Aku adalah orang yang kaku dan sering merasa tidak nyaman saat berhadapan dengan orang baru. Ditambah lagi—jujur saja—pria di hadapanku ini terlihat cukup menawan.

"You look good. Better than I thought. Feminine and attractive."

Entah pujiannya itu tulus atau sekadar basa-basi, atau mungkin sedang berusaha merayuku? Aku tak tahu.

"Thanks." Aku tersenyum menatapnya, kemudian mengalihkan pandanganku lagi.

Selanjutnya obrolan kami mengalir sembari menikmati makanan setelah pesanan kami datang. Awalnya aku memang agak canggung berbicara dengannya dan Arsya pun tidak tampak seperti orang yang banyak bicara. Kami membicarakan beberapa hal yang sudah pernah kami bicarakan di aplikasi chat sebelumnya, seperti ingin memastikan bahwa orang yang ditemui memanglah orang yang sama.

"Senang bertemu denganmu, Abelia,” ucap Arsya setelah kami selesai makan.

“Saya juga,” jawabku.

“Apa rencana kita selanjutnya?”

"Maksud kamu?"

"Ya, pertemuan kita selanjutnya.” Arsya tersenyum tipis. “Makan, jalan-jalan, atau belanja mungkin?”

Aku mengerutkan kening. "Should we meet again?"

"Why not?"

"Sebenarnya saya tidak berpikir untuk bertemu denganmu lebih dari sekali. Because after all, still, you're a stranger to me. Tapi—"

“Tapi?”

Aku menggeleng tersenyum, "Bukan apa-apa."

"It's okay, Abelia. Bilang saja kalau ada yang ingin kamu katakan." Arsya mencoba meyakinkanku.

Aku tidak langsung menjawab. Menunduk sebentar, kemudian menghela napas.

"Sebenarnya saya perlu bantuan kamu," ucapku perlahan.

“Bilang saja. Kalau saya bisa, pasti akan saya bantu.”

"Saya sudah cerita padamu tentang keadaan finansial saya saat ini. Jujur saja, saya perlu pekerjaan." Aku merasa lega setelah mengatakannya.

Arsya tidak langsung menjawab, sepertinya dia mencoba menyusun kata-kata.

"Perusahaan saya saat ini sedang tidak membuka lowongan pekerjaan. Dan saat buka pun kami biasanya melakukan seleksi yang panjang dan membutuhkan waktu yang lama, jadi tidak akan membantumu,” jelas Arsya.

Aku mengangguk mengerti. “Oh, I see.”

"Sepertinya  beberapa perusahaan milik kolega saya ada yang sedang membuka lowongan, nanti saya kirim ke kamu informasinya."

Kembali aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Arsya menatapku. "Saya bisa saja meminta mereka untuk langsung menerimamu di perusahaan mereka. Tapi saya bukan tipe orang seperti itu. Tidak apa kalau kamu harus melewati proses seleksi?"

"Oh, ya, tentu saja!” sahutku cepat. “Saya juga bukan tipe orang yang mau diterima kerja karena orang dalam.”

"Maaf, saya tidak bermaksud—”

"Tidak apa-apa," selaku mencoba tersenyum.

Arsya balas tersenyum. Kemudian dia memanggil pramusaji untuk meminta bill pesanan.

"Saya harus kembali ke kantor, Abelia.” Ia melirik arlojinya.

“Oke, saya juga ada keperluan lain nanti," jawabku cepat. Aku sebenarnya tidak ada keperluan apa-apa hari ini, tapi tentu saja aku tidak mau terlihat benar-benar seperti pengangguran yang mengenaskan.

"Thanks for today. Saya berharap kita bisa bertemu lain waktu.” Arsya menatapku.

Aku tak menjawab. Kemudian ia menawarkan untuk mengantarku pulang, namun aku menolak dengan alasan bahwa aku bisa pulang sendiri. Ia hanya mengangguk maklum, lalu menemaniku menunggu taksi online yang kupesan.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MELODI ABELIA   From Author

    Hello, MELODI ABELIA readers! Thank you so much for reading love story of Abelia and Arsya. Hope you like it. Cerita ini memang bukan tema populer, tapi aku menyukainya. Tema novel ini memang sedikit dark dengan mengangkat isu kesehatan mental dan konflik keluarga yang pelik. Di sini hampir setiap tokohnya melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna. Masing-masing memiliki sisi baik dan buruk, juga memiliki keterikatan dengan masa lalu. Masing-masing tokoh juga mengalami perkembangan karakter.Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari novel ini, semoga kamu bisa mengambil pelajaran di dalamnya, ya. Semoga juga bisa menjadi bacaan yang menghibur dan berkesan. That's it. Thank you and see you. With Love,Author Remahan Croissant NOTE: JANGAN MENJIPLAK KARYA INI SEBAGIAN ATAUPUN SELURUHNYA. SANK

  • MELODI ABELIA   50. The Eternal Love

    Sekian tahun berlalu. Abelia terbangun di pagi hari karena sinar mentari yang mengintip dari sela tirai jendela kaca. Segera ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia melihat kalender. Ia tak akan pernah lupa pada tanggal itu. Hari ulang tahun Arsya, pria yang sangat dan akan selalu ia cintai. Perlahan Abelia menghela napas. Sambil menyunggingkan senyum, ia beranjak ke kamar anaknya. Putranya yang bernama Abizhar, berumur 5 tahun. Putrinya yang bernama Aubrie, berumur 3 tahun. Abelia segera membangunkan mereka untuk mandi dan bersiap-siap. Karena mereka sulit sekali dibangunkan, Abelia menciumi pipi mereka hingga terbangun. "Ayo, bangun. Hari ini ulang tahun papa," ucap Abelia. Abizhar dan Aubrie segera bangkit dari ranjang mungil mereka masing-masing. "Oh, ya. Hari ini ulang tahun papa!" seru mereka. "Apakah kita akan menemui papa hari ini, Ma?" tanya Abizhar. "Tentu saja, Sayang. Makanya mandi, biar cepat bertemu papa." Abelia tersenyum. "Ayo, mandi, M

  • MELODI ABELIA   49. For The Love of Abelia

    Penantian Arsya berakhir sudah. Hari bahagianya bersama Abelia yang sempat tertunda kini telah terwujud. Sebuah hari bahagia di mana ia dan sang kekasih akhirnya mengucap ikrar suci dan janji untuk saling setia dalam ikatan pernikahan. Mereka mengikuti semua prosesi pernikahan yang sakral dalam suasana syahdu. Para tamu yang hadir pun ikut terlarut. Ijab kabul dan prosesi adat telah selesai dilakukan. Sekarang saatnya mereka bersanding di pelaminan mengebakan sepasang gaun pengantin hasil rancangan desainer ternama. Arsya terlihat semakin tampan dalam balutan tuxedo berwarna putih, sedangkan Abelia mengenakan gaun panjang sederhana berwarna putih yang terlihat mewah dengan taburan payet di bagian dada. Para tamu mengagumi keelokan penampilan mereka. Ditambah dengan dekorasi pernikahan yang didominasi dengan warna putih semakin membuat suasana pesta pernikahan itu begitu agung. Arsya menoleh pada Abelia, wanita yang sudah sah menjadi istrinya. Keel

  • MELODI ABELIA   48. Penantian Arsya

    Kebekuan melingkupi Abelia dan Arsya sepanjang perjalanan. Setibanya di apartemen Abelia pun mereka masih saling berdiam diri tanpa sepatah kata terucap. Sambil menahan air mata, Abelia menatap Arsya. Mereka saling menatap dalam diam dengan pandangan yang redup. Suasana yang dingin pun tercipta. Semua kebahagiaan yang terjadi pada mereka belakangan ini seolah lenyap begitu saja. Abelia merasa dia harus kembali mengulang masa-masa sakit, tetapi kali ini lebih perih. Masa lalu yang kelam kembali datang menghampiri. Membuat luka yang sudah hampir sembuh kini menganga kembali. "Arsya," panggil Abelia pelan. "Lebih baik kita akhiri hubungan ini." Perlahan Abelia melepaskan cincin tunangan yang melekat di jari manisnya. Melihat itu, Arsya menahannya dan menggeleng. "Aku tidak mau, Abelia." "Lalu maumu bagaimana? Tetap menjalani hubungan sampai ke pernikahan setelah semua fakta itu?" cecar Abelia. Sejenak Arsya terdiam, lantas mengangguk. "Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seora

  • MELODI ABELIA   47. Misery

    Suasana bahagia masih meliputi hati Abelia dan Arsya sejak hari pertunangan mereka kemarin. Mereka tak bisa menyembunyikan kelegaan akan hubungan mereka yang sudah masuk ke jenjang yang lebih serius. Kedua pihak keluarga juga sudah membicarakan persiapan pernikahan mereka yang rencananya akan dilaksanakan dalam beberapa bulan ke depan. Hanya tinggal selangkah lagi untuk benar-benar saling memiliki.Kini Abelia bisa sedikit lebih fokus pada outlet barunya yang sudah dibuka dan beroperasi. Ia sudah mempekerjakan beberapa orang karyawan yang didapatnya dari rekomendasi supplier produk jualannya. Hari-hari yang sibuk akan segera dimulai. Abelia harus membagi waktu antara mengurusi bisnis dan mempersiapkan pernikahan.Namun, Abelia tak merasakan masalah berarti karena ada Arsya yang selalu mendukungnya. Hari itu Arsya menemani Abelia mengunjungi outlet-nya yang dinamakan Abelia Mode. Selain menjual kain, Abelia juga berencana untuk memproduksi pakaian berbahan d

  • MELODI ABELIA   46. Engagement and Something

    Hari pertunangan Abelia dan Arsya secara resmi tengah berlangsung. Mereka memilih tema garden party sebagai dekorasi. Lantunan musik romantis terdengar dari sebuah band akustik yang berada di salah satu sudut taman. Nada dan melodi yang merdu itu seakan membuat para tamu terhanyut dalam kesyahduan. Keluarga dari kedua belah pihak telah datang. Abelia datang hanya bersama keluarga intinya yang sempat menginap semalam di hotel. Sementara dari pihak keluarga Arsya tidak hanya dihadiri oleh keluarga inti, tetapi juga kerabat dekat termasuk Derry dan Delisha. Semua tamu tampak menikmati suasana pesta yang hangat itu. Arsya dan Abelia berdiri berdampingan di depan sebuah dekorasi hiasan bunga bertuliskan inisial nama keduanya. Mereka mengobrol dengan para kerabat yang sebaya. Setelah para kerabat itu berlalu, Delisha berjalan mendekati Arsya dan Abelia yang tampak sibuk bercanda satu sama lain. Melihat itu, Dikta menyusul karena merasa khawatir Delisha akan membuat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status