Share

Kenyang dengan hinaan

 

Aku terkekeh. "Insecure, Mbak? Buat apa, toh kita sudah tidak terikat hubungan apapun. Lagipula kamu tidak secantik yang kamu pikirkan loh," sindirku. 

 

"Apa maksudmu? Aku sama kamu ya jelas cantik aku lah! Semua orang juga tahu itu!"

 

Aku menoleh sejenak dan mengedikkan bahu, lalu kembali berfokus pada para ibu-ibu yang meminta dihitung belanjaannya. Mbak Risa menghentak-hentakkan kaki melihatku yang tidak merespon ucapannya.

 

"Loh, Ris, nggak belanja?" teriak Mbak Juli pada Mbak Risa yang melenggang pergi menjauhi gerobak sayur.

 

"Dih, nggak level banget aku, Mbak, beli ke dia. Mending ke Mall, uang bulanan dari Ari cukup banyak!" Dia mengibaskan tangan di udara. Aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Mbak Risa yang semakin menjadi-jadi semenjak aku bercerai dari Mas Ari.

 

"Kamu nggak cemburu lihat iparmu itu, Han?" tanya Yu Tikah.

 

Aku tersenyum tipis dan menggeleng, "Tidak sama sekali, Yu. Lagipula saya sama Mas Ari juga sudah lama bercerai. Dan ya ...."

 

Yu Tikah menoleh, begitupun Mbak Juli dan beberapa Ibu-ibu lainnya yang menjadi pelangganku selama ini, "Mantan ipar, Yu. Saya sudah nggak peduli lagi sama urusan mereka. Mau dia bilang saya insecure, jelek, miskin atau apalah itu, yang terpenting saya mencari rejeki yang halal, bukan hasil dari mencari muka," kataku seraya melirik ke arah Mbak Juli.

 

Mereka semua menyimak sambil mengangguk paham. Tapi tidak dengan Mbak Juli, dia mencebik dan membuang muka saat aku mengatakan demikian. Siapa yang nggak kenal Mbak Juli ... tetangga depan rumah mantan suami yang berteman baik dengan Mbak Risa. Mereka bisa dibilang soulmate!

 

"Nih, itung!" Mbak Juli menyerahkan sekantong keresek di depanku.

 

"Udah, Mbak?"

 

"Udah! Kan aku bilang itung barusan!" sahutnya kesal.

 

"Empat puluh dua ribu."

 

Diangsurkannya dua lembar uang berwarna hijau lalu merampas kantong keresek di tanganku. Mbak Juli melengang pergi seolah uang yang dia berikan barusan benar itungannya.

 

"Mbak Juli!" teriakku lantang, dia menoleh dengan sinis. "Kurang dua ribu, mana?" 

 

Dia berbalik, ditatapnya mataku dengan tanpa berkedip, "Uang dua ribu kamu ributkan, Han? Semiskin apa sih kamu sampai-sampai uang dua ribu saja kamu minta?" tutur Mbak Juli dengan menarik sudut bibirnya. "Ah iya ... aku lupa, kamu kan janda miskin, ha ... ha ... ha ...."

 

"Sudah meledeknya? Mana kurangannya, Mbak?"

 

Mbak Juli mendengkus kesal. Dia mengeluarkan uang dua ribu dari dalam dompet bermotif manik-manik yang dia cepitkan di lipatan ketiak.

 

"Pantes aja Ari ceraikan kamu, orang pelit begini!" seloroh Mbak Juli kemudian berlalu pergi.

 

Yu Tikah mengusap lembut punggungku. Beberapa ibu-ibu yang lain juga memberikan nasihat dan kekuatan agar aku lebih bersabar. Ah, ucapan Mbak Juli barusan membuatku teringat kejadian beberapa bulan silam, saat aku masih menyandang status sebagai istri Ari Subagja.

 

FLASHBACK ON ....

 

"Hana ... ibu mau minta uang, beras di rumah habis, kata Ari suruh minta sama kamu," ujar Ibu mertua suatu sore.

 

Aku menggigit bibir bawah. Netraku memanas melihat Ibu mertua datang dan meminta uang pemberian Mas Ari yang tidak seberapa itu.

 

"Tapi, Bu. Uang dari Mas Ari tinggal lima puluh ribu saja. Itu juga untuk belanja dua hari kedepan sampai hari gajian Mas Ari," jelasku lirih.

 

"Benar-benar ya kamu, Han. Wanita kampung nggak tau diri! Ari kerja capek-capek dan uangnya kamu kuasai, tapi sekarang lihat ... aku minta uang buat beli beras malah kamu bilang tinggal lima puluh ribu," cerocos Ibu tanpa peduli dengan air mataku yang mulai mengalir. "Padahal gaji anakku itu besar. Mana mungkin uang kamu tinggal lima puluh ribu padahal hari gajian masih dua hari lagi. Kamu bohong kan?" tuduh Ibu.

 

Beberapa tetangga melihat ke arah dimana kami berdiri. Ibu semakin mengeraskan suara begitu tau para tetangga menatap keributan di rumahku. Rumahku dan Ibu memang berdekatan, hanya terpisah dua rumah saja. Bukan rumahku, apalagi rumah Mas Ari, itu adalah rumah kontrakan yang sengaja suamiku sewa karena Mbak Risa menolak aku tinggal seatap dengan Ibu dan dirinya.

 

"Bu ... ibu salah paham. Mas Ari hanya memberiku uang belanja lima ra ...."

 

Plak ...!!!

 

Ibu menamparku dengan keras. Dia mendelikkan mata dengan dada yang terlihat naik turun.

 

"Benar-benar menantu kampung nggak tau diri. Tau begitu dulu tidak kuberikan restuku pada wanita sepertimu! Orang miskin memang selalu begini ... serakah!" Ibu melenggang pergi setelah meninggalkan bekas tamparan keras di pipi.

 

"Aku pastikan Ari memarahimu, wanita miskin!" teriak Ibu marah.

 

Tubuhku luruh di depan rumah. Air mata mengalir deras dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Haruskah kulanjutkan hidup bersama dengan keluarga toxic ini?

 

Apa aku siap melukai hati Bapak dan Ibu dengan gagalnya pernikahan yang baru seumur jagung ini?

 

FLASHBACK OFF ....

 

"Ikan gurame dua ekor, ambilkan!"

 

Yu Tikah menepuk lenganku. Aku terkesiap, ingatan tentang perilaku Ibu membuatku hampir saja menangis.

 

"Kalau kerja yang benar, bisa rugi yang punya sayuran kalau karyawannya suka melamun kayak kamu!" seloroh seorang lelaki tampan berperawakan tinggi dan berwajah datar.

 

Aku mencebik, siapa dia berani-beraninya mengatakan hal itu padaku. Aku tau aku salah ... tapi siapa yang bisa mengelak tentang ingatan masa silam yang buruk.

 

Aku berkacak pinggang di depannya. Tinggi sekali orang ini, bahkan aku hanya sebatas pundaknya saja.

 

"Hei, Mas! Siapa yang ngelamun? Saya itu cuma lagi mikir!" ujarku kesal.

 

Yu Tikah menyenggol lenganku dengan keras tapi tak kuhiraukan. Laki-laki seperti dia harus diberi pengertian bahwa tidak semua wanita takut pada lelaki dingin sepertinya. Itu adalah Hana yang dulu, tapi tidak sekarang! Jangankan orang tak dikenal, bahkan untuk melawan Mas Ari saja sekarang aku sanggup!

 

"Ck, banyak omong! Cepat siapkan ikan gurame dua ekor!"

 

Aku mendengkus kesal dan menyiapkan pesanannya dengan cekatan. Lelaki itu merebut kantong kresek di tanganku dengan kasar lalu pergi begitu saja menggunakan motor gedenya.

 

"Woi ... bayar dulu! Main kabur aja ... woi!" teriakku lantang.

 

Yu Tikah tertawa lebar, begitupun ibu-ibu yang lain. Mereka seolah menganggap kerugian yang aku alami ini adalah lelucon.

 

"Kamu beneran nggak tau siapa dia, Han?" tanya Bu Dwi salah satu langganan sayurku di sela-sela tawanya.

 

Aku menggeleng, mencoba berbesar hati menanggung kerugian nanti pada Bu Wira. Lalu melanjutkan lagi melayani para pembeli sayuran yang sudah menunggu untuk aku hitung semua bahan belanjanya.

 

"Dua ekor ikan gurame, alamat nggak dapat gaji hari ini," lirihku dengan menahan tangis. Baru beberapa hari bekerja sebagai karyawan Bu Wira, aku sudah harus mendapatkan masalah besar begini. Uang tujuh puluh lima ribu itu sangat berarti bagiku.

 

 

 

Bersambung

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status