Home / Romansa / MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI / Kenyang dengan hinaan

Share

Kenyang dengan hinaan

last update Huling Na-update: 2022-09-04 14:25:30

 

Aku terkekeh. "Insecure, Mbak? Buat apa, toh kita sudah tidak terikat hubungan apapun. Lagipula kamu tidak secantik yang kamu pikirkan loh," sindirku. 

 

"Apa maksudmu? Aku sama kamu ya jelas cantik aku lah! Semua orang juga tahu itu!"

 

Aku menoleh sejenak dan mengedikkan bahu, lalu kembali berfokus pada para ibu-ibu yang meminta dihitung belanjaannya. Mbak Risa menghentak-hentakkan kaki melihatku yang tidak merespon ucapannya.

 

"Loh, Ris, nggak belanja?" teriak Mbak Juli pada Mbak Risa yang melenggang pergi menjauhi gerobak sayur.

 

"Dih, nggak level banget aku, Mbak, beli ke dia. Mending ke Mall, uang bulanan dari Ari cukup banyak!" Dia mengibaskan tangan di udara. Aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Mbak Risa yang semakin menjadi-jadi semenjak aku bercerai dari Mas Ari.

 

"Kamu nggak cemburu lihat iparmu itu, Han?" tanya Yu Tikah.

 

Aku tersenyum tipis dan menggeleng, "Tidak sama sekali, Yu. Lagipula saya sama Mas Ari juga sudah lama bercerai. Dan ya ...."

 

Yu Tikah menoleh, begitupun Mbak Juli dan beberapa Ibu-ibu lainnya yang menjadi pelangganku selama ini, "Mantan ipar, Yu. Saya sudah nggak peduli lagi sama urusan mereka. Mau dia bilang saya insecure, jelek, miskin atau apalah itu, yang terpenting saya mencari rejeki yang halal, bukan hasil dari mencari muka," kataku seraya melirik ke arah Mbak Juli.

 

Mereka semua menyimak sambil mengangguk paham. Tapi tidak dengan Mbak Juli, dia mencebik dan membuang muka saat aku mengatakan demikian. Siapa yang nggak kenal Mbak Juli ... tetangga depan rumah mantan suami yang berteman baik dengan Mbak Risa. Mereka bisa dibilang soulmate!

 

"Nih, itung!" Mbak Juli menyerahkan sekantong keresek di depanku.

 

"Udah, Mbak?"

 

"Udah! Kan aku bilang itung barusan!" sahutnya kesal.

 

"Empat puluh dua ribu."

 

Diangsurkannya dua lembar uang berwarna hijau lalu merampas kantong keresek di tanganku. Mbak Juli melengang pergi seolah uang yang dia berikan barusan benar itungannya.

 

"Mbak Juli!" teriakku lantang, dia menoleh dengan sinis. "Kurang dua ribu, mana?" 

 

Dia berbalik, ditatapnya mataku dengan tanpa berkedip, "Uang dua ribu kamu ributkan, Han? Semiskin apa sih kamu sampai-sampai uang dua ribu saja kamu minta?" tutur Mbak Juli dengan menarik sudut bibirnya. "Ah iya ... aku lupa, kamu kan janda miskin, ha ... ha ... ha ...."

 

"Sudah meledeknya? Mana kurangannya, Mbak?"

 

Mbak Juli mendengkus kesal. Dia mengeluarkan uang dua ribu dari dalam dompet bermotif manik-manik yang dia cepitkan di lipatan ketiak.

 

"Pantes aja Ari ceraikan kamu, orang pelit begini!" seloroh Mbak Juli kemudian berlalu pergi.

 

Yu Tikah mengusap lembut punggungku. Beberapa ibu-ibu yang lain juga memberikan nasihat dan kekuatan agar aku lebih bersabar. Ah, ucapan Mbak Juli barusan membuatku teringat kejadian beberapa bulan silam, saat aku masih menyandang status sebagai istri Ari Subagja.

 

FLASHBACK ON ....

 

"Hana ... ibu mau minta uang, beras di rumah habis, kata Ari suruh minta sama kamu," ujar Ibu mertua suatu sore.

 

Aku menggigit bibir bawah. Netraku memanas melihat Ibu mertua datang dan meminta uang pemberian Mas Ari yang tidak seberapa itu.

 

"Tapi, Bu. Uang dari Mas Ari tinggal lima puluh ribu saja. Itu juga untuk belanja dua hari kedepan sampai hari gajian Mas Ari," jelasku lirih.

 

"Benar-benar ya kamu, Han. Wanita kampung nggak tau diri! Ari kerja capek-capek dan uangnya kamu kuasai, tapi sekarang lihat ... aku minta uang buat beli beras malah kamu bilang tinggal lima puluh ribu," cerocos Ibu tanpa peduli dengan air mataku yang mulai mengalir. "Padahal gaji anakku itu besar. Mana mungkin uang kamu tinggal lima puluh ribu padahal hari gajian masih dua hari lagi. Kamu bohong kan?" tuduh Ibu.

 

Beberapa tetangga melihat ke arah dimana kami berdiri. Ibu semakin mengeraskan suara begitu tau para tetangga menatap keributan di rumahku. Rumahku dan Ibu memang berdekatan, hanya terpisah dua rumah saja. Bukan rumahku, apalagi rumah Mas Ari, itu adalah rumah kontrakan yang sengaja suamiku sewa karena Mbak Risa menolak aku tinggal seatap dengan Ibu dan dirinya.

 

"Bu ... ibu salah paham. Mas Ari hanya memberiku uang belanja lima ra ...."

 

Plak ...!!!

 

Ibu menamparku dengan keras. Dia mendelikkan mata dengan dada yang terlihat naik turun.

 

"Benar-benar menantu kampung nggak tau diri. Tau begitu dulu tidak kuberikan restuku pada wanita sepertimu! Orang miskin memang selalu begini ... serakah!" Ibu melenggang pergi setelah meninggalkan bekas tamparan keras di pipi.

 

"Aku pastikan Ari memarahimu, wanita miskin!" teriak Ibu marah.

 

Tubuhku luruh di depan rumah. Air mata mengalir deras dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Haruskah kulanjutkan hidup bersama dengan keluarga toxic ini?

 

Apa aku siap melukai hati Bapak dan Ibu dengan gagalnya pernikahan yang baru seumur jagung ini?

 

FLASHBACK OFF ....

 

"Ikan gurame dua ekor, ambilkan!"

 

Yu Tikah menepuk lenganku. Aku terkesiap, ingatan tentang perilaku Ibu membuatku hampir saja menangis.

 

"Kalau kerja yang benar, bisa rugi yang punya sayuran kalau karyawannya suka melamun kayak kamu!" seloroh seorang lelaki tampan berperawakan tinggi dan berwajah datar.

 

Aku mencebik, siapa dia berani-beraninya mengatakan hal itu padaku. Aku tau aku salah ... tapi siapa yang bisa mengelak tentang ingatan masa silam yang buruk.

 

Aku berkacak pinggang di depannya. Tinggi sekali orang ini, bahkan aku hanya sebatas pundaknya saja.

 

"Hei, Mas! Siapa yang ngelamun? Saya itu cuma lagi mikir!" ujarku kesal.

 

Yu Tikah menyenggol lenganku dengan keras tapi tak kuhiraukan. Laki-laki seperti dia harus diberi pengertian bahwa tidak semua wanita takut pada lelaki dingin sepertinya. Itu adalah Hana yang dulu, tapi tidak sekarang! Jangankan orang tak dikenal, bahkan untuk melawan Mas Ari saja sekarang aku sanggup!

 

"Ck, banyak omong! Cepat siapkan ikan gurame dua ekor!"

 

Aku mendengkus kesal dan menyiapkan pesanannya dengan cekatan. Lelaki itu merebut kantong kresek di tanganku dengan kasar lalu pergi begitu saja menggunakan motor gedenya.

 

"Woi ... bayar dulu! Main kabur aja ... woi!" teriakku lantang.

 

Yu Tikah tertawa lebar, begitupun ibu-ibu yang lain. Mereka seolah menganggap kerugian yang aku alami ini adalah lelucon.

 

"Kamu beneran nggak tau siapa dia, Han?" tanya Bu Dwi salah satu langganan sayurku di sela-sela tawanya.

 

Aku menggeleng, mencoba berbesar hati menanggung kerugian nanti pada Bu Wira. Lalu melanjutkan lagi melayani para pembeli sayuran yang sudah menunggu untuk aku hitung semua bahan belanjanya.

 

"Dua ekor ikan gurame, alamat nggak dapat gaji hari ini," lirihku dengan menahan tangis. Baru beberapa hari bekerja sebagai karyawan Bu Wira, aku sudah harus mendapatkan masalah besar begini. Uang tujuh puluh lima ribu itu sangat berarti bagiku.

 

 

 

Bersambung

 

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Siapa itu yang tidak bayar ikan gurame
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   TAMAT

    ***"Assalamualaikum, Ma?""Waalaikumsalam, Sayang. Apa kabar?" tanya Bu Wira ramah. "Emak sama Bapak sehat, Hana?""Alhamdulillah. Kami semua sehat, Ma, kabar Mama sendiri bagaimana?""Sehat, Nak. Selalu sehat. Tumben telepon Mama, mau kasih kejutan ya?"Hana menggigit bibirnya gusar. "Ma ....""Ya, katakan, Nak!""Dua minggu lagi aku menikah ... dengan Pak Bima," ucap Hana hati-hati. "Mohon doa restunya.""Alhamdulillah ... serius secepat ini, Hana? Masya Allah, Mama bahagia, Nak! Semoga acara kalian berjalan lancar, kabari Mama dimana acara kalian berlangsung nanti.""Mama okey?""Tentu, Hana. Mama okey, apa yang kamu pikirkan, hah?"Hana menghela napas panjang. Beban yang berada di pundaknya hilang sudah. Rasa bersalah dan tidak tau diri yang dia rasakan selama ini menguap begitu saja saat semua keluarga Kenan memberikan restunya."Terima kasih, Ma. Terima kasih banyak." Hana menangis. Terbayang bagaimana wajah sedih Bu Wira di seberang sana. "Jangan pernah lagi merasa bersalah y

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Menikah?

    ***"Pa ....""Sudah kubilang jangan panggil aku, Pa! Menjijikkan!" hardik Pak Agung. "Mang, bawa mereka berdua keluar, dan jangan pernah biarkan dua wanita mengerikan ini masuk ke dalam rumahku!"Mamang menyeret tangan Melinda dan Nasya secara kasar dan mendorongnya keduanya agar keluar dari dalam rumah dengan sedikit menghempas."Bikin kerjaan aja! Sana pulang!" hardik Mamang. "Gak tau diri banget!"Nasya berkacak pinggang, dadanya membusung dan berteriak lantang. "Kurang aja sekali kamu, hah? Dasar satpam miskin!"Mamang tertawa sumbang. Semakin bersyukur karena Bima tidak jadi menikah dengan wanita seperti Nasya. "Benar kata Pak Agung. Menjijikkan!"Nasya dan Melinda di usir secara tidak hormat. Mang Dadang segera menutup pintu pagar dan meludah tepat di depan Mel dan Nasya untuk melampiaskan rasa kesalnya."Sana pergi! Gak punya malu!"Mel menghentak-hentakkan kakinya sementara Nasya menatap rumah Bima dengan bergumam. "Semua gara-gara Satria, Brengsek! Harusnya aku jadi Nyonya B

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Siapa Nasya?

    ***"Ternyata benar kata Melinda kalau sekretaris baru kamu itu memang gatel!"Bima berdiri. Napasnya memburu melihat Nasya tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi. "Satpam!" teriak Bima lantang. Mang Dadang berlari tergesa-gesa dan memasuki ruang tamu dengan tatapan bingung. "Loh, Mbak Nasya kok bisa masuk?" "Mamang bagaimana sih, daritadi kemana saja?""Ada Mbak Melinda di depan, dia ngajakin ngobrol, Mas. Saya gak tau kalau ada penyusup ....""Bim, tenang! Duduk!" Pak Agung bangkit. Dia berjalan mendekati Bima dan Nasya yang nampak bersitegang."Silahkan duduk, Nasya," kata Pak Agung formal. Hana dan kedua orang tuanya canggung. Wanita cantik itu merasa jika Nasya adalah orang penting di hidup Bima sebelumnya. Suasana sedang tidak baik-baik saja apalagi wanita di depannya itu sempat menyebut nama Melinda. Tentu saja sekretaris gatal yang dimaksud adalah dirinya. Hana."Kenapa datang-datang marah-marah di rumah kami, Nasya? Ada keperluan apa?""Pa ....""Maaf, saya bukan P

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Kedatangan Masa Lalu

    ***"Sudah siap?"Hana dan Emak mengangguk berbarengan. "Sudah, Bapak masih di dalam, ganti baju sebentar," sahut Hana malu-malu. Pasalnya Bima sejak tadi tidak membuang pandangan darinya. Bahkan sesekali pria itu tersenyum sambil menatap Hana yang tersipu."Make up-nya terlalu menor ya?"Bima menggeleng. "Sudah pas. Malah makin cantik," puji Bima tulus. "Meskipun tanpa make up juga cantik, tapi kalau begini semakin cantik," imbuhnya.Emak tersenyum simpul. Dia mengusap lengan Hana dan berkata. "Jangan gugup! Kalau mau makan malam sama keluarga pacar memang begini.""Emak apa-apaan sih, pacar ... pacar ... udah tua ini kita," gerutu Hana malu. "Emak lupa kalau aku ini janda, sudah pernah gagal menikah pula.""Itu tidak penting, Hana," sahut Bima menimpali. "Janda, perawan, singel, itu tidak penting. Yang semua orang cari dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan dan keterbukaan pada pasangan.""Jangan merasa rendah karena status janda, tidak semua status itu menyandang hal buruk." Emak

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Salting

    ***"Kenapa buru-buru ngajakin balik, Han?" tanya Emak ketika mobil mereka mulai keluar dari pelataran rumah sakit. "Emak sama Bapak sudah bersiap bawa baju ganti. Eh, gak jadi menginap. Kenapa?""Canggung, Mak," jawab Hana lirih. "Lagian gak enak sama Pak Bima. Sudah diantarkan gratis, masa dia balik sendiri. Kasihan.""Perhatian sekali," puji Bima sambil tersenyum manis. "Terima kasih sudah memikirkan aku."Hana melengos. Bima selalu saja bisa membuat jantungnya berdebar hebat. "Saya hanya merasa tidak tau diri kalau membiarkan Pak Bima pulang sendirian. Setidaknya kalau pulang sama-sama kan saya jadi gak sungkan-sungkan amat."Emak dan Bapak manggut-manggut paham. "Ya sudah, setidaknya tadi sudah menjenguk. Bagaimana baiknya menurut kamu saja, Emak dan Bapak ngikut."Suasana di dalam mobil mulai hening. Emak dan Bapak tertidur sementara Hana bermain-main dengan ponselnya. "Besok makan malam bersama Papa, kamu siap, Han?"Hana meletakkan ponsel ke dalam tas. Dia menoleh sejenak la

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Titik terang

    ***"Mama habis nangis?" Hana duduk di samping Bu Wira dan bergelayut manja di lengan wanita yang dulu adalah pemilik pemasok sayuran terbesar. Siapa sangka, pertolongan Bu Wira kala itu adalah jalan bertemunya Hana dan Kenan. "Kenapa?"Bu Wira menggeleng. Dia membalas pelukan Hana dari samping dan berbisik. "Dia suka sama kamu ya?"Pipi Hana bersemu. Air muka wanita itu sudah menjelaskan bagaimana perasaannya di depan Bu Wira. Ada sedikit nyeri, namun Bu Wira lagi-lagi berusaha menguasai diri. Kenan dan Hana memang bukan jodoh. Hana berhak melanjutkan hidupnya sementara Kenan berhak melihat kebahagiaan Hana di alam sana. "Kalau Mama lihat, sepertinya lebih dari suka. Sikapnya seperti Kenan."Hana menoleh dengan cepat. "Mama juga merasakan itu?"Bu Wira mengangguk membenarkan. "Caranya mencuri hati kamu persis seperti cara Kenan waktu itu. Iya kan?"Hana bergeming. Lagi-lagi kesedihan merajai hatinya. "Tapi perasaan ini belum tumbuh, Ma. Aku ....""Tidak perlu terburu-buru, Hana. Mam

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status