FLASHBACK OFF.... *** "Cabe sepuluh ribu," ujar Ibu Mas Ari datar. Suasana mendadak hening, tidak ada lagi canda tawa para Ibu-ibu yang berbelanja. Mereka seolah mengerti, aku sedang melayani siapa sekarang. "Ini, Bu." Kuserahkan sekantong plastik berisi cabe. Harga cabe sedang naik, wajar saja jika sepuluh ribu hanya dapat segenggam saja. "Kamu mau menipuku?" bentak Ibu Mas Ari dengan lantang. Aku mengerutkan kening. Menipu? "Maksutnya, Bu?" "Iya, kamu mau menipuku kan? Mana ada cabe sepuluh ribu cuma dapat seuprit gini!" Dia melempar kantong plastik tepat di depanku. Aku menghela napas kasar. Ibu salah jika ingin bermain-main denganku sekarang. Karena aku bukan Hana yang dulu. "Lalu Ibu maunya segimana? Segini cukup?" Aku mengambil lagi segenggam cabe rawit di tangan dan kutuang ke dalam kantong plastik tadi. Ibu Mas Ari tersenyum penuh kemenangan membuatku semakin bersyukur bisa lepas dari keluarganya. "Sini!" bentaknya lagi. Ibu-ibu yang lain
FLASHBACK ON ... *** "Ar ... ada masalah penting. Bisa kita ngobrol berdua?" Mbak Risa datang saat aku dan Mas Ari berseteru. Suamiku menghentikan amarahnya begitu melihat istri kakaknya itu mendekat dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan. Semacam takut ... cemas ... berkali-kali dia mengecek ponsel di genggaman. "Kita ngobrol di depan," pinta Mas Ari. Mbak Risa mengangguk. Dia berjalan lebih dulu menuju teras sementara Mas Ari mewanti-wanti agar aku tidak menguping pembicaraan mereka. "Pergi ke dapur, buatkan Mbak Risa minum. Awas kalau kamu nguping! Kupotong telingamu!" ancam Mas Ari. Aku bangkit. Tanpa banyak bicara lagi berpura-pura melengang menuju dapur. Dengan cekatan aku membuat minuman untuk mereka berdua. Bodoh? Memang! Aku memang bodoh karena tidak bisa berbuat apa-apa melihat Mas Ari dan Mbak Risa terlibat obrolan serius. Mulut mereka sama-sama terkunci saat aku datang menyuguhkan minuman dingin di atas meja. "Tunggu apa lagi, sana pergi!" Mbak Risa berbisi
FLASHBACK OFF .... *** Hatiku masih berdebar mengingat betapa beraninya aku menentang ucapan Mas Ari dan Mbak Risa tadi. Hana ... Hana yang dulu begitu bodoh dengan semua perlakuan suami dan iparnya kini berubah menjadi wanita yang berani. Ingin rasanya aku menangis. Sejak dulu aku ingin bisa membalas semua ucapan buruk mereka terhadapku, tapi sayang ... baru setelah bercerai aku bisa bersikap demikian. Ya, setidaknya aku bisa melawan mereka, tidak hanya diam seperti yang dulu sering aku lakukan. Sesampainya di halaman rumah Bu Wira, beberapa gerobak sayur terlihat sudah terparkir rapi. Tapi tunggu ... bukankah motor itu tadi yang ... ah, tidak mungkin! Banyak sekali yang punya motor model baru itu sekarang. Siapa tau itu milik anak Bu Wira. Pria kemarin yang ... menggodaku sampai membuatku lari ketakutan. "Setoran kamu kenapa banyak minusnya, Han? Apa ada masalah hari ini?" tanya Bu Wira lembut. Aku menunduk, memainkan sepuluh jemari dengan gelisah. Kebaikan hati Bu Wi
***Aku terkekeh, "Aku takut? Rasa takut itu bahkan telah menguap bersama dengan luka-luka yang sudah dia ciptakan," ujarku.Bu Wira mengusap lenganku lembut. Setelah sadar, aku menutup mulut dan mengusap sudut mata yang sedikit berair."Duh, maaf, Bu, Mas Kevin. Tadi ... anu ... kelepasan. Malah curhat."Keduanya tertawa melihat kegugupan yang kutunjukkan. Baru kali ini aku melihat Kevin tertawa dan bersikap seperti pria baik-baik, padahal sejauh yang kudengar, dia adalah sosok yang suka bermain perempuan. Entah benar atau tidak, aku tidak peduli."Santai saja, Mbak. Kalau butuh teman curhat, pundakku siap untuk kau jadikan sandaran," ucap Kevin dengan mengedipkan satu matanya.Bu Wira menonjok lengan Kevin dengan keras. Pria itu sampai dibuat meringis dan mengusap-usap lembut bekas tonjokan Sang Ibu."Sana pergi!" usir Bu Wira mendelik.Kevin mendengkus, "Ayolah, Ma. Karyawan cantik kayak dia sepertinya cocok untuk dijadikan menantu di rumah ini."Aku mendongak. Menatap tidak percay
FLASHBACK OFF ....***Sejak pukul lima pagi aku sudah datang di tempat Bu Wira. Ada sekitar tiga karyawan lain yang sudah datang lebih dulu. Mang Husen, Kang Jono, Yu Srina, dan aku. Kita berjualan di komplek yang berbeda."Apa diantara kalian ada yang mau menggantikan Hana berjualan di komplek ini?" tanya Bu Wira pada ketiga karyawan yang lain.Mereka saling pandang, lalu bersamaan menggelengkan kepala. Aku mendesah lirih, sudah kutebak jika salah satu dari mereka tidak akan ada yang mau menggantikan berkeliling di komplek tempatku berjualan. Mereka memilih berkeliling di tempat yang mereka anggap lebih dekat dari tempat tinggal. "Tidak apa-apa, Bu, saya lanjut saja jualannya," sahutku tak enak hati."Emang kenapa mau tukar, Han? Kamu malu ketemu mantan suamimu yang kaya itu?" selidik Yu Srinah.Aku menggelengkan kepala samar. Sejak pertama aku bergabung di rumah sayuran milik Bu Wira, Yu Srinah sudah menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Ya. Kami menamai tempat ini dengan rumah say
FLASHBACK ON ....***"Tempe sama tahu terus, Han. Nggak bosen?" ujar Mbak Juli saat melihat tanganku memilih tempe di depannya."Enggak, Mbak. Memang bisanya beli ini," sahutku datar."Duh, Han. Hati-hati Ari berpaling loh. Kamu nggak bisa banget ngatur uang bulanan ya?" selidiknya.Aku menghela napas kasar, "Kenapa sibuk ngurusin saya, Mbak? Emang Mbak Juli tau berapa banyak suami saya ngasih uang belanja. Enggak kan?" ucapku dengan suara bergetar.Mbak Juli mencebik, terlihat dari kejauhan Ibu berjalan bersisian dengan Mbak Risa menuju ke arah dimana kami para ibu-ibu berkerumun di depan gerobak sayur Kang Parmo, karyawan Bu Wira selaku pemasok sayuran di kota ini."Wah, mertua sama menantu yang satu ini emang nggak terpisahkan ya?" sindir Mbak Juli melirik ke arahku."Sudah, Kang. Tolong dihitung ya!""Buru-buru amat, Han. Kamu malu sama Mbak?" Mbak Risa menarik tanganku dengan kasar. Mau tidak mau aku mundur dan berdiri di sampingnya. "Coba lihat, Mbak Jul, aku sama Hana emang ba
***"Lama banget! Ayo, udah telat nih!" Aku mengekor di belakang Kenan. Dia masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Aku yang hendak membuka pintu belakang sontak berjingkat saat lelaki dingin itu berbicara, "Emang aku sopir? Duduk depan!" pintanya.Aku menurut, daripada gagal mendapat pekerjaan bagus. Kulihat Bu Wira tersenyum dan melambaikan tangannya pada Kenan sebelum akhirnya mobil yang kami tumpangi benar-benar menjauhi rumah megah mereka.Ckitt ...!!!Jdug ...!!!Keningku terkantuk dasbor mobil saat Kenan menghentikan lajunya dengan tiba-tiba."Hei! Turun kamu, udah tau ini di kawasan komplek tapi bawa mobil nggak hati-hati!" Teriak seorang wanita dengan menggedor kaca mobil Kenan.Lelaki di sebelahku mendesah. Lalu membuka pintu mobil dan keluar menemui ...."Mbak Juli? Astaga ... kenapa harus berurusan dengan Mbak Juli?" Aku turut membuka pintu. Kulihat mulut Mbak Juli menganga saat aku keluar dari mobil mewah milik Kenan."Lain kali jangan biarkan anak kecil menyebe
***"Keterlaluan kamu, Han!" pekik Mbak Risa kesal.Aku mengibaskan tangan. Lalu dengan tenang menunjuk dada Mbak Risa dengan satu telunjuk, "Pasti disana ada banyak tanda merah, iya kan? Apa Bu Heni mau lihat?"Mbak Risa mendelik. Dia menatap Mas Ari dengan tatapan mengiba. Sementara Mbak Juli dan Yu Tikah sejak tadi memilih diam setelah melihat aku berani melawan mereka."Jangan kurang ajar, Hana! Kamu sudah mempermalukan Mbak Risa, sadar kamu?" bentak Mas Ari.Aku mengangguk mantap dan tersenyum tipis di depan mantan suamiku itu."Oh, tentu saja aku sadar. Tapi apa kamu masih punya rasa malu, Mbak?" Wajah Mbak Risa memerah, entah malu, entah marah aku tak tau. Tapi melihat hal itu tentu saja membuatku puas sekali. Teringat saat dia menghinaku dulu hingga membuatku begitu malu jika bertemu dengan para tetangga.FLASHBACK ON ...."Aduh, Hana ... penampilan kamu udah kayak pembokat aja sih," celetuk Mbak Risa ketika aku sedang menyapu halaman rumah. "Aku aja yang suamiku kerja jauh t