Share

Pengakuan Suami

last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-04 14:46:33

FLASHBACK ON....

 

"Hana ... Hana ....!"

 

Aku yang sedang menyiapkan makan malam di dapur sedikit terkesiap mendengar Mas Ari berteriak lantang dari depan. Segera kumatikan kompor dan menghampirinya yang sudah berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang.

 

"Ada apa, Mas? Kenapa teriak-teriak?" 

 

"Ada apa kamu bilang, hah? Kamu sadar kan apa yang udah kamu lakuin ke ibu?"

 

Aku menghela nafas kasar. Selalu saja begini, Mas Ari seolah buta dengan situasi yang terjadi. Dia hanya akan membela Ibu sekalipun aku membela diri.

 

"Mas ... harusnya aku loh yang marah sekarang!" Aku berusaha mengeluarkan suara, meskipun jantungku sudah mulai berdebar tidak beraturan.

 

"Punya hak apa kamu di rumah ini? Sadar diri, Han ... kamu itu wanita miskin, jika saja aku dulu tidak menikahimu, mungkin kamu nggak bisa hidup seenak ini. Kamu itu cuma numpang! Numpang disini!" teriak Mas Ari. Suaranya memecah keheningan di dalam rumah.

 

"Uang bulanan yang kamu kasih hanya lima ratus ribu, Mas. Mana ada aku uang lagi sementara setiap hari aku selalu berhemat agar uang darimu selalu cukup. Lagipula bukankah Ibu sudah kamu beri bagian, kenapa pula harus minta ke aku?"

 

"Aku tidak peduli!" bentak Mas Ari menggila. "Kalau Ibu minta, kamu harus kasih! Kamu harus pandai menjaga nama baikku di depan Ibu. Bodoh! Seharusnya kamu merasa beruntung karena bisa hidup dengan suami sepertiku!"

 

"Tidak tau diri, menumpang tapi sok menjadi Ratu!" desisnya marah.

 

Aku menghirup napas dalam-dalam dan mulai mengeluarkannya perlahan. Sesak di dalam dada saling berhimpitan ingin keluar. Bahkan air mata yang kutahan sejak tadi memaksa untuk berderai.

 

"Kalau begitu ... ceraikan aku!" sahutku datar, berusaha sekuat mungkin agar tidak menangis di depannya. "Kalau kamu menganggap aku hanyalah wanita tidak tau diri dan cuma bisa menumpang hidup padamu. Maka, ceraikan aku, Mas!"

 

Tawa Mas Ari menggema di ruangan. Dia menjetikkan jemarinya tepat di depan wajahku. "Cerai? Enak aja, kamu pikir cerai nggak keluar duit?" ujarnya ringan sekali. "Jangan menantangku untuk menceraikan kamu, yakin bisa hidup dengan menyandang status janda?"

 

Keningku berkerut. Lalu untuk apa dia mempersuntingku jika hanya menjadi samsak kemarahannya? Bukankah bercerai lebih baik, meskipun harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Ah ... andai saja aku punya uang, minimal memiliki penghasilan sendiri ... aku sudah barang pasti lebih dulu mengajukan gugatan perceraian.

 

"Kalau begitu, biar aku yang mengajukan gugatan cerai. Itu kan yang kamu inginkan?" 

 

Mata Mas Ari melotot sehingga nampak bola matanya hampir saja melompat dari kelopaknya. Dicengkeramnya lenganku dengan kuat, kulihat dadanya naik turun seperti tengah menahan marah.

 

Apa aku salah? 

 

Bukankah dia sendiri yang bilang jika enggan keluar duit untuk mengurus perceraian. Lalu, kini saat aku menantang akan menggugat cerai dirinya, Mas Ari justru terlihat semakin marah.

 

"Apa kamu lupa siapa kamu, Han? Wanita kampung yang miskin! Kamu tau kan bagaimana reaksi Bapak dan Emakmu nanti jika putri mereka menjadi janda? Apa kamu bisa membayangkan itu?" Sudut bibir Mas Ari terangkat, membuatku semakin muak berada di dekatnya. Lelaki apa yang menikahiku ini? Mengapa dulu aku begitu mudah menaruh hati padanya? 

 

Aku merutuki kebodohanku. Mas Ari benar ... aku mungkin bisa tahan dengan cibiran warga kampung, tapi entah dengan Bapak dan Emak, mereka sudah tua, sudah seharusnya menikmati masa-masa tuanya dengan tenang. Lalu ... bagaimana hancurnya hati mereka jika tau kalau aku menjadi janda di usia yang begitu muda, bahkan di usia pernikahan yang baru genap satu tahun ini?

 

"Hana ... Hana ... kamu nggak akan bisa bercerai dariku. Aku masih butuh bantuanmu, Han. Nikmati saja uang bulanan gratis dariku, itu adalah satu kebaikanku untukmu," tutur Mas Ari. "Dengan adanya kamu ... kakakku yang bodoh itu tidak akan curiga jika aku dan istrinya sudah bermain api selama ini."

 

Plak ...!!!

 

Suasana dalam ruang tamu seketika berubah mencekam. Hening. Kami saling diam. Mas Ari mengusap pipinya yang nampak memerah bekas tamparan dariku. Tanganku gemetar setelah sadar sudah menampar pipi Mas Ari dengan begitu keras. Dia menatap nyalang ke arahku, ditariknya rambutku dengan kuat, lalu dihempaskannya tubuhku hingga terjerembab di lantai.

 

Ketakutan benar-benar menguasaiku kali ini. Aku akui, meskipun Mas Ari tidak pernah memberiku nafkah yang layak, tapi dia tidak pernah melakukan kekerasan fisik. 

 

"Berani kamu menamparku, Han?" desisnya dengan membungkuk, mensejajarkan dirinya dengan tubuhku yang luruh di lantai. "Apa kamu marah setelah mengetahui kenyataan mengapa aku menikahimu? Iya?!" Suaranya meninggi, tidak dapat kupungkiri jika aku benar-benar takut kali ini. 

 

Aku merutuki kelemahanku. Di luar sana, banyak wanita yang bisa keluar dari hubungan keluarga yang tidak sehat, bahkan mereka bisa melawan suami yang berbuat dzolim dengan penuh keberanian. Tapi aku ...? Setelah memberanikan diri menampar pipi Mas Ari, justru ketakutan semakin terkungkung dalam jiwa. Aku lemah ... aku kalah dengan keadaan yang ada.

 

"Kamu salah karena sudah berani melawanku, Hana! Kamu pikir kenapa aku menikahi wanita kampung sepertimu, sedangkan di kota saja aku bisa menggaet wanita yang lebih cantik?" Mas Ari tertawa, membuat hatiku semakin nyeri. "Itu karena kamu hanya wanita kampung ... banyak orang bilang kalau wanita dari kampung itu penurut ... lembut dan mudah dibohongi. Tapi ternyata semakin kesini kami semakin berani padaku," ujar Mas Ari sengit.

 

Aku mendongakkan kepala, menatap nanar pada Mas Ari yang tertawa semakin lebar. Tidak lama setelah itu, Mbak Risa datang ... itulah saat-saat dimana rasa cintaku pada Mas Ari benar-benar hancur ... luntur, tak lagi berbekas.

 

"Asal kamu tau, aku bisa saja menceraikanmu saat ini juga, tapi tentu saja itu tidak akan aku lakukan! Kamu ... wanita tidak tau diuntung, seharusnya nikmati saja uang yang kuberi dan jangan banyak bacot!"

 

"Lihat ... lihat dia!" Mas Ari menarik wajahku agar menoleh dan melihat pada sosok yang sedang berdiri di depan kami. "Kamu dan Mbak Risa bagai langit dan bumi. Dia cantik, seksi, pandai memuaskan pria di ranjang sementara kamu? Kucel, bau dan semakin hari tubuhmu semakin tidak terurus! Menjijikkan!"

 

Aku meremas sepuluh jemari dengan menahan nyeri di dalam hati. Sementara Mbak Risa, dia tanpa ragu lagi bergelayut manja di lengan pria yang berstatus sebagai iparnya. Dia suamiku! 

 

 

Bersambung

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Gila itu ari sama risa
goodnovel comment avatar
effy
banyak flas back nya...kenapa tdk bikin cerita sblm brcerai sama juga... ok bye
goodnovel comment avatar
Mella Dewiswita Diningrat
kebanyakan flasnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   TAMAT

    ***"Assalamualaikum, Ma?""Waalaikumsalam, Sayang. Apa kabar?" tanya Bu Wira ramah. "Emak sama Bapak sehat, Hana?""Alhamdulillah. Kami semua sehat, Ma, kabar Mama sendiri bagaimana?""Sehat, Nak. Selalu sehat. Tumben telepon Mama, mau kasih kejutan ya?"Hana menggigit bibirnya gusar. "Ma ....""Ya, katakan, Nak!""Dua minggu lagi aku menikah ... dengan Pak Bima," ucap Hana hati-hati. "Mohon doa restunya.""Alhamdulillah ... serius secepat ini, Hana? Masya Allah, Mama bahagia, Nak! Semoga acara kalian berjalan lancar, kabari Mama dimana acara kalian berlangsung nanti.""Mama okey?""Tentu, Hana. Mama okey, apa yang kamu pikirkan, hah?"Hana menghela napas panjang. Beban yang berada di pundaknya hilang sudah. Rasa bersalah dan tidak tau diri yang dia rasakan selama ini menguap begitu saja saat semua keluarga Kenan memberikan restunya."Terima kasih, Ma. Terima kasih banyak." Hana menangis. Terbayang bagaimana wajah sedih Bu Wira di seberang sana. "Jangan pernah lagi merasa bersalah y

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Menikah?

    ***"Pa ....""Sudah kubilang jangan panggil aku, Pa! Menjijikkan!" hardik Pak Agung. "Mang, bawa mereka berdua keluar, dan jangan pernah biarkan dua wanita mengerikan ini masuk ke dalam rumahku!"Mamang menyeret tangan Melinda dan Nasya secara kasar dan mendorongnya keduanya agar keluar dari dalam rumah dengan sedikit menghempas."Bikin kerjaan aja! Sana pulang!" hardik Mamang. "Gak tau diri banget!"Nasya berkacak pinggang, dadanya membusung dan berteriak lantang. "Kurang aja sekali kamu, hah? Dasar satpam miskin!"Mamang tertawa sumbang. Semakin bersyukur karena Bima tidak jadi menikah dengan wanita seperti Nasya. "Benar kata Pak Agung. Menjijikkan!"Nasya dan Melinda di usir secara tidak hormat. Mang Dadang segera menutup pintu pagar dan meludah tepat di depan Mel dan Nasya untuk melampiaskan rasa kesalnya."Sana pergi! Gak punya malu!"Mel menghentak-hentakkan kakinya sementara Nasya menatap rumah Bima dengan bergumam. "Semua gara-gara Satria, Brengsek! Harusnya aku jadi Nyonya B

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Siapa Nasya?

    ***"Ternyata benar kata Melinda kalau sekretaris baru kamu itu memang gatel!"Bima berdiri. Napasnya memburu melihat Nasya tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi. "Satpam!" teriak Bima lantang. Mang Dadang berlari tergesa-gesa dan memasuki ruang tamu dengan tatapan bingung. "Loh, Mbak Nasya kok bisa masuk?" "Mamang bagaimana sih, daritadi kemana saja?""Ada Mbak Melinda di depan, dia ngajakin ngobrol, Mas. Saya gak tau kalau ada penyusup ....""Bim, tenang! Duduk!" Pak Agung bangkit. Dia berjalan mendekati Bima dan Nasya yang nampak bersitegang."Silahkan duduk, Nasya," kata Pak Agung formal. Hana dan kedua orang tuanya canggung. Wanita cantik itu merasa jika Nasya adalah orang penting di hidup Bima sebelumnya. Suasana sedang tidak baik-baik saja apalagi wanita di depannya itu sempat menyebut nama Melinda. Tentu saja sekretaris gatal yang dimaksud adalah dirinya. Hana."Kenapa datang-datang marah-marah di rumah kami, Nasya? Ada keperluan apa?""Pa ....""Maaf, saya bukan P

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Kedatangan Masa Lalu

    ***"Sudah siap?"Hana dan Emak mengangguk berbarengan. "Sudah, Bapak masih di dalam, ganti baju sebentar," sahut Hana malu-malu. Pasalnya Bima sejak tadi tidak membuang pandangan darinya. Bahkan sesekali pria itu tersenyum sambil menatap Hana yang tersipu."Make up-nya terlalu menor ya?"Bima menggeleng. "Sudah pas. Malah makin cantik," puji Bima tulus. "Meskipun tanpa make up juga cantik, tapi kalau begini semakin cantik," imbuhnya.Emak tersenyum simpul. Dia mengusap lengan Hana dan berkata. "Jangan gugup! Kalau mau makan malam sama keluarga pacar memang begini.""Emak apa-apaan sih, pacar ... pacar ... udah tua ini kita," gerutu Hana malu. "Emak lupa kalau aku ini janda, sudah pernah gagal menikah pula.""Itu tidak penting, Hana," sahut Bima menimpali. "Janda, perawan, singel, itu tidak penting. Yang semua orang cari dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan dan keterbukaan pada pasangan.""Jangan merasa rendah karena status janda, tidak semua status itu menyandang hal buruk." Emak

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Salting

    ***"Kenapa buru-buru ngajakin balik, Han?" tanya Emak ketika mobil mereka mulai keluar dari pelataran rumah sakit. "Emak sama Bapak sudah bersiap bawa baju ganti. Eh, gak jadi menginap. Kenapa?""Canggung, Mak," jawab Hana lirih. "Lagian gak enak sama Pak Bima. Sudah diantarkan gratis, masa dia balik sendiri. Kasihan.""Perhatian sekali," puji Bima sambil tersenyum manis. "Terima kasih sudah memikirkan aku."Hana melengos. Bima selalu saja bisa membuat jantungnya berdebar hebat. "Saya hanya merasa tidak tau diri kalau membiarkan Pak Bima pulang sendirian. Setidaknya kalau pulang sama-sama kan saya jadi gak sungkan-sungkan amat."Emak dan Bapak manggut-manggut paham. "Ya sudah, setidaknya tadi sudah menjenguk. Bagaimana baiknya menurut kamu saja, Emak dan Bapak ngikut."Suasana di dalam mobil mulai hening. Emak dan Bapak tertidur sementara Hana bermain-main dengan ponselnya. "Besok makan malam bersama Papa, kamu siap, Han?"Hana meletakkan ponsel ke dalam tas. Dia menoleh sejenak la

  • MEMBALAS HINAAN MANTAN SUAMI   Titik terang

    ***"Mama habis nangis?" Hana duduk di samping Bu Wira dan bergelayut manja di lengan wanita yang dulu adalah pemilik pemasok sayuran terbesar. Siapa sangka, pertolongan Bu Wira kala itu adalah jalan bertemunya Hana dan Kenan. "Kenapa?"Bu Wira menggeleng. Dia membalas pelukan Hana dari samping dan berbisik. "Dia suka sama kamu ya?"Pipi Hana bersemu. Air muka wanita itu sudah menjelaskan bagaimana perasaannya di depan Bu Wira. Ada sedikit nyeri, namun Bu Wira lagi-lagi berusaha menguasai diri. Kenan dan Hana memang bukan jodoh. Hana berhak melanjutkan hidupnya sementara Kenan berhak melihat kebahagiaan Hana di alam sana. "Kalau Mama lihat, sepertinya lebih dari suka. Sikapnya seperti Kenan."Hana menoleh dengan cepat. "Mama juga merasakan itu?"Bu Wira mengangguk membenarkan. "Caranya mencuri hati kamu persis seperti cara Kenan waktu itu. Iya kan?"Hana bergeming. Lagi-lagi kesedihan merajai hatinya. "Tapi perasaan ini belum tumbuh, Ma. Aku ....""Tidak perlu terburu-buru, Hana. Mam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status