Share

Melawan setelah Bercerai

FLASHBACK OFF....

 

***

"Cabe sepuluh ribu," ujar Ibu Mas Ari datar. 

 

Suasana mendadak hening, tidak ada lagi canda tawa para Ibu-ibu yang berbelanja. Mereka seolah mengerti, aku sedang melayani siapa sekarang.

 

"Ini, Bu." Kuserahkan sekantong plastik berisi cabe. Harga cabe sedang naik, wajar saja jika sepuluh ribu hanya dapat segenggam saja.

 

"Kamu mau menipuku?" bentak Ibu Mas Ari dengan lantang. Aku mengerutkan kening. 

 

Menipu?

 

"Maksutnya, Bu?" 

 

"Iya, kamu mau menipuku kan? Mana ada cabe sepuluh ribu cuma dapat seuprit gini!" Dia melempar kantong plastik tepat di depanku.

 

Aku menghela napas kasar. Ibu salah jika ingin bermain-main denganku sekarang. Karena aku bukan Hana yang dulu.

 

"Lalu Ibu maunya segimana? Segini cukup?" Aku mengambil lagi segenggam cabe rawit di tangan dan kutuang ke dalam kantong plastik tadi.

 

Ibu Mas Ari tersenyum penuh kemenangan membuatku semakin bersyukur bisa lepas dari keluarganya.

 

"Sini!" bentaknya lagi. Ibu-ibu yang lain hanya geleng-geleng melihat kelakuannya. 

 

"Tapi ... bukannya Ibu nggak mau belanja di tempatku? Kenapa sekarang tiba-tiba beli cabe, cuma sepuluh ribu lagi. Dikit amat!" cibirku. Ibu membuang muka. Kulihat dia mencebik lalu mencoba merampas kantong kresek berisi cabe dari tanganku.

 

"Eits!" 

 

Dia tersentak kaget saat kutepis tangannya dengan kasar. Matanya menatap tajam ke arahku seolah aku akan takut dengan tatapan itu.

 

"Yu Tikah, coba lihat cabe punya Yu Tikah tadi, sama kan dengan punya Ibu Heni?" Sengaja aku memanggilnya Bu Heni agar dia tau batasan kita sekarang.

 

"Cabe emang lagi mahal, Bu Hen. Ini punya saya, sama-sama beli sepuluh ribu, kayak punya situ," tutur Yu Tikah seraya menunjukkan kantong kresek kecil di depan Bu Heni.

 

Wanita itu mencebik, "Halah ... kalian pasti sudah kena tipu sama wanita kampungan ini. Mau-maunya belanja ke dia, mending ke Kang Tomo."

 

"Asal kalian tau, dia itu selalu jual sayuran dan ikan tidak sesuai dengan harga yang sudah ditetapkan sama Bu Wira. Korupsi!" ujar Bu Heni menggebu-gebu.

 

Aku hanya tersenyum tipis. Lalu menuang kembali cabe ke tempatnya. Melihat tingkahku, Bu Heni semakin melebarkan matanya.

 

"Kalau begitu beli ke yang lain saja, Bu. Saya tidak rugi kok," ujarku tenang.

 

"Sombong sekali kamu, Hana! Baru aja bisa jualan sayur keliling udah berani menyangkal semua ucapanku. Kamu lupa siapa aku, hah?!" Bu Heni berkacak pinggang. Terlihat dengan jelas dadanya naik turun seolah sedang menahan kesal. "Lagipula ini itu usaha Bu Wira, bukan punyamu. Sadar diri dong!"

 

"Emang yang bilang ini usaha saya siapa, Bu? Udah deh, minggir aja kalau emang nggak niat belanja, pelanggan saya ngantri nih!" Aku menyingkirkan tangannya di atas gerobak sayurku. "Dan satu lagi ... saya nggak lupa siapa anda, Bu Heni Wirajaya yang terhormat. Anda mantan mertua saya bukan? Apa perlu saya jabarkan yang lain juga ... atau ... tentang seberapa kurang ajarnya anak Ibu dan menantu tercantik ibu di komplek ini? Atau lagi ... seberapa banyak nafkah yang dia berikan padaku selama kita menjadi suami istri?"

 

Kulihat rahang Bu Heni mengeras. Kedua tangannya terkepal kuat dengan menatap tajam ke arahku.

 

"Jaga mulutmu, Hana!" bentaknya, "Jangan mentang-mentang kamu udah cerai sama Ari lalu bisa memfitnah dia seenaknya."

 

Aku mengibaskan tangan di udara, "Udahlah, Bu Heni. Pergi saja kalau memang tidak niat membeli," usirku.

 

Bu Heni melempar uang sepuluh ribu tepat di depan mukaku, "Nih! Cuma sepuluh ribu aja ngajakin ribut. Mana cabenya?" Bu Heni bersedekap dada. Uang sepuluh ribu darinya terjatuh tepat di depan kakiku.

 

"Maaf, Bu. Saya tidak melayani pembeli yang tidak sopan. Ambil uang anda dan silahkan pergi!" 

 

"Hei, Hana! Masih untung ya aku mau beli di kamu! Udah ambil sendiri, lagipula kamu udah biasa kan mungutin uang di bawah?" 

 

"Wah ... nggak nyangka Ibu ternyata tau selama ini kelakuan Mas Ari." Aku berdecak kagum. Padahal dulu aku pernah mengadu perlakuan mantan suamiku padanya, bukannya membela justru Ibu semakin menghinaku.

 

"Beneran pernah dilempar uang sama Mas Ari, Mbak Han? Wah, parah sih itu," seloroh seseibu yang sedang aku layani.

 

"Nggak menghargai istri banget ya kalau gitu."

 

"Pantes aja Mbak Hana kekeuh minta cerai, ternyata diperlakukan nggak baik."

 

Bu Heni mengambil uang sepuluh ribu di depan kakiku. Dengan sengaja, aku sedikit menaikkan kaki membuat hidung Bu Heni hampir menciumnya. Menyadari perlakuanku, Bu Heni mendelik dan berlalu setelah menghentak-hentakkan kakinya.

 

"Mantan menantu tidak tau diri! Untung saja anakku sudah menceraikan kamu!"

 

Aku menghela napas kasar. Sepertinya akan banyak masalah selagi aku masih berjualan di komplek ini.

 

"Bu....!" teriakku lantang. Bu Heni menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.

 

"Ini cabenya nggak jadi?" 

 

Dia berbalik dan melangkah lebar menjauhi gerobak sayurku. Beberapa ibu-ibu yang memang memahami karakter Bu Heni hanya terkekeh, ada pula yang justru melayangkan jempolnya di depanku.

 

Dulu kamu boleh menindasku, Bu. Tapi untuk saat ini ... aku bisa lebih kejam jika kamu berani mengusikku!

 

Kulanjutkan aktifitas melayani pembeli. Satu per satu dari mereka meninggalkan tempatnya. Setelah suasana semakin sepi, aku mendorong gerobak sayur menuju ke gang belakang. Kuhela napas panjang, untuk mencapai gang belakang, mau tidak mau aku harus melewati depan rumah Bu Heni. 

 

Tin 

Tin

Tin

 

Suara klakson mobil di belakang membuatku bergegas menepikan gerobak. 

 

Tin

Tin

Tin

 

Aku berhenti. Barangkali si pengendara merasa jalanan terlalu sempit padahal menurutku juga tidak. Jalanan di komplek ini cukup lebar sekalipun ada aku yang berjalan membawa gerobak.

 

Tin

Tin

Tin

 

"Gimana? Nyesel kan udah cerai dariku?" 

 

Aku membuang muka. Jika saja tau siapa pemilik mobil di belakang, tentu aku enggan menghentikan gerobak. Atau bila perlu, aku berjalan di tengah-tengah saja agar mobilnya tidak bisa lewat.

 

Kutarik sudut bibir ke atas, "Nggak penting!" ucapku hendak berlalu.

 

Mas Ari tertawa lebar dari dalam mobilnya. Dia mengendarai mobil bersisian dengan aku yang tengah mendorong gerobak sayur membuatku semakin sulit menghindar.

 

"Ayolah, Han. Mengaku saja! Dengan kamu berjualan sayur begini, itu aja udah jadi bukti kalau kamu menyesal telah bercerai dariku," tutur Mas Ari pongah.

 

"Tidak ada yang perlu disesali. Justru aku bersyukur karena bisa lepas dari lelaki sepertimu. Tinggal menunggu waktu, skandalmu dan Mbak Risa akan terbongkar," sahutku tenang.

 

Ckitt!!!

 

Mas Ari mengehentikan mobilnya mendadak. Dia keluar dan satu tangannya mencengkeram tanganku dengan kasar. 

 

"Berani kamu membongkar semuanya, kupastikan Emak dan Bapakmu tau jika kamu menjadi janda!" ancamnya. Memang, Mas Ari tau jika aku begitu khawatir pada Emak dan Bapak di kampung. 

 

"Tenang saja, Pak Ari Subagja. Skandal anda aman di tanganku. Tapi entah kalau ada orang lain yang tau selain aku ...."

 

Mas Ari menghempaskan tanganku kasar. Dia membuang muka dan meremas rambutnya.

 

"Kalau sampai orang-orang disini tau ... kupastikan kamu hidup menderita selamanya!"

 

"Ha ... ha ... ha ...." Aku menjetikkan jari tepat di depan wajahnya. "Kamu pikir siapa dirimu berani-beraninya mengancamku? Bahkan jika kamu mengatakan pada kedua orang tuaku tentang keadaanku disini, aku tidak peduli! Emak dan Bapak pasti memahami keadaanku, mereka hanya salah menerima menantu, kupastikan tidak ada penyesalan di mata mereka nanti," tuturku berusaha setenang mungkin. Jangan sampai Mas Ari menggunakan Emak dan Bapak sebagai kelemahanku. Tidak lagi!

 

"Ari!"

 

Teriakan seorang wanita membuat kami berdua terkesiap. Mbak Risa berdiri di depan rumah Bu Heni dengan kedua tangan berkacak pinggang melihat aku dan mantan suamiku berbicara di balik mobil berwarna merah. Mobil yang Mbak Risa akui sebagai mobilnya tempo hari saat bertemu denganku di jalan.

 

"Ngapain kamu dekat-dekat sama janda miskin itu?" Dia mendekat, lalu mensejajarkan tubuhnya di samping Mas Ari. "Dia lagi godain kamu? Jangan bilang kalau kamu tergoda, Ar!" seloroh Mbak Risa.

 

Aku meludah tepat di kaki Mbak Risa. Wanita itu berteriak jijik dengan mengibas-kibaskan kakinya ke samping. 

 

"Berani ya kamu mengotori kakiku? Najis tau nggak! Janda miskin sepertimu bahkan nggak pantas berdiri di depan kami!"

 

"Memang!" sahutku cepat, "Aku juga ngerasa nggak pantas banget dekat-dekat sama kalian. Dua manusia laknat!" seruku menahan marah. "Minggir!" pekikku tertahan.

 

Mas Ari dan Mbak Risa saling berpandangan. Aku sedikit mundur dan kembali memegang kendali gerobak sayur mengingat hari sudah semakin siang sementara daganganku masih lumayan banyak.

 

"Minggir atau aku teriak?" ancamku membuat keduanya menyingkir tanpa berani berbicara lagi.

 

"Brengsek!"

 

Samar-samar aku mendengar Mas Ari mengumpat. Dengan dada berdebar, aku berjalan semakin menjauh. Rasanya seperti mimpi ketika aku benar-benar berani melawan mereka. Tanpa terasa air mataku mengalir. Bukan karena sedih, melainkan perasaan yang begitu lega karena bisa bangkit setelah berbulan-bulan aku hampir gila karena perlakuan mereka.

 

 

 

Bersambung

 

 

 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Budiarti -
Alhamdulillah Hana sudah berani mengambil sikap tegas.
goodnovel comment avatar
Yana Nur Chasanah
flashback ya sesekali aja kali Thor. jg keseringan. maaf yaa..., cuma saran aja.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status