***Seperginya Bu Heni, Hana bisa bernapas lega karena keributan yang sempat terjadi kini sudah mereda. Beberapa tetangga yang turut menyaksikan perdebatan sengit di depan kontrakan Hana pun mulai membubarkan diri setelah membantu Risa masuk ke dalam mobil Ari.Entah bagaimana kabar wanita itu saat ini. Yang jelas Hana sedikitpun tidak ingin bertanya atau jika tidak ... ia akan kembali disalahkan oleh Risa padahal jelas-jelas pendarahan yang terjadi adalah karena dorongan kuat dari Bu Heni."Apa tidak sebaiknya kamu pulang ke kampung saja, Han?""Betul apa kata Bapak, Hana. Disini terlalu berbahaya buatmu, Nak," timpal Emak."Setidaknya pulang bersama Emak dan Bapak sampai kamu menjadi istri Kenan," kata Bapak cemas. "Bapak yakin keluarga mantan suami kamu tidak akan menyerah begitu saja. Ibarat sudah ketahuan bobrok, Bu Heni kalang kabut mencari mangsa agar bisa menutupi semua aib yang sudah diciptakan anak dan menantunya."Hana nampa
***"Emh ... aku ....""Tolong, Mbak Hana. Bantu aku satu kali ini saja, aku ... aku benar-benar kalut dan ... dan bahkan rumah Mas Ari saja aku tidak tau dimana alamatnya.""Kamu bisa datang sendiri kesana, Nit. Aku kirim alamatnya sekarang juga.""Tapi, Mbak ....""Maaf, Anita. Tapi masalah kalian bukan urusanku. Kalau kamu mau, aku kirim alamat rumah Mas Ari dan silahkan datang sendiri.""Hu ... hu ... hu ..., Tolonglah, Mbak Hana! Aku tidak tau lagi harus minta tolong pada siapa, yang ada justru nanti Mas Ari bisa saja berkilah di depan keluarganya karena aku datang tanpa saksi."Hana menghembuskan napas kasar. Ingin sekali dia membantu Anita ketika membayangkan bagaimana kalutnya wanita muda itu seperti dirinya dulu, tapi sayang ... otaknya meminta untuk berpikir lebih waras kali ini. Bukan tidak mungkin jika keluarga Ari atau justru Risa yang akan menyerangnya jika dia membantu wanita Ari yang lain."Aku mohon ... Mbak ...."Lagi-- Hana meraup udara membiarkan rongga dadanya pen
***"Apa maksud kamu, Han?""Kenapa panik sekali, Mbak Jul? Santai saja, atau jangan-jangan memang ada sesuatu yang kamu sembunyikan selama ini?"Kedua mata Juli membulat. Dia menatap Hana dengan dada naik turun. "Hati-hati kalau ngomong kamu, Han!""Eh, tapi benar juga kata Hana, tadi malam itu justru aku dengar keributan dari rumah Juli. Kayak barang-barang dibanting gitu," ucap tetangga sebelah rumah Juli.Hana mengatupkan bibirnya. Dia tidak menyangka jika ternyata tebakannya tidak meleset. Padahal Hana tidak tau terjadi keributan apa di rumah Juli, yang Hana tau hanyalaj jika Juli adalah istri simpanan Om-om kaya."Jangan ngarang deh, Bu Sastro! Mana ada saya ribut. Saya dan suami itu selalu harmonis!" elak Juli."Tapi beneran tadi malam saya dengar, apalagi Mbak Juli pakai sebut-sebut nama Lidia, duh, jadi ingat serial layangan putus. Kalau dengar nama Lidia itu selalu kesel, apalagi coba kalau bukan tentang pelakor?""Semoga aja Mbak Juli bukan Lidia di serial itu ya, Bu?" "M
***"Han ... mau kemana? Aku antar ya?" Aku menepikan mobil dan mendekati Hana serta kedua orang tuanya yang berdiri di samping jalan raya. Sepertinya mereka hendak mencari angkutan, mungkin mau pulang kampung karena kedua tangan Bapak mertua, eh mantan Bapak mertua menenteng tas besar.Kesempatan emas. Mumpung Risa masih di Rumah Sakit lebih baik aku mendekatkan diri pada Hana. Sukur-sukur jika Emak dan Bapak mau menerimaku lagi."Mak ... Pak," sapaku sambil mencium punggung tangan mereka.Emak hanya mengangguk samar sementara Bapak kulihat membuang mukanya ke arah lain. Jika saja bukan untuk menarik simpati Hana, aku juga tidak sudi mencium punggung tangan mereka. Orang kampung tapi sombong! Apa mereka lupa kalau dulu anaknya itu aku yang ngasih makan?Sabar, Ari ... sabar! Demi mendapatkan Hana kembali aku harus memupuk rasa sabar hingga subur. Hana peluang besar bagiku sekarang. Dengan kembali pada Hana, hidupku pasti kembali tenang dan Risa bisa kembali dengan Mas Adrian. "Aku a
***Aku pulang membawa perasaan kesal dan dongkol. Bertemu Hana di pinggir jalan berharap bisa menarik simpati Emak dan Bapaknya karena aku membawa mobil berwarna merah yang masih mengkilat. Tapi ternyata ... semuanya gagal dan ini semua gara-gara Pak Kenan! Andai tadi dia tidak datang, aku yakin Emak dan Bapak Hana pasti luluh dengan bujuk rayuku. Orang kampung mana sih yang bisa tahan dengan godaan harta. Aku bawa mobil, woi! Mobil! "Mas ...."Langkahku terhenti di ambang pintu. Suara Anita tetiba membuatku muak. Baru saja ingin masuk ke dalam rumah dan menenangkan hati yang sedang kesal, Anita justru sudah berdiri di depanku sambil mengusap-usap perutnya yang rata. Lihat, bahkan Ibu terlihat puas sekali karena ada wanita lain dalam hidupku selain Hana. Aku tau ... ibu pasti akan memaksaku untuk menikahi Anita dan membiarkan Risa bersama Mas Adrian. "Mau apa datang kesini?" tanyaku sambil berlalu meninggalkannya di ambang pintu. Aku harus berbicara dengan Mas Adrian sebelum dia b
***"A-- apa?" Anita memekik. Dia menatapku dengan kedua mata yang sudah menganak sungai. "Ja-- jadi kamu ... kamu selingkuh dengan kakak iparmu sendiri, Mas?""Ya, jadi tidak ada alasan bagiku untuk menjaga wanita yang sudah mengobral tubuhnya untuk pria lain bukan? Sekarang kamu mengerti kan mengapa aku lebih memilih berdiam diri di rumah daripada menunggunya di rumah sakit?"Mas Adrian tergelak. Dia mendekat dan menepuk bahu Anita sebanyak dua kali lalu berkata. "Kamu sepertinya akan menjadi Hana selanjutnya."Anita menoleh dengan cepat. Wajahnya yang sendu kini nampak sedang menahan marah. Aku berdecih kesal, Mas Adrian membuat keadaan makin runyam."Hentikan omong kosongmu, Mas! Bagaimanapun Mbak Risa masih berstatus sebagai istri kamu, sudah seharusnya kamu menjaga ....""Tenang saja," sela Mas Adrian. "Aku sudah mengurus surat-surat perceraian ke Pengadilan Agama. Jadi, sebentar lagi kami akan resmi menjadi mantan. Man ... tan!"Plak ....Aku meringis ketika telapak tangan Ibu
Hai, kita kembali ke PoV tiga, yes! *** "Sudah tau hidup di lingkungan mantan suami yang gila, bisa-bisanya kamu berdiri di pinggir jalan! Apalagi bersama Emak dan Bapak, bagaimana kalau Ari berniat nekat dan mencelakai kalian, hem?" Kenan berbicara tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya. Tangannya tetap fokus pada setir meskipun sesekali ia melirik pada sosok wanita cantik di sebelahnya. "Maaf," cicit Hana lirih. "Tadi rencananya mau naik angkot, Mas," sambungnya mencari pembelaan. Kenan mencebik. Ingin marah tapi justru hatinya merasa berbunga-bunga mendengar panggilan 'Mas' yang keluar dari mulut Hana. "Zaman sudah semakin maju, tapi kamu masih saja terjebak di masa kuno. Sekarang bisa pesan gr*ab atau taksi dari hape, kenapa tidak kamu lakukan?" "Anu ... itu, Mas. Nih, lihat sendiri, hape kuno ini tidak cukup ruang untuk diisi aplikasi semacam itu." Kenan merutuki dirinya sendiri yang abai pada semua hal tentang Hana. Bahkan dengan merk ponsel calon istrinya
***"A--apa maksud Ibu? Aku ... aku dan Ari saling mencintai, Bu! Kenapa Ibu tega memisahkan kami berdua?" tanya Risa dengan suara bergetar. Tubuhnya yang lemah membuat emosinya tidak bisa meledak-ledak seperti biasa. "Aku tidak mencintai Mas Adrian, lagipula dia sudah melayangkan kata talak, Bu. Satu-satunya pria yang harus bertanggung jawab atas kehamilan ini hanyalah Ari. Dia bapak dari calon bayiku!"Heni menatap nyalang ke arah Risa. Wanita paruh baya itu merasakan sesak yang teramat sangat ketika mendengar menantu yang selama ini dia sayangi sepenuh hati ternyata mencintai putranya yang lain."Kembali bersama Adrian, atau terima kehamilan itu seorang diri!" desis Heni geram. "Aku ... tidak memberi restu pada Ari untuk menikahi kamu, Risa!"Air mata Risa lolos begitu saja. Kedua tangannya mencengkram erat seprei ranjang rumah sakit. Dadanya naik turun menahan marah, emosinya ingin meluap-luap tapi wanita itu terlalu lemah."Bu, jangan membuat suasana semakin runyam!" kata Ari me