“Winda! Apa maksud semuanya ini?” Mas Ardi yang baru saja menerima pesan WA dari Mia gemetar menahan kesal. Jelas sekali dalam rekaman itu Mbak Winda memang terang-terangan menyebutkan jika Mas Akim bisa membuat Mbak Winda puas.“Apa sih, Mas?”Mbak Winda tergagap. Dia sudah lupa perihal rekaman file yang dimiliki Mia. Pikirannya sudah terlalu disibukkan dengan Mince dan uangnya. Beruntung wanita jadi-jadian itu baru saja pergi meninggalkan kediamannya. Jadi tidak sempat menyaksikan keributannya dengan Mas Ardi. “Kamu ada main sama si Akim?” Mas Ardi mencengkeram pipi Mbak Winda kuat-kuat. Wanita mengaduh kesakitan lalu menepis tangan Mas Ardi. “Mas dapet rekaman itu dari mana? Itu fitnah, Mas!” Mbak Winda mencoba menepis tangan Mas Akim. Pipinya terasa sakit karena itu.“Kamu gak perlu tahu aku dapet dari mana? Kamu beneran maen serong di belakangku, Winda?” Mas Akim mendorong tubuh Mbak Winda hingga membentur ujung dipan. Mbak Winda mengaduh sambil mengelus sikunya yang dipakai
Mbak Winda mendorong tubuh Mas Ardi dan menggiringnya susah payah keluar kedai bakso. Mas Akim bangun dan berjalan ke luar juga mengikuti Mbak Winda. Perasaannya sudah tidak karuan. Akan tetapi semua lambat laun pasti akan diketahui. Sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga baunya. Plak! Satu tamparan dihadiahkan Mas Ardi pada Mbak Winda. Wanita itu terhuyung dan meringis menahan sakit. Air matanya mengalir seketika. Seumur pernikahan baru kali itu Mas Ardi mrnamparnya.“Mas nampar aku?” Mbak Winda meringis sambil mengelus pipinya.Mas Ardi tidak menjawab. Pandangannya beralih pada Mas Akim. Napasnya naik turun karena emosi yang sudah luber. Dia mendekat dan menarik kerah baju Mas Akim. Bugh! Bugh! Bugh!Pukulan dan tendangan didaratkan pada wajah dan perut lelaki sok kalem itu. Mbak Winda menjerit dan berlari memburu Mas Ardi. Mas Akim meringis, tetapi dia belum melawan balik. Tubuhnya terhuyung karena tendangan Mas Ardi mengenai ulu hatinya.“Sudah, Mas!
“Hallo! Hafid! Kamu pulang ke rumah sekarang! Mbak mau bicara!” Mbak Winda akhirnya menelpon Hafid. Dia teringat tadi bertemu di tempat kejadian. Dia mau meminta Hafid membujuk Mas Ardi agar tidak jadi menceraikannya.“Mau bicara apa, Mbak?” Hafid mengkerutkan dahi, sedangkan tangannya tetap sibuk membungkus kerupuk. Dia sedang menyiapkan bungkusan kerupuk untuk jualan nasi gorengnya sore ini.“Kamu ke sini dulu saja, Fid! Bantuin, Mbak! Mas Ardi mau menceraikan Mbak!” Mbak Winda terisak. Hafid beristighfar ketika mendengar kata cerai.“Astagfirulloh! Mbak tenang dulu! Nanti aku coba telepon ke Mas Ardi, tapi sekarang aku gak bisa ke sana! Aku lagi bersiap mau jualan soalnya!” Hafid mencoba menenangkan kakak perempuannya itu.“Kamu itu, ya! Mana bisa Mbak tenang! Mbak mau diceraikan, Fid! Ini semua pasti gara-gara istri kamu tuh! Jadi orang gak tahu diri banget, sih!” Mbak Winda kembali mengeluh dan memaki.Hafid mengerutkan dahi. Dia tidak mengerti kenapa Mbak Winda malah menyalahkan
“Assalamu’alaikum!” Suara seorang wanita membuyarkan pikirannya. Hafid menoleh pada arah suara. “Wa’alaikumsalam. Eh, Bibi ada apa, ya, Bi?” Hafid menyalami wanita paruh baya yang beberapa hari lalu berkunjung ke tempatnya. “Hafid, Mia ada? Pamannya kritis. Sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit.” Dia memandang Hafid. Tampak ada tersirat raut cemas di wajahnya. “Astagfirulloh!” Hafid beristighfar. “Mia! Dek!” Hafid tergopoh ke dalam. Dijumpainya Mia yang tengah sibuk dengan gawainya.“Ada apa, Mas?” Mia menatap Hafid.“Diluar ada Bi Itin, Dek! Paman kritis katanya!” Hafid menyampaikan pesan wanita paruh baya itu.“Astagfirulloh!” Mia beranjak. Dia keluar menemui wanita yang pernah direpotkannya itu. Ya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Namun tetap saja Bi Itin lah yang dulu berjasa menampungnya di rumah mereka.“Bibi, Paman di rumah sakit mana?” Mia menatap kasihan pada Bi Itin. “Bibi juga belum tanya tadi Saskia bawa ke rumah sakit mana, Mia. Bibi khawatir banget sama keadaann
Mia sudah sibuk memotong sayuran. Beberapa hari berlalu semenjak kedatangan Mbak Winda. Perempuan itu membuat hari-harinya kembali tidak nyaman. Terlebih urusan Mas Ardi yang juga belum selesai. Beruntung kini dia sudah mulai membuka warteg di depan kontrakan kecilnya, jadi memiliki kesibukan tambahan dan bisa menepis persoalan yang dibawa kakak iparnya itu. Hari itu beruntung Mas Akim lewat membonceng perempuan. Mbak Winda langsung cabut dan mengajak Mbak Wilda mengikutinya. Entah apa yang terjadi di depan sana. Mia tidak ingin meski sekedar bertanya. Hidupnya kini lebih fokus pada apa yang akan diraihnya. Julukan ipar miskin yang kerap kali disematkan Mbak Winda membuat dirinya semakin giat bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Etalase bekas yang dipesannya sudah datang. Meski tidak tampak kembali seperti baru, akan tetapi keapikan tangan Hafid membuat kaca yang kusam itu bening kembali. Beberapa lauk sudah matang. Ada balado ikan, balado telur, telur dadar, gorengan tahu
Mia tengah berdiri di depan teller. Hafid menemaninya. Hari itu warteg mereka ditunggui oleh Mbak Finah sendirian. Komisi perumahan yang sudah cair lumayan banyak. Jadinya mereka akan mengambil dari teller sebagian. Selain itu, Mia minta dibuatkan buku tabungan sendiri. Peraturan baru menjadi lebih ketat dari marketing agency tempatnya berjualan. Rekening tidak boleh atas nama orang lain.“Habis ini kita jadi survey, Dek?” Hafid menoleh pada Mia yang baru saja duduk. Dia memasukan kartu ATM baru dan buku tabungan atas namanya ke dalam tas. “Iya, Mas. Sekalian saja. Mumpung ini ada launching DP nol rupiah, Mas. Kapan lagi bisa punya rumah dengan DP nol rupiah, Mas.” “Iya, Dek. Moga kuat bayar cicilannya.” Keduanya saling tersenyum. Bayangan memiliki rumah sendiri membuat Mia menjadi lebih bersemangat lagi. Beruntung dia bergabung pada agen marketing property Syariah. Di mana ada banyak program yang meringankan para pembeli seperti dirinya. Jika terlambat cicilan pun tidak ada akad d
Mbak Winda dan Mas Akim menuju mobil terios yang terparkir. Keduanya kembali menikmati empuknya jok mobil baru, hembusan AC dan merdunya suara music yang diputar. Mereka tidak langsung menuju kontrakan melainkan pergi ke mall. Mbak Winda hendak membeli berbagai baju branded, tas, sepatu untuknya dan Mas Akim memakai uang hasil menggadaikan sertifikat rumahnya ke Bank. “Mas, ini buat kamu biar nanti pas sudah buka usaha bisa keren penampilannya!” Mbak Winda mengambilkan dua set setelan jas kantoran. “Ok, aku suka ini. Kamu yang bayar, ya!” Mas Akim memasang senyum yang mampu meluluh lantakkan hati Mbak Winda. “Oke, Sayang! Kamu tunggu saja di sini!” Satu kecupan didaratkan pada pipi Mas Akim. Mbak Winda langsung mengantri di kasir. Dia membayar semua belanjaan itu, maklum uang sisa DP mobil masih ada jadi rasanya semua gampang saja dibelinya.Setelah itu, mereka pergi ke restoran. Keduanya memesan makanan yang serba wah. Mbak Winda menguploadnya ke sosial media miliknya. Mobil baru
POV AUTHORMia sudah selesai tanda tangan akad. Mulai hari ini, Mia sudah memiliki kewajiban untuk membayar cicilan atas cluster yang diambil itu. Meski belum closing lagi, akan tetapi uang tabungan Mia masih cukup untuk menjadi dana cadangan jika suatu hari dia keteteran. Dengan dana yang ada, Mia menyewa satu lokasi lagi. Dibukanya warteg di lokasi lain. Keberadaan Mbak Finah cukup membantu. Jadi setiap hari, kini Hafid memboyong masakan dari kontrakan sempitnya menuju tempat baru. Dia yang jaga wartegnya di sana dia sendirian, sedangkan Mbak Finah menjaga di tempat lama bersama Mia. [Menerima pesanan catering untuk acara syukuran, khitananan, pernikahan.] Satu banner dipasang di depan wartegnya disertai foto-foto yang menarik sehingga membuat orang lebih tertarik. Sudah beberapa orang yang pesan catering mereka untuk acara syukuran. Testimoninya cukup memuaskan dan dipajang juga di jejaring sosial media online. Mia yang sesekali melihat f******k tidak mengacuhkan berita berseliw